TIGA TAHUN YANG LALU..
"Hai, Kim.."Seperti biasa, Genta menyapa Kimberly dengan senyum seorang player. Pemuda bermata sipit itu selalu bersikap sok ganteng. Ya.. memang benar, sih. Genta memang termasuk dalam kategori remaja tampan dan idola di sekolah bertaraf internasional itu, meski ketenarannya masih kalah jauh dari Borne."Hem.."Kimberly membalas sapaan pemuda genit itu dengan wajah acuh. Kim orang yang tak suka berbasa basi, apalagi dengan anggota genk Playboy macam Genta dan kawan-kawannya."Dih, galak banget jawabnya. Jangan galak-galak, Kim, nanti hilang cantiknya.""Iiiiish.. gombalanmu sangat norak!" Kim mencebikkan bibirnya seraya menatap malas pemuda itu. Tanpa mau menjawab ocehan Genta, ia gegas meninggalkan ruang kantin. Gadis itu tak tertarik untuk meladeni ocehan Genta."Kim, mau kemana?""Balik ke kelas!""Dih, makananmu belum habis, Kim!""Biarin! Buat kucing ibu kantin!" jawab Kim sekenanya."Kim, tunggu!"Ia tak peduli dengan seruan Rea yang memanggil namanya. Langkah Kimberly tetap pasti menyusuri lorong yang menghubungkan antara kantin dan kelasnya."Kim!""Hhh.. hari ini banyak sekali yang ngefans sama namaku, sih!" gerutu gadis itu.Kimberly menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Tampak Rea dan Caca tengah berlari menghampiri."Ap--"Woi! Apa-apaan, ini?! Lepasin aku! Caca! Rea! Lepasin aku! Ini tak lucu sama skali!" teriak Kimberly.Entah setan apa yang merasuki kedua sahabatnya itu. Mereka menggotong tubuh Kimberly dengan bergotong royong, Rea memapah tubuh mungil itu di sebelah kanan, dan Caca memapah di sebelah kiri. Kemana gadis-gadis ini akan membawanya?"Kau diam saja, Kim! Kami tak akan menculikmu!" cetus Rea yang menyunggingkan cengiran absurdnya."Iya, Kim. Santai saja. Asalkan kau jadi kucing manis dan penurut, kami tak akan menyakitimu!" timpal Caca yang membuat kening Kimberly mengernyit tak mengerti."Hah?"'Ya Tuhan.. kemana dua makhluk ini akan membawaku. Semoga saja bukan ke ruang kosong dan berakhir dengan mengunciku disana. Aku fobia dalam kegelapan. Tapi buat apa juga mereka membawa dan mengunciku disana, aku sedang tak ulang tahun. Jadi tak mungkin mereka mengerjaiku,' bathin Kim."Please, Girl! Lepasin aku! Atau akan berteriak!" ancamnya pada dua gadis itu."Hah? Buat apa teriak, Kim? Seperti di sinetron ikan terbang saja!"Caca, sahabat Kimberly yang terkenal polos, atau lebih tepatnya lemot itu selalu saja menjawab asal."Never, Kim! Kau pasti akan berlari dan pergi jika kami melepasmu!"Rea tetap teguh pada tindakannya. Entah apa yang kini ada di otak gadis itu. Kimberly terlihat malas bermain-main lagi."Aku janji tak akan pergi! Sekarang lepasin aku dan katakan, kalian mau bawa aku kemana, sih?""Janji, ya..."Caca si gadis lemot! Tanpa sadar dia melepas Kimberly untuk mengaitkan jari kelingkingnya pada kelingking gadis itu."Cacaaaaaaaa..." Teriakan Rea membuat Kimberly tak fokus untuk melarikan diri, mereka berdua kembali bisa menangkapnya."Iiiiih... stop! Lepasin aku! Aku janji tak akan melarikan diri. Memang kemana kalian akan membawaku, hm!" teriaknya.Rea masih mengamati pergerakan Kimberly meskipun ia perlahan melepas cengkramannya. Namun tak sama dengan Caca, gadis polos itu langsung melepas tangan Kimberly karena selalu percaya begitu saja dengan apa yang Kimberly katakan."Borne mau bicara sesuatu! Dia sudah berada di rooftop. Tolong temui dia, Kim!"Kini wajah Rea berubah serius. Gadis itu memang paling getol mendekatkan Kimberly dengan Borne. Alasannya? Tak ada yang tahu.Kimberly hanya bisa menghembuskan napas kasar serta memutar bola mata dengan malas. Lagi-lagi karena Borne. Entah sudah keberapa kalinya Borne mengajaknya bicara berdua. Bahkan sejak mereka duduk di kelas 11, pemuda itu sudah sering kali menyatakan perasaannya pada Kim."Mau bicara apalagi dia, Re? Aku sudah bilang berkali-kali kalau aku--"Naik saja dulu, Kim. Tak ada salahnya, kan, kau memberi kesempatan Borne untuk bicara? Mungkin ada sesuatu yang akan mengubah jawabanmu sekarang. Kita tak pernah tahu masa depan, Kim!" ucap Rea yang kini terlihat lebih serius."Hhh.. oke. Tapi kau tahu aku, kan, Re? Aku bukan orang yang mudah mengubah pendirianku."Kimberly menepis tangan Rea yang masih berada di lengannya. Dengan pasti ia melangkah menaiki anak tangga menuju rooftop sekolah. Ya, rooftop selalu dijadikan tempat siswa di sekolah favorit itu untuk berpacaran atau sekedar bermalas-malasan. Tempat tertinggi di sekolah itu juga sering kali dipakai para siswa dominan yang sering membully siswa lain, tentunya siswa yang dirasa cupu ataupun mudah untuk dijahili. Selama ini Kim tak pernah peduli dengan peristiwa di sekolahnya, meski ia merasa risih dengan ulah siswa yang sok jagoan, namun Kim tak pernah mau ambil pusing. Selama mereka tak menyentuh atau membuatnya murka, Kimberly tak peduli dengan yang lain.Terlihat Borne sudah duduk di kursi besi yang memang ada disana. Kim menghampirinya karena merasa harus segera menuntaskan semuanya agar bisa cepat kembali ke kelas."Apa yang mau kau bicarakan, Borne?" tanya gadis itu dengan raut malas pada pemuda yang langsung mengangkat bokongnya saat melihatnya datang.Seperti biasa, Borne menyunggingkan senyumnya saat bertemu dengan gadis pujaannya. Senyum yang jika gadis lain melihatnya pasti akan langsung terpesona, tapi tidak dengan Kimberly"Aku masih mencintaimu, Kim, dan aku tak akan bosan untuk terus mengungkapkannya padamu. Aku harap kali ini kamu bisa menerima cintaku."Untuk kesekian kalinya Borne menyatakan cinta pada Kimberly. Pemuda tampan dan idola di SMA Penabur, tempatnya bersekolah, tak pernah jera meskipun Kim selalu menolaknya. Dan kali ini, ia pun tak pernah bosan untuk menyatakan sebuah penolakan padanya."Kau pasti tahu jawabanku, kan? Maaf, Borne. Sejak dulu sampai sekarang jawabanku tak akan pernah berubah. Aku tak bisa menerima cintamu," jawabnya tenang."Kenapa?" Borne menarik tangan gadis itu saat Kimberly hendak berbalik dan meninggalkannya."Apa yang membuatmu selalu menolak cintaku, Kim? Aku lelaki paling tampan dan populer di sekolah ini. Semua siswa perempuan disini menggilaiku, tapi kenapa kau selalu saja acuh padaku, hah?""Sakit! Lepas!"Cengkraman Borne menyakiti tangan Kimberly, tapi pemuda itu tak peduli dengan rasa sakit yang gadis itu rasakan akibat ulah kasarnya."Kenapa kau tak berpacaran dengan salah satu fansmu saja? Aku bukan bagian dari gadis-gadis yang berteriak histeris saat kau melewati kelas mereka. Jadi jangan paksa aku!"Kim menepis cengkraman Borne saat pemuda itu sedikit lengah. Tangannya terlihat kemerahan akibat kekasaran Borne.'Hhh.. bagaimana aku bisa jatuh cinta pada pemuda kasar sepertimu, Borne?!'benak Kimberly berteriak.Ia meninggalkan pecundang itu sendiri dan melangkah untuk menuruni anak tangga. Kimberly gegas kembali ke kelasnya karena beberapa menit yang lalu bel telah berbunyi.Kimberly bukanlah gadis yang suka dengan hubungan bertele-tele. Berpacaran dengan satu pemuda, putus, lalu pindah pada pemuda lain. Aaaaah.. itu membosankan baginya. Apalagi, sejak dulu ia menunggu seseorang. Menunggu pangerannya datang dengan kuda putihnya. Kim menjulukinya, si Kuda Putih.'Lelaki paling tampan? Hhh.. Kuda putihku lebih tampan darimu, Borne..'***"BRENGSEK!"Umpatan kasar tercetus begitu saja dari mulut Borne setelah dirinya berhasil menghindari sebuah kecelakaan. Pemuda itu langsung menoleh pada gadis di sampingnya, "Kim, kau tak papa?" tanyanya cemas.Kimberly hanya menggeleng kaku. Nampak sekali sebuah keterkejutan dan ketakutan di wajahnya, namun Kim berusaha untuk tenang dan tak membuat Borne panik.Borne membuka pintu mobilnya dengan kasar. Baru saja ia mau melangkah untuk melabrak pengemudi ceroboh yang hampir membuat mereka celaka, seorang pria sudah lebih dulu menghampiri mobilnya dan berjalan mendekati pintu sebelah tempat Kimberly berada."Kim, keluar!"Alan membuka kasar pintu mobil sebelah kanan dan meminta keponakannya untuk keluar dari sana."Om?""Cepat keluar Kimberly!"Kimberly tahu, itu bukan sebuah permintaan, tapi lebih pada perintah yang mendominasi. Wajah Alan yang dingin mampu membuat gadis itu tak mampu mengucapkan sebuah penolakan."Hei, Brengsek! Siapa kau?!"Suara Borne terdengar menggema. Di depan
DUA TAHUN YANG LALU..Seorang pria matang dengan garis wajah tegas mengepalkan tangannya di atas meja. Ia baru menerima berita tentang kematian kakak sepupu sekaligus kakak iparnya. Raut sedih dan menyesal tampak jelas di wajah pria itu. Apalagi kematian dua orang yang dianggap berjasa atas kesuksesannya sekarang begitu tragis. Kakak iparnya harus meninggal di meja operasi karena serangan jantung. Begitupun dengan kakak sepupunya, Merli Sita, wanita itu juga meninggal dengan cara mengenaskan. Merli ditemukan bunuh diri di Rumah Sakit Jiwa. Tubuhnya tergantung di kamar mandi karena tak kuat menerima kejatuhan dan kepergian suaminya."Cari keponakanku berada. Telusuri semua wilayah yang sekiranya didatangi Kimberly. Aku tak mau sesuatu terjadi padanya. Dua hari! Kau ku beri waktu dua hari untuk menemukannya."Keinichiro Alan, pria blasteran Indo-Jepang itu membuat sang asisten menelan paksa salivanya. Bagaimana mungkin dalam dua hari ia bisa menemukan seseorang yang bahkan tak pernah i
Bi..""Ya?""Apa-- menurut bibi-- om Alan benar-benar mencintaiku?"Kimberly mengambil nampan yang berisi makanan dari tangan kepala pelayan itu. Matanya tak lepas menatap sang pelayan hendak mencari jawaban dari pertanyaan yang barusan ia layangkan."Dia mencintaiku, kan, Bi?" tanyanya lagi karena belum ada sahutan dari mulut bi Jeni.Meski dalam sepersekian detik yang lalu wajah bibi Jeni menampakkan keterkejutan, namun perempuan tua itu cukup pintar mengubah rautnya agar kembali tenang. Ia mengambil kembali nampan yang kini berada di tangan Kimberly dan meletakkannya di atas meja kecil dekat ranjang gadis itu."Tentu saja tuan Alan mencintai Anda, Nona," ujar bi Jeni."Anda adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh tuan."Sambil tersenyum hangat bi Jeni menoleh dan menatap sendu wajah Kimberly. Namun itu bukanlah jawaban yang Kimberly inginkan. Bukan cinta seperti itu yang ia maksudkan. Meski kecewa ia pun membalas senyum perempuan tua itu."He em. Kau benar, Bi. Om Alan hany
TIGA TAHUN YANG LALU"Hai ,Kim!"Suara yang sangat Kimberly kenal terdengar menyapa dan tersenyum. Tampaknya Borne masih tak menyerah. Di setiap pagi, tepatnya saat para siswa berdatangan Borne akan menyambut gadis itu di depan pintu kelas."Minggir, Borne. Aku mau masuk!""Senyum dulu, dong! Baru kuijinkan kau masuk!""Ck.. dasar tak tahu malu!" umpat Kimberly pelan namun dengan senyum mengejek.Borne seperti minta tiket pada gadis itu agar diijinkan masuk, padahal orang tua Kimberly adalah salah satu donatur terbesar di sekolahnya."Minggir atau kutendang milikmu!""Iiish! Jangan main-main dengan aset masa depanku, Kim!"Spontan pemuda tengil itu menutupi 'harta berharganya' dengan kedua tangan. Kimberly hanya tertawa geli melihat Borne ketakutan dengan ancaman palsunya. 'Mana mungkin aku menendang pusakanya, bisa-bisa Borne tak mampu memberi penerus pada keluarga Brahmaja.' Bathin Kimberly."Minggir!"Saat pemuda itu lengah dan tangannya masih menutupi sang pusaka, Kim mendorongny
Seorang perempuan dengan langkah anggun dan tenang berjalan bak seorang model. Meski usianya sudah tak bisa dikatakan muda, namun pesona Erika Brahmaja masih tampak mempesona. Tentu semua itu berkat pola makan yang dijaga serta perawatan yang mahal."Permisi, Nyonya. Selamat datang di Town Cafe."Pelayan Cafe menyambut Erika di depan pintu."Apa aku bisa menemui karyawan yang bernama Kimberly?" tanya wanita itu dengan gaya elegant."Kimberly? Apa-- nyonya keluarganya?"Sang pelayan sedikit penasaran, karena sejak Kimberly kembali bekerja di Town Cafe, banyak orang yang mencarinya. Dan semuanya terlihat bukan dari kalangan biasa."Bukan. Katakan saja saya ibunya Borne. Say ingin bertemu dan bicara dengannya sebentar."Erika menyodorkan beberapa lembar uang pada sang pelayan, membuat wajah gadis itu sumringah dan dengan sigap mengikuti permintaan wanita itu."Baik, sebentar, Nyonya. Anda silakan menunggu di dalam saja."Adelia, sang pelayan Cafe membukakan pintu yang terbuat dari kaca u
Pukul satu dini hari Alan sudah berada di depan rumah sewa Kimberly. Kost-kost an yang tak ubahnya seperti rumah susun itu memiliki lima lantai. Kimberly tinggal di lantai 3. Setiap kamar memiliki balkon kecil yang menghadap ke jalan.Sudah sejak 30 menit yang lalu Alan berdiri di depan pintu gerbang rumah sewa itu. Pintu gerbangnya tak terlalu tinggi, jadi setiap orang yang tengah bersantai di atas balkon bisa melihat siapa saja yang melintas di depan pintu gerbang rumah sewa itu.Naina masih terjaga meski waktu hampir pagi. Matanya tak mau terpejam mengingat apa yang Kimberly ceritakan siang tadi di Cafe."Gadis seperti Kimberly saja tak dianggap oleh ibunya Borne, apalagi.... aaah... bicara apa aku ini."Naina mengusir pikiran jauhnya. Menggapai seorang Borne adalah sebuah mimpi yang terlalu tinggi. Meski ia tak dapat menampik, semenjak Borne menawarkan diri untuk melindunginya saat sekolah dulu, gadis itu merasa ada perasaan istimewa di hatinya terhadap Borne, namun Naina cukup ta
"Om? Om? Om Alan..""Hh?"Alan tersentak saat sadar kegiatannya mengamati bibir ranum sang keponakan membuat dirinya tampak bodoh. Beberapa detik yang lalu Kimberly memanggil manggil namanya, saat Alan masih terfokus pada bibir kecil nan ranum itu. Seruan Kimberly saat menyebut namanya membuat Alan gemas dan tak ingin cepat-cepat menyahut. Gerakan bibir gadis itu saat bicara dengannya adalah salah satu daya pikat yang membuat hati pria itu berdesir entah sejak kapan, ia pun tak tahu. "Kau kenapa? Kagum dengan kecantikanku, hm?"Kimberly mulai menampakkan tingkah randomnya, berlagak sok cantik di depan Alan yang membuat pria itu tak kuasa mengulum senyum tipis yang hendak ia tahan."Dasar gadis yang terlalu percaya diri!"Lagi, Alan kembali mentoyor kening keponakannya dan langsung membuang wajahnya ke lain arah. Pria itu hanya tak mau Kimberly melihat wajah salah tingkahnya."Iiish.. dasar tak sopan!" gerutu Kimberly.Lampu di taman itu cukup terang untuk melihat wajah masing-masing.
Matahari sudah berada di ufuk timur, Alan kini masih memegang kepalanya yang terasa pening akibat tak tidur semalaman. Alih-alih kembali ke mansionnya, Alan justeru meminta sopir mengantarnya ke gedung Satou Group, cabang perusahaannya yang baru berjalan dua tahun belakangan. Pria itu masih terduduk di kursi kebesarannya tanpa berniat memeriksa berkas-berkas yang tergeletak di meja. Sejak sampai di kantornya, Alan masih terus terngiang ungkapan cinta dari mulut Kimberly."Dasar gadis bodoh! Mudah sekali mengatakan cinta pada laki-laki. Awas saja kalau kau juga mudah mengatakan cinta pada pria lain, Kim! Akan kupatahkan lehermu!"Alan terus saja bergumam untuk sekedar meluapkan rasa gelisah di hatinya. Rasa itu menjadi tak keruan saat ia mengingat Kimberly berbicara. Senyum gadis polos itu terus melekat di pelupuk mata Alan."Aaaaaaaakh... Kimberly, sebenarnya apa yang kurasakan terhadap anak itu! Aku tidak mungkin... aaaaaakh.... shit!"Alan terus saja merutuki kebingungannya terhadap