“Mas Irwan!” Panggil Tami pelan, sambil mencengkeram tasnya erat. Baru saja pintu lift terbuka, pemandangan di depan mata membuatnya tersentak dengan wajah yang pias.
Di dalam sana, kekasihnya sedang memeluk mesra seorang pegawai wanita dari divisi pemasaran. Sontak mereka menjaga jarak dan tersenyum kaku karena salah tingkah. Sedangkan Tami perlahan memasuki lift dan berusaha bersikap tenang, melirik sebentar kepada perempuan tersebut yang saat ini menunduk dalam dan beringsut mundur ke belakang.
Berulang kali Irwan berusaha menggenggam tangan Tami. Tetapi, sebanyak itu pula dia ditepis. Begitu pula, ketika lift sudah berhenti dan mereka melangkah keluar. Irwan terus berusaha menjelaskan sambil mengekor di belakang Tami dan hasilnya tetap sama, tak di gubris.
“Sayang, dengar dulu penjelasan aku. Aku tadi benar-benar cuma mau bantu dia melepas benang yang tersangkut di jam tanganku, jadi posisinya seperti itu. Padahal aku enggak peluk dia sama sekali.” Beberapa kali Irwan berpindah dari sisi kanan dan kiri Tami, berusaha untuk mendapatkan perhatian sambil mengimbangi langkahnya.
Tami mengatupkan mulutnya lekat. Wajahnya datar, melihat lurus ke depan dengan tubuh di tegakkan dan langkah yang sedikit terburu-buru di atas high hells sampai ke area parkir. Dia langsung memasuki mobil, mengunci dari dalam dan melajukannya tanpa menatap lagi ke arah Irwan.
Sesampainya di apartemen, Tami tak menunggu lama untuk mandi, memasak dan membersihkan dapur karena ingin membuat tubuhnya lelah agar bisa tertidur pulas. Mengingat kejadian seperti itu bukanlah yang pertama kali, dirinya tak ingin terus berada di atas genangan air matanya sendiri. Dia bukanlah perempuan bodoh, meski dulunya terlalu dimanja, nyatanya dia mampu berdiri sendiri saat ini. Namun, hingga malam menjelang hatinya masih dipenuhi kegelisahan. Karena tidak bisa tidur, dia memutuskan untuk pergi ke dapur dan membuat susu hangat untuk membantunya agar bisa terlelap.
“Kenapa kamu tega menyakitiku terus menerus mas,” gumam lirih Tami dengan air mata yang menetes pelan.
Belum genap langkahnya menuju dapur, suara bel mengagetkannya dan membuat Tami berbalik ke arah pintu.
Dia terkejut, ketika mengintip keluar melalui lubang intip di pintunya.
“Mau apa mas Irwan kesini malam-malam begini?” Bisiknya sendiri.
Dengan perlahan Tami membuka pintunya dan Irwan menyeringai kecil melihat kekasihnya yang mengernyit.
“Em, mas ingin minta maaf, rasanya mas tidak akan sanggup kalau menunggu hingga besok. Boleh mas masuk?” Tanya Irwan pelan, mencoba menghilangkan keraguan di wajah Tami.
Dibukanya pintu sedikit lebar agar Irwan bisa masuk dan begitu pintu tertutup, tubuh Tami terkesiap dan membeku sejenak. Irwan mendekapnya erat dari belakang dan mendaratkan kecupan berulang di belakang kepalanya.
“Mas, jangan begini. Ayo duduk, kita bisa bicara baik-baik!” Tegas Tami sambil berusaha melepaskan kedua tangan Irwan yang melingkar di pinggangnya.
Melihat Tami tidak nyaman, Irwan perlahan melepaskan pelukan dan berjalan menuju sofa.
Untuk beberapa detik tak ada yang membuka suara. Lalu perlahan tangan Tami sudah berada dalam genggaman Irwan.
Gadis itu hanya bisa menghela nafas lelah dengan mata terpejam, bersiap dengan drama episode terbaru yang akan di suguhkan kekasihnya malam ini.
“Sayang, kamu udah enggak marah, ‘kan, sama aku?” Tanya Irwan sambil menatap dalam ke wajah Tami.
“Hem....”
“Benar? Sekali lagi aku minta maaf ya. Aku akan lebih menjaga diri aku buat kamu,” katanya berjanji.
“Hem....”
“Kalau gitu, aku boleh minta tolong sama kamu?” Irwan bertanya dengan senyum yang semringah.
Tami membuang sebentar wajahnya, dia sudah tahu akan ke arah mana pembicaraan ini berakhir. Entah kenapa, mesti tahu hubungannya ini tidak sehat. Dia selalu saja gagal untuk mengakhirinya.
“Apa, Mas. Kamu mau pinjem uang lagi? Yang kemarin aja belum terbayar, loh,” sindir Tami ketus.
“Aku pasti bayar, Sayang. Aku mau dapat bonus besar. Begitu itu cair, aku bayar sekalian sama yang kemarin ya. Boleh, ‘kan? Aku janji,” jawabnya cepat sambil memainkan ujung rambut Tami.
“Maaf, Mas. Aku enggak pegang uang!” Tegas Tami.
Mendengar itu, raut wajah Irwan langsung keruh. Dia perhatikan lamat-lamat wajah cantik kekasihnya yang memiliki keturunan timur tengah. Hidung mancung, bibir tipis dengan bulu mata lentik yang saat ini sedang memberengut. Pikiran kotor seketika hadir di otaknya.
“Maksud kamu? Bukannya kamu baru gajian ya?” Tanya sinis Irwan.
“Kamu ‘kan tahu sendiri, aku harus kirim ke ibu. Belum lagi untuk nutupin utang kamu dan kebutuhan sehari-hari aku. Jadi, udah enggak pegang uang lebih, Mas. Mending kamu cari kerja tambahan kalau masih perlu uang lebih,” ucap Tami dengan nada yang sedikit meninggi.
“Kamu sindir aku?! Mentang-mentang kamu sekretaris direktur, terus kamu rendahin aku, gitu!” Teriakan Irwan terdengar memenuhi ruangan apartemen itu.
“Terserah.” Jawab Tami malas lalu berdiri ingin masuk ke dalam kamarnya.
Merasa direndahkan, Irwan ikut berdiri. Menarik kasar lengan Tami, hingga tubuhnya berbalik lalu tamparan keras menyapa pipinya.
“Sombong Lo sekarang, udah ngerasa bisa rendahin gue, hah!” Teriak Irwan di depan wajah Tami sambil memegang lengan Tami dengan tangan lainnya.
“Gue enggak mau tahu, mana uangnya? Gue perlu buat besok!” Kali ini teriakannya di sertai cengkeraman di dagu Tami.
“Sakit, Mas,” rintih Tami pelan.
Dia tahu akan percuma melawan karena berujung dengan semakin banyak luka memar yang dia dapatkan.
“Kasih dulu uangnya.” Pinta Irwan.
“Enggak ada, Mas. Sungguh,” ucap Tami lirih.
“Cewek sialan!” Teriak Irwan di telinga Tami sambil menarik keras rambutnya ke belakang.
Teriakan demi teriakan bergantian di apartemen Tami. Teriakan cacian dan kesakitan seolah saling menyahuti, namun tak satu pun orang yang menolong.
Irwan yang gelap mata, berulang kali menghujani Tami dengan berbagai pukulan di sekujur tubuhnya.
“Ampun, Mas.” Pinta Tami dengan air mata yang mengalir deras dan menahan pukulan demi pukulan yang datang.
“Uang dulu, lalu kamu bebas, Sa-yang.” Seringai mengerikan terlihat jelas di wajah Irwan.
Dia menyeret Tami dan melemparkan ke sofa, mengukung tubuh Tami di bawah badan besarnya dan menarik kasar piyama yang dikenakan hingga robek tak beraturan.
Tami menangis hebat sambil menggelengkan kepalanya ke kanan dan kiri, berusaha menghindar atas apa yang akan Irwan lakukan ke dirinya.
Dia berusaha keras melawan sekuat tenaganya untuk melepaskan diri, walau rasa jijik sudah menghinggapi seiring dengan jejak basah yang Irwan berikan.
“Tolong–ampun, Mas. Aku benar- benar enggak punya uang.” Mohon Tami sekali lagi.
Pukulan keras kembali ke wajah Tami. Membuat kepalanya pusing dan penglihatannya berputar. Di ambang kesadaran Tami masih bergumam, "Siapa pun tolong!" Dan kesadarannya perlahan menghilang.
Bersamaan dengan menghilangnya kesadaran Tami, pintu apartemennya terdengar dibuka keras dan suara derap kaki cepat juga teriakan penuh kemarahan terdengar. "Brengsek!"
“Kamu sudah sadar? Ada yang sakit? Atau kamu merasakan sesuatu? Sebentar, saya akan panggilkan dokter untuk kamu.”Suara bariton dengan pertanyaan beruntun menyapa pendengaran Tami ketika dia sadarkan diri.Mata Tami mengerjap pelan, berusaha memindai ke sekeliling ruangan dan mencoba menelan saliva saat mulut dan tenggorokan terasa sangat kering. Dan ketika tangannya terangkat untuk menekan pelipis yang terasa sakit, jarum infus di tangan mengkonfirmasi keberadaannya saat ini. Matanya terpaku pada sosok maskulin yang menatap khawatir.“Pak Satria? Bagaimana bisa?" lirih Tami melihat sang atasan berdiri tanpa ekspresi.Seingatnya dia ada di apartemen semalam. Lalu kenapa pagi ini sudah ada di rumah sakit dengan Satria yang menemani.Suara deheman terdengar dari lelaki berusia empat puluh tahun yang masih betah melajang itu, “Em, kamu pasti bingung.” Satria menggaruk pelipisnya yang tak gatal. “Semalam saat saya pulang dan melewati unitmu, tak sengaja mendengar suara teriakan. Jadi, sa
Akhir pekan ini Tami sengaja tak pulang karena badannya belum pulih benar dan dia membutuhkan istirahat. Alasan lainnya sudah pasti adalah menghindari omongan dan perilaku menyakitkan dari Mama dan adiknya.Tami mendesah keras. Dia memijit pelipisnya sembari duduk bersandar di sofa ruang tengah apartemennya saat terdengar bunyi bel beberapa kali. Dengan malas dia membukakan pintu dan wajah terkejutnya tak bisa disembunyikan lagi.“Mau ngapain kamu kesini,” tanya Tami penuh kecurigaan.Sissy tak peduli atas omongan kakaknya dan dia melangkahkan kaki masuk bahkan sebelum dipersilakan. “Sejak kapan main ke tempat kakak sendiri harus ada alasan, “ celetuknya.Decak kesal terdengar jelas dari bibir Tami. “Ya udah, jangan ganggu karena aku mau tidur.”Gadis manja dengan gaun navy terusan selutut itu menyamankan diri di sofa dan menjawab sembari mencibir, “Terserah.”Dalam hati Sissy membatin, “Aku mau tahu, Satria akan kesini atau enggak ya. Karena aku menginginkannya, Kak.”Setelah beberap
Dua tahun yang lalu perasaan Tami membuncah bahagia. Dia tak menyangka akan dapat pria yang membuatnya jatuh cinta. Namun, kebahagiaan tak berlangsung lama. Beberapa bulan setelah berpacaran, Irwan mulai mengeluh banyak hal dan mulai meminjam uang pada Tami. Padahal Irwan juga memiliki kedudukan di kantor. Entah digunakan untuk apa uang itu.Lebih menjijikkan lagi pria itu pun kerap terlihat menggoda beberapa wanita dan selalu berkelit saat terciduk langsung oleh Tami.Kesabaran Tami habis dan malam itu adalah puncaknya. Mulai saat itu, Tami bersumpah tak ingin lagi bertemu dengan Irwan, apa pun kondisinya. Tetapi, takdir berkata lain.“Mas Irwan,” suara Tami sangat lirih, hingga hanya dirinya yang bisa mendengar.Matanya membola sempurna, pria yang disangkanya telah mendekam di dalam penjara malah terlihat beberapa meter di depan sana sedang tersenyum menatapnya. Tami segera membalikkan badan berjalan cepat menuju kasir dan mencari jalan keluar.Jantungnya semakin berdegup kencang sa
Satria menyeringai puas. Sambil mengelus foto mendiang kekasihnya, dia berucap lirih, “Pembalasanku untuk kematianmu akan segera terlaksana, Sayang. Tunggulah sebentar lagi, Tami akan kubuat merasakan sakit sampai dia tak ingin ada di dunia ini lagi.”Dia memejamkan mata sejenak, dadanya selalu sesak setiap kali mengingat Vania -tunangannya- yang meninggal satu minggu sebelum hari pernikahan mereka. Satria terpuruk dan hal itu membuat hatinya kebas kehilangan rasa.Sudah tiga tahun berlalu, tapi rasa sakit itu masih ada dan berkembang menjadi dendam yang bukannya menghilang malah semakin membakar diri Satria untuk melampiaskan sakit hatinya pada Tami.Tak peduli apa pun risikonya, dia sudah bertekad untuk membuat keluarga Tami hancur dan bersujud memohon ampun di kakinya.“Kali ini aku tidak akan menahan diri lagi.” Kemarahan terlihat jelas di wajah pria yang selama ini terkenal baik hati dan ramah.Rahangnya mengeras dengan mata yang berkobar, “Tak akan kubiarkan kamu hidup bahagia,
Tami berulang kali mengumpati Satria. Dia geram bukan main. Entah apa yang ada di pikiran atasannya itu hingga tiba-tiba ingin menikahinya. Apalagi mamanya yang juga ikut setuju tanpa menanyakan apa pun padanya.Bahkan, setelah dia melontarkan penolakan dan semua orang sudah pulang, hatinya masih tak tenang. Saat ini, dia masih di rumah mamanya di dalam kamarnya sendiri dan mencari cara untuk menggagalkan semuanya. Terlebih kata-kata Satria saat dia melabrak pria itu di telepon malah terus terngiang di kepala.“Kita akan menikah dan itu tak lama lagi.”“Kamu yakin? Irwan bukan perkara mudah untuk kamu hindari, pikirkan baik-baik tawaranku. Dan aku yakin, jawabanmu adalah, iya.”“Dengan entengnya dia mengancamku,” gumam Tami sambil mencibir. Hatinya kesal bukan main.Dia terdiam sesaat, menghempaskan tubuh ke kasur dan memandang langit-langit kamarnya. “Tapi apa yang dia bilang itu benar juga, apalagi mas Irwan enggak merasa salah sama sekali.”Tami benar-benar tak tenang, dia bangun d
Tami duduk manis di salah satu kafe yang berada dekat dengan apartemennya. Rencana untuk bertemu di unitnya langsung dia batalkan saat bayangan malam buruk bersama Irwan tiba-tiba berkelebat di benaknya, membuat sekujur tubuhnya merinding dan gemetar ketakutan.Dia meminum perlahan jus alpukat yang sudah berkurang setengah, tapi Satria belum juga tampak batang hidungnya. Tami memejamkan mata dramatis berusaha menekan emosi yang mulai menyeruak di dirinya. Gadis itu tak ingin ada di sini, tapi hal ini harus dilakukan sebelum semua semakin mempercepat penyesalan.Kursi di depannya bergeser, senyum tipis terlihat dari wajah tanpa raut rasa bersalah. “Ada urusan yang harus saya lakukan terlebih dahulu tadi.”“Saya juga belum lama,” cicit Tami mengalah.Mata Satria melirik ke arah gelas Tami yang sudah hampir habis isinya, dia tersenyum miring sebelum memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya. “Sudah menyerah dan siap menikah dengan saya?” Suara Satria terdengar dengan pertanyaan merem
Pernikahan yang katanya hanya diadakan secara sederhana dan mengundang keluarga terdekat saja karena persiapan dengan waktu yang singkat. Nyatanya, sejak tadi tamu tak berhenti berdatangan dan lihatlah dekorasinya. Penuh dengan lampu kristal, ruangan yang di dominasi warna putih dan emas, bunga-bunga indah juga pernak pernik lain yang sudah pasti tak murah adanya.Tami sudah berulang kali meringis, kakinya mulai lecet dan betisnya pegal karena terlalu lama berdiri menyapa tamu. Dia tahu kalau berharap perhatian dari suaminya adalah mustahil karena Satria tidak mencintainya. Benar saja, pria itu hanya meliriknya sekilas lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah tamu.“Kenapa senyummu jelek sekali hari ini. Biasanya kamu selalu ramah dan ceria.” Tegur Satria.“Tentu saja karena aku terpaksa ada di sini,” ucap Tami yang hanya berani diucapkan dalam hati. Dia mendengkus kecil dan melebarkan bibirnya dengan sangat terpaksa.“Ck ... ya, lumayan lah. Bertahanlah sampai acara ini selesai.
Tami mendorong kuat dada Satria dan mengatur napasnya ketika sudah terlepas. Dia masih tersengal dengan dada yang naik turun dan wajah memerah. Matanya terus melirik tajam ke arah Satria yang kini sudah berbaring di sebelahnya. Meski dia begitu menikmati kelembutan yang disuguhkan, tapi harga dirinya menolak untuk mengakui.“Apaan, sih, Pak,” omelnya.Satria tak menggubris, dia malah tersenyum miring lalu berbalik memunggungi Tami.“Dasar Om-om genit. Habis cium-cium malah sok jual mahal,” gerutu Tami dalam hati.Rasanya masih ingin meneruskan marah, tapi ucapan Satria kian menohoknya. “Tenang saja, saya enggak berminat sama tubuh kamu. Tadi hanya mencicip suguhan yang telah saya bayar mahal. Ternyata rasanya sungguh mengecewakan.”Tenggorokan Tami tercekat mendengarnya. Dirinya hanya dianggap sebagai “suguhan” dan mengecewakan. Hatinya bagai diremas kuat saat ini. Padahal dia sudah terbiasa direndahkan mama dan adiknya. Tapi ini sakit sekali. Air matanya sudah berkumpul di pelupuk m