Share

Bab 06

Meskipun sudah mencoba untuk tidur, tetap saja kembali terbangun. Namun, terusik dengan kemunculan Asya. Tetapi, sorot matanya itu antara kesal dan khawatir terhadapnya.

"Apa?"

Asya berdecak. "Apanya yang apa sih!" Mendadak dihubungi oleh Refan dan mengatakan kalau Rafan kacau lagi, dan hampir melakukan self harm.

Detik itu juga, Rafan menyadari sesuatu hal. "Hampir, tapi enggak kok." Rafan menghela napas sejenak, mulai menatap serius juga. "Tiba-tiba emosiku meluap, ya tanpa sadar melukai tubuh lagi ... yang penting, aku tidak menusuk ataupun menyayat lagi 'kan?"

"Tetap saja! Kalo nggak diingatkan lagi, kau pasti akan kembali melakukan self harm lagi!" Asya tidak suka itu. "Luka lama yang kau buat, sudah perlahan samar kan? Memangnya, kau semakin ingin manambah luka di tubuhmu lagi?"

Rafan hanya diam, menurutnya yang dikatakan Asya benar. "Tidak ingin, hanya saja emosiku tiba-tiba meluap."

Asya paham, memang itu hal sulit bagi Rafan untuk mencegahnya. "Coba kendalikan emosimu." pintanya, mulai mengelus lembut kepala Rafan, dan membalas pelukannya, setidaknya sedikit membantu menenangkan Rafan.

Rafan tetap diam, kemudian menarik Asya untuk ikut berbaring, bahkan memeluknya begitu erat, juga mencoba mendapatkan ketenangannya lagi. 

Asya mulai membisikkan kata tenang, di telinga Rafan. Lalu menarik Rafan agar menatapnya, benar saja kembali hampa. Asya tidak suka melihat sorot mata Rafan hampa—seakan mati.

Rafan mendekatkan wajahnya, hingga hidungnya bersentuhan dengan pipi Asya. Asya kembali mengelus lembut kepala Rafan, sesekali mengecup pelan pipinya. "Sstt tenang," bisik Asya pelan.

Rafan masih enggan merespon, memilih membenamkan wajahnya sebentar di leher Asya. Setelahnya, melepas pelukan dan terpejam.

"Sudah tenang?" Asya agak lega, tatapan Rafan tidak kosong lagi.

"Ya." Rafan menghela napas sejenak, sudah agak tenang.

Asya senang mendengarnya. "Tidur lagi."

Rafan tidak merespon, tetapi menatap sejenak Asya, kemudian terpejam dan meringkuk. Lambat laun, merasakan elusan lembut di kepalanya, merembet ke tengkuk leher, dan berakhir punggung tegap yang tak tertutupi apapun.

Asya sungguh mencintai Rafan, bukan karena kasihan atau apapun yang bisa dianggap omong kosong belaka. Meskipun, tahu Rafan gila. Itu bukan karena keinginannya, tetapi karena keadaan.

"Tenang," bisik Asya lagi, ketika melihat Rafan menggeliat dan semakin meringkuk ke arahnya.

Hingga akhirnya, Rafan berhasil tertidur pulas untuk pertama kalinya. Bila diingat, Rafan hanya bisa tidur dengan cara tak manusiawi, antara  efek koma dan ditidurkan paksa seperti dibius oleh orang gila lain. Itu dulu, saat Rafan masih diincar.

Kali ini tidak.

Rafan kembali terbangun, bahkan sudah sedikit tenang. Kini melirik Asya, ikut terlelap sembari memeluknya. Mengecup sejenak bibir mungil Asya, kemudian melepas perlahan dan beranjak pergi.

"Sudah tenang?" Risa melihat kemunculan Rafan, sengaja bertanya lagi.

"Ya."

"Mana Asya?" Seingatnya tadi datang, setelah dihubungi oleh Refan.

"Tidur."

"Kau nggak makan?"

Rafan menggeleng, memilih kembali ke kamar. Namun, langkah kakinya terhenti saat mendengar pertanyaan Risa.

"Ada masalah apa?"

"Nggak ada." Rafan membantah, karena memang tidak berbuat.

"Lalu? Kenapa kau kacau?" Risa tidak mau Rafan menyembunyikan masalah.

"Hanya ada pengganggu memuakkan, terus aja mendekat dan mengusik."

Asya baru terbangun, mendadak bingung karena tidak menemukan Rafan. Seketika lega, karena yang dicari kini muncul.

Rafan melihat Asya bangun, langsung mendekat dan menindihnya.

"Teman lamamu laki-laki kah?"

Asya mematung, tak mengira Rafan mempertanyakan.

"Kenapa diam?"

Asya tahu, Rafan tidak bermaksud mengancam atau menakuti. Tetapi, wajar bukan? Kalau masih ada rasa takut, mengingat Rafan itu mengerikan?

"Ah lupakan." Rafan menyingkir dari Asya, anehnya diurungkan karena Asya mencegahnya.

"Ya, teman laki-laki, dulu sebelum berganti identitas." Asya kini berhasil jujur dengan Rafan. "Kau marah?" tanyanya, sembari mengalungkan lengannya di leher Rafan, dan menariknya agar semakin dekat.

"Mungkin."

Asya tahu ini akan terjadi. "Tapi, aku cuma mencintaimu."

Rafan malah terkekeh. "Ya, aku tau. Termasuk aku, yang menggangguku itu cuma orang memuakkan."

Keesokan harinya, ada waktu luang. Membuat Rafan bisa bebas, berkeliaran sembari menunggu Asya selesai kuliah. Mereka berdua selalu bertemu dan saling tunggu di halte taman kota.

Bisa saja, Rafan mendatangi kampus untuk menjemput Asya. Entah kenapa, belum ingin dilakukan. Jika orang lain mengatakan dirinya tak peduli dengan kekasih, Rafan mengabaikan. Lagi pun, berbeda cara untuk mengekspresikannya.

Rafan membuka mata ketika ada yang duduk di sebelahnya, mengingat sedari tadi sendirian di pojok, mengabaikan orang sekitar yang masih saja takut dengannya. Dalam sekejap mereka lenyap, pergi entah ke mana.

Ah lupakan.

"Lama ya?" Asya kadang suka takut, malah bikin Rafan menunggu lama.

"Nggak." Rafan mendengkus. "Ayo pulang."

Asya berlari kecil mengejar Rafan, agak sebal karena ditinggal. Di satu sisi, sebenarnya ingin mengatakan pada Rafan, kalau dirinya ingin dijemput.

"Mungkin besok atau setiap hari aku akan menjemputmu langsung."

Asya senang mendengarnya, habis Rafan selalu saja seolah paham apa yang dipikirkannya.

Langkah mereka terhenti, lebih tepatnya karena Asya yang tiba-tiba berhenti. Rafan heran, tetapi mulai paham dengan sesuatu. Mereka bertemu secara langsung dengan teman lama Asya, yaitu Bagas.

"Tingkahmu waktu itu membuatku penasaran?" tanya Bagas spontan, sambil menatap serius. Lalu melirik ke arah Rafan yang berdiri di sebelah Asya dengan tatapan datarnya. "Kau lagi," sapa Bagas, bisa bertemu dengan laki-laki yang seumuran dan menurutnya aneh.

Rafan enggan membalas, manik hitamnya semakin menyorot datar. Bisa dibilang, tidak pernah mau menanggapi orang asing yang menyapa. Bagas hanya pasrah, karena didiamkan lagi. Langsung beralih menatap Asya.

Asya yang sedari tadi diam, mencoba tenang. "Maaf, waktu itu aku pergi begitu saja. Soal tingkahku kemarin, ehm belum bisa kujelaskan."

"Ya, tidak apa-apa. Sepertinya, kau nggak suka bila ditanya hal itu lagi ... terbukti saat aku memanggil nama lamamu." Bagas mengiyakan saja, kalau Asya tidak bisa menjelaskan. Meskipun, masih penasaran. "Kau kenal dengan dia?" tanyanya lagi, sambil menunjuk ke arah Rafan yang masih dengan tatapan datarnya.

"Iya, namanya Rafan." Asya akhirnya, memperkenalkan karena tahu Rafan akan diam bila diajak bicara oleh orang yang baru dikenalnya.

"Hm, Rafan ya?" Bagas mengangguk, di sisi lain merasa kesal dan mungkin terancam juga karena ditatap datar terus oleh Rafan. "Kalian dekat?"

"Iya." Asya mengiyakan. "Aku pergi dulu ya," pamit Asya, langsung menarik Rafan. Sedari tadi tahu, Rafan ingin sekali pergi.

Bagas membiarkan saja, dan terus menatap ke arah Asya yang terus menarik Rafan.

Dekat sekali, atau mungkin sudah menjalin hubungan ya?

Bagas memutuskan untuk pulang.

Asya masih tidak menyangka dengan penuturan Bagas, seperti sudah mengenal Rafan. Lalu menoleh ke arah Rafan, yang masih terdiam dengan tatapan datarnya. "Kau pernah bertemu Bagas?"

"Ya, kemarin dan itu cuma nggak sengaja berpapasan dengannya, jadi dia kah?" Rafan kembali bersikap biasa, setelah tadi datar dan dingin sekali pada orang lain.

"Ya, kau nggak suka?" tanya Asya spontan, untuk memastikan lagi.

"Aku tidak berkata begitu 'kan?" Rafan mendudukkan diri di bangku taman, dan terpejam.

Asya ikut duduk di sebelah Rafan. "Hm, nggak sih. Tapi, kemarin kau berkata mungkin."

Rafan kembali tidak merespon, lebih memilih terpejam, anehnya masih memikirkan soal teman lama Asya—alias Bagas.

Benar dia ya?

Rafan kembali menatap Asya.

Asya mulai bingung dengan Rafan, karena masih agak sulit menebak apa yang dipikirkannya. "Kau beneran sudah tenang 'kan?" Asya teringat lagi.

"Mungkin.” Rafan pergi begitu saja.

Asya mulai sebal. "Kok mungkin sih? Rafan tungguin!" Heran, salah apa sampai ditinggalin terus.

Rafan tersenyum tipis, melihat Asya sebal dengannya. Entah kenapa, iseng pergi duluan. "Iya, sudah agak tenang." Lalu menggenggam tangan Asya lagi.

"Terus kenapa menjawab mungkin?" Asya masih sebal.

Rafan hanya mengangkat bahu. "Pulang?"

"Tentu saja, kenapa emang?" Asya mulai bingung lagi. "Eh ikut saja deh." Asya belum mau pulang, ingin berkunjung ke kediaman Alexander.

Sampai di kediaman Alexander, Asya kembali bingung karena Rafan berhenti berjalan. Lalu ikut melirik ke arah garasi, ternyata ada mobil lain. Mulai menduga, kalau ada rekan bisnis yang datang. Anehnya, Rafan masih diam seperti tidak ada niat mau masuk.

"Kenapa lagi?" Asya semakin bingung.

Rafan menghela napas sejenak, lalu menatap Asya. "Dia di sini." Mood-nya buruk, setelah tahu pemilik mobil itu, tidak lain adalah keluarga Ambara.

"Yang membuatmu jengkel?" tanya Asya,mencoba memastikan lagi.

"Ya." Rafan langsung menarik Asya, agar masuk melalui pintu belakang. Benar-benar ingin menghindar, meskipun tetap saja akan berpapasan sebentar.

Asya menurut saja, merasa mood Rafan semakin buruk. Namun, langkah mereka terhenti saat Refan muncul.

"Kakak sudah pulang," sapa Refan kebetulan ada di dapur. Menduga kalau Rafan menghindar, dari keluarga Ambara.

"Hm." Rafan hanya membalas begitu, berjalan lagi menuju kamarnya sambil menarik Asya. Tetapi kembali terhenti secara paksa, tidak menyangka Liana akan ke dapur juga.

"Kita bertemu lagi." Liana kembali mendekati Rafan, tetapi ada rasa kesal saat Rafan menggenggam tangan Asya. "Kau baru pulang?"

Rafan tetap diam, melewati Liana begitu saja sambil terus menarik Asya. Liana semakin kesal, karena diabaikan lagi lalu melirik Refan.

Refan hanya mengangkat bahu. "Kau nggak lihat, kakak tidak nyaman dan sudah memiliki seseorang." Sengaja, berkata begitu karena tidak ingin Liana mendekati Rafan.

"Hanya ingin akrab? Nggak boleh gitu!" Liana sangat kesal.

"Yakin akrab doang?" Dengan nada dinginnya, Refan spontan berkata begitu. Setelahnya pergi.

Liana terus berdecak kesal, karena gagal mendekati Rafan lagi. Ditambah melihat Asya bersama Rafan, dan mendengar penuturan Refan tadi. Memutuskan kembali ke ruang tengah, tidak sadar kalau ada Risa yang menatap intens.

"Ini kah? Yang dimaksud Refan?" Risa mulai paham, dengan pertanyaan Refan tiba-tiba pada Rivo, mengenai keluarga Ambara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status