Share

Kontrak Benih Sang Kupu-kupu Malam
Kontrak Benih Sang Kupu-kupu Malam
Author: Prima_Alpi

Bab 1. Diam-diam Memperhatikanku

"Satu jam berapa, Neng?" Seorang pria dewasa mendekat padaku.

"Enam puluh menit?" Aku pura-pura tak paham.

"Maksud saya tarif kamu!" Pria itu nampak kesal.

Aku menyunggingkan senyuman mengejek. "Oh, mohon maaf, Pak. Mungkin anda tidak akan mampu."

"Cih! Jual mahal!"

"Kalau mau jual murah Bapak pake aja ayam, seekor cuman empat puluh ribuan di pasar."

"Sialan!"

Prang!

Suara makian diiringi gelas yang pecah di hadapan, menandakan emosi pria tua maju ke depan. Emosinya semakin meluap ke level paling tinggi.

"Kalau gitu bersihin sepatu saya! Kalau kamu ngak jual diri, berarti ngebabu di sini!" cibirnya padaku.

"Emang iya, tapi saya bukan ngebabu buat situ." Kuinjak kaki lelaki tak tahu diri itu, kemudian berlalu pergi.

Ternyata benar apa yng dikatakan salah satu novel karya khalid hussaeini yang berjudul A thaousand splendid suns, "Seperti jarum kompas yang selalu menunjuk ke arah utara seperti itu pula telunjuk lelaki Yang terus menunjuk wanita

Hanya karena terlahir sebagai seorang pemimpin Mereka seolah bisa mengendalikan segalanya."

Ini bukan pertama kalinya mereka terang-terangan merendahkanku. Aku selalu terbiasa dengan cibiran semacam itu.

Apa yang mereka katakan memang benar, walau tak sepenuhnya demikian. Aku bekerja di sebuah rumah bordir yang dikelola, Tante Alisha. Sejak saat itu pandangan orang tak lagi sama, karena berpikir, Aku menjajakan diri pada siapa saja.

Nyatanya aku sedikit berbeda dari anak-anak Tante Alisha yang lainnya. Aku dipercaya sebagai tangan kanannya. Tak pernah dipaksa untuk melayani para bandot tua berkantong tebal, yang biasa menunjuk wanita yang di sukai yakni hanya batang yang dipajang di etalase toko.

Aku berbeda karena bisa menerima dan memilih hanya lelaki yang rela membayar mahal dan memperlakukanku selayaknya manusia, karena tak jarang PSK diperlakukan bak binatang, bisa dianiaya bahkan diludahi seenaknya.

Hal yang membuatku berbeda karena menurut kebanyakan orang penampilanku bak magnet yang mampu menjerat mangsa seperti ikan terjebak dalam kail jerat. Sekali dapat, langsung sekarat. bahkan bukan satu dua kali pelanggan yang pernah kulayani kembali lagi.

Tak peduli berapa banyak kocek yang mereka keluarkan. Namun, prinsipku tetap sama, pantang menerima orang yang sama untuk yang kedua kalinya. Karena bila mereka mampu membeliku, kelak mereka memperbudakku. Itulah alasan kenapa disini aku lebih banyak waktu menjajakan botol minuman, daripada menjajakan diriku.

Tapi aku cukup bangga, karena setidaknya harga diriku bernilai, dari pada wanita diluar sana yang rela ditiduri hanya karena omong kosong cinta.

"Ala!" Suara tante Alisha menarikku dari lamunan singkat.

Diatas kursi kebesarannya kulihat wanita bertubuh tambun dan berkulit putih itu tengah menghitung uang yang sudah dipastikan puluhan sampai ratusan juta jumlahnya, bersama pria jangkung berambut pirang.

"Ya, Tan?" Aku duduk diantara mereka.

"Kata Roy, hampir seminggu ini ada cowok yang memperhatikan kamu," ujar Tante Alisha membuka percakapan.

Aku mengerutkan kening.

"Kalau dia punya duit, seharusnya tinggal bilang. Ngapain hanya cuma memperhatiin dari kejauhan?" Tanyaku sambil melipat tangan.

"Mungkin dia naksir, tapi nggak kesampean!" Sahut Roy sembari terkekeh geli.

"Hampir tiap hari selama seminggu ini dia duduk di tempat yang sama, merhatiin lo bulak-balik nganter minuman. Coba kasih diskon, Beb. Bukannya hampir dua minggu lo nggak ada pelanggan? Turunin dikit budgetnya, lah. Sayang, loh orangnya cakep nggak ketulungan."

Aku memutar bola mataku, lalu menoyor kepalanya.

"Bodo amat kalau pun dalam sebulan gue nggak punya pelanggan. Mendingan gue cuciin sepray bekas pipis enak para bangkotan, dari pada harus nurunin standard," tegasku.

"Astaga! Alara makin ke sini, makin ke sana dia."

Aku hanya mengedikkan bahu menanggapi ucapan Roy, sementara Tante Alesha hanya bisa tertegun menatapku dalam senyum getirnya karena dia tahu pasti apa alasanku memegang teguh prinsip itu.

Pusat kota dengan segala gemerlapnya tak selalu tampak sama

Di mata tiap orang melihatnya sisi kelam kehidupan di Jakarta jelas jauh lebih keras daripada yang orang-orang di luar sana kira.

Aku pernah merasakannya. Aku pernah menjadi orang yang sangat lemah disekolah, di rumah, di kantor polisi, bahkan di bawah selimutku sendiri, aku merasakan ketakutan yang mencekam.

Sampai akhirnya aku menemukan satu-satunya tempat berlindung seseorang yang kupikir rumah rupanya lebih menyeramkan dari penjara.

Dari sanalah aku mulai membenci lelaki, tapi sialnya justru hidupku dikelilingi banyak lelaki. Ketika dunia yang anggap orang hina, justru kujadikan tempat pelipur lara.

Tak ada yang sepenuhnya menerima aku. Mereka maupun orang-orang di luar sana. Kita bisa karena sudah terbiasa.

"Apa lo bakal terus-terusan begini?" Pertanyaan itu kembali menarikku dari lamunan. Di sampingku kini tengah duduk seorang lelaki bertubuh tinggi kekar dengan tato melingkar dipergelangan tangan.

Akan tetapi penampilannya gemulai. Kaos dan celana jeans yang melekat di tubuh besar itu tetap tak bisa menyembunyikan jati dirinya yang sebenarnya.

"Apa lo mau terus-terusan begitu?"

Aku membalikan pertanyaan sembari menatapnya dari atas ke bawah.

Roy menghela nafas, lalu membuang muka. Dia tenggak habis bir yang tersisa di gelas kecil dalam genggaman tangannya.

Aku tertawa mendengar gawurnya.

"Nggak usah ngimpi! selera gue tinggi. Jangankan yang setengah jadi yang benar-benar lekik aja gue jijik," ejekku.

"Cewek sarap!" cibir Roy.

"Bodo amat." Aku bahkan sudah tak perduli.

"Lo kalau ngomong bisa gak pake gula dikit?"

"Kenapa emang?" Aku mengernyitkan dahi.

"Kepedasan!"

Lagi-lagi aku tertawa dibuatnya memang cuma Roy yang bisa menghiburku disaat-saat paling sulit sekalipun.

"Kalau Lo mau benar-benar berhenti harusnya nggak perlu balik ke sini. Sekarang hidup Lo yang nentuin, Ala. Nggak ada lagi yang maksa Lo. Buat ngelakuin hal yang Lo benci."

Aku menoleh menatapnya.

"Apa gue punya pilihan?" Aku menunjuk diri sendiri.

"Semua orang punya pilihan. Lo cuma perlu nunggu kapan kesempatan datang." Roy menyambar roko yang terselip diantara kedua jariku lalu menyesapnya dalam.

"Kalau duit bisa nongol cuma modal gosok pantat panci. Gue nggak perlu nunggu kesempatan datang." Kuambil kembali setengan puntung roko yang tengah di sesapnya.

"Selalu ada jalan, kalau Lo percaya takdir tuhan."

Senyumku tersungging miring.

"Tuhan! Gue bahkan nggak yaki

n apa masih punya sedikit keyakinan."

Roy bergeming, dia menatapku prihatin. Selalu seperti itu tiap kali kukatakan bahwa kepercayaanku pada Tuhan makin hari makin memudar.

Entah, berjalan begitu saja ketika kupikir Tuhan hanya diam saja menyaksikan begitu hanya kekejaman menimpaku di masa lampau.

"Lo tahu, Nggal Ala? Titik terendah dalam kehidupan bukan saat lo pengen banget bunuh diri, tapi saat lo nggak percaya lagi sama tuhan." Nasihat Roy.

Aku terbungkam lalu memalingkan pandangan. Kutandaskan minuman yang tersisa dalam gelas di hadapan.

"Nggak usah ceramahin gue tentang keyakinan, gue bukannya nggak percaya, cuma belum nemu jalannya " risih Alara.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Widi.P
Semangat thoorr, Kereennn recomend .
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status