Share

Bab 8

Saat kemejanya dilepas, punggung putih mulus Liana terlihat di mata Yohan.

Ada sedikit kekecewaan di matanya dan dia membuang muka, meminta maaf dengan suara yang dalam, "Maafkan aku."

Liana menarik sprei di tempat tidur dan membungkus badannya, dengan air mata terhina. "Pak Yohan, apa ini sudah membuktikannya?"

Yohan membuka mulutnya, tetapi merasa apa pun yang dia katakan saat ini terlalu jahat.

Saat pergi, dia melirik ke arah lantai dua. Masih ada cahaya redup di jendela. Ekspresi lemah Liana muncul di benaknya. Dia bertanya-tanya apakah dia sedang menutupi wajahnya dan menangis saat ini?

Yohan mengambil ponsel dan menelepon Hasan, "Bantu aku menyiapkan hadiah. Yang paling indah untuk seorang gadis."

....

Begitu Yohan pergi, Liana mengunci pintu dan membawa piyama bersih ke kamar mandi.

Setelah melepas jaketnya, bekas di dadanya sedikit memudar, tetapi tetap saja mengejutkan. Tidak banyak bekas luka di punggungnya. Dia mengoleskan salep jadi luka dipunggungnya sudah sembuh, Yohan tidak akan menyadari itu.

Meski begitu, Liana masih ketakutan sampai berkeringat dingin. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya setelah Yohan mengetahuinya. Yang dia tahu hanyalah Perusahaan Lewis dengan tegas melarang hubungan apa pun antar pegawai. Dia telah berjuang keras untuk mendapatkan pekerjaan ini dan dia tidak bisa kehilangannya begitu saja. Oleh karena itu, dia harus menjaga rahasia ini, meski dia harus mati, Yohan tidak boleh tahu tentang hal ini!

Setelah mandi sebentar, dia naik ke tempat tidur dan tertidur.

Keesokan paginya, Liana membeli dua sarapan dan membawakan satu untuk Nenek Nia.

Saat baru menggantung infus, pintu bangsal dibuka. Dia mengira itu adalah Yohan, jadi dia berpura-pura memainkan ponselnya dengan kepala tertunduk.

"Nenek." Sebuah suara yang agak familiar terdengar.

Liana mendongak kaget dan yang dilihatnya memang Hamdan.

Yohan dan Hamdan. Keduanya bermarga Lewis. Ternyata mereka satu keluarga?

Hamdan menoleh, seolah dia menyadari tatapannya. Liana tidak punya waktu untuk menghindarinya dan akhirnya mereka saling bertatapan.

Nenek Nia memperkenalkan sambil tersenyum, "Ini Liana. Liana ini cucuku yang lain, Hamdan Lewis."

Mengenai perkenalan mereka berdua, Nenek sangat singkat dan langsung pada sasaran.

Liana menghela napas. Hampir saja, dia mengira kalau Nenek Nia akan memberitahu Hamdan kalau dia adalah karyawan Yohan.

"Halo, aku Liana." Hamdan menatapnya dengan sedikit kehangatan di matanya.

Liana hanya mengangguk sopan, lalu kembali menatap ponselnya.

Saat Hamdan melihat itu, sesuatu yang aneh terlintas di pikirannya, tetapi dia tidak mengatakan apa pun.

Setelah beberapa saat, staf medis datang menjemput Nenek Nia untuk diperiksa. Hamdan tidak ikut pergi, dia duduk di sudut bangsal dan mengirimkan pesan kepada seseorang.

Liana lelah bermain dengan ponselnya, dia mematikan layar dan berencana untuk beristirahat. Saat dia mengangkat kepalanya, dia bertemu dengan tatapan Hamdan. Pada saat ini, Liana memiliki kilatan ilusi di dalam hatinya, seolah-olah dia telah lama menatapnya seperti ini.

Liana hendak membuang muka, tetapi Hamdan berkata, "Bukannya kamu sedang dalam perjalanan bisnis? Kenapa kamu di rumah sakit?"

Liana mengerucutkan bibirnya dan mengangkat ponselnya lagi.

Namun, kali ini tidak setelah itu ponselnya diambil dari tangannya. Liana mengangkat kepalanya dan menatap Hamdan yang berdiri di samping ranjangnya, "Ada urusan apa?"

Hamdan memandangnya, "Kenapa kamu nggak menjawab pertanyaanku?"

Liana menggigit bibirnya dan bertanya, "Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu? Atas dasar apa kamu berbicara denganku sekarang?"

Hamdan terdiam beberapa detik, "Apa kamu menyalahkanku?"

"Kamu terlalu memikirkannya, kita sudah putus," kata Liana lembut.

"Kita putus, tapi aku juga berhak menjelaskannya, 'kan?"

Liana tidak mengatakan apa pun.

Hamdan melanjutkan, "Antara aku dan Winda itu cuma kesalahan."

Liana masih diam.

Hamdan melihat ke atas kepalanya dan berkata, "Aku tahu kamu pasti berpikir aku mengabaikan tanggung jawabku saat mengatakan ini. Tapi Liana, percaya atau tidak, itu cuma sekali saja. Setelah itu, aku nggak pernah menyentuh Winda lagi."

"Aku juga menyesali apa yang terjadi malam itu, tapi itu sudah terjadi. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah putus denganmu. Aku bertanggung jawab pada Winda dan kamu. Apa kamu mengerti?"

Mendengarkan kata-kata ini, Liana merasa seolah-olah seseorang sedang memotong jantungnya dengan pisau. Dia bilang dia tidak peduli dan semuanya sudah berakhir, tapi masih ada rintangan di hatinya. Bagaimanapun, dia sangat menyukai Hamdan dan saat mereka pacaran juga dengan tujuan untuk menikah. Awalnya dia berpikir bahwa saat dia resmi menjadi karyawan tetap dan pekerjaannya stabil, dia akan mengambil inisiatif untuk membicarakan pernikahan dengan Hamdan, tetapi dia tidak menyangka hal seperti itu akan terjadi.

Hidung Liana jadi masam dan air mata jatuh ke selimut.

"Liana, maafkan aku ...." Hamdan mengulurkan tangannya dan dengan lembut meletakkan telapak tangannya di atas kepala Liana.

Pada saat ini, pintu bangsal terbuka dan Yohan muncul di pintu.

"Kak." Hamdan langsung menarik tangannya dan pada saat yang sama mundur dua langkah untuk menjauhkan dirinya dari Liana.

Yohan melirik Liana, kemudian menatap Hamdan. "Kenapa kamu ada di sini?"

"Aku dengar Nenek sakit, ibu menyuruhku untuk menjenguknya." Hamdan menjelaskannya.

"Apa kamu sudah bertemu Nenek?" Yohan terlihat dingin dan tidak terlalu antusias dengan adiknya ini.

"Ya."

Yohan masuk dan meletakkan barang-barang di tangannya. Melihat Hamdan yang masih berdiri di sana, ada sedikit ketidaksabaran di wajahnya, "Kenapa masih di sini?"

Hamdan mengerutkan keningnya, "Ayah tidak ada di Kota Rogasa akhir-akhir ini. Ibu bilang kalau kamu nggak bisa menjaganya, kamu bisa membawa Nenek pulang dan ibu yang akan menjaganya ...."

"Nggak perlu." Yohan langsung menyela, "Nggak boleh ada yang berani mencampuri urusan tentang Nenek."

Bangsal itu dipenuhi hawa permusuhan yang tak terlihat.

Akhirnya, Hamdan membuang muka dan berkata dengan tenang, "Kalau begitu aku pergi dulu."

....

Setelah Hamdan pergi, Liana baru mengangkat kepalanya untuk melihat Yohan.

Dia mungkin sedang dalam suasana hati yang buruk, alisnya berkerut dan wajahnya sedikit lebih dingin dari biasanya saat ada di perusahaan.

Yohan menoleh ke arahnya dan bertanya, "Kamu kenal dia?"

Liana tanpa sadar ingin menyangkalnya, tetapi merasa kalau Yohan telah mengetahui semuanya, jadi dia mengangguk.

Dia tidak menanyakan pertanyaan lebih lanjut, berjalan mendekat dan meletakkan tas yang dia bawa di depan Liana, "Ini untukmu."

Setelah beberapa saat, dia menambahkan, "Kompensasi."

Kompensasi untuk tadi malam.

Wajah Liana memerah. Dia menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak perlu."

Dia cuma melihat bagian belakangnya saja, dibandingkan dengan memakai bikini di pantai itu tidak ada apa-apanya. Hanya saja Liana pemalu dan dia merasa bersalah, jadi dia bereaksi sedikit terlalu keras

"Perlu!" Suara Yohan sangat tenang, takut menakutinya lagi, "Kalau kamu nggak mau menerimanya, aku akan merasa nggak nyaman."

Liana ingin mengatakan sesuatu yang lain, tetapi Nenek Nia sudah kembali dan di dorong masuk oleh staf medis.

....

Liana menjalani rawat inap rumah sakit selama tiga hari dan menjalani prosedur pemulangan pada hari keempat. Dokter meresepkan beberapa obat untuk dibawa pulang dan memberinya beberapa nasihat.

Saat mengucapkan selamat tinggal pada Nenek Nia, wanita tua itu memegang tangannya dengan enggan, yang membuat mata Liana memerah.

Melihat ini, Yohan berkata, "Dia adalah karyawan perusahaanku. Kalau Nenek ingin bertemu dengannya, pergi saja ke perusahaan untuk menemuinya."

"Benarkah?"

"Tentu saja."

Dengan jaminan Yohan, akhirnya Nenek Nia pun rela melepaskannya.

Hari sudah sore saat dia meninggalkan rumah sakit. Yohan memberinya libur tambahan setengah hari dan memintanya untuk istirahat yang cukup sebelum berangkat bekerja di perusahaan besok.

Begitu Liana kembali ke asrama, dia melihat Winda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status