Share

5. Rencana Sepihak

1 Maret 

04:48 a.m.

Seorang gadis mengerjap, silau akan cahaya di hadapannya. Kepala yang seakan semakin berat, tubuh sakit, dan pedih pada bagian pundak secara bersamaan muncul. Tepat saat  mendapati dirinya berada di atas pembaringan.

Di kamar?

"Aww!!" Rasa pedih membakar pundak kanannya saat mencoba bangun.

"Sudahlah, jangan banyak bergerak. Lukamu cukup parah." Sebuah suara datang dari arah dapur, mungkin pamannya  sedang menikmati kopi atau teh. Terdengar kesan aneh dalam kalimat itu, sesuatu yang tak pernah diperlihatkan sosok tegap itu.

Keputus-asaan tersirat di getar suaranya.

"Paman, bisakah kau masuk? Ada hal yang ingin kutanyakan padamu," ujar  gadis di kamar, coba menyamankan diri. Sementara di dapur, sosok lelaki berusaha meredam rasa sesal yang menghantui.

"Baiklah, tunggu sebentar."

Tak berselang lama, lelaki yang selama ini merawatnya melangkah masuk. Saat melihat plester dan perban ada di tubuh sang paman, ia seketika tersadar jika tubuhnya juga berbalut benda sama.

"Ada apa, Malaikat kecilku?" Ditariknya sebuah kursi, duduk di samping tempat tidur. Senyum di wajah tegas itu tampak semu, kesenangan yang dibuat-buat.

"Pertama, bukankah tadi malam kita melompat ke jurang? bagaimana aku bisa bangun di sini? Dan lagi, itu sangat jauh dari rumah." Ini hal yang paling mengundang rasa ingin tahu gadis itu.

"Oh, itu jalan darurat yang sebelumnya sudah  kurencanakan. Beberapa hari lalu aku datang untuk membersihkan bebatuan dan apa pun yang dapat membunuhmu jika jatuh di jalur itu. Kau tahu ‘kan, jurangnya tidak seterjal itu, hanya terlalu miring untuk didaki, jadi aku menggunakannya untuk meluncur. 

Itulah kenapa kita memarkirkan mobil di dekat jembatan dan bukan di dekat rumah target. Yah, itu hanya alternatif, memang sangat berbahaya dan penuh risiko, tapi setidaknya lebih baik daripada menghadapi sekelompok banteng yang membawa pistol," jelasnya panjang lebar.

Gadis itu pun teringat saat menggelinding dan pingsan.

"Dan ... Yeah, mari rayakan keberhasilan kita. High five!" Ia mengangkat tangan kirinya ke udara.

Pria di samping ranjang mengernyit, wajah tampannya tampak heran.

"High five? Merayakan? Louis tidak mati, aku melihatnya sendiri. Kau hanya menggores tangannya, mana mungkin dia ... tunggu-" ragu ia menyelidik, menyadari sesuatu yang mungkin saja dilakukan keponakannya.

"Yup, kau benar ... 'SEVEN' style, Tetrodotoxin. Aku mengoleskannya pada pisau semalam. Yah, juga rencana sepihak." gadis manis itu tersenyum, merasa  bangga. Sebuah kalimat yang sungguh mengubah mimik wajah paman, membuat senyum mengembang di bibirnya. Kali ini Tulus.

"Kau hebat, Nina! Hebat!” Pria itu ber-yeah senang, “malaikat aut kecil ini memang dapat diandalkan. Lupakan tradisi ‘The Number’ tentang alfabet, terbunuhnya target jelas lebih penting." Ia tertawa gembira, lalu mengecup dahi iblis kesayangannya, tidak sia-sia latihan yang diberikan sejak dini.

"Untung kau tadi memakai topeng, jadi wajah cantikmu tidak tergores." goda pamannya  disambut tawa.

Gadis itu menyisir anak rambut yang terurai di dahi, tersenyum manis sekali.

"Nah, pagi ini tinggal menunggunya terkapar tak bernyawa."

-=9=-

Rey dan Anthony berangkat ke sekolah bersama, arah rumah mereka memang sejalur walau milik si detektif kecil sedikit lebih dekat. Anak itu pernah bertanya pada ketua kelompoknya mengapa tidak minta di antar jemput, padahal ia anak seorang pejabat.

"Jalan pagi itu sehat, juga saat siang kita jadi biasa jalan bersama sekelompok, itulah mengapa aku lebih memilih pulang berjalan kaki. Sebelumnya sih jemputan datang setiap pulang sekolah," jawabnya.

Pagi itu ada yang aneh dari Anthony, wajahnya terlihat agak pucat seperti kelelahan. Bibir putih, mata kemerahan. Perawakannya tampak seperti orang yang habis begadang.

"Hey, kau tak apa?" 

"Tak apa, mungkin hanya kurang tidur. Ada insiden pembunuhan di rumahku dini hari tadi, jadi aku tidak bisa tidur lelap. Ini saja aku ke sekolah menentang perintah ayah. Aku bosan di rumah." 

Rey tersentak mendengarnya. Pembunuhan? Jelas ini bukan hal yang bisa dia abaikan.

"Pembunuhan? Bagaimana kejadiannya?!"

"Aduh ... aku malas jika harus cerita dua kali, nanti saja pas di sekolah. Aku malas cerita dua kali." Anak baru itu hanya dapat menahan rasa penasaran dibuatnya.

Setibanya di sekolah, Deary dan Riri sudah menunggu. Semenjak kerja kelompok, keempatnya semakin dekat. Waktu menunjukkan pukul tujuh, masih ada setengah jam untuk berbincang-bincang. Mereka memilih sebuah kursi bekas panjang di dekat gerbang sebagai tempat berkumpul.

"Anthony, kau tak apa? wajahmu kelihatan pucat." Deary membuka percakapan.

"Benar, lebih baik kau ke bagian kesehatan jika  memang tidak enak badan." timpal Riri.

Siswa jangkung berambut panjang menggeleng, ruang kesehatan bukan kebiasaannya. Kemudian ia mulai bercerita tentang insiden pembunuhan yang dini hari terjadi di rumah.

"Nina!!" Panggil Rey ke seorang gadis yang melangkah masuk melewati pintu gerbang, cerita Anthony baru berjalan beberapa saat. 

Nina langsung mendatangi mereka, ikut duduk bersama. Namun gelagat gadis itu aneh, matanya awas, memperhatikan sekitar seakan lingkungan sekolah penuh dengan ancaman. Ia duduk sedikit jauh dari yang lain, tampak sengaja memisahkan diri.

Rey yang pertama kali menyadari keanehan gelagat Nina, perhatiannya selalu diambil alih dengan keberadaan gadis ini.

"Kenapa, Na? Kau sepertinya sedikit menjaga jarak." ucap Rey. Tiba-tiba ia tak tertarik mendengarkan cerita sang ketua, gadis itu rasanya lebih layak dinomor satukan. Tapi pertanyaannya hanya berbalas gelengan singkat.

Kemudian pemuda itu memperhatikan adanya plester di dahi Nina, juga tangan, jemari dan lututnya. Apa yang terjadi?

"Na, luka-luka itu … ada apa?"

"Tak apa." Singkat, jelas, padat. Keringat sebutir jagung meleleh di dahinya, air wajah gadis itu tampak menutupi sesuatu.

"Coba aku lihat." 

"Jangan!" Nina mendesis tertahan, tidak ingin membuat keributan. Ia menepis tangan yang ingin menyentuh dahinya, tampak gugup dan ketakutan.

Deary melirik sekilas, namun enggan ikut campur, senang jika kedua muda-mudi itu dekat. Ia menganggap yang barusan sebagai pertengkaran kecil kekasih. Pun Riri, dia  tipikal gadis bebas dan maunya sendiri, tidak berminat ikut campur dalam urusan orang. Sementara Anthony, terlalu lelah untuk peduli, memilih untuk meneruskan cerita, menguras sisa-sisa tenaga demi patah kata.

Rey mengurungkan niat, dahinya sedikit berkerut. Gadis ini sungguh pendiam, bahkan disentuh pun gugup. 'Hmmm … apa mungkin ini yang membuat semua laki-laki yang pernah mendekatinya pergi? jika hanya itu, aku tidak akan menyerah.' 

Sedikit lega, jika dugaannya benar maka kisah cintanya akan berjalan lancar.

Bel sekolah berbunyi nyaring, tanda jam pelajaran segera dimulai. Mereka berdiri, beranjak menuju kelas. Di jalan, barulah Deary coba menanyakan perihal luka-luka di tubuh sahabatnya, namun tetap tak mendapat apa-apa. Dua kali pertanyaannya tidak dibalas, Deary menyerah.

Mereka berjalan beriringan, sang ketua masih menceritakan kejadian di rumahnya, kali ini dengan ritme lebih lamban. Diselingi napas berat dan ringisan menahan sakit. Nina berjalan sendirian dua meter di belakang, menjaga jarak.

Sesekali Riri menyuruh Anthony pergi ke UKS, yang langsung dibalas dengan lambaian tangan. Tidak mau. Keadaan pemuda itu tampak buruk, tidak memungkinkan ikut kelas.

Tiba-tiba Anthony memegang kepala, tubuhnya limbung lalu terkapar, dadanya sesak seakan seluruh oksigen ditarik keluar. Sekian mili detik berlalu, tubuh tinggi itu kejang singkat, lalu terengah. Kejadiannya begitu singkat, seruan dan teriakan histeris bersahutan seakan diundang.

Riri memekik, Deary sigap berusaha menyadarkan temannya. "Hey! Kau kenapa?!"

Tak ada jawaban, ketua kelompok mereka tengah coba menarik udara ke paru-parunya sebisa mungkin. Hanya dalam sekejap, seluruh tubuhnya melemah, bahkan ia hampir tak dapat merasakan lengan dan kaki.

"Bawa dia ke ruang kesehatan. Cepat! Seseorang, panggil ambulans!"  Rey mengambil inisiatif, memerintah seorang murid entah siapa untuk bergegas meminta pertolongan ahli. 

Rey meraih tubuh tak berdaya tersebut, membopongnya bersama beberapa siswa ke ruang kesehatan. Ia jeli menatap garis-garis pembuluh darah di pergelangan tangan yang tidak normal. Gejala yang timbul di tubuh Anthony jelas tanda keracunan bahan kimia fatal.

Saat menggotong tubuh temannya, ia melirik ke arah Nina yang sedari tadi diam, malah terkesan menjauhi keributan. Sebegitu gugupnya kah, Sampai-sampai gadis itu tetap bergeming meski temannya seperti ini?

-=9=-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status