Aditya mendekat, menyentuh pundak Sarah sembari memanggil nama wanita itu. "Sar, kamu gak mati, kan?"
Namun Sarah bergeming hingga membuat Aditya sedikit dilanda perasaan takut yang bercampur aduk.Aditya lantas menunduk, membalikkan tubuh Sarah hingga berbaring telentang. Desah lega lolos dari mulutnya saat melihat wanita itu masih bernapas. "Bikin takut aja kamu, Sayang," gerutunya pelan, duduk bersender di bawah ranjang. Tak lama setelahnya, lelaki itu terkekeh kecil sambil menggelengkan kepala."CK, sepertinya kamu kecapekan banget, ya? Makanya gitu, tidur kek orang pingsan." Aditya bangkit berdiri, berjalan ke arah koper miliknya, mengambil pakaian yang ia butuhkan, lalu mengenakannya secepat mungkin.Lelaki itu lantas menyambar kotak rokok, mulai menyalakan salah satunya sembari berjalan ke arah balkon, berdiri di tepinya dengan tatapan lurus ke depan. Ia mengisap pelan dengan tatapan mulai menerawang ke belakang sembari mengingat posisi tidur Sarah.***"Saya mohon, Tuan ... jangan lakukan itu," pinta Sarah menghiba sambil menangkupkan kedua tangannya di depan wajah. Air matanya bahkan terus luruh membasahi pipi. Ia bahkan berjalan mundur saat Aditya memangkas jarak bersama seringai serigala tersungging di bibir."Kenapa aku harus menuruti perintahmu, jika apa yang akan kita lakukan sebentar lagi akan membuatmu melayang ke langit yang ketujuh." Aditya menolak sekaligus mengejek.Aditya mulai membuka satu persatu kancing bajunya tanpa memutus kontak mata mereka hingga membuat Sarah semakin beringsut mundur dengan wajah memucat. Ia bahkan menjerit tertahan saat kakinya tersandung tepi ranjang, membuatnya jatuh telentang.Sarah berusaha bangkit, namun Aditya telah lebih dulu menindih tubuhnya hingga tidak dapat bergerak. Kedua tangannya bahkan disatukan di atas kepala, digenggam kuat menggunakan tangan kanan lelaki itu.Sarah menggeleng, ia yakin ini semua akan berakhir buruk. Apalagi saat dirinya menghirup aroma alkohol yang menguar kuat dari mulut sang majikan. "Jangan! Saya mohon, Tuan ... tolong hentikan!" pintanya tergugu sambil memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri saat Aditya berusaha untuk menciumnya.Aditya kesal. ia lantas melabuhkan bibirnya pada ceruk leher sebelah kanan saat Sarah memalingkan wajah ke kiri. Lelaki itupun meninggalkan jejak basah di sana bersamaan dengan jerit kuat yang Sarah berikan sebagai bentuk perlawanan. Akan tetapi, tenaganya tidak sebanding dengan lelaki itu.Bertepatan dengan itu, pintu kamar diketuk dengan kuat oleh seseorang. "Tuan! Tuan Aditya, saya mohon ... tolong lepaskan putri saya!" jerit Marni sambil menepuk-nepuk kuat daun pintu berbahan kayu jati tersebut. Telapak tangannya bahkan kini memerah juga terasa sakit. Namun wanita empat puluh lima tahun itu tidak perduli.Dirinya lebih mengkhawatirkan keadaan sang putri di dalam sana saat mendengar jerit keras bercampur tangis memilukan Sarah."Tuan! Tuan Muda, saya mohon ... tolong lepaskan —" Marni tidak mampu meneruskan ucapannya saat mendengar teriakan kencang akhirnya lolos dari mulut sang putri.Ia tergugu. Tubuhnya luruh ke lantai bersama tangis memilukan yang juga ikut lolos. Kepalanya bahkan tertunduk dalam. "Sarah ... kasian banget kamu, Nak," ujarnya tidak tega.Marni masih sesenggukan kecil saat pintu kamar akhirnya dibuka Aditya dari dalam. wanita itu lantas mendongak hingga tubuh setengah polos milik sang majikan terlihat."Anak Lo enak banget, Bik Mar. Next time gue pake lagi," seloroh Aditya santai sambil berjalan melewati tubuh lemas Marni yang kembali tertunduk dengan kedua bahu terkulai lemah.Aditya menghentikan langkah, ia lantas berbalik guna memberikan peringatan. "Oh ya, Lo gak boleh ngasih tau sama Mami Papi soal ini kalo Lo masih pengen anak Lo selamat. Lo tau sendiri, gimana bokap nyokap gue yang anti orang miskin.""Bukankah Tuan Muda sudah merenggut masa depan Sarah? Lalu ...," Marni mengangkat kepala, menatap tajam bercampur geram pada sang majikan yang balas menatapnya rendah."Kenapa saya harus diam jika perbuatan Tuan ini adalah sebuah kejahatan." Marni melanjutkan ucapannya. Ia sadar ucapannya terdengar sangat berani, namun ini bukanlah saatnya untuk menjadi lemah. Ada sang putri yang membutuhkan dirinya kini."Apa Lo ... tengah menantang gue, Bik Mar?!"Marni perlahan berdiri. Kedua tangannya terlihat saling mengepal di kedua sisi tubuhnya. Gemuruh amarah bahkan menerpa sekujur tubuhnya hingga kulit sewarna zaitun itu memerah."Tuan Muda boleh menghina saya atau memukul saya. Tapi, saya tidak akan pernah memaafkan orang yang telah menyakiti putri saya," tuturnya geram sambil menatap nyalang pada lelaki arogan di hadapannya.Aditya terkekeh sarkas mendengar ucapan berani yang Marni lontarkan. Lelaki itu lantas memangkas jarak hingga Marni terpaksa mendongak. "Lo pikir, Lo siapa? Berani-beraninya Lo ngancem gue," tegur nya dingin."Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seorang ibu dari anak ga dis yang kegadisannya baru saja Tuan Muda renggut." Marni berucap penuh keberanian. Ia bahkan tak segan semakin menatap tajam pada Aditya.Aditya terpana beberapa detik, kagum dengan keberanian sang pelayan. Namun, detik berikutnya seringai lebar kembali terbit di wajahnya. "Ok, gue jabanin." Lelaki itu lantas mengayunkan langkah, kembali ke arah ka
PLAK!Sebuah tamparan nyaring dilayangkan seorang laki-laki pada seorang wanita yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Wanita itu terperanjat kaget. Matanya terbelalak saat ia menatap balik wajah mengeras lelaki itu. "Kenapa kamu menamparku, Mas?!"Lelaki itu bergeming. Napasnya terdengar berburu. Namun dari belakang, justru terdengar suara yang ia kenal betul itu siapa. "Kamu memang pantas di tampar, bahkan kalau perlu dibunuh sekalian! Karena kamu itu, tidak lebih dari wanita hina!" maki wanita tua dengan wajah merah padam menahan murka. Tangan kanannya menunjuk pada wanita yang lebih muda itu."Apa salahku, Ma?" tanyanya bingung."Apa salahmu, kau bilang?!" Wanita tua itu bergegas memangkas jarak mereka, meraih kedua bahunya lalu menariknya agar mengikuti langkah kaki si wanita tua. "lihat di sana! Apa yang kamu lakukan dengan Rian, hah?!" makinya lantang seraya menunjuk ke arah ranjang dimana terlihat seorang laki-laki muda sedang berusaha menutupi tubuh telanjangnya dengan
"Yang aku tahu, dirinya juga sama pengecutnya dengan Kakak kembarnya yang hanya bisa bersembunyi dibalik ketiak ibu mereka!" paparnya dimana sorot benci itu terlihat jelas.Raditya yang bersembunyi di balik tembok, hanya mampu menghela napas pendek dengan kedua bahu terkulai lemah, saat mendengar penuturan jujur dari mulut sang mantan Kakak Ipar. Dirinya memang mengakui jika dirinya dan kembarannya adalah orang-orang yang pengecut, dimana hanya bisa bersembunyi dibalik ketiak ibunya, sesuai dengan apa yang Sarah ucapkan. Dengan langkah gontai, iapun berjalan meninggalkan tempat itu, menuju mobilnya yang ia parkir kan di seberang jalan."Jangan terlalu membenci, Nak! Karena mau bagaimanapun, di dalam tubuh Satria mengalir darah mereka! Dia garis keturunan mereka dan kamu tidak bisa memutuskan pertalian darah itu, meskipun kamu menggunakan cara ekstrim sekalipun untuk memutuskannya!" Marni menasehati dengan lembut juga senyum penuh keibuan.Sarah lantas menatap seutuhnya pada wanita bai
"Lepaskan aku brengsek!" makinya kesal, saat melihat siapa orang yang telah menariknya paksa."Sstt ...! Jangan berontak, Sayang!" pinta sesosok lelaki yang sedang memeluknya erat dari belakang. Menahan kedua tangannya yang hendak membuka paksa pintu mobil."Lepasin aku, Setan!" hardik Sarah semakin murka. Kedua kakinya menendang-nendang ke sembarang arah, begitupula dengan tubuhnya yang berontak, berusaha melepaskan pelukan lelaki itu, dimana ia kenali aromanya karena aroma itulah yang setiap malam menemani tidurnya saat mereka masih menjadi sepasang suami istri."Sstt ... kok mulutmu makin kasar sekarang, Sayang!" tegur Aditya kesal, karena Sarah terus saja berontak. "bukankah sudah aku bilang, kalau aku gak suka kalau kamu sudah ngomong kasar gitu! Karena bikin aku bergairah, tau gak!" omelnya dengan wajah merah padam menahan hasrat untuk menyerang mantan istrinya membabi buta."An jing! Se tan! Ib lis! Jangan sentuh aku, Setan! Aku gak sudi!" pekik Sarah dengan suara keras, yang s
Sarah menangis sesenggukan, memegangi pakaiannya yang koyak bekas perbuatan Aditya barusan dengan kedua kaki saling menekuk di atas kursi. Sementara lelaki itu, tengah membenahi ikat pinggangnya, mengusap keningnya yang berkeringat bersama senyum penuh kepuasan menghiasi."Ternyata rasanya masih seenak biasanya, Sayang," kekeh Aditya, kembali duduk bersender, meraih pundak Sarah yang justru menepis kuat tangannya. "uhhh ... kamu marah?""Biarkan aku pergi. Aku mohon!" pinta Sarah, mengusap air matanya dengan punggung tangan."Dengan pakaian seperti itu? Kamu, yakin?!" Aditya balas bertanya."Bukankah kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan! Jadi, biarkan aku pergi karena aku harus bekerja," tukas Sarah datar."Ohhh ... tidak bisa! Kamu tetap bersamaku karena aku masih belum puas, Sayang!" tolak Aditya, terkekeh puas."DASAR BAJINGAN!" maki Sarah, menampar pipi Aditya dengan keras hingga kepala lelaki itu tertoleh ke kiri. Napasnya terdengar berburu juga telapak tangan memerah."
"Mas, please ... aku gak mau ikut!" rengek Sarah, memohon saat Aditya menariknya paksa keluar mobil. Mereka sudah tiba di bandara, bahkan sebuah pesawat jet pribadi telah berdiri dengan gagahnya, siap melayang di udara."Harus! aku gak terima penolakan sedikitpun!" sahut Aditya tegas, menarik kencang lengan Sarah hingga wanita itu berhasil keluar dari mobil."Mas ... please, Mas Adit. aku gak mau! Nanti bagaimana dengan Satria, Mas? Kasian dia kalau aku pergi? Dia masih ASI, Mas ...," rengek Sarah sambil menangis, menarik-narik tangannya agar terlepas. Namun cekalan Aditya terasa meremukkan tulangnya.Aditya tiba-tiba menghentikan langkahnya, berbalik cepat hingga tubuh mereka bertabrakan. Lelaki itu menahan pinggang Sarah agar tidak terjatuh.Sarah tercekat. matanya yang memerah dengan gumpalan air mata yang berjatuhan satu persatu menatap wajah mengeras lelaki itu, bibirnya bergetar hebat. "M-mas.""Bisakah kamu berhenti merengek? Karena kamu tahu dengan baik jika aku bukan tipe pri