"Yang aku tahu, dirinya juga sama pengecutnya dengan Kakak kembarnya yang hanya bisa bersembunyi dibalik ketiak ibu mereka!" paparnya dimana sorot benci itu terlihat jelas.
Raditya yang bersembunyi di balik tembok, hanya mampu menghela napas pendek dengan kedua bahu terkulai lemah, saat mendengar penuturan jujur dari mulut sang mantan Kakak Ipar. Dirinya memang mengakui jika dirinya dan kembarannya adalah orang-orang yang pengecut, dimana hanya bisa bersembunyi dibalik ketiak ibunya, sesuai dengan apa yang Sarah ucapkan. Dengan langkah gontai, iapun berjalan meninggalkan tempat itu, menuju mobilnya yang ia parkir kan di seberang jalan."Jangan terlalu membenci, Nak! Karena mau bagaimanapun, di dalam tubuh Satria mengalir darah mereka! Dia garis keturunan mereka dan kamu tidak bisa memutuskan pertalian darah itu, meskipun kamu menggunakan cara ekstrim sekalipun untuk memutuskannya!" Marni menasehati dengan lembut juga senyum penuh keibuan.Sarah lantas menatap seutuhnya pada wanita baik hati itu dengan matanya yang mulai memburam kembali, dimana air mata itu kembali berkumpul di kedua sudut matanya. "Lalu ... apa yang harus aku lakukan, Bu? Saat dirinya mengucapkan kata talak itu untukku, sejak itu juga aku dan Satria tidak ingin berhubungan dengannya atau dengan seluruh anggota keluarganya lagi?" tanyanya dengan nada lelah. Airmatanya akhirnya lolos seiring satu kali kedipan mata tercipta, tatkala dirinya mengingat peristiwa buruk itu kembali, tepat sehari setelah dirinya melahirkan Satria."Ibu mengerti perasaanmu, Nak." Marni menghibur Sarah dengan menarik wanita itu masuk ke dalam pelukannya.Sarah lantas kembali tergugu, iapun membalas pelukan itu dengan erat, hingga paper bag itu terhimpit di antara tubuh mereka berdua. Namun wanita itu tidak perduli, dirinya hanya ingin meluapkan semua emosinya setiap kali mengingat semua perlakuan yang ia terima, baik dari mantan suaminya, maupun dari keluarga laki-laki itu.Marni terdiam, ia membiarkan Sarah meluapkan semua emosinya. Hanya usapan lembut di punggung wanita itu yang menjadi gambaran dirinya benar-benar perduli akan keadaan keduanya.Sarah perlahan melepaskan pelukannya, karena ia merasa sedikit lebih lega setelah menangis. "Maaf, Bu," tukasnya penuh permohonan.Marni menatapnya dengan heran yang justru terlihat lucu di wajah bulat wanita itu."Maaf karena sudah menangis sehingga baju Ibu kotor terkena air mata dan ... itu," ungkapnya dengan lirih pada akhir kalimat sembari menunjuk pada bahu kiri wanita itu.Marni mengikuti arah tangan Sarah, tawanya seketika pecah tatkala mengetahui apa yang menjadi alasan Sarah berwajah kikuk. Namun segera ia tutup dengan kedua tangannya, tatkala mereka mendengar suara tangisan keras yang berasal dari mulut Satria.Keduanya lantas berjalan tergesa-gesa mendekati bayi gembul itu, dimana kini mengangkat kedua tangan dan kakinya sembari menangis keras, wajahnya bahkan memerah seiring kerasnya suara tangisan yang keluar dari mulutnya.Sarah segera menyibakkan kelambu yang menutupi tubuh putranya, iapun segera memeriksa keadaan bocah gembul itu. Senyumnya seketika terbit saat mengetahui penyebab sang putra menangis keras. "Anak mama pup, ya?" tanyanya geli. Namun dengan sigap segera membersihkan kotoran yang putranya keluarkan dengan tisu basah yang tersedia di samping tubuh bocah itu.Marni ikut terkekeh kecil mendengarnya, namun helaan napas lega terdengar dari mulutnya. Dirinya senang saat melihat senyum Sarah terbit setiap kali bersama Satria.***"Aku berangkat kerja dulu, ya, Bu!" tutur Sarah berpamitan. Dirinya nampak telah selesai mandi, begitupula dengan Satria yang kini berada dalam gendongannya.Bocah tampan yang mewarisi seratus persen wajah ayahnya itu, nampak sedang mengerjapkan matanya yang bening laksana air dengan lucu."Iya, hati-hati di jalan!" sahut Marni sembari menyambut Satria ke dalam pelukannya. "Satria main sama Nenek dulu, ya! Mama satria mau kerja dulu, biar bisa beli rumah gede sama mobil besar, terus nyekolahin Satria di sekolah yang terbaik," tukasnya mengajak bocah itu berbicara, yang hanya dibalas satria dengan mengeluarkan air liurnya.Baik Marni maupun Sarah, hanya bisa terkekeh geli melihat tingkah lucu bocah itu."Mama pergi dulu!" Sarah berpamitan seraya meraih tangan kanan Marni untuk ia cium."Iya, hati-hati di jalan!" Marni membalas dengan seulas senyum manis.Tangan Satria ia angkat ke atas, seolah-olah sedang melambaikan tangan yang mengiringi keberangkatan ibunya, tepat di depan pintu.Sarah pun berangkat bekerja dengan berjalan kaki, tanpa menoleh ke belakang, dimana kini Marni menutup pintu dengan pelan, tak lupa menguncinya dari dalam."Aku pasti bisa!" Sarah berdoa sebentar dengan mata terpejam selama dua detik bersama tarikan napas dalam guna mengusir rasa gugup yang tiba-tiba menyerang.Iapun kembali melanjutkan langkahnya menuju luar pekarangan Marni, tak lupa menutup pintu pagar dari luar, lalu mengaitkan kunci yang terbuat dari paku panjang pada kawat di sebelahnya, agar pagar itu tidak terbuka.Dengan langkah ringan, Sarah mengayunkan langkahnya menuju jalan raya dimana kini malam sudah merangkak naik, tepat setelah shalat Maghrib selesai umat muslim kerjakan. Nampak di ujung jalan sana, ramai anak muda berpakaian rapi, layaknya orang yang baru pulang dari shalat berjamaah, berbondong-bondong berjalan dengan arah yang berlawanan dengannya."Dek Sarah mau kerja, ya?" sapa seorang lelaki yang berada dalam rombongan tersebut."Iya, permisi!" sahut Sarah cepat, enggan berlama-lama berinteraksi dengan lelaki itu maupun semua teman-temannya, karena dirinya bukanlah anak gadis kemarin sore lagi."Yah ... dia kabur!" gerutu lelaki itu sembari menggaruk tengkuknya, yang disambut semua temannya dengan menertawakan tingkah lakunya."Kamu sendiri yang lamban, Rul! Waktu Sarah masih perawan, kamu selalu ngomong, tar sok ... tar sok mulu buat ngelamar dia. Eh ... pas, kan, akhirnya keduluan sama orang kota itu. Nah, sekarang pas dia udah jadi janda, kamu masih mau gerak lamban?" desak Budi sembari merangkul pundak Arul yang hanya bisa menatap kepergian Sarah, dimana wanita itu kini menghilang di belokan yang ada di ujung gang sana.Arul hanya mampu terdiam, karena memang yang dikatakan oleh Budi benar adanya. "Ok deh, aku akan gerak cepat kali ini! Demi Sarah dan Satria!" tekadnya, yang disambut bahagia semua teman-temannya."Syukurlah Arul gak macam-macam," desah Sarah, lega, mengusap dadanya yang berdegup kencang tanpa menghentikan langkahnya. Namun hanya sesaat, saat tiba-tiba sebuah mobil Van berwarna hitam mengerem mendadak di depannya, disusul terbukanya pintu dari dalam. "si—, TOLONG! TOLONG!" jeritnya kuat saat tangannya ditarik paksa, masuk ke dalam hingga jatuh tepat dia atas pangkuan seorang laki-laki."Lepaskan aku brengsek!" makinya kesal, saat melihat siapa orang yang telah menariknya paksa."Sstt ...! Jangan berontak, Sayang!" pinta sesosok lelaki yang sedang memeluknya erat dari belakang. Menahan kedua tangannya yang hendak membuka paksa pintu mobil."Lepasin aku, Setan!" hardik Sarah semakin murka. Kedua kakinya menendang-nendang ke sembarang arah, begitupula dengan tubuhnya yang berontak, berusaha melepaskan pelukan lelaki itu, dimana ia kenali aromanya karena aroma itulah yang setiap malam menemani tidurnya saat mereka masih menjadi sepasang suami istri."Sstt ... kok mulutmu makin kasar sekarang, Sayang!" tegur Aditya kesal, karena Sarah terus saja berontak. "bukankah sudah aku bilang, kalau aku gak suka kalau kamu sudah ngomong kasar gitu! Karena bikin aku bergairah, tau gak!" omelnya dengan wajah merah padam menahan hasrat untuk menyerang mantan istrinya membabi buta."An jing! Se tan! Ib lis! Jangan sentuh aku, Setan! Aku gak sudi!" pekik Sarah dengan suara keras, yang s
Sarah menangis sesenggukan, memegangi pakaiannya yang koyak bekas perbuatan Aditya barusan dengan kedua kaki saling menekuk di atas kursi. Sementara lelaki itu, tengah membenahi ikat pinggangnya, mengusap keningnya yang berkeringat bersama senyum penuh kepuasan menghiasi."Ternyata rasanya masih seenak biasanya, Sayang," kekeh Aditya, kembali duduk bersender, meraih pundak Sarah yang justru menepis kuat tangannya. "uhhh ... kamu marah?""Biarkan aku pergi. Aku mohon!" pinta Sarah, mengusap air matanya dengan punggung tangan."Dengan pakaian seperti itu? Kamu, yakin?!" Aditya balas bertanya."Bukankah kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan! Jadi, biarkan aku pergi karena aku harus bekerja," tukas Sarah datar."Ohhh ... tidak bisa! Kamu tetap bersamaku karena aku masih belum puas, Sayang!" tolak Aditya, terkekeh puas."DASAR BAJINGAN!" maki Sarah, menampar pipi Aditya dengan keras hingga kepala lelaki itu tertoleh ke kiri. Napasnya terdengar berburu juga telapak tangan memerah."
"Mas, please ... aku gak mau ikut!" rengek Sarah, memohon saat Aditya menariknya paksa keluar mobil. Mereka sudah tiba di bandara, bahkan sebuah pesawat jet pribadi telah berdiri dengan gagahnya, siap melayang di udara."Harus! aku gak terima penolakan sedikitpun!" sahut Aditya tegas, menarik kencang lengan Sarah hingga wanita itu berhasil keluar dari mobil."Mas ... please, Mas Adit. aku gak mau! Nanti bagaimana dengan Satria, Mas? Kasian dia kalau aku pergi? Dia masih ASI, Mas ...," rengek Sarah sambil menangis, menarik-narik tangannya agar terlepas. Namun cekalan Aditya terasa meremukkan tulangnya.Aditya tiba-tiba menghentikan langkahnya, berbalik cepat hingga tubuh mereka bertabrakan. Lelaki itu menahan pinggang Sarah agar tidak terjatuh.Sarah tercekat. matanya yang memerah dengan gumpalan air mata yang berjatuhan satu persatu menatap wajah mengeras lelaki itu, bibirnya bergetar hebat. "M-mas.""Bisakah kamu berhenti merengek? Karena kamu tahu dengan baik jika aku bukan tipe pri
Aditya mendekat, menyentuh pundak Sarah sembari memanggil nama wanita itu. "Sar, kamu gak mati, kan?"Namun Sarah bergeming hingga membuat Aditya sedikit dilanda perasaan takut yang bercampur aduk.Aditya lantas menunduk, membalikkan tubuh Sarah hingga berbaring telentang. Desah lega lolos dari mulutnya saat melihat wanita itu masih bernapas. "Bikin takut aja kamu, Sayang," gerutunya pelan, duduk bersender di bawah ranjang. Tak lama setelahnya, lelaki itu terkekeh kecil sambil menggelengkan kepala."CK, sepertinya kamu kecapekan banget, ya? Makanya gitu, tidur kek orang pingsan." Aditya bangkit berdiri, berjalan ke arah koper miliknya, mengambil pakaian yang ia butuhkan, lalu mengenakannya secepat mungkin.Lelaki itu lantas menyambar kotak rokok, mulai menyalakan salah satunya sembari berjalan ke arah balkon, berdiri di tepinya dengan tatapan lurus ke depan. Ia mengisap pelan dengan tatapan mulai menerawang ke belakang sembari mengingat posisi tidur Sarah.***"Saya mohon, Tuan ... ja
Marni perlahan berdiri. Kedua tangannya terlihat saling mengepal di kedua sisi tubuhnya. Gemuruh amarah bahkan menerpa sekujur tubuhnya hingga kulit sewarna zaitun itu memerah."Tuan Muda boleh menghina saya atau memukul saya. Tapi, saya tidak akan pernah memaafkan orang yang telah menyakiti putri saya," tuturnya geram sambil menatap nyalang pada lelaki arogan di hadapannya.Aditya terkekeh sarkas mendengar ucapan berani yang Marni lontarkan. Lelaki itu lantas memangkas jarak hingga Marni terpaksa mendongak. "Lo pikir, Lo siapa? Berani-beraninya Lo ngancem gue," tegur nya dingin."Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seorang ibu dari anak ga dis yang kegadisannya baru saja Tuan Muda renggut." Marni berucap penuh keberanian. Ia bahkan tak segan semakin menatap tajam pada Aditya.Aditya terpana beberapa detik, kagum dengan keberanian sang pelayan. Namun, detik berikutnya seringai lebar kembali terbit di wajahnya. "Ok, gue jabanin." Lelaki itu lantas mengayunkan langkah, kembali ke arah ka
PLAK!Sebuah tamparan nyaring dilayangkan seorang laki-laki pada seorang wanita yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Wanita itu terperanjat kaget. Matanya terbelalak saat ia menatap balik wajah mengeras lelaki itu. "Kenapa kamu menamparku, Mas?!"Lelaki itu bergeming. Napasnya terdengar berburu. Namun dari belakang, justru terdengar suara yang ia kenal betul itu siapa. "Kamu memang pantas di tampar, bahkan kalau perlu dibunuh sekalian! Karena kamu itu, tidak lebih dari wanita hina!" maki wanita tua dengan wajah merah padam menahan murka. Tangan kanannya menunjuk pada wanita yang lebih muda itu."Apa salahku, Ma?" tanyanya bingung."Apa salahmu, kau bilang?!" Wanita tua itu bergegas memangkas jarak mereka, meraih kedua bahunya lalu menariknya agar mengikuti langkah kaki si wanita tua. "lihat di sana! Apa yang kamu lakukan dengan Rian, hah?!" makinya lantang seraya menunjuk ke arah ranjang dimana terlihat seorang laki-laki muda sedang berusaha menutupi tubuh telanjangnya dengan