Kilau berlian dan furnitur mahal ternoda oleh cipratan darah. Para tamu berpakaian elegan terkulai tak bernyawa di lantai dansa. Bau anggur tercampur aroma amis. Teriakan wanita terakhir terhenti akibat letusan senjata api.
Seorang pria berdiri. Dia adalah pemain biola yang juga berperan sebagai pelaku pembantaian itu. Ujung biolanya berasap. Melihat tugasnya sudah selesai, ia pun berjalan santai melangkahi mayat para korbannya. Namun, langkahnya terhenti. Tangan seorang pria tua memegang pergelangan kaki kirinya. “Sudahlah, Tuan Hazerstein,” kata pemain biola, “semuanya sudah berakhir.” “Kau salah.” Pria tua itu merintih. “Keturunanku akan membangkitkan kekuasaanku kembali.” Si pemain biola menggaruk kepala. “Ya ... maaf, nih. Saya barusan habis bunuh semua anak-cucu sampai menantu Anda.” Si pria tua tertawa di sela rintih sekaratnya. “Kelak, cucu terakhirku akn henhaom viss ....” “Ngomong apa kebelet, sih?” Pemain biola mengarahkan ujung alat musiknya ke kepala pria tua, lalu menembak. Tak ada lagi gerak dari si pria tua. Pemain biola menoleh, memastikan sisa kehidupan yang tersisa sudah habis. Aman. Ia lantas mengeluarkan sebuah map dari balik rompinya, lalu membaca isi dokumen dengan teliti. “Hadeh ...,” keluhnya, “ternyata benar masih ada satu orang.” *** Langit cerah dengan beberapa gumpal awan putih menghiasi, tapi suhunya tidak panas. Belum bising. Apartemen di tengah Kota Jurajura terlihat tenang karena penghuninya masih bersiap menyongsong pagi. Di apartemen 307, seorang pria sudah rapi dengan kemeja biru, jeans hitam, dan sepatu kets putih mengkilap. Rambutnya rapi. Wajah oval kulit kuning langsat berhias senyum percaya diri. “Una sayangku, aku berangkat!” ucapnya seraya menengok ke belakang memberi jempol. “Hati-hati di jalan, Reza” balas istrinya yang berdaster merah muda, berdiri dengan senyum simpul. Pria bermata kacang almond itu langsung paham melihat ekspresi wajah segitiga istri tercinta. Ia mendekat. Dipegangnya kedua pundak sang belahan jiwa, lalu memberi tatapan penuh semangat. “Jangan khawatir, sayangku. Habis ini, gajiku cair. Kita akan pakai itu untuk mencukupi tabungan berlibur ke Swiss!” Istrinya mengangguk, memberi senyuman lebar. “Terima kasih.” Satu ciuman didaratkan ke pipi Una, lalu Reza pun berangkat dengan riang gembira. Terjadilah keseharian Reza di kantor. Cukup normal. Sebagaimana seorang karyawan perusahaan, kegiatan pria itu tak jauh dari kertas, komputer, printer, dan stempel. Membosankan? Tidak juga. Ia diizinkan mendengar radio atau musik dari ponsel. “... dan parahnya, tidak anggota keluarga Hazerstein yang selamat. Selanjutnya, prakiraan cuaca hari ini akan hujan deras. Para pendengar, jangan lupa bawa payung, ya!” Reza berhenti mengetik. Ia menyempatkan diri melihat ke luar jendela. “Ngawur banget. Cerah begini, kok.” Sebuah bungkusan hitam mendarat di meja Reza, membuatnya terkejut. Reza menoleh. Pelaku tindakan barusan adalah pria kurus bertatapan datar yang kini berdiri di hadapannya. “Oleh-oleh dari wisata kemarin,” kata pria bertatapan datar, “kamu orang pertama yang kukasih.” Reza mengambil dan membuka bungkusan dengan semangat. “Wah, terima kasih, Heru! Kamu memang teman terbaikku. Apa, nih?” “Kerupuk testis babi.” “Berantem, yuk!” Reza memiting leher Heru dengan kesal. “Kan kamu sendiri yang cerita, istrimu belakangan ini sering diam! Aku pikir masalah ranjang, jadi kubelikan itu!” Pemandangan itu seakan sudah biasa bagi karyawan lain, terbukti tak ada yang melerai. Malah mereka cekikikan. Pertengkaran jahil Reza dan teman kerjanya baru berakhir ketika sang direktur melintas. “Reza, tolong ke ruangan saya,” titah Pak direktur. Kesunyian dan AC super dingin menyambut ketika Reza membuka pintu. Direktur tampak tenang. Reza sendiri masih bisa menyengir, mengusir gugup karena mengira akan kena semprot akibat tingkahnya bersama Heru tadi. Namun, ketika dipersilakan duduk, Reza malah mendengar celoteh aneh Pak direktur. Tidak kasar. Malah sebaliknya, perkataan Pak direktur terdengar bijak dan penuh motivasi. Hingga keluarlah satu kalimat yang menjadi inti pembicaraan. “Kami sudah tidak bisa mempekerjakan kamu lagi, Reza.” Reza terperanjat. Berbagai protes ia layangkan atas keputusan tidak adil dan sangat mendadak itu. Percuma. Lagi-lagi hanya pesan penyemangat yang keluar dari mulut Pak direktur. Ekspresi Reza berubah, keceriaannya sirna berganti stres. “Loh, kok gitu?” Wajah datar Heru sedikit menunjukkan ekspresi terkejut setelah Reza menyampaikan berita. “Aku juga gak tahu. Yang pasti aku gak bisa apa-apa sekarang.” Kini ekspresi Heru kembali datar. Namun, tetap tersirat empati atas nasib sang rekan kerja. Ia menepuk pundak Reza yang sudah selesai beres-beres. “Semoga sukses di lain tempat, Bung.” Reza hanya mengangguk dan tersenyum simpul. “Terima kasih.” Dan Reza pun pergi. Berpisah meninggalkan teman-teman kantor dan kerupuk testis babi di meja kerja. *** Awan mulai berkumpul membentuk satu gumpalan putih raksasa. Suhu masih hangat. Lalu lintas Kota Jurajura hanya berisi teriakan klakson dan muntahan polusi asap knalpot. Di dalam sebuah bus, Reza terduduk lesu. Wajahnya menunjukkan pikiran berkecamuk. Reza tak sadar sepasang mata bulat di kursi belakang bus sedang menatap tajam padanya. Di tengah kebingungan tentang masa depan Reza, bus berhenti di halte dekat sebuah pusat perbelanjaan. Ide darurat muncul. Reza segera turun, lalu memasuki pusat perbelanjaan yang ramai. Mungkin sebuah hadiah kecil bisa membantu bicara dengan Una, pikirnya. Si pemilik mata bulat membuntuti Reza. Namun, kegiatan itu terhenti akibat pundak yang bersenggolan dengan seorang pria berkacamata hitam. “Ah, sorry,” ucap pria berkacamata hitam itu. Insiden kecil itu tak sampai lima detik. Namun, si pria bermata bulat lengah. Reza menghilang di dalam keramaian pusat perbelanjaan. Sementara Reza sudah selesai melakukan transaksi. Ia membeli boneka sapi kecil berwarna biru. Menggemaskan. Tanpa berlama-lama, Reza membawa hadiah sederhana itu ke halte bus, lalu berangkat pulang. Ketika tiba di depan tangga apartemen, Reza tak lantas menaikinya. Ia masih berdiri. Wajahnya murung. Ransel di punggung, tangan kanannya menenteng barang dari kantor, tangan kiri memegang hadiah untuk Una. “Naik lift aja, ah,” demikian Reza memutuskan. Tibalah Reza di depan apartemen 307, tempat tinggalnya. Koridor sepi. Reza tak perlu khawatir terhadap tetangga yang mungkin akan mengajukan banyak pertanyaan atas kepulangannya. Masalah utamanya masih menunggu di balik pintu. Pintu dibuka pelan. Terlihat sandal Una masih tergeletak di lantai. Sengaja ia tak memanggil sang istri, karena memang belum tahu harus berkata apa meski sudah memegang hadiah. Ironis. Bukannya menerima gaji, malah mendapat pemecatan. Reza melepas sepatunya, lalu berjalan pelan mencari Una. Ia menarik napas. Lelaki itu berusaha memasang senyum bahagia palsu di wajah ovalnya. Lantas kala ia menggapai ruang keluarga, tak ada siapa pun. “Una?” panggil Reza setengah berbisik. Tak ada jawaban. Reza kemudian mencari di dapur. Tidak ada. Toilet pun demikian. Hingga ketika Reza masuk ke kamarnya, barulah ia terbelalakDesahan penuh kenikmatan menggema di kamar itu. Tak ada ronta. Hanya dua tubuh polos bergumul saling menyebut nama. Reza hanya berdiri di ambang pintu, mengamati dengan wajah yang menunjukkan hati hancur.Bungkusan kado terjatuh. Bunyinya cukup untuk membuat Una dan sang pria asing menoleh. Keduanya terkejut melihat Reza. Sang selingkuhan buru-buru keluar kamar, sedangkan Una segera menyembunyikan tubuh polosnya dengan selimut.“Reza?” Una menyibak pinggir rambut pendeknya. “Kok kamu udah pulang?”“Ceritanya panjang,” jawab Reza dengan tatapan hampa. “Tapi entahlah, Una. Bisa jadi punya selingkuhanmu lebih panjang lagi.”“Apanya?” Una mulai gemetar.“Penderitaannya.” Reza menunduk. “Kenapa, Una? Kenapa kamu setega ini?”Untuk beberapa saat, kamar itu dikuasai keheningan. Tangan Reza mengepal. Namun, harinya sudah cukup buruk. Ia mengambil napas panjang, mengangkat kepala, berpikir untuk melanjutkan sisa hari dengan senyum tulus memaafkan.“Ini semua salah kamu!” bentak Una, membuat Re
Naluri pertahanan diri Reza kembali memuncak. Ia mundur. Sadar bahwa di belakangnya hanya ada tembok, Reza lantas mengambil sebuah balok kayu yang kebetulan ada di sana. Sementara sang sosok misterius kian mendekat perlahan.“Jangan mendekat!” pekik Reza sambil mengacungkan balok.Sosok itu memakai jas hujan hitam, sehingga wajahnya tak terlalu kelihatan. Wajar jika Reza takut. Melihat balok terayun di bawah hujan, sang sosok misterius pun menghiraukan peringatan Reza dan berhenti melangkah.“Tenang, Tuan Hazerstein,” kata sosok itu, “saya tidak akan menyakiti Anda.”Kening Reza mengerut. Sang sosok misterius membuka tudung jas hujannya, menampakkan pria berwajah lonjong dihias rambut pirang klimis, serta mata bulat dan hidung mancung.“Siapa?” tanya Reza sambil menyipitkan mata.Sosok itu menunduk, memegangi dada. “Saya Felix Nacht, pelayan setia—”“Bukan, bukan!” Reza menunjuk. “Maksudku, kamu tadi ngomong sama siapa?”Pria mancung itu berkedip, lalu cengengesan. Ia kembali melangka
Washington DC, Amerika Serikat, 12.44 waktu setempatSi pria gundul berkeriput kembali memberi kode. Pelayan datang. Kali ini benda yang diminta sang majikan adalah ponsel lain, dan itu yang muncul. Setelah pria gundul mengambil ponsel, pelayan pun pergi.Kesenangan kecil berlanjut. Jus jeruk disesap. Pria gundul menekan nomor pada alat komunikasi. Ia hanya tersenyum ketika sang cucu melambai dari kolam renang, lalu lanjut menempelkan ponsel ke telinga.Jurajura, Indonesia, 23.44 waktu IndonesiaKamar hotel itu remang, hanya diterangi lampu tidur. Sunyi. Kacanya menampakkan langit gelap berhiaskan gemerlap kota. Dua insan telanjang di balik selimut saling berpelukan setelah bergumul melepas nafsu.Ponsel di meja lampu berdering. Pria berwajah kotak itu bangun untuk mengangkatnya. “Hello, it’s Mario .... Oh, Tuan Anderson! Senang mendengar kabar Anda.” Percakapan terus berlangsung. Namun, seiring waktu telepon, wajah Mario berubah serius dan sesekali mengangguk. “Tentu, tentu, akan ku
“Tuan Reza!”Felix segera berlari menarik tubuh majikannya. Tepat waktu. Untung saja pelayan itu berinisiatif membawakan makanan penambah mood. Jika tidak, Reza pasti sudah tewas akibat terjun dari ketinggian 30 meter.“Lepaskan aku, Felix!” Reza meronta layaknya anak kecil. “Hidup tanpa Una tidak ada gunanya!”“Anda ini keturunan orang yang membuat kekacauan ekonomi di Asia dua dekade lalu! Kenapa harus bersedih hanya karena satu wanita?!”“Perkataanmu gak ada bagus-bagusnya, terutama bagian kekacauan ekonomi Asia!” Dan menangislah Reza seperti bocah kehilangan mainan.Agak sulit, tapi akhirnya sang pelayan berhasil menjauhkan majikannya dari jendela. Felix terengah. Sementara Reza meringkuk di samping ranjang, masih menangis. Melihat kondisi itu, lagi-lagi Felix hanya bisa menghela napas.“Tuan Reza, suka atau tidak, meneruskan dinasti keluarga ini adalah takdir Anda. Makanya, Anda harus tegar.”Reza masih tersedu. “Kamu pelayan setia yang kerjanya mengabdi pada keluarga ini. Mana m
“Feeeliiix!” teriak Reza ketakutan seraya menggedor-gedor jeruji.Sementara Felix berdiri sekitar sepuluh meter dari pintu. Wajahnya tenang melihat sang majikan yang pucat. “Sebaiknya Anda mulai bertindak, Tuan.”Bersamaan dengan saran itu, terdengar suara air meluap. Reza menoleh. Seekor buaya sudah keluar dari kolam dan perlahan merayap di tepian. Kian ketar-ketirlah si pria berwajah oval.“Hei, Felix! Kamu bodoh, ya? Bukannya aku dikirim ke sini untuk meneruskan takhta Hazerstein? Lalu kenapa aku harus melakukan aksi mematikan ini?! Lagi pula apa yang sebenarnya harus kulakukan?!”Felix pura-pura tersipu. “Ah, maafkan saya, Tuan Reza. Saya lupa memberitahu. Tugas Tuan adalah berenang ke dasar kolam untuk mencari kunci cadangan dan membuka pintu ini. Jika berhasil, maka Tuan Reza sudah resmi menjadi penerus keluarga Hazerstein.”Reza ingin melanjutkan aksi protesnya. Namun, reptil yang melata keluar dari air kini bertambah jadi tiga ekor. Waktunya sempit. Sepertinya Reza tidak punya
Una menjatuhkan kumpulan tas belanjaannya karena kehadiran sosok pria berekspresi datar. Heru. Agak mengherankan bagi Una sebab pria itu seakan angin yang tiba-tiba muncul tanpa suara. Terutama karena Heru memakai tongkat kruk yang notabene harusnya berbunyi.“S-siapa, ya?”“Nama saya Heru. Saya teman kerjanya Reza, Mbak.”Mendengar nama suaminya disebut, Una pun memberi tatapan sinis. “Mau apa?”“Saya lihat berita kalau Reza jadi teroris. Saya cuma mau memastikan kebenarannya. Soalnya ... justru Reza yang menolong ketika saya ditembak orang tak dikenal.”Una terbeliak. “Ditembak?!” “Iya. Saya masih sempat melihat Reza dikejar seseorang. Kondisi saya begini juga pasti gara-gara tembakannya salah sasaran.”Sempat ada simpati melihat keadaan Heru. Namun, mereka sedang membicarakan Reza. Kurang dari tiga detik, ekspresi Una kembali sinis, membuang wajah ke pintu. “Wajar, sih. Dia teroris. Paling juga polisi yang menembak.”Wajah Heru tetap datar, tapi ada desakan dari nada bicaranya. “J
Mata Una mendadak terbuka. Ia menemukan boneka sapi biru masih setia tersenyum. Cahaya putih juga mulai menyeruak lewat jendela. Sudah pagi. Ternyata sedikit kilas itu tanpa sengaja membawa Una terlelap melangkahi malam.Una meregangkan badan. Mood bangun paginya yang kosong lantas terisi gelisah ketika kembali mengarahkan pandangannya ke boneka sapi. Wajahnya menyiratkan pertentangan hati dan otak, memperdebatkan apakah keputusannya sudah benar.Lalu Una bangun. Ia membiarkan boneka sapi tergeletak di kasur. Ketimbang terbawa lamunan, sebaiknya bergerak membuat sarapan. Una memasak, kali ini untuk dirinya sendiri. Santap paginya ditemani satu kursi kosong di meja makan.Bel berbunyi, dan entah mengapa membuat Una antusias. Una bergegas. Ia masih semringah ketika membuka pintu. Namun, senyum itu hilang kala menemukan kehadiran pria yang sama sekali tidak ia kenal.“Una Martadinata?” Pria itu menunjukkan lencana. “Ikut kami ke kantor, kami punya beberapa pertanyaan.”*** Matahari bers
Karet roda raksasa akhirnya menyentuh landasan bandara Kota Zurich, Swiss. Sudah petang. Perjalanan delapan belas jam tanpa transit menyisakan lelah meski para penumpang hanya bersandar di kursi.Lampu kabin menyala. Tampaklah wajah seluruh penumpang, termasuk Una yang menyandarkan kepala di bahu Mario. Dari bandara, mereka menuju hotel dan menghabiskan malam dengan saling memberi kasih.Lalu lagi-lagi dering ponsel yang memecah dekap dini hari dua sejoli itu. Mario mengangkatnya.“What the hell are you doing?” cecar suara dari ujung telepon.“Excuse me?”“Aku menyuruhmu mencari lalu menyingkirkan bocah Hazerstein, tapi kau malah berlibur ke Swiss dengan pacarmu?!”Seketika mata Mario kembali segar. “A-aku sedang mengusahakannya, Mister Anderson. Aku ke sini juga untuk sekalian memeriksa jejak Hazerstein dari aset-asetnya.”“Sebaiknya kau tidak main-main, Mario. Aku bisa tahu ke mana kau pergi, dan bisa meruntuhkan perusahaanmu kapan saja.”Telepon berakhir. Hanya gerutu yang keluar da