"Bagaimana? Apa kau yakin akan melakukan ini?"
Tangan itu menelusuri pipi mulus sang gadis yang tengah gemetar ketakutan.Baru pertama kali dalam hidupnya Anyelir disentuh oleh seorang pria. Suasana di kamar itu cukup gelap hingga ia tak bisa melihat dengan jelas siapa lelaki yang kini tengah berada di atas tubuhnya.Sinar temaram ini hanya berasal dari lampu balkon hotel yang menerobos masuk melalui celah gorden. Hanya siluet tubuh pria tegap ini yang bisa ia lihat.Yang jelas Anyelir sangat ketakutan dengan pengalaman pertamanya ini.Suasana terasa begitu mencekam bagi Anyelir. Deru nafas lelaki itu memburu dan terasa hangat menerpa wajahnya yang pucat pasi."Kalau kau ragu, kau bisa membatalkannya sekarang sebelum terlambat." Suara husky yang membuat tubuh Anyelir makin meremang. Suara yang sudah dikuasai hasrat yang sepertinya sudah sampai di ubun-ubun.Pria itu sepertinya tengah menatap wajah Anyelir seakan meminta sebuah jawaban darinya.Anyelir mencoba menelisik wajah itu, tapi semuanya hanya terlihat samar. Hanya terlihat kalung perak berbentuk kupu-kupu yang di pakai pria itu."Lakukan," bisik Anyelir pelan hampir tak terdengar. Ia memalingkan wajahnya ke samping menahan tetesan air mata yang mendesak keluar dari kedua pelupuk matanya.Perlahan namun pasti pria itu memulai aksinya, melucuti semua kain yang menutupi tubuh Anyelir. Gadis belia yang masih berusia delapan belas tahun itu hanya bisa pasrah menyerahkan tubuhnya begitu saja. Pada pria asing yang bahkan wajahnya saja tidak bisa ia lihat.Jemari dingin itu bergerak menjamah setiap inci tubuhnya hingga berada tepat di bagian tubuhnya yang paling berharga."Pelan-pelan!" Dalam gelap Anyelir memohon dengan suara bergetar. Tangannya memegang erat tangan lelaki itu hingga menghentikan pergerakannya sejenak."Apa kau takut?" bisiknya lagi, saat Anyelir terdiam dalam gusar.Sejenak Anyelir terpaku dan mencoba menyingkirkan rasa takut yang menderanya, lalu ia menggeleng pelan setelah berhasil menguasai ketakutannya.Pria itu mulai mengecup bibirnya dengan perlahan. First kiss-nya telah dicuri seorang pria asing yang tidak ia kenal sama sekali.Pria itu makin liar memperlakukan dirinya, terdorong oleh hasrat yang menguasai dirinya saat ini.Tanpa ampun ia mengambil sesuatu yang paling berharga dari diri Anyelir. Terasa sakit hingga Anyelir menahan jeritannya sekuat tenaga. Tubuhnya gemetar hebat dan air mata tak henti keluar dari kedua matanya."Kau masih suci?" tanya pria itu sedikit terpana saat merasakan milik Anyelir yang susah ditembus olehnya.Anyelir tidak ingin menjawab. Ia hanya memalingkan wajahnya dan terus mengeluarkan air bening dari sudut matanya.Pria itu tampak sedikit ragu, namun untuk berhenti sekarang adalah sesuatu yang tidak mungkin ia lakukan. Bisa gila nanti kalau ia menghentikan aksinya saat ini."Maafkan aku," lirihnya pelan sembari menekan tubuhnya lebih dalam.Anyelir melenguh keras merasakan tubuhnya seakan benar-benar terbelah.Malam ini semuanya sudah berakhir. Tak ada lagi yang berharga dari dirinya. Semuanya telah hilang. Kesucian yang telah ia jaga selama ini kini hilang tak berbekas.Pria itu melakukannya bukan hanya sekali, tapi berkali-kali hingga efek obat dari dalam dirinya benar-benar hilang.Anyelir merasakan tubuhnya benar-benar hancur dan lemah. Sudah tidak ada lagi air mata yang keluar dari pelupuk matanya.Hampir dua jam pria itu menuntaskan hasratnya di tubuh Anyelir. Gadis itu segera menutup tubuhnya dengan selimut, ketika pria itu menyudahi aksinya."Terima kasih karena kau sudah menolongku," bisik lelaki itu di telinganya sebelum ia merebahkan badannya di samping Anyelir.Malam ini adalah malam sial baginya karena harus masuk dalam jebakan seseorang yang membuat dia terpaksa harus menyalurkan hasratnya pada wanita yang kini terbaring tak berdaya di sisinya.Sebenarnya siapa yang menjebaknya? Rekan bisnisnya kah? Lelaki itu masih belum mempunyai gambaran apapun mengenai hal ini. Yang jelas ia merasa sangat berhutang budi pada wanita di sampingnya ini.Anyelir masih terdiam dan merasakan seluruh tubuhnya remuk. Ia melirik sebentar pada pria yang saat ini mulai memejamkan matanya dengan tarikan napas yang teratur. Sepertinya pria itu mulai tertidur karena lelah.Anyelir bangkit dari tidurnya dan memungut bajunya yang berserakan di lantai. Perlahan ia memakai kembali bajunya dan berjalan keluar dari kamar hotel tersebut.Ia meringis kesakitan saat mencoba melangkahkan kakinya. Bagian bawah tubuhnya terasa begitu sakit tak terbantahkan. Tapi sekuat tenaga ia gerakan kakinya menuju pintu.Anyelir keluar dari dalam kamar hotel dalam keadaan lusuh. Tak ada lagi sinar kehidupan di matanya. Yang dia ingat hanyalah ibunya yang kini tengah menunggunya di meja operasi."Ini uang untukmu." Seorang wanita yang sudah tidak muda lagi memberi Anyelir kantong kresek warna hitam berisi uang imbalan atas jasanya malam ini.Dia wanita penghubung antara Anyelir dan lelaki yang telah menggagahinya barusan."Terima kasih, Bu." Anyelir mengambil kantong kresek itu dengan tangan yang masih sedikit gemetar."Cepat selamatkan ibumu, Anye." Wanita mucikari itu menyuruh Anyelir segera pergi dari situ.Anyelir mengangguk dan melangkah pergi keluar dari hotel dengan tergesa. Ada sebuah nyawa yang harus segera ia selamatkan sekarang.Sepasang mata memperhatikan transaksi mereka dari jauh. Dia tersenyum menatap punggung Anyelir yang telah berjalan makin jauh meninggalkan hotel itu.Gadis yang mengintip itu berjalan menghampiri sang mucikari dan memberikan lagi segepok uang dalam amplop coklat padanya."Kerja bagus," imbuhnya dengan sebuah seringai puas di wajahnya."Terima kasih, Nona." Wanita mucikari itu mengangguk segan, lalu bergegas pergi meninggalkan wanita cantik yang kini menyelinap masuk ke dalam kamar hotel.Wanita itu menatap lelaki yang tergolek lemah di atas tempat tidur. Seprei putih itu tampak sangat berantakan, menandakan pergulatan mereka begitu hebat tadi.Lalu, wanita itu mulai melucuti bajunya sendiri dan merebahkan tubuhnya di samping sang pria yang sudah tertidur pulas itu."Abimanyu, mulai hari ini kau akan menjadi milikku seutuhnya," bisiknya lembut di telinga sang pria.Wanita memeluk erat tubuh pria yang ia panggil dengan sebutan Abimanyu. Rencananya malam ini berhasil.Abimanyu akan mengira ia telah menyerahkan kesuciannya demi melayani hasrat Abimanyu."Seprei ini sangat berantakan. Apakah kau puas dengan pelayanan wanita tadi, Abi? Seandainya aku masih suci, aku tidak akan mewakilkan diriku dengan gadis bodoh itu!" gumam wanita itu pelan.Lelaki itu menggeliat dan membuka matanya perlahan. Wanita itu mengatupkan bibirnya. Apakah Abimanyu mendengar apa yang ia katakan barusan?"Keluar kau dari rumahku sekarang juga!" Terdengar suara Hera mengusir seseorang dari rumahnya. "Kenapa tidak putrimu saja yang kau jodohkan dengan lelaki itu?" Nyonya Hera, ibu dari Anyelir membantah keinginan Tuan Hadi Wijaya, mantan suaminya yang kini datang kembali ke rumahnya setelah belasan tahun menghilang tanpa kabar. "Mana mungkin aku menyerahkan putriku untuk menikah dengan lelaki cacat seperti dia?" Tuan Hadi Wijaya menutup mulutnya yang keceplosan berbicara. "Jadi kau ingin menjadikan anakku tumbal demi kepentinganmu, hah?" Nyonya Hera menatap Tuan Hadi dengan tidak percaya. Ia menyesal telah menikah dengan lelaki seperti Hadi. Lelaki yang telah berselingkuh dengan temannya sendiri dan meninggalkan dia beserta Anyelir yang kala itu masih kecil. "Tidak ada jalan lain, perjodohan ini harus dilakukan karena orang tuaku dan keluarga Sudibyo telah mengatur hal ini dari semenjak Anyelir kecil." Tuan Hadi mengatakan hal itu tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Tidak tahu malu. K
Anyelir sudah duduk di ruang tamu. Semua orang yang ada di rumah ini menatapnya dengan tatapan mencemooh, seperti melihat sampah yang seharusnya dengan cepat mereka singkirkan. Anyelir duduk dengan resah menanti sang calon suami datang. Jika boleh menawar ia ingin segera pergi dari rumah ini, tak peduli suaminya impoten atau cacat apapun itu, ia akan dengan senang hati untuk ikut dengannya. "Jangan sentuh itu!" Vina, sang adik tiri yang berusia setahun lebih muda darinya dengan ketus menghardik Anyelir saat tangannya menyentuh guci besar yang berada di samping sofa. Reflek Anyelir menarik tangannya lagi. Dengan tatapan nanar ia menatap wajah Vina yang terlihat sangat tidak bersahabat dengannya. Anyelir mengetatkan rahangnya, menatap balik Vina dengan tajam. Harusnya dialah yang menerima perjodohan ini, bukan dirinya. Dasar gadis tidak tahu diri. Anyelir menggerutu dalam hati, karena ia tidak ingin merusak rencana yang sudah ia susun dalam otaknya. Deru mobil berhenti di halaman de
"Tiga bulan? Oke, aku setuju, tetapi dalam jangka waktu tiga bulan ini jangan harap kau bisa membuatku jatuh cinta," ucap Abimanyu dengan penuh rasa percaya diri. Anyelir menghembuskan napas kasar dan menyeringai tipis, "Siapa juga yang akan jatuh cinta pada pria impoten sepertimu."Anyelir meledek Abimanyu. Abimanyu mendengkus kesal dan menghampiri Anyelir. Tangannya mencengkram pipi gadis itu dengan kasar. " Jangan kurang ajar padaku karena aku tidak akan segan menyakitimu." Suara dingin dan kejam itu membuat nyali Anyelir menciut. Anyelir langsung mengatupkan bibirnya dan setelah itu Abimanyu pun melepaskan dirinya namun lelaki itu masih terlihat sangat kesal. Abimanyu melangkah pergi meninggalkan Anyelir yang masih membeku diselimuti rasa takut. Apakah dia bisa bertahan hidup dengan pria sekejam itu? *Anyelir memejamkan matanya untuk beristirahat. Kasur empuk dan sejuknya udara dari mesin pendingin ruangan membuat kedua matanya terasa lengket. Abimanyu sudah menyetujui permi
Anyelir sudah pernah melihat wanita itu di mall, jadi ia sudah tidak terkejut mendengar pengakuan wanita itu. Anyelir tertegun melihat wajah cantik wanita itu, meskipun umurnya terlihat lebih tua darinya tetapi dia mengakui kalau Lidya memang terlihat sangat cantik. "Nona Lidya, aku harap kau sedikit lebih sopan pada Nyonya Anyelir. Bagaimanapun juga dia adalah istri dari Tuan Abimanyu sekarang." Mbok Siwi sepertinya tidak menyukai sikap pongah Lidya terhadap Anyelir. Lidya memutar bola matanya. Ia melirik sekilas pada pembantu yang dari awal memang tidak pernah menyukai dirinya. Terdengar langkah kaki Abimanyu menuruni anak tangga. Lidya langsung memasang wajah manjanya dan tersenyum manis kepada laki-laki itu. "Sayang, jadi wanita ini istrimu?" tanya Lidya dengan nada merajuk bergelayut manja pada tubuh kekar Abimanyu. Kedua matanya menatap sinis pada Anyelir yang masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. "Iya, tapi kau jangan khawatir, hubungan kami hanya sebatas status di
"Abi, aku ingin menghabiskan malam ini bersamamu," bisik Lidya pelan dengan memainkan jemarinya di dada bidang Abimanyu. Lidya berjinjit dan ingin menyentuh bibir pria itu dengan bibirnya. Tapi tak ada reaksi apapun dari Abimanyu. Lagi-lagi pria itu begitu dingin. Seakan tak menyimpan perasaan apapun terhadapnya dan hal ini selalu membuat Lidya kesal. "Kau tidurlah lebih dulu, badanku cape, aku mau berendam air hangat dulu sebentar." Abimanyu melonggarkan pelukan Lidya dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Lidya mendesis kesal karenanya. Ia tidak tahu harus dengan cara apa lagi merayu pria itu agar mau tidur dengannya. Ia memang menggunakan cara kotor untuk menipu Abimanyu agar mau menganggap kehadirannya. Ia pikir setelah berhasil membuat Abimanyu terikat padanya, ia dengan mudah bisa menaklukan pria ini. Tapi ternyata tidak semudah itu. Abimanyu tetap dingin dan mengabaikannya. Tidak pernah ada cinta untuk Lidya. Gadis itu bisa merasakannya. Dan mereka bersama karena terdor
Anyelir terkejut melihat kehadiran Abimanyu yang begitu tiba-tiba itu. Dengan cepat gadis itu menutup pintu lemari pakaian agar Abimanyu tidak melihat tas lusuhnya. "Kau baru pulang?" tanya Anyelir berbasa-basi. "Kelihatannya?" jawab Abimanyu dengan ketus. Wajah tampannya sungguh terlihat dingin dan membuat atmosfer di dalam ruangan itu membeku. Lelaki itu ngeloyor pergi melewati Anyelir yang berdiri terpaku. Tercium bau parfum wanita yang beraroma manis. Pasti bau parfumnya Lidya, batin Anyelir. Abimanyu membuka kemejanya karena merasa tubuhnya lengket. Semalam ia terlalu banyak minum hingga mabuk berat di apartemen Lidya. Dan sepertinya hari ini ia akan terlambat pergi ke kantor. Tak akan ada yang memarahi dia karena datang terlambat, sebab Abimanyu adalah CEO dari perusahaan milik keluarga Sudibyo. Terlihat punggung kekar Abimanyu yang begitu kokoh dan menggiurkan saat pria itu membuka kemejanya. Anyelir yang berada di belakang pria itu hanya bisa menelan salivanya karena me
Anyelir membuka pintu kamarnya dengan perlahan sembari membawa segelas teh hangat di atas nampan. Namun pemandangan di dalam kamar membuat Anyelir terlonjak kaget. Abimanyu duduk di atas sofa dengan wajah diliputi kemarahan. Jantung Anyelir seakan berhenti berdetak melihat wajah Abimanyu yang tampak dingin. Seketika atmosfer yang menyelimuti kamar itu terasa mencekam seperti di dalam neraka. Kedua mata Anyelir membulat melihat benda yang berada di tangan Abimanyu. Dengan cepat Anyelir menaruh nampan di atas meja di depan Abimanyu. "Jangan sembarangan menyentuh barang orang lain!" Anyelir memburu Abimanyu untuk merebut benda di tangan lelaki itu."Kau bilang orang lain? Kau sudah lupa kalau kita sudah menikah kemarin? Cih, tidak kusangka kau berani menipuku seberani ini, siapa ayah dari bayi yang kau kandung itu?!"Abimanyu melemparkan tespek kehamilan Anyelir ke depan muka gadis itu."Bukan urusanmu." Anyelir menjawab dengan ketus. Ia memungut tespek miliknya yang jatuh di lantai.
Anyelir menyimpan kembali tas lusuhnya ke dalam lemari. Lalu ia menoleh ke arah pintu yang terus diketuk dari luar. "Masuk!" Pintu terbuka, kepala Mbok Siwi nongol dan terlihat begitu khawatir. "Nyonya, saya lihat kau sedang kurang sehat? Apa mau saya antar berobat?"Anyelir mengerjapkan matanya. Terharu dengan sikap perhatian yang ditunjukkan Mbok Siwi. Wanita paruh baya itu menghampiri Anyelir yang kini duduk di tepi pembaringan. Rasa mual di perutnya sudah tidak sehebat tadi. Hanya saja, ia masih shock karena Abimanyu mengetahui kehamilannya. Anyelir memijit pelipisnya yang berdenyut sakit. Kepalanya sekarang yang pusing. "Tidak usah Mbok, sepertinya aku hanya masuk angin." Anyelir beralasan. "Kalau begitu, Mbok bikinkan teh jahe untuk menghangatkan perutmu." Mbok Siwi membalikkan tubuhnya ke belakang. "Tidak usah, Mbok. Aku sudah bikin teh hangat tadi. Aku rasa itu saja sudah cukup." Anyelir melirik ke arah segelas teh yang masih utuh yang sejatinya teh itu sengaja ia buat