Rafan semakin dingin dengan sekitarnya, terus berjalan di setiap anak tangga menuju kamarnya. Bersama Asya yang sedari tadi tangannya digenggam erat olehnya. Langkahnya terhenti sebentar, itu membuat Asya mengernyit heran.
“Rafan tenanglah.” Asya seketika paham, kala melihat Rafan kembali risi dengan sekitarnya. Bahkan, saat melewati ruang tengah tadi. Rafan benar-benar dingin, seolah sapaan keluarga Ambara hanya angin lalu saja.
Rafan menghela napas sejenak, mencoba tenang dan bersikap biasa
Cih! Dia benar-benar merencanakan sesuatu.
Rafan mengusap kasar wajahnya, kembali menarik Asya dan berjalan memasuki kamarnya. Rafan melepas genggamannya pada Asya, kemudian melempar tas sekolahnya ke sembarang arah dan membaringkan diri dengan posisi telungkup. Rafan berusaha tenang lagi, jujur Rafan benci sekali dengan orang asing yang mendekatinya.
Karena tahu, pasti ada maksud terselubung. Sejak kembali bersama keluarganya, mulai berba
Waktu begitu cepat berlalu, mereka mulai disibukkan untuk ujian kelulusan dan belajar bisnis ditunda sementara. Agar tidak terganggu, setelahnya baru melanjutkan. Hal itu, membuat Rafan sedikit lega, karena Liana tidak mengganggunya.Akan tetapi, ada yang berbeda atau lebih tepatnya. Sekian lama berhasil mengubah sikap, kini perlahan kembali ke sikapnya yang—semula.Terbukti, Rafan semakin diam lagi dan lebih sering ke rumah kecilnya di hutan. Tetapi, tetap menurut bila disuruh tidak pergi. Namun, malah mengurung diri di kamar. Rafan hanya ingin tenang, sebelum inti masalah terjadi.“Kakak,” panggil Refan, mulai takut dengan perubahan sikap Rafan yang kembali seperti dulu.Rafan hanya menatap sebentar, setelahnya kembali diam dan terpejam. Benar-benar tidak ingin diganggu. Refan hanya menghela napas pasrah, saat didiamkan oleh Rafan. semakin takut, Rafan benar-benar akan kembali ke dirinya yang sebenarnya.Terlihat jelas sekali, s
Rafan berjalan dengan tatapan biasa. Namun, bagi semua orang yang melintas di sekitarnya—sorot mata begitu dingin dan mengerikan. Itu sebabnya, setiap kali Rafan melintas suasana hening. Takut memancing emosinya, dan mengacau lagi seperti dulu. Bahkan saat belajar bisnis di sesi pertama tadi, kebetulan ditambah jadi dua sesi. Suasananya saat itu, menurut beberapa anak pebisnis lain—yang bisa datang, begitu mencekam.Rafan memilih menyendiri di halaman belakang Xander Corp, menyandarkan punggung tegapnya pada pohon besar dan terpejam, untung saja sepi—tidak ada karyawan yang melintas. Sesekali menghela napas sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Sekalian melepas penat, setelah belajar bisnis tadi."Sebentar lagi puncaknya kah?"Rafan mendengkus pelan, sesekali mengusap kasar wajahnya. Meregangkan otot sejenak, kemudian beranjak dari duduknya, Rafan memilih pergi—tidak ikut belajar bisnis sesi kedua. Lagi pula, bebas baginya untuk ikut b
"Save meifIbecome, Mydemons."'ByStarsetTransmissions'•••Di kediaman Alexander, Rivo terus saja menghela napas gusar dengan kejadian yang terjadi di Xander Corp. Kedua kalinya, Rafan melampiaskan emosi. Kalau dulu, untuk balas dendam dan tadi untuk menggertak keluarga Ambara."Rafan tadi terpancing emosinya, ibu takut ... Rafan melakukan hal itu pada keluarga Ambara." Risa mulai panik lagi, setelah mendengar penjelasan dari Rivo tadi."Ayah juga sedang memikirkannya, tapi Rafan pergi begitu saja. Tidak sempat, untuk menenangkan dan mengingatkannya agar tidak bertindak seperti itu lagi." Rivo semakin gusar, di sisi lain juga yakin kalau keluarga Ambara akan melakukan rencana lain. Bisa dibilang, Rivo sudah menebak sifat Levan Ambara ketika mengajukan kontrak kerja sama—ditambah keinginannya yang memaksa.
Di rumah sakit yang sama, tempat dulu dirinya menjalani perawatan untuk menyembuhkan depresi berat. Kini, terjadi lagi. Rafan hanya termenung, meski kembali mengalami luka tembak di bagian kaki dan tangannya. Seakan sudah tidak berkesan apapun baginya.Untung saja, di kedua kakinya hanya luka gores peluru—berbeda di kedua tangannya benar-benar tertembak dan tidak terlalu dalam. Tetapi, darahnya merembes banyak sekali. Ditambah dengan luka di kepalan tangannya, akibat meninju batu—semakin banyak darah yang merembes. Untung saja, langsung diobati.Terkurung kembali? Sepertinya tidak, karena keluarga Alexander meminta persetujuan agar Rafan bisa pulang setelah lukanya pulih. Jadi, akan ke rumah sakit sesuai jadwal untuk menyembuhkan depresi berat bila benar-benar kambuh lagi.Rafan terus melamun, dan tatapannya dingin sekali. Bahkan, saat Asya datang menemuinya—tetap diam. Asya hanya menghela napas pasrah, kembali didiamkan oleh Rafan. Di satu sis
Rafan terus melangkah ke manapun, mengabaikan tatapan orang yang berkeliaran di sekitarnya. Paham, mereka kembali menatap seperti awal dirinya membuat teror. Lagi pula, beritanya langung tersebar luaskan dengan cepat.Cih!Langkah kaki Rafan mendadak terhenti sebentar—sekadar memakai penutup kepala dari jaket yang melekat di tubuhnya. Setelahnya, pergi cepat sekali.****Asya terpaku sejenak, tetapi tatapannya masih tertuju pada Bagas yang mulai menjauh. Lalu menghela napas gusar, bisa dibilang bingung dan terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Bagas terhadapnya—soal perasaan.“Aku tidak menyangka, dia memiliki perasaan terhadapku.”Asya masih tidak percaya, setelahnya mulai melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Kebetulan dosen untuk mata kuliah kedua tidak hadir dan setelahnya tidak ada kelas lagi. Di sisi lain pikirannya terus melayang pada ucapan Bagas.“Tapi, a
Rafan terbangun dari tidurnya, melirik sejenak ke arah Asya masih tertidur dalam dekapannya. Kemudian, beralih ke jam dinding. Ternyata sudah pukul lima sore, kembali menatap Asya dan perlahan melepas dekapannya.Rafan kembali melamun, sesekali mengusap pelan wajahnya. Mendadak pikirannya melayang pada rasa takut—terus saja menghantuinya. Tidak lain, firasat yang entah itu baik atau buruk? Benar-benar membuatnya, bingung dan semakin takut bila firasat—buruk.Tidak lagi!Terkadang bingung, selama mencoba berubah. Selalu banyak masalah yang menghampirinya. Jujur, sudah amat lelah menghadapi dan berusaha menyelesaikannya. Bagi orang awam pun, pasti memilih bunuh diri bila terus dihadapkan masalah besar secara beruntun.“Mencegah, bisa saja. Tapi, masalahnya ... entah kapan itu, akan terjadi?” Rafan menghela napas gusar, berusaha untuk tenang lagi.“Kenapa?” tanya Asya baru saja terbangun, mendadak heran mel
“Lonely, lost inside.”‘Glassy Sky’•••Rafan terus berjalan lambat, tak tentu arah. Alasan tidak terus berada di rumah sakit, karena enggan untuk mendengar secara langsung keadaan Asya. Bisa dibilang, semenjak merasakan firasat dan rasa takut—sudah menduga hal ini akan terjadi.Lebih tepatnya, hubungannya mulai renggang. Benar sekali, salah satu dari mereka akan ada yang terlupakan dan melupakan. Pastinya, tanpa sengaja ataupun karena satu alasan. Itu sebabnya, Rafan yang sudah menduga—memilih lebih dulu menjauh. Agar rasanya tidak terlalu amat menyakitkan—mungkin?“Hah, kejadian ini membuat emosiku berada di ambang batas.” Dengan nada dinginnya, Rafan menggerutu. Bahkan, terkesan mengerikan—menurut orang yang kebetulan melintas di sekitarnya.Beberapa dari mereka yang berpapasan, seketika menjauh. Karena merasa, Ra
Hari-hari berlalu begitu cepat, Asya kini sudah diperbolehkan pulang. Tetapi, terpaksa mengambil cuti kuliah karena Asya masih harus istirahat, dan tidak ingin terjadi hal lain juga. Yang paling penting, karena ingatannya masih belum pulih. Lebih tepatnya, hanya kenangan lama yang diingatnya. Membuat orang-orang baru—terutama Rafan, sebagai status yang menjalin hubungan dengannya pun tidak bisa diingatnya.Semenjak kecelakaan yang menimpa Asya, membuatnya seperti orang asing. Meskipun, baik Asya ataupun Rafan belum bertemu secara langsung. Kecuali Rafan, meskipun menjauh—hampir setiap harinya selalu memantau.Satu hal, mengenai pelaku yang menabrak Asya. Adalah Liana, ternyata alasannya karena ingin memiliki Rafan seutuhnya. Di sisi lain, Levan—ayah dari Liana tidak menyangka, melihat anaknya melakukan hal itu. Lebih tepatnya, keluar dari rencana yang dibuatnya.Saat itu juga, Levan melenyapkan semua renc