Share

Sebuah pilihan

Gisella Widi, gadis jangkung itu melangkah pelan hendak keluar kamar. 

Matanya memindai setiap sudut ruangan. Saat yakin semua aman, Ia lalu berjalan keluar kamar dan matanya tak henti menyisir sekitar.

Ruangan terang benderang, akan tetapi tak ada satupun orang di ruangan itu. 'Ke mana semua orang?' gadis itu bertanya-tanya dalam hatinya.

Wuzzzhhh!

Gisella Widi yang biasa di panggil Widi saat berada di rumah dan Gisella saat berada di tempat kerja itu mematung saat merasakan tubuhnya seperti di terpa angin yang cukup kencang.

Bulu kuduknya meremang seperti merasakan hal yang tak biasa. Lirih terdengar alunan suara nyanyian di luar dengan dentingan sayup-sayup gamelan.

Widi mempertajam pendengarannya. Kidung itu terdengar menyedihkan mesti Widi tak tau artinya.

"Apakah di sekitar sini ada pesta? mengapa di waktu malam menjelang subuh masih terdengar lantunan lagu?" Widi bertanya pada dirinya sendiri.

Pluk!

"Astaga!" Widi tersentak saat merasakan bahunya ditepuk pelan dari belakang. 

Refleks Widi berpaling dan wajah nya tanpa sengaja menyentuh sesuatu yang keras di hadapannya.

Widi mematung beberapa saat, jantungnya berdegup kencang saat melihat pemandangan indah tercipta di hadapannya saat ini.

Dada bidang yang terekspose saat kemeja itu terbuka, menimbulkan rasa kagum di dirinya. 

"Bagaimana? Kau menerima tawaranku?" suara seseorang itu seketika menyadarkan Widi. Ia mengangkat wajahnya dan menatap lelaki bergodek tipis yang sedang melihatnya. 

Ekspresinya datar dan dingin. Sedikitpun lelaki itu tak tersenyum. Hanya matanya yang menatap nyalang.

Widi mundur beberapa langkah dan memutar tubuh. Ia berjalan ke arah kamar dan mengambil Map yang sudah di tanda tangani.

Wuzzhh!

Lagi-lagi terjadi sesuatu hal yang aneh. Widi merasakan ada sesuatu yang melewati dirinya. Meski tak tampak wujudnya, Widi merasakan keganjilan.

Bau bunga kantil seketika menyeruak di ruangan. Widi kembali mematung. Bingung dan juga takut. Rasanya ragu saat akan mengambil Map yang ada di atas tempat tidur.

"Kenapa hanya berdiri di sini? apa ada sesuatu yang mengganggumu?"

Widi terjingkat saat mendengar suara bariton di balik punggungnya. Jantungnya berdegup kian kencang bukan hanya karena terkejut dengan suaranya, tapi tubuh pria itu begitu dekat dan nyaris menempel di punggungnya, hingga hawa panasnya menciptakan kehangatan.

Baru kali ini Ia merasakan hal yang begitu aneh pada tubuhnya. Ia yang biasa hambar pada lelaki, merasa jika lelaki ini berbeda.

"Oh, i--ini, aku merasakan ada sesuatu yang melewatiku, tapi tak ada apa-apa. Aku yakin jika ada seseorang yang melewatiku barusan," Widi menarik dan menghembuskan napasnya sesering mungkin untuk menormalkan debaran dadanya yang berdegup kian kencang.

Aroma parfum Axis menguar mengalahkan bau kantil yang sejak tadi memenuhi ruangan.

Tap!

Laki-laki itu begitu saja menggenggam lengan Widi dan membawanya ke arah ranjang.

Widi semakin tak karuan, pikirannya di penuhi pikiran kotor. Apalagi melihat ranjang lebar dengan seprei indah yang membentang diatasnya.

Saat sampai di bibir ranjang laki-laki itu memutar tubuh Widi. Gadis itu hanya membeku dan menatap dada bidang itu.

Ia tak berani untuk menatap mata laki-laki yang terlihat dingin terhadapnya.

Laki-laki itu kemudian menekan bahu Widi, hingga gadis itu terduduk di atas ranjang.

Widi memejamkan matanya saat laki-laki itu perlahan menunduk dan menurunkan tubuhnya, ia bersiap-siap jika laki-laki itu nanti akan mengeksekusi tubuhnya sama seperti laki-laki lain di luar sana.

Ia menunggu beberapa saat tapi laki-laki itu tak jua menyentuh tubuhnya, perlahan Widi membuka matanya dan melihat laki-laki itu sudah berdiri dengan map di tangannya. Ia membolak-balikkan kertas di map tersebut, seperti memperhatikan isinya.

Wajah Widi seketika memerah, kenyataan di luar ekspektasinya. Ia pun membuang wajahnya saat bersih tetap dengan laki-laki di hadapannya itu.

"Kenapa? kau jangan berpikiran macam-macam, Aku tidak akan menyentuh tubuhmu jika kau tidak memintaku," laki-laki itu dengan santai berpaling dan duduk di kursi tak jauh dari Widi.

Widi tak menjawab. Jujur ia merasa malu dan juga kesal karena baru kali ini ia diacuhkan laki-laki.

"Kau sudah menandatangani perjanjian ini, berarti kau sudah menyetujui semua konsekuensi yang ada di dalam kertas ini, kan,"  laki-laki itu dengan santai menyeruput air minum yang berada di atas nakas. Ia mengambil beberapa butir anggur dan mengunyahnya.

"Sebenarnya apa tujuanmu menikah denganku?" Widi akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Sejujurnya ia malas untuk membaca poin demi poin yang terkandung dalam kertas selembar yang tadi sempat ia tanda tangani.

"Apa tujuanku itu tidak penting untukmu, sekarang kau telah menandatangani perjanjian ini, itu berarti kau sudah menjadi milikku. Suka tidak suka, mau tidak mau kau sudah berada di bawah kakiku saat ini," dengan suara tegas laki-laki itu pun berdiri dan berlalu dari hadapan Widi.

Gadis itu hanya termangu dan tak mampu berbuat apa-apa. Seketika sesal merajai hatinya. Apa yang telah dia perbuat? mengapa bisa dengan bodohnya menandatangani surat itu tanpa membacanya terlebih dahulu? 

Hanya karena terpikat ketampanan laki-laki yang baru saja ia temui beberapa menit belakangan.

Widi menepuk kasur dengan kesal. Ia lalu merebahkan tubuhnya dengan kasar. Memejamkan matanya, karena kepalanya tiba-tiba terasa berat.

"Sial!!!"

***

Seperti yang tertera pada surat perjanjian yang telah Ia tanda tangani, Widi akhirnya terbebas dari jeratan hutang yang selama ini menghimpitnya.

Andita--ibu tiri Widi menatap anaknya dengan intens. Widi yang saat itu sedang mengemas bajunya menghentikan aktivitasnya. 

Ia menoleh ke arah Andita dan tersenyum manis padanya. Senyuman yang terkesan dipaksakan itu membuat Andita semakin merasa jika saat ini anak tirinya itu sedang tidak baik-baik saja.

Meski Andita hanya ibu tiri tapi ia mempunyai ikatan batin yang kuat kepada Widi.

Sejak remaja Widi sudah ia rawat seperti layaknya anak sendiri. Ia begitu mencintai Widi dengan sepenuh hatinya.

"Kau yakin akan segera menikah dengan Heru Prasetyo, pengusaha kuliner itu, Wid?" Tanya Andita seraya mendekat ke arah Widi dan duduk di samping gadis itu.

"Ya, Mommy. Bagaimanapun Mas Heru telah menepati janjinya untuk membayar semua hutang-hutang kita, Mommy tak perlu  lagi bekerja seperti ini, karena Widi sudah meminta Mas Heru untuk memberikan Mommy uang bulanan," Widi berusaha menepis perasaan gundah yang kini merajai hatinya, Ia mengulas senyum selebar mungkin untuk membuat mommynya itu yakin jika dirinya baik-baik saja.

"Mommy masih merasa ragu, Wid, kenapa laki-laki itu bersikeras ingin menikah denganmu, sedangkan Mommy tidak pernah melihat laki-laki itu datang ke tempat kita. Dari mana ia tahu tentang dirimu, Wid?"

Widi ingin sekali menjelaskan, tapi ia pun tak tahu apa yang ingin Ia ungkapkan. Heru seperti menutup rapat rahasia dalam dirinya.

Saat Widi ingin berucap, tiba-tiba terdengar suara klakson mobil yang sangat kencang dari luar rumahnya. Widi tahu itu adalah mobil dari Heru Prasetyo yang telah sampai dan ingin menjemputnya.

"Mom, besok datang ya, kepernikahan Widi," gadis itu menatap ibu tirinya dengan penuh harap.

Andita mengangguki. Ia tak mampu menahan sesak di dadanya. Air matanya tumpah begitu saja. Ia memeluk tubuh Widi erat, tapi tak berlangsung lama karena bunyi klakson berulang kali menggema di luar.

Dengan perasaan kesal Widi akhirnya mengurai pelukannya dan mencium pipi mommynya dengan sayang.

"Widi pergi Mom, berhati-hatilah di rumah, Widi sayang Mommy. Terima kasih sudah menyayangi Widi dengan sepenuh hati selama ini, Mom,"

Andita mengangguk pelan dan mengusap air mata yang tadi sempat tumpah. Ia kemudian menemani Widi hingga di ambang pintu depan rumahnya.

Sopir membuka pintu begitu melihat Widi sudah berada di luar, sedangkan Heru hanya bermain smartphone dan mengacuhkan Widi dan juga Mommynya. 

Widi tak enak hati, berpamitan kepada Andita untuk yang terakhir kali. 

Andita melepas kepergian Widi hingga mobil itu melaju kencang dan hilang depan dari pandangannya.

Sedangkan di dalam mobil, Widi berdecak kesal melihat ke arah Heru yang sama sekali tak menyapanya.

"Kamu jangan terlalu banyak berpikir, jalani saja pernikahan ini sesuai dengan yang aku mau," ujar Heru tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari gadget miliknya.

"Maksudmu apa?"

"Persiapkan saja dirimu karena malam ini juga kita akan menikah,"

"Apa? malam ini?"

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status