Share

2

"Yang aku tahu, dirinya juga sama pengecutnya dengan Kakak kembarnya yang hanya bisa bersembunyi dibalik ketiak ibu mereka!" paparnya dimana sorot benci itu terlihat jelas.

Raditya yang bersembunyi di balik tembok, hanya mampu menghela napas pendek dengan kedua bahu terkulai lemah, saat mendengar penuturan jujur dari mulut sang mantan Kakak Ipar. Dirinya memang mengakui jika dirinya dan kembarannya adalah orang-orang yang pengecut, dimana hanya bisa bersembunyi dibalik ketiak ibunya, sesuai dengan apa yang Sarah ucapkan. Dengan langkah gontai, iapun berjalan meninggalkan tempat itu, menuju mobilnya yang ia parkir kan di seberang jalan.

"Jangan terlalu membenci, Nak! Karena mau bagaimanapun, di dalam tubuh Satria mengalir darah mereka! Dia garis keturunan mereka dan kamu tidak bisa memutuskan pertalian darah itu, meskipun kamu menggunakan cara ekstrim sekalipun untuk memutuskannya!" Marni menasehati dengan lembut juga senyum penuh keibuan.

Sarah lantas menatap seutuhnya pada wanita baik hati itu dengan matanya yang mulai memburam kembali, dimana air mata itu kembali berkumpul di kedua sudut matanya. "Lalu ... apa yang harus aku lakukan, Bu? Saat dirinya mengucapkan kata talak itu untukku, sejak itu juga aku dan Satria tidak ingin berhubungan dengannya atau dengan seluruh anggota keluarganya lagi?" tanyanya dengan nada lelah. Airmatanya akhirnya lolos seiring satu kali kedipan mata tercipta, tatkala dirinya mengingat peristiwa buruk itu kembali, tepat sehari setelah dirinya melahirkan Satria.

"Ibu mengerti perasaanmu, Nak." Marni menghibur Sarah dengan menarik wanita itu masuk ke dalam pelukannya.

Sarah lantas kembali tergugu, iapun membalas pelukan itu dengan erat, hingga paper bag itu terhimpit di antara tubuh mereka berdua. Namun wanita itu tidak perduli, dirinya hanya ingin meluapkan semua emosinya setiap kali mengingat semua perlakuan yang ia terima, baik dari mantan suaminya, maupun dari keluarga laki-laki itu.

Marni terdiam, ia membiarkan Sarah meluapkan semua emosinya. Hanya usapan lembut di punggung wanita itu yang menjadi gambaran dirinya benar-benar perduli akan keadaan keduanya.

Sarah perlahan melepaskan pelukannya, karena ia merasa sedikit lebih lega setelah menangis. "Maaf, Bu," tukasnya penuh permohonan.

Marni menatapnya dengan heran yang justru terlihat lucu di wajah bulat wanita itu.

"Maaf karena sudah menangis sehingga baju Ibu kotor terkena air mata dan ... itu," ungkapnya dengan lirih pada akhir kalimat sembari menunjuk pada bahu kiri wanita itu.

Marni mengikuti arah tangan Sarah, tawanya seketika pecah tatkala mengetahui apa yang menjadi alasan Sarah berwajah kikuk. Namun segera ia tutup dengan kedua tangannya, tatkala mereka mendengar suara tangisan keras yang berasal dari mulut Satria.

Keduanya lantas berjalan tergesa-gesa mendekati bayi gembul itu, dimana kini mengangkat kedua tangan dan kakinya sembari menangis keras, wajahnya bahkan memerah seiring kerasnya suara tangisan yang keluar dari mulutnya.

Sarah segera menyibakkan kelambu yang menutupi tubuh putranya, iapun segera memeriksa keadaan bocah gembul itu. Senyumnya seketika terbit saat mengetahui penyebab sang putra menangis keras. "Anak mama pup, ya?" tanyanya geli. Namun dengan sigap segera membersihkan kotoran yang putranya keluarkan dengan tisu basah yang tersedia di samping tubuh bocah itu.

Marni ikut terkekeh kecil mendengarnya, namun helaan napas lega terdengar dari mulutnya. Dirinya senang saat melihat senyum Sarah terbit setiap kali bersama Satria.

***

"Aku berangkat kerja dulu, ya, Bu!" tutur Sarah berpamitan. Dirinya nampak telah selesai mandi, begitupula dengan Satria yang kini berada dalam gendongannya.

Bocah tampan yang mewarisi seratus persen wajah ayahnya itu, nampak sedang mengerjapkan matanya yang bening laksana air dengan lucu.

"Iya, hati-hati di jalan!" sahut Marni sembari menyambut Satria ke dalam pelukannya. "Satria main sama Nenek dulu, ya! Mama satria mau kerja dulu, biar bisa beli rumah gede sama mobil besar, terus nyekolahin Satria di sekolah yang terbaik," tukasnya mengajak bocah itu berbicara, yang hanya dibalas satria dengan mengeluarkan air liurnya.

Baik Marni maupun Sarah, hanya bisa terkekeh geli melihat tingkah lucu bocah itu.

"Mama pergi dulu!" Sarah berpamitan seraya meraih tangan kanan Marni untuk ia cium.

"Iya, hati-hati di jalan!" Marni membalas dengan seulas senyum manis.

Tangan Satria ia angkat ke atas, seolah-olah sedang melambaikan tangan yang mengiringi keberangkatan ibunya, tepat di depan pintu.

Sarah pun berangkat bekerja dengan berjalan kaki, tanpa menoleh ke belakang, dimana kini Marni menutup pintu dengan pelan, tak lupa menguncinya dari dalam.

"Aku pasti bisa!" Sarah berdoa sebentar dengan mata terpejam selama dua detik bersama tarikan napas dalam guna mengusir rasa gugup yang tiba-tiba menyerang.

Iapun kembali melanjutkan langkahnya menuju luar pekarangan Marni, tak lupa menutup pintu pagar dari luar, lalu mengaitkan kunci yang terbuat dari paku panjang pada kawat di sebelahnya, agar pagar itu tidak terbuka.

Dengan langkah ringan, Sarah mengayunkan langkahnya menuju jalan raya dimana kini malam sudah merangkak naik, tepat setelah shalat Maghrib selesai umat muslim kerjakan. Nampak di ujung jalan sana, ramai anak muda berpakaian rapi, layaknya orang yang baru pulang dari shalat berjamaah, berbondong-bondong berjalan dengan arah yang berlawanan dengannya.

"Dek Sarah mau kerja, ya?" sapa seorang lelaki yang berada dalam rombongan tersebut.

"Iya, permisi!" sahut Sarah cepat, enggan berlama-lama berinteraksi dengan lelaki itu maupun semua teman-temannya, karena dirinya bukanlah anak gadis kemarin sore lagi.

"Yah ... dia kabur!" gerutu lelaki itu sembari menggaruk tengkuknya, yang disambut semua temannya dengan menertawakan tingkah lakunya.

"Kamu sendiri yang lamban, Rul! Waktu Sarah masih perawan, kamu selalu ngomong, tar sok ... tar sok mulu buat ngelamar dia. Eh ... pas, kan, akhirnya keduluan sama orang kota itu. Nah, sekarang pas dia udah jadi janda, kamu masih mau gerak lamban?" desak Budi sembari merangkul pundak Arul yang hanya bisa menatap kepergian Sarah, dimana wanita itu kini menghilang di belokan yang ada di ujung gang sana.

Arul hanya mampu terdiam, karena memang yang dikatakan oleh Budi benar adanya. "Ok deh, aku akan gerak cepat kali ini! Demi Sarah dan Satria!" tekadnya, yang disambut bahagia semua teman-temannya.

"Syukurlah Arul gak macam-macam," desah Sarah, lega, mengusap dadanya yang berdegup kencang tanpa menghentikan langkahnya. Namun hanya sesaat, saat tiba-tiba sebuah mobil Van berwarna hitam mengerem mendadak di depannya, disusul terbukanya pintu dari dalam. "si—, TOLONG! TOLONG!" jeritnya kuat saat tangannya ditarik paksa, masuk ke dalam hingga jatuh tepat dia atas pangkuan seorang laki-laki.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status