Share

Keturunan Terakhir Elite Global
Keturunan Terakhir Elite Global
Penulis: MuhNaufal Monsong

1. Drama Kehidupan

Kilau berlian dan furnitur mahal ternoda oleh cipratan darah. Para tamu berpakaian elegan terkulai tak bernyawa di lantai dansa. Bau anggur tercampur aroma amis. Teriakan wanita terakhir terhenti akibat letusan senjata api.

 

Seorang pria berdiri. Dia adalah pemain biola yang juga berperan sebagai pelaku pembantaian itu. Ujung biolanya berasap. Melihat tugasnya sudah selesai, ia pun berjalan santai melangkahi mayat para korbannya.

 

Namun, langkahnya terhenti. Tangan seorang pria tua memegang pergelangan kaki kirinya.

 

“Sudahlah, Tuan Hazerstein,” kata pemain biola, “semuanya sudah berakhir.”

 

“Kau salah.” Pria tua itu merintih. “Keturunanku akan membangkitkan kekuasaanku kembali.”

 

Si pemain biola menggaruk kepala. “Ya ... maaf, nih. Saya barusan habis bunuh semua anak-cucu sampai menantu Anda.”

 

Si pria tua tertawa di sela rintih sekaratnya. “Kelak, cucu terakhirku akn henhaom viss ....”

 

“Ngomong apa kebelet, sih?” Pemain biola mengarahkan ujung alat musiknya ke kepala pria tua, lalu menembak.

 

Tak ada lagi gerak dari si pria tua. Pemain biola menoleh, memastikan sisa kehidupan yang tersisa sudah habis. Aman. Ia lantas mengeluarkan sebuah map dari balik rompinya, lalu membaca isi dokumen dengan teliti.

 

“Hadeh ...,” keluhnya, “ternyata benar masih ada satu orang.”

 

***

 

Langit cerah dengan beberapa gumpal awan putih menghiasi, tapi suhunya tidak panas. Belum bising. Apartemen di tengah Kota Jurajura terlihat tenang karena penghuninya masih bersiap menyongsong pagi.

 

Di apartemen 307, seorang pria sudah rapi dengan kemeja biru, jeans hitam, dan sepatu kets putih mengkilap. Rambutnya rapi. Wajah oval kulit kuning langsat berhias senyum percaya diri.

 

“Una sayangku, aku berangkat!” ucapnya seraya menengok ke belakang memberi jempol.

 

“Hati-hati di jalan, Reza” balas istrinya yang berdaster merah muda, berdiri dengan senyum simpul.

 

Pria bermata kacang almond itu langsung paham melihat ekspresi wajah segitiga istri tercinta. Ia mendekat. Dipegangnya kedua pundak sang belahan jiwa, lalu memberi tatapan penuh semangat.

 

“Jangan khawatir, sayangku. Habis ini, gajiku cair. Kita akan pakai itu untuk mencukupi tabungan berlibur ke Swiss!”

 

Istrinya mengangguk, memberi senyuman lebar. “Terima kasih.”

 

Satu ciuman didaratkan ke pipi Una, lalu Reza pun berangkat dengan riang gembira.

 

Terjadilah keseharian Reza di kantor. Cukup normal. Sebagaimana seorang karyawan perusahaan, kegiatan pria itu tak jauh dari kertas, komputer, printer, dan stempel. Membosankan? Tidak juga. Ia diizinkan mendengar radio atau musik dari ponsel.

 

“... dan parahnya, tidak anggota keluarga Hazerstein yang selamat. Selanjutnya, prakiraan cuaca hari ini akan hujan deras. Para pendengar, jangan lupa bawa payung, ya!”

 

Reza berhenti mengetik. Ia menyempatkan diri melihat ke luar jendela. “Ngawur banget. Cerah begini, kok.”

 

Sebuah bungkusan hitam mendarat di meja Reza, membuatnya terkejut. Reza menoleh. Pelaku tindakan barusan adalah pria kurus bertatapan datar yang kini berdiri di hadapannya.

 

“Oleh-oleh dari wisata kemarin,” kata pria bertatapan datar, “kamu orang pertama yang kukasih.”

 

Reza mengambil dan membuka bungkusan dengan semangat. “Wah, terima kasih, Heru! Kamu memang teman terbaikku. Apa, nih?”

 

“Kerupuk testis babi.”

 

“Berantem, yuk!” Reza memiting leher Heru dengan kesal.

 

“Kan kamu sendiri yang cerita, istrimu belakangan ini sering diam! Aku pikir masalah ranjang, jadi kubelikan itu!”

 

Pemandangan itu seakan sudah biasa bagi karyawan lain, terbukti tak ada yang melerai. Malah mereka cekikikan. Pertengkaran jahil Reza dan teman kerjanya baru berakhir ketika sang direktur melintas.

 

“Reza, tolong ke ruangan saya,” titah Pak direktur.

 

Kesunyian dan AC super dingin menyambut ketika Reza membuka pintu. Direktur tampak tenang. Reza sendiri masih bisa menyengir, mengusir gugup karena mengira akan kena semprot akibat tingkahnya bersama Heru tadi.

 

Namun, ketika dipersilakan duduk, Reza malah mendengar celoteh aneh Pak direktur. Tidak kasar. Malah sebaliknya, perkataan Pak direktur terdengar bijak dan penuh motivasi. Hingga keluarlah satu kalimat yang menjadi inti pembicaraan.

 

“Kami sudah tidak bisa mempekerjakan kamu lagi, Reza.”

 

Reza terperanjat. Berbagai protes ia layangkan atas keputusan tidak adil dan sangat mendadak itu. Percuma. Lagi-lagi hanya pesan penyemangat yang keluar dari mulut Pak direktur. Ekspresi Reza berubah, keceriaannya sirna berganti stres.

 

“Loh, kok gitu?” Wajah datar Heru sedikit menunjukkan ekspresi terkejut setelah Reza menyampaikan berita.

 

“Aku juga gak tahu. Yang pasti aku gak bisa apa-apa sekarang.”

 

Kini ekspresi Heru kembali datar. Namun, tetap tersirat empati atas nasib sang rekan kerja. Ia menepuk pundak Reza yang sudah selesai beres-beres. “Semoga sukses di lain tempat, Bung.”

 

Reza hanya mengangguk dan tersenyum simpul. “Terima kasih.”

 

Dan Reza pun pergi. Berpisah meninggalkan teman-teman kantor dan kerupuk testis babi di meja kerja.

 

***

 

Awan mulai berkumpul membentuk satu gumpalan putih raksasa. Suhu masih hangat. Lalu lintas Kota Jurajura hanya berisi teriakan klakson dan muntahan polusi asap knalpot. Di dalam sebuah bus, Reza terduduk lesu. Wajahnya menunjukkan pikiran berkecamuk.

 

Reza tak sadar sepasang mata bulat di kursi belakang bus sedang menatap tajam padanya.

 

Di tengah kebingungan tentang masa depan Reza, bus berhenti di halte dekat sebuah pusat perbelanjaan. Ide darurat muncul. Reza segera turun, lalu memasuki pusat perbelanjaan yang ramai. Mungkin sebuah hadiah kecil bisa membantu bicara dengan Una, pikirnya.

 

Si pemilik mata bulat membuntuti Reza. Namun, kegiatan itu terhenti akibat pundak yang bersenggolan dengan seorang pria berkacamata hitam.

 

“Ah, sorry,” ucap pria berkacamata hitam itu.

 

Insiden kecil itu tak sampai lima detik. Namun, si pria bermata bulat lengah. Reza menghilang di dalam keramaian pusat perbelanjaan.

 

Sementara Reza sudah selesai melakukan transaksi. Ia membeli boneka sapi kecil berwarna biru. Menggemaskan. Tanpa berlama-lama, Reza membawa hadiah sederhana itu ke halte bus, lalu berangkat pulang.

 

Ketika tiba di depan tangga apartemen, Reza tak lantas menaikinya. Ia masih berdiri. Wajahnya murung. Ransel di punggung, tangan kanannya menenteng barang dari kantor, tangan kiri memegang hadiah untuk Una.

 

“Naik lift aja, ah,” demikian Reza memutuskan.

 

Tibalah Reza di depan apartemen 307, tempat tinggalnya. Koridor sepi. Reza tak perlu khawatir terhadap tetangga yang mungkin akan mengajukan banyak pertanyaan atas kepulangannya. Masalah utamanya masih menunggu di balik pintu.

 

Pintu dibuka pelan. Terlihat sandal Una masih tergeletak di lantai. Sengaja ia tak memanggil sang istri, karena memang belum tahu harus berkata apa meski sudah memegang hadiah. Ironis. Bukannya menerima gaji, malah mendapat pemecatan.

 

Reza melepas sepatunya, lalu berjalan pelan mencari Una. Ia menarik napas. Lelaki itu berusaha memasang senyum bahagia palsu di wajah ovalnya. Lantas kala ia menggapai ruang keluarga, tak ada siapa pun.

 

“Una?” panggil Reza setengah berbisik. Tak ada jawaban.

 

Reza kemudian mencari di dapur. Tidak ada. Toilet pun demikian. Hingga ketika Reza masuk ke kamarnya, barulah ia terbelalak

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status