Share

2. Mimpi yang Hancur

Desahan penuh kenikmatan menggema di kamar itu. Tak ada ronta. Hanya dua tubuh polos bergumul saling menyebut nama. Reza hanya berdiri di ambang pintu, mengamati dengan wajah yang menunjukkan hati hancur.

 

Bungkusan kado terjatuh. Bunyinya cukup untuk membuat Una dan sang pria asing menoleh. Keduanya terkejut melihat Reza. Sang selingkuhan buru-buru keluar kamar, sedangkan Una segera menyembunyikan tubuh polosnya dengan selimut.

 

“Reza?” Una menyibak pinggir rambut pendeknya. “Kok kamu udah pulang?”

 

“Ceritanya panjang,” jawab Reza dengan tatapan hampa. “Tapi entahlah, Una. Bisa jadi punya selingkuhanmu lebih panjang lagi.”

 

“Apanya?” Una mulai gemetar.

 

“Penderitaannya.” Reza menunduk. “Kenapa, Una? Kenapa kamu setega ini?”

 

Untuk beberapa saat, kamar itu dikuasai keheningan. Tangan Reza mengepal. Namun, harinya sudah cukup buruk. Ia mengambil napas panjang, mengangkat kepala, berpikir untuk melanjutkan sisa hari dengan senyum tulus memaafkan.

 

“Ini semua salah kamu!” bentak Una, membuat Reza batal bicara.

 

Tangan Una mencengkeram selimut. Napasnya memburu. Wajahnya merah dengan tatapan penuh kebencian. “Andai saja ... andai saja kamu lebih kaya, Reza!”

 

Reza berkedip pelan. Lelaki berwajah oval itu mencoba tetap tenang dan mendekati sang istri, tapi ditepis. Bahkan Una melempar bantal padanya, berteriak mengusir Reza keluar kamar.

 

Pintu ditutup. Reza berjalan mundur hingga ke dapur. Ketika ia menoleh ke ruang keluarga, ia melihat si pria asing masih sementara memakai baju. Kontak mata terjadi antara Reza dan pria bertubuh atletis itu.

 

Situasi canggung tak berlangsung lama. Sebab Una segera muncul dari kamar dengan daster putih dan sebuah koper. Reza memandang heran. Sang istri lantas melempar koper itu padanya, lalu bergegas ke ruang keluarga untuk menggandeng lengan si pria asing.

 

“Una, apa-apaan kamu ini?!”

 

“Biar aku langsung ke intinya saja, Reza. Ini Mario. Pacar baruku. Dia mengelola perusahaan warisan ayahnya. Tidak seperti kamu yang cuma pegawai.”

 

“Kamu mencampakkanku demi orang ini? Orang yang lebih ganteng, lebih berotot, lebih kaya, lebih .... Buset, memang dia banyak lebihnya.”

 

Una mengangguk yakin. “Iya. Aku mencampakkanmu demi Mario. Tapi seperti yang kubilang, Reza. Aku sudah tidak tahan dengan kamu yang hidupnya begitu-begitu saja tanpa perubahan!”

 

Reza mendekat dengan wajah memelas. “Una, aku—”

 

“Hei, Bung,” tegur si selingkuhan sambil maju menahan Reza, “sudahlah.”

 

Reza menatap tajam mata pria perebut istri itu. “Celananya dipakai dulu.”

 

“Eh iya.” Si pria asing segera menunduk memakai celana.

 

Saat sang selingkuhan tengah memakai celana, Reza menggunakan kesempatan itu untuk mendekat ke Una. Gagal. Dengan cepat si pria asing selesai memasang celana, lalu mendorong Reza hingga terpental ke dekat pintu keluar.

 

Pintu dibuka. Reza didorong keluar, lalu sekali lagi dilempar dengan koper. Pria berwajah oval itu hanya bisa tertunduk, menatap lantai dengan perasaan terhina. Sementara Una dan pacarnya berdiri di ambang pintu dengan wajah angkuh.

 

“Mulai sekarang, kamu tidak usah pulang,” kata Una, “karena aku bukan tempat kembalimu lagi.”

 

“Pernikahan kita ... mimpi kita ....” Reza melirik ke dalam apartemen. “Bagaimana dengan itu semua?”

 

“Tidak perlu khawatir, Bung.” Si selingkuhan menyeringai. “Kamu sudah janji membawa Una ke Swiss, ‘kan? Biar aku yang urus.”

 

Reza masih tak bergeming ketika pintu dibanting. Cukup lama ia di tempat itu, sebelum akhirnya ia bangkit menuju lift dengan wajah putus asa. Reza lesu. Ketika sudah sampai lantai dasar, Reza hanya terus berjalan.

 

Langit yang tadinya cerah ternyata sudah diselubungi awan hitam. Air menitik. Satu per satu menyentuh bumi hingga akhirnya menjadi hujan deras. Namun, Reza yang sudah terlanjur dilahap kesedihan sama sekali tak peduli dirinya basah.

 

Reza terus melangkah. Ia hanya membawa kakinya tanpa peduli arah di bawah hujan. Nyaring suara gulir roda koper tak kunjung membuatnya sadar dari lamun. Sesekali ia mengusap wajah, entah mengusap air hujan atau air mata.

 

“Reza!” panggil seorang pria dari arah kiri.

 

Yang dipanggil perlahan menoleh. Ia terbeliak. Ada pria berwajah datar berdiri agak jauh sambil memegang payung dan kantongan hitam. Itu Heru, dan kini berjalan mendekati Reza.

 

“Kamu lupa kerupuk testis babinya,” ucap Heru sambil menunjukkan kantong.

 

Reza menatap Heru beberapa saat, lalu terkekeh. Kekeh berubah cengir. Cengir berganti tertawa menahan sakit hati di bawah hujan. Ia memegang pundak teman kantornya yang berwajah datar tapi turut bersimpati itu.

 

“Kamu memang teman terbaikku, Heru,” ucap Reza.

 

“Hei, setidaknya pulanglah ke rumah.”

 

Reza menggeleng. “Aku sudah tidak bisa pulang.”

 

Heru kian iba. “Kalau begitu, kamu boleh—”

 

DOR

 

Payung dan kantong tergeletak di trotoar. Heru tumbang. Reza tersentak tak sempat menahan tubuh teman baiknya sebelum jatuh. Ditambah lelaki berwajah oval itu masih harus memproses apa yang sedang terjadi.

 

“Heru!” Reza berjongkok memeriksa sang teman, dan menemukan darah di pundak belakang pria itu.

 

Tentu saja Reza ingin segera memberi bantuan. Namun, insting bahayanya bangkit. Ia menengok. Di halte seberang jalan, Reza melihat seorang pria berkacamata hitam memegang sebuah biola. Cara pegangnya mirip mengarahkan senjata, sehingga Reza bisa langsung tahu dia pelakunya.

 

“Ah ... meleset.” Si pemain biola lantas kembali membidik.

 

Segera Reza berlari. Tembakan nyaris mengenainya. Terpaksa ia meninggalkan Heru bersama koper. Reza melesat secepat mungkin dan berbelok di persimpangan. Sementara si pemain biola mengeluarkan payung, lalu mulai mengejar.

 

Jalan raya masih sibuk di tengah hujan. Macet. Reza menggunakan kesempatan itu untuk melewati sela-sela mobil. Klakson berbunyi. Si pemain biola mulai menyusul. Permainan kucing-tikus di jalanan Kota Jurajura berlangsung sengit.

 

Dari ruko ke ruko, trotoar ke trotoar, Reza terus berlari. Sesekali ia diteriaki karena nyaris menabrak orang lain. Pembunuh kian dekat. Reza mengambil helm salah satu motor terparkir, lalu melemparkannya ke si pemain biola.

 

“Maling helm!” teriak Reza.

 

Suara Reza mendapat respons. Parkiran motor itu adalah bagian belakang dari sebuah kafe, dan kini para pengunjung keluar memastikan helm yang dicuri bukan milik mereka. Pemain biola terkejut. Sialnya karena dialah yang menangkap helm itu.

 

Pelarian Reza baru berhenti ketika menggapai sebuah gang berdinding bata tanpa plester. Sepi. Reza mendongak mengatur napasnya, membiarkan sisa lelah tergerus air hujan. Ia kemudian melangkah pelan, tapi menemukan ujung gang itu buntu.

 

Reza meringkuk, bersandar di tembok bata. Ia sudah tak peduli air hujan yang semakin mengguyur. Tangisnya mengalir. Tangan Reza mengepal mengingat kejadian sejauh ini. Dipecat, dicampakkan, dan kini dikejar pembunuh.

 

“Kenapa ...,” ujar Reza, “kenapa nasibku seperti ini?”

 

Hujan masih saja membasahi tanpa ampun. Terdengar derap langkah tegas memecah genangan air. Reza menengok pelan. Saat itulah ia melihat siluet seorang pria berdiri di mulut gang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status