Share

6. Sandiwara

Kabar duka menyelimuti pagi. Langit yang sedari pagi cerah mulai berawan bertemankan sepi, seakan ikut sedih atas kejadian ini. Tangis kesedihan menggema di kelas-kelas, menghinggapi hati siswa-siswi. Pukulan teramat bagi para guru yang kehilangan murid berprestasi.

Louis Anthony, pemain basket andalan kelas 9, meninggal dunia.

Polisi dan dokter datang setelahnya, mengatakan bahwa anak itu keracunan. Mungkin disebabkan oleh zat berbahaya yang tidak sengaja masuk melalui goresan di tangan. Namun setelah hasil autopsi tiba, racun yang menyebabkan korban meninggal sungguh tak terduga.

Tetrodotoxin. Racun mematikan yang umumnya hanya ditemukan pada tubuh ikan buntal. Entah bagaimana zat semematikan itu dapat sampai di tubuh Anthony.

Di saat kegemparan sekolah sedang berlangsung, seseorang menghilang.

‘Ke mana Dia?’ Rey berlari ke bangunan sebelah, meski hampir tak ada kemungkinan sosok yang sedang dicarinya ada di gedung SMA. Namun sekecil apa pun kemungkinan, berarti masih ada kesempatan. Ia mencari di kamar mandi, taman, belakang sekolah, perpustakaan dan tempat lain di sekolah. Namun tetap nihil, rimbanya bak hilang ditelan bumi.

Apa dia pulang?

Sesaat kemudian pihak sekolah mengumumkan bahwa kegiatan belajar diliburkan. Langsung saja dikejarnya Nina ke rumah. Entah bagaimana gadis itu tahu kalau sekolah akan diliburkan, maka ia memilih pulang. Atau mungkin hanya kebetulan.

Benar saja, di jalan yang masih segar dalam ingatan pemuda itu, perempuan berambut hitam panjang melangkah perlahan. Sendiri, menunduk dalam sunyi, sibuk memperhatikan kerikil-kerikil yang terlewati.

"Na!" gadis itu terdiam, menghentikan langkah. Namun tak membalikkan badan.

"Kenapa pulang? Memang kau tahu kalau sekolah akan diliburkan?"  tersengal, rambut rapi itu kini kusam, tak berbeda jauh dengan wajah tampannya. Sedari tadi ia terus berlari.

"Aku mendengar kepala sekolah mengatakannya saat melewati ruang guru" 

"Na-" tangan kanan Rey terjulur, meraih pundak gadis di depannya.

"Aww!!!" Nina memekik tertahan, lalu memegang pundak. Wajah manisnya meringis karena rasa sakit.

"Kau kenapa? Apa Aku terlalu keras?” hanya gelengan singkat sebagai jawaban.

Bukan Rey jika dengan mudah bisa dibohongi, jelas ada yang tidak beres. Ia mendekat, memperhatikan pundak Nina. Ada lilitan kain putih di balik seragam gadis itu, membalut pundak. Jelas bukan goresan, perban tidak diperuntukkan bagi luka kecil.

"Na, sebenarnya ada? Bagaimana pundakmu bisa diperban seperti itu?" yang ditanya diam, segaris ketakutan terbersit di manik indahnya.

"Nina, lihat aku!"

Perlahan Nina menengadahkan wajah, menatap pemuda yang sedikit lebih tinggi darinya, siswa baru dengan segudang ilmu dan kecerdasan.

"Jujur, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Luka-luka ini, sifat menghindar diri, kau sudah memendam kehidupanmu dalam-dalam pada kawah sepi. Mengapa? Sebenarnya ada apa?"

Lama gadis itu bergeming, bimbang antara harus jujur atau tidak. Menit selanjutnya isak samar terdengar, perlahan tapi pasti, menjelma menjadi tangis pedih seorang gadis yang telah lama memendam kepedihan. Rey tahu itu, karena adiknya juga pernah menangis sedemikian rupa sebelum bunuh diri.

Tangis sepotong hati lemah yang dirundung duka lara bertubi-tubi. Bermuram durja tanpa dapat berhenti.

Nina masih memegangi pundak, lalu maju dan menyandarkan diri ke bahu pemuda di hadapan. Merasa telah menemukan tempat kokoh baginya untuk berlindung dan menaruh keluh kesah. Selama ini, hanya perhatian serta kasih yang ia cari.

Dengan hati-hati direngkuhnya gadis itu, sebisa mungkin tak menyakiti, mengerti ia butuh seseorang untuk menumpahkan isi hati. Tak butuh waktu lama, semua cerita pun tumpah ruah membanjiri setiap inci relung dalam nurani.

"Pamanku memiliki kepribadian mengerikan, beliau jarang di rumah, tapi sekali saja pulang maka aku akan dipukuli. Lima hari dia pergi, tadi malam saat aku sedang menonton TV, paman pulang dalam keadaan kacau dan sebotol bir. Saat aku ingin membantunya, dia malah memukulku.

Aku tak bisa melawan, aku terlalu takut. Aku juga tidak bisa pergi, meski tersiksa, dia yang sudah menolongku saat kobaran api merenggut nyawa kedua orang tuaku. Paman yang menyelamatkan hidupku, aku harus membalasnya dengan menjaga dan membersihkan rumah.

Tadi malam ia membabi buta, menyeretku ke halaman, melempariku apa saja yang ia temukan. Aku tidak tahu masalahnya, tapi paman terlihat mabuk berat dan melempar pecahan piring yang ia hancurkan ke arahku, lalu mengunciku di luar.

Aku cuma bisa menangis, pundakku tertusuk pecahan kaca, kaki dan tanganku luka-luka, tapi aku tak marah. Aku tetap menyayangi paman, ia yang telah membiarkanku hidup dan membiayai sekolah serta segala keperluanku." kisah yang selama ini ia pendam di hati. Tertutur sendu.

Rey menitikkan air mata, tak menyangka gadis yang disukainya memiliki kisah hidup teramat berat untuk ukuran remaja. Diliriknya jemari dengan plester dimana-mana, bekas insiden penyiksaan oleh sang paman gila.

"Mengapa kau tidak melapor polisi?"

"Tidak! Jangan ... jangan libatkan paman dalam pengadilan, aku tak mau menyusahkannya. Aku mohon, aku tahu ayahmu seorang detektif, memiliki pengaruh besar di kepolisian, tapi aku mohon jangan lakukan." Nina terisak di pundak laki-laki itu, memohon sebisa mungkin.

'Aku tak mungkin melakukannya, percuma membebaskan seseorang dari siksaan lahir jika itu malah merusak batinnya' 

"Baiklah. Kalau begitu, mulai sekarang, ceritakanlah semua perasaan dan keluh kesahmu padaku, aku akan setia mendengarkannya. Semua akan lebih ringan jika kau berbagi pada orang lain." usulnya dibalas anggukan samar.

Pagi itu mereka berpisah, dengan perasaan tak terkatakan di masing-masing hati. Rey senang dapat mendengar cerita yang hanya ia yang tahu tentang gadis itu, dan mungkin Nina juga senang mendapat tempat berbagi pertamanya, teman sejati. Tadi sebelum berpisah ia tersenyum begitu bahagia, meski masih terlihat menahan rasa sakit.

Sesampainya di rumah, gadis itu langsung mengunci pintu, lalu pergi ke kamarnya di lantai dua.  Keadaan di dalam lengang, sang paman pergi entah ke mana dan belum kembali. Hanya ada dirinya dalam kekangan hening.

Nina mengunci pintu kamar dan menanggalkan seragam, perban yang melilit pundak sudah berwarna merah. Tadi ia sengaja memegangnya tepat dimana darah menyembul, agar Rey tak melihat bahwa luka itu lebih dari sekedar tertusuk pecahan kaca. Saat ikatan dibuka, darah segar mengalir dari luka yang semakin menganga.

Benar kata paman, seharusnya ia tak perlu ke sekolah pagi ini.

-=9=-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status