"BRENGSEK!"
Umpatan kasar tercetus begitu saja dari mulut Borne setelah dirinya berhasil menghindari sebuah kecelakaan. Pemuda itu langsung menoleh pada gadis di sampingnya, "Kim, kau tak papa?" tanyanya cemas.Kimberly hanya menggeleng kaku. Nampak sekali sebuah keterkejutan dan ketakutan di wajahnya, namun Kim berusaha untuk tenang dan tak membuat Borne panik.Borne membuka pintu mobilnya dengan kasar. Baru saja ia mau melangkah untuk melabrak pengemudi ceroboh yang hampir membuat mereka celaka, seorang pria sudah lebih dulu menghampiri mobilnya dan berjalan mendekati pintu sebelah tempat Kimberly berada."Kim, keluar!"Alan membuka kasar pintu mobil sebelah kanan dan meminta keponakannya untuk keluar dari sana."Om?""Cepat keluar Kimberly!"Kimberly tahu, itu bukan sebuah permintaan, tapi lebih pada perintah yang mendominasi. Wajah Alan yang dingin mampu membuat gadis itu tak mampu mengucapkan sebuah penolakan."Hei, Brengsek! Siapa kau?!"Suara Borne terdengar menggema. Di depan pintu mobilnya pemuda itu meneriaki Alan dengan kata-kata kasar. Alan melirik ke arah Borne, tatapannya seperti sebuah mata pisau yang sudah siap menusuk pemuda yang diketahui memiliki perasaan khusus pada Kimberly."Cepat keluar dan masuk ke mobilku, Kim!"Meski tangannya sudah mengepal dan merasa geram saat melihat Borne, namun pria itu langsung kembali memindahkan pandangannya pada Kimberly yang masih duduk terdiam disana. Kim tak melakukan pergerakan apapun untuk segera keluar dari mobil Borne."Aku tak mau naik ke mobilmu! Biarkan aku pulang bersama Borne!" cetus Kim tanpa melihat wajah pamannya."Hhh...""Kau memang lebih senang dipaksa, Kim!""Aaaau.. om, lepaskan aku! Aku tak mau naik ke mobilmu!"Kimberly berteriak meronta saat Alan menarik paksa dirinya untuk keluar dari mobil. Kesabaran pria itu hanya setipis tisu yang dibelah. Saat apa yang dia perintah tak dijalankan oleh sang keponakan, Alan tak segan-segan berlaku sedikit kasar. Terbukti saat ini, pria itu menarik paksa tangan Kimberly dan mendorong masuk gadis itu ke dalam mobilnya."Om Alan buka pintunya!"Kim sudah berada di samping kursi kemudi. Alan tak menggubris teriakan gadis itu. Ia gegas melangkah ke pintu kemudi."Hei, Pak Tua! Siapa kau?! Mengapa kau membawa kekasihku, hah!?"Tadinya Alan ingin mengabaikan Borne. Baginya pemuda itu hanya seorang cecunguk bau kencur yang tak pantas ia lawan. Namun saat mendengar Borne menyebut Kim sebagai kekasihnya, darah Alan langsung berdesir kencang. Ada sesuatu yang memanas di hatinya.Alan menoleh pada pemuda yang berwajah menantang, tangannya terkepal sempurna hingga jari-jarinya memutih. Emosi yang hampir meledak dan ingin diluapkan dengan memberi satu bogem mentah ke wajah Borne untungnya masih bisa ia tahan.Alan melangkah mendekati Borne, "kekasihmu? Sejak kapan Kimberly menjadi kekasih cecunguk sepertimu, hah?"Suara pria itu tak lantang, namun penekanan dalam setiap kata-katanya mampu membuat Borne terintimidasi seketika. Tenggorokan pemuda itu terasa tercekat hingga kesulitan menjawab pertanyaan Alan."Kim-- Kimberly memang kekasihku! Siapa kau berani menculik calon isteri keturunan Brahmaja?!"Meski suaranya terdengar bergetar, namun Borne tetap berusaha untuk tampak berani.Alan tersenyum sinis, melihat ketakutan di mata Borne dirinya semakin yakin jika pemuda di hadapannya hanyalah seorang pengecut yang tak bisa dijadikan tumpuan bagi Kimberly."Katakan pada ayahmu.. Keinichiro Alan tidak akan membiarkan keponakannya menjadi menantu di kediaman Brahmaja."Alan melanjutkan langkahnya dan langsung mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Meninggalkan Borne yang masih tampak syock."Dia-- dia mengenal papaku? HEI, BRENGSEK! BERHENTI!"Setelah sadar dari ketermanguannya, Borne kembali berteriak mengumpati Alan. Teriakan yang tentu saja sangat sia-sia karena orang yang ia umpati tak akan mendengarnya.*"Om, turunkan aku disini! Ini bukan jalan menuju tempat tinggalku!"Kimberly tampak marah. Sejak tadi Alan tak bicara atau menggubris kata-katanya sedikit pun. Pria itu hanya fokus mengemudi dan mengabaikan jalan yang harusnya dilewati untuk sampai ke rumah kost Kimberly."Kembali ke mansionku!"Akhirnya pria itu mengucapkan satu kalimat, meskipun kalimat yang ia ucapkan membuat mata Kimberly membelalak."Tidak! Aku mau kembali ke rumah kost-ku! Aku tak mau tinggal di mansionku lagi!""Ini perintah, Kim! Aku tak minta persetujuanmu!"Mata Kimberly menyipit, menatap tajam wajah sang paman yang sejak kedatangannya selalu saja bersikap seperti orang tuanya.Kimberly hanya bisa diam dan tak mendebat lagi. Baginya semua terasa percuma, meski ia merasa aneh pada awalnya. Dulu, saat masih tinggal bersama dengan orang tuanya, Alan tak pernah bertindak kasar ataupun bersikap otoriter terhadapnya. Pria itu cenderung menyayangi Kimberly dengan sentuhan hangat. Tak pernah ada bentakan yang keluar dari mulutnya meski Kimberly melakukan sebuah kebodohan. Dan inilah salah satu yang membuat gadis itu jatuh cinta pada pamannya. Cinta itu terasa saat kebersamaan berlangsung. Alan selalu hadir sebagai pelindung baginya."Kau-- mengapa sekarang kau berubah? Kau bukan lagi om Alan yang ku kenal."Wajah gadis itu tertunduk. Kalimat itu sudah lma ingin ia tanyakan, setidaknya setelah ia merasakan untuk pertama kali Alan berbicara kasar padanya."Tidak ada yang berubah dari seseorang, Kim. Jika kau melihat orang yang kau kenal berubah, itu berarti mereka sedang menampakkan wajah aslinya. Kau hanya baru melihatnya saja. Lambat laun kau juga pasti akan terbiasa dengan sifat asli seseorang, termasuk sifat asliku, Kim."Wajah pria itu tetap serius menatap jalan, seserius kata-katanya yang terdengar ambigu di telinga Kimberly."Pergilah ke kamar dan bersihkan tubuhmu! Pakaianmu masih tertata rapi disana."Setelah memberi perintah, Alan langsung menaiki anak tangga menuju kamar kerjanya. Sedang Kimberly masih terpaku di atas kakinya dengan mata menatap punggung sang paman.'Damn! Meski menyebalkan kau tetap saja terlihat tampan, Om!'*"Tuan, apa nona Kim akan tinggal disini lagi?"Bi Jeni membawakan kopi ke dalam ruang kerja Alan. Setelah Kim pergi dari mansion itu, tugas mengantarkan kopi kembali lagi ke tangan bibi Jeni, kepala Asisten Rumah Tangga di mansion Alan."Entahlah, Bi. Anak itu selalu menolak untuk tinggal disini.""Jangan terlalu keras pada nona, Tuan."Bi Jeni menasehati Alan saat meletakkan kopi di atas meja kerja pria itu."Nona Kim sebenarnya gadis yang penurut. Selama tinggal disini dia juga tak pernah merasa seperti seorang majikan. Nona adalah gadis yang manis. Mungkin disini ia merasa kesulitan beradabtasi. Menurut saya biarkan saja nona tinggal di luar sana, itu juga bisa membantu pendewasaan dirinya."Alan menyeruput kopinya, mendesah panjang setelah setengah cangkir kopi sudah sampai di tenggorokannya."Kimberly adalah gadis yang polos, Bi. Orang-orang di luar sana sangat menakutkan. Aku takut ada yang memanfaatkan kepolosan anak itu, dan aku akan sangat merasa bersalah pada mendiang kakakku karena tak dapat menjaga puteri semata wayangnya.""Apa ada orang yang Anda curigai ingin memanfaatkan nona?" Kening bi Jeni sedikit mengernyit.Ada pemuda bodoh yang selalu menjemputnya pulang bekerja. Dia bahkan menunggui Kim di dalam Cafe setiap hari hanya untuk mengantar pulang anak itu."Perempuan tua yang sudah dua tahun tinggal di mansion Alan tersenyum kecil. Melihat riak kegeraman di wajah tuannya sudah cukup menjawab jika pria tampan itu tengah cemburu, hanya saja ia tak mau mengakuinya."Baiklah. Saya akan keluar sekarang. Apa Anda ingin saya membawakan sesuatu ke kamar nona? Sepertinya ia belum makan," tanya kepala Asisten Rumah Tangga itu."He em. Tolong bawakan makan untuknya. Gadis nakal itu pasti kehabisan energi karena tadi terus saja berteriak saat aku menguncinya di dalam mobil."Alan mengulas senyum tipis membayangkan Kimberly yang kelaparan."Baik, Tuan."Setelah setengah membungkukkan tubuhnya, Bi Jeni berbalik dan keluar dari ruang kerja tuannya. Ia harus cepat melaksanakan perintah Alan untuk membawakan makanan ke kamar Kimberly."Mengapa tak mengaku saja kalau Anda cemburu, Tuan.."Sembari melangkah di lorong lantai tiga mansion mewah itu, bi Jeni bergumam sendirian.*"Dia cemburu? Tidak mungkin! Tapi bibi Jeni bilang tadi-- ah.. tak mungkin! Tapi--Di kamarnya, Kimberly terus saja bolak baik seraya menggigit kuku jari tangannya. Hal yang terbiasa dan spontan ia lakukan saat merasa takut atau bimbang. Tanpa sepengetahuan Alan dan bi Jeni, ia mendengar percakapan antara tuan dan pelayan itu tadi. Kimberly tak sengaja mencuri dengar semuanya saat ia hendak menemui Alan. Untung saja ia belum sempat mengetuk pintu ruang kerja pria itu. Dan saat melihat pintu tak terututup rapat, secara spontan ia mendengar semuanya. Pun saat bi Jeni keluar dan bergumam sendirian. Hasrat untuk kembali mengejar cinta sang paman kembali hadir. Kimberly kini semakin yakin jika cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Ia hanya perlu meyakini Alan agar menerima cintanya dan mengakui perasaan yang ia rasakan terhadapnya."Benarkan? Om Alan juga mencintaiku, kan? Aku yakin! Dia merasakan hal yang sama dengan apa yang kurasakan padanya."Raut sumringah menghiasi wajah gadis mungil itu. Kim merasa kepercayaan dirinya kembali. Ia yakin bisa mendepak Kanaya dari sisi Alan.Tok tok tok..Suara ketukan di pintu kamarnya membuyarkan khayalan gadis itu. Kimberly gegas membuka pintu kamarnya."Nona, tuan Alan meminta saya untuk membawakan Anda makanan."Bi Jeni selalu menampakkan senyum santun di wajahnya. Tindakannya sangat tertata, meski ia hanya seorang pelayan."Trimakasih, Bi. Perutku memang sudah berbunyi sejak tadi. Bi...""Ya?""Apa-- menurut bibi-- om Alan benar-benar mencintaiku?"DUA TAHUN YANG LALU..Seorang pria matang dengan garis wajah tegas mengepalkan tangannya di atas meja. Ia baru menerima berita tentang kematian kakak sepupu sekaligus kakak iparnya. Raut sedih dan menyesal tampak jelas di wajah pria itu. Apalagi kematian dua orang yang dianggap berjasa atas kesuksesannya sekarang begitu tragis. Kakak iparnya harus meninggal di meja operasi karena serangan jantung. Begitupun dengan kakak sepupunya, Merli Sita, wanita itu juga meninggal dengan cara mengenaskan. Merli ditemukan bunuh diri di Rumah Sakit Jiwa. Tubuhnya tergantung di kamar mandi karena tak kuat menerima kejatuhan dan kepergian suaminya."Cari keponakanku berada. Telusuri semua wilayah yang sekiranya didatangi Kimberly. Aku tak mau sesuatu terjadi padanya. Dua hari! Kau ku beri waktu dua hari untuk menemukannya."Keinichiro Alan, pria blasteran Indo-Jepang itu membuat sang asisten menelan paksa salivanya. Bagaimana mungkin dalam dua hari ia bisa menemukan seseorang yang bahkan tak pernah i
Bi..""Ya?""Apa-- menurut bibi-- om Alan benar-benar mencintaiku?"Kimberly mengambil nampan yang berisi makanan dari tangan kepala pelayan itu. Matanya tak lepas menatap sang pelayan hendak mencari jawaban dari pertanyaan yang barusan ia layangkan."Dia mencintaiku, kan, Bi?" tanyanya lagi karena belum ada sahutan dari mulut bi Jeni.Meski dalam sepersekian detik yang lalu wajah bibi Jeni menampakkan keterkejutan, namun perempuan tua itu cukup pintar mengubah rautnya agar kembali tenang. Ia mengambil kembali nampan yang kini berada di tangan Kimberly dan meletakkannya di atas meja kecil dekat ranjang gadis itu."Tentu saja tuan Alan mencintai Anda, Nona," ujar bi Jeni."Anda adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh tuan."Sambil tersenyum hangat bi Jeni menoleh dan menatap sendu wajah Kimberly. Namun itu bukanlah jawaban yang Kimberly inginkan. Bukan cinta seperti itu yang ia maksudkan. Meski kecewa ia pun membalas senyum perempuan tua itu."He em. Kau benar, Bi. Om Alan hany
TIGA TAHUN YANG LALU"Hai ,Kim!"Suara yang sangat Kimberly kenal terdengar menyapa dan tersenyum. Tampaknya Borne masih tak menyerah. Di setiap pagi, tepatnya saat para siswa berdatangan Borne akan menyambut gadis itu di depan pintu kelas."Minggir, Borne. Aku mau masuk!""Senyum dulu, dong! Baru kuijinkan kau masuk!""Ck.. dasar tak tahu malu!" umpat Kimberly pelan namun dengan senyum mengejek.Borne seperti minta tiket pada gadis itu agar diijinkan masuk, padahal orang tua Kimberly adalah salah satu donatur terbesar di sekolahnya."Minggir atau kutendang milikmu!""Iiish! Jangan main-main dengan aset masa depanku, Kim!"Spontan pemuda tengil itu menutupi 'harta berharganya' dengan kedua tangan. Kimberly hanya tertawa geli melihat Borne ketakutan dengan ancaman palsunya. 'Mana mungkin aku menendang pusakanya, bisa-bisa Borne tak mampu memberi penerus pada keluarga Brahmaja.' Bathin Kimberly."Minggir!"Saat pemuda itu lengah dan tangannya masih menutupi sang pusaka, Kim mendorongny
Seorang perempuan dengan langkah anggun dan tenang berjalan bak seorang model. Meski usianya sudah tak bisa dikatakan muda, namun pesona Erika Brahmaja masih tampak mempesona. Tentu semua itu berkat pola makan yang dijaga serta perawatan yang mahal."Permisi, Nyonya. Selamat datang di Town Cafe."Pelayan Cafe menyambut Erika di depan pintu."Apa aku bisa menemui karyawan yang bernama Kimberly?" tanya wanita itu dengan gaya elegant."Kimberly? Apa-- nyonya keluarganya?"Sang pelayan sedikit penasaran, karena sejak Kimberly kembali bekerja di Town Cafe, banyak orang yang mencarinya. Dan semuanya terlihat bukan dari kalangan biasa."Bukan. Katakan saja saya ibunya Borne. Say ingin bertemu dan bicara dengannya sebentar."Erika menyodorkan beberapa lembar uang pada sang pelayan, membuat wajah gadis itu sumringah dan dengan sigap mengikuti permintaan wanita itu."Baik, sebentar, Nyonya. Anda silakan menunggu di dalam saja."Adelia, sang pelayan Cafe membukakan pintu yang terbuat dari kaca u
Pukul satu dini hari Alan sudah berada di depan rumah sewa Kimberly. Kost-kost an yang tak ubahnya seperti rumah susun itu memiliki lima lantai. Kimberly tinggal di lantai 3. Setiap kamar memiliki balkon kecil yang menghadap ke jalan.Sudah sejak 30 menit yang lalu Alan berdiri di depan pintu gerbang rumah sewa itu. Pintu gerbangnya tak terlalu tinggi, jadi setiap orang yang tengah bersantai di atas balkon bisa melihat siapa saja yang melintas di depan pintu gerbang rumah sewa itu.Naina masih terjaga meski waktu hampir pagi. Matanya tak mau terpejam mengingat apa yang Kimberly ceritakan siang tadi di Cafe."Gadis seperti Kimberly saja tak dianggap oleh ibunya Borne, apalagi.... aaah... bicara apa aku ini."Naina mengusir pikiran jauhnya. Menggapai seorang Borne adalah sebuah mimpi yang terlalu tinggi. Meski ia tak dapat menampik, semenjak Borne menawarkan diri untuk melindunginya saat sekolah dulu, gadis itu merasa ada perasaan istimewa di hatinya terhadap Borne, namun Naina cukup ta
"Om? Om? Om Alan..""Hh?"Alan tersentak saat sadar kegiatannya mengamati bibir ranum sang keponakan membuat dirinya tampak bodoh. Beberapa detik yang lalu Kimberly memanggil manggil namanya, saat Alan masih terfokus pada bibir kecil nan ranum itu. Seruan Kimberly saat menyebut namanya membuat Alan gemas dan tak ingin cepat-cepat menyahut. Gerakan bibir gadis itu saat bicara dengannya adalah salah satu daya pikat yang membuat hati pria itu berdesir entah sejak kapan, ia pun tak tahu. "Kau kenapa? Kagum dengan kecantikanku, hm?"Kimberly mulai menampakkan tingkah randomnya, berlagak sok cantik di depan Alan yang membuat pria itu tak kuasa mengulum senyum tipis yang hendak ia tahan."Dasar gadis yang terlalu percaya diri!"Lagi, Alan kembali mentoyor kening keponakannya dan langsung membuang wajahnya ke lain arah. Pria itu hanya tak mau Kimberly melihat wajah salah tingkahnya."Iiish.. dasar tak sopan!" gerutu Kimberly.Lampu di taman itu cukup terang untuk melihat wajah masing-masing.
Matahari sudah berada di ufuk timur, Alan kini masih memegang kepalanya yang terasa pening akibat tak tidur semalaman. Alih-alih kembali ke mansionnya, Alan justeru meminta sopir mengantarnya ke gedung Satou Group, cabang perusahaannya yang baru berjalan dua tahun belakangan. Pria itu masih terduduk di kursi kebesarannya tanpa berniat memeriksa berkas-berkas yang tergeletak di meja. Sejak sampai di kantornya, Alan masih terus terngiang ungkapan cinta dari mulut Kimberly."Dasar gadis bodoh! Mudah sekali mengatakan cinta pada laki-laki. Awas saja kalau kau juga mudah mengatakan cinta pada pria lain, Kim! Akan kupatahkan lehermu!"Alan terus saja bergumam untuk sekedar meluapkan rasa gelisah di hatinya. Rasa itu menjadi tak keruan saat ia mengingat Kimberly berbicara. Senyum gadis polos itu terus melekat di pelupuk mata Alan."Aaaaaaaakh... Kimberly, sebenarnya apa yang kurasakan terhadap anak itu! Aku tidak mungkin... aaaaaakh.... shit!"Alan terus saja merutuki kebingungannya terhadap
"Hoaaaaam..."Entah sudah keberapa kalinya mulut Kimberly menguap. Begitupun dengan Naina, mereka berdua menguap bersamaan seperti ayam yang tengah berkokok, saling berlomba dan bersahutan."Kalian berdua kuperhatikan sudah puluhan kali menguap sejak pagi tadi. Apa semalam kalian mendapat tugas jaga keamanan?" sarkas Feby, karyawan senior di Town Cafe.Kimberly dan Naina tak menjawab, dua gadis itu hanya saling menatap dan tersenyum tipis. Semalam, atau tepatnya dini hari tadi mereka memang memutuskan untuk tak melanjutkan tidurnya. Kimberly yang kembali pukul tiga langsung ditodong pertanyaan beruntun oleh Naina. Gadis itu sengaja menunggu sahabatnya pulang karena rasa penasaran yang membuatnya tak bisa memejamkan mata."Jangan sampai salah bawa pesanan lagi. Untung saja pelanggan tadi bukan pelanggan yang cerewet. Kalau kau salah bawa pesanan lagi aku akan mengadukanmu pada pak Manager."Feby memperingatkan Kimberly yang tadi memang keliru membawa pesanan. Harusnya pesanan untuk mej