'Duda' Sebutan itu tersemat untuk seorang Devano Zayn Ganendra sekarang. Bohong jika Devan baik-baik saja setelah ditinggalkan oleh Disya. Lelaki itu sampai tumbang, berbaring di rumah sakit untuk beberapa pekan karena sakit fisik... juga hati sebenarnya. Ditinggalkan Disya benar-benar berdampak buruk untuk Devan. Apa yang sudah dilakukan oleh Devan untuk membuat istri kecilnya kembali? Tidak ada! Devan tidak melakukan apapun selama tiga tahun ini, bukannya tidak ingin berusaha... Devan merasa Disya memang tidak mau memaafkannya, apalagi kembali menjadi istrinya. Belum lagi sekarang Disya mempunyai Kakak laki-laki yang begitu amat protektif dan posesif. Devan tidak takut, hanya saja posisi lelaki itu lebih darinya, dalam artian lebih tinggi posisi terpenting dalam hidup Disya setelah Ayahnya, sekarang. Sulit! Sangat sulit. "Sudah tiga tahun 'kan? Tidak ingin kembali dengan Disya? Setidaknya kembali perkenalkan dirimu seolah-olah kau adalah orang baru—seorang Devano dengan versi yang lebih baik. Masuk ke dalam kehidupannya lagi dengan perlahan-lahan dan hati-hati, yakinkan hati Disya kembali untuk bisa bersamamu. Dulu, jalanmu terlalu gampang untuk bersama Disya, mungkin kali ini Tuhan ingin kamu lebih berusaha untuk mendapatkan Disya kembali, supaya kamu berpikir beberapa kali jika ingin membuatnya menangis." Seseorang mengatakan itu kepada Devan. Perkataannya berhasil membuat Devan kembali mendapatkan kepercayaan dan keyakinan diri yang lebih besar untuk mendapatkan kembali cintanya. Mungkin benar apa katanya, kali ini jalan untuk mendapatkan hati Disya lebih susah dan sulit, akan ada banyak rintangan dan badai yang datang. Tapi... Devan memang harus melewatinya jika ingin kembali mendapatkan hati Disya, 'kan? Akankah Devan berhasil? ***
View MoreH-3 menuju acara pernikahan Samudra dan Naya—semua orang semakin sibuk berkali-kali lipat dari hari sebelumnya. Walaupun acara sudah diserahkan kepada tim wedding organizer untuk mengurus segalanya, tetapi tetap saja yang namanya orang tua akan tetap menyibukkan dirinya sendiri—ada saja yang dikerjakan, dikhawatirkan ada yang kurang atau tidak sesuai keinginan untuk acara nanti.“Katanya mereka ini ngga mau hadir di acara nanti—kita sudah menawarkan sejak awal, mereka menolaknya, tetapi sekarang tiba-tiba menanyakan kapan pakaian mereka akan dikirim?!” Gina menunjukkan layar handphonenya kepada Dina dan Doni dengan wajah kesal.“Siapa itu? Mba Yanti?” tanya Dina memastikan.“Ya mereka-mereka itu Mba, belum anak-anak, dan menantunya!” balas Gina frustasi.Dina menampilkan senyum manis di bibirnya, mengelus bahu Gina pelan. “Yasudah mau gimana lagi, bersyukur mereka berniat akan datang—”“Pakaiannya, Mba? Masa mau dibuat dadakan sih?” gerutu Gina.“Masih ada waktu tiga hari, Na....”“Ka
Disya bukan sengaja memberi tahu Alif tentang hubungan Disya dan Devan yang adalah mantan pasangan suami istri untuk membuat Alif membencinya—ia hanya mengatakan yang sebenarnya tentang masa lalunya. Alif memutuskan untuk bersama Disya, mengambil hati Disya, menjalin hubungan dengan Disya—itu artinya Alif harus mengetahui tentang ini, Disya tidak ingin ada rahasia yang disembunyikan. “Jujur gue kaget, Sya. Tapi... thanks udah mau jujur sama gue. Ngga heran sih hubungan lo sama Pak Devan udah terlalu jauh banget ya dulu, lo sama Kai aja deket banget keliatannya.” “Gue ngga masalah, Sya. Itu bagian dari masa lalu lo sama Pak Devan. Gue ngga akan kepo dan maksa lo cerita tentang kenapa lo sama Pak Devan pisah, tapi barangkali lo mau cerita sama gue, gue akan siap dengerin.” Positif sekali Alif ini ‘kan? Dia menjawab seperti itu tentang pernyataan Disya sebelumnya. Entahlah Disya harus bersyukur atau bagaimana tentang ini. Mobil gray civ
Sudah sekitar tiga harian ini Disya selalu berdiam di rumah, mengurung diri di kamar, tidak ke luar, bahkan tidak ke store—hanya berkomunikasi lewat handphone jika ada sesuatu hal yang urgent di sana. Sudah menceritakan semua kepada keluarganya tentang Kai. Awalnya mereka sedikit terkejut dan kesal tentu saja, tetapi Kai memang lebih berhak tinggal bersama keluarga Devan. Walaupun tidak tinggal di rumah mereka lagi, setidaknya mereka masih bisa bertemu dengan Kai, masih bisa bermain dengannya. Lagipula, ini keinginan Kai sendiri, bukan paksaan dari pihak manapun.Dina menghela napas pelan di ambang pintu kamar putrinya, Disya tidak terus-terusan menangis, tetapi yang dilakukan perempuan itu hanyalah berbaring di atas kasur, sambil memangku laptop menonton drama korea, dengan mulut sibuk memakan coklat, dan ciki-cikian, atau cemilan yang lainnya.“Sayang sudahan ya galaunya,” kata Dina yang sudah melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar, duduk di pinggiran kasur.Menatap kehadiran Din
Disya, Devan, dan Kai sudah duduk berkumpul di ruang tengah. Suasananya masih tidak mengenakan, isak tangis Disya masih terdengar walaupun tidak sehebat sebelumnya, duduk di samping Kai dengan tangan yang saling menggenggam satu sama lain, sedangkan Devan duduk di single sofa yang ada di hadapan keduanya. “Mari kita selesaikan semua kesalah pahaman ini. Kai mengatakan kepada saya bahwa dia akan kembali tinggal di rumah ini—selamanya, bersama saya. Saya tidak menghasut ataupun memaksa Kai untuk melakukan hal itu, Kai sendiri yang meminta.” Mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan satu tangan, sedangkan tangan yang lainnya semakin menggenggam tangan Kai erat. Disya tidak mengeluarkan suaranya untuk membalas ucapan Devan, ia sangat sedih mendengar penjelasannya. “Mom—” Kai menatap Disya, mengelus punggung tangannya yang sedari tadi saling menggenggam. “Maaf, ini memang keputusanku, Daddy tidak memaksa aku untuk kembali tinggal di sini.”
Suara ketukan di pintu rumah utama kediamannya membuat kedua perempuan berbeda usia yang sedang menyantap sarapannya di meja makan saling memandang satu sama lain, seolah sama-sama bertanya siapa yang berkunjung ke rumah pagi-pagi sekali.“Bunda saja yang buka, kamu selesaikan sarapannya saja,” kata Dina yang setelah mendapat anggukkan dari putrinya langsung melangkah meninggalkan meja makan untuk membuka pintu.Disya secepat mungkin menyelesaikan sarapannya, karena memang pagi ini ia akan datang ke rumah Devan. Mulutnya sibuk mengunyah roti keju, dengan kedua mata yang sibuk melihat sudah sampai mana motor yang dipesan untuk mengantarnya pagi ini.“Sudah sarapan? Ayo ikut sarapan bareng, Lif!”Mengernyit, Disya langsung menengokkan wajahnya menatap kehadiran Bundanya yang kembali menuju meja makan dengan seorang lelaki yang tentu saja sangat ia kenali—Alif, pagi-pagi sekali berkunjung ke rumah, sedikit menyebalkan bagi Disya, perempuan itu sudah memasang wajah masam menatap kehadiran
Disya mengetuk-ngetukkan jarinya di atas handphone yang sedang dipegangnya dengan raut gelisah—menunggu balasan pesan dari Kai yang sedari tadi belum juga dibalas. Padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam, harusnya Devan sudah berada di rumah, membiarkan Kai bermain dengan handphonenya untuk berbalas pesan dengan Disya.Hal ini sudah terjadi sejak satu Minggu yang lalu—Kai tidak pernah menginap di rumahnya lagi.Disya masih bingung apa yang sebenarnya sedang terjadi, jika hanya satu, dua, atau tiga hari sih tidak masalah untuk Disya, dan bisa dipahami jika Kai memang ingin bersama Daddynya, tetapi ini sudah sampai seminggu lebih. Sebelumnya Kai tidak pernah seperti ini."Kenapa, Sya?" tanya Alif menyadari raut gelisah perempuan yang duduk di sampingnya.Disya melirik Alif yang duduk di kursi kemudi, lalu menggeleng pelan.Kembali menatap jalanan di depannya, Alif menyunggingkan senyum. "Trus kenapa mukanya gelisah gitu? Lagi nunggu chat siapa?""Hah...." Menghela nap
Bukan tanpa alasan Gio datang ke ruangan Devan untuk menemui Disya, lelaki itu ingin memberi info jika akan ada pertemuan dengan teman-teman kampusnya dulu yang belum direncakan pasti kapan dan di mana—tetapi satu yang pasti bahwa pertemuan itu akan ada katanya. Disya kira pertemuan itu diadakan cukup lama dari hari di mana Gio memberi info, tetapi ternyata di awal weekend minggu ini sudah akan diadakan katanya. Disya harus hadir, si kembar mengancam jika ada yang tidak hadir dengan alasan tidak masuk akal maka harus membayar denda— mereka ini aneh memang. Dari pada harus mengeluarkan kocek lima juta rupiah lebih baik Disya hadir, lagipula pertemuan itu bukan acara resmi reuni kampus, hanya beberapa temannya yang kurang lebih berjumlah tiga puluhan orang, yang kebetulan memang sering mengikuti kelas yang sama—atau itu juga bisa disebut reuni? “Hah—” Entah sudah berapa kali Disya menghembuskan napas di sela kegiatan memoles wajahya dengan make-up ketika mengetahui ada seorang lelaki y
Disya semakin mengeratkan genggaman tangannya dengan Kai ketika menyadari banyak karyawan yang memperhatikannya. Menampilkan senyum canggung ketika manik Disya bertemu dengan manik mata mereka. Disya berjalan beriringan dengan Kai, dan Devan, menaiki lift untuk menuju ke ruangan mantan suaminya. Sedikit bernapas lega ketika pintu lift sudah tertutup rapat. Disya tidak suka menjadi pusat perhatian, apalagi ditatap dengan penuh selidik, bahkan samar-samar ia mendengar beberapa karyawan berbicara tentangnya. Benar tidak ya keputusan Disya untuk ikut dengan Kai ke kantor mantan suaminya? “Mommy?” Kai memanggil, mendongak menatap Disya dengan kening mengeryit lalu bertanya, “Ada apa?” Mungkin bocah itu menyadari raut wajah Disya yang tidak baik, bahkan hanya diam sedari tadi. Disya segera menampilkan senyum manisnya menatap Kai, lalu menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan putranya. “Tidak papa, Kai.” Tadi, saat Devan menyuruh Disya untuk pulang dengan mobil taxi yang akan dipesank
Disya tersenyum ketika berpapasan dengan beberapa murid yang berjalan menuju ke arah gerbang untuk pulang, dijemput oleh orang tua ataupun supir mereka. Ini sudah jam pulang sekolah, tentu saja keberadaan Disya di sini untuk menjemput Kai—sekedar informasi saja, perempuan itu sudah standby dari setengah jam sebelum bel pulang berbunyi, hanya untuk memastikan bahwa kejadian kemarin tidak terulang lagi. Dari banyaknya murid, manik Disya mencari sosok putranya, bola matanya bergulir ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Kai. Senyum merekah ia tunjukkan ketika maniknya melihat putranya sedang berjalan sendiri dengan wajah yang terlihat sangat lesu dan lelah. “Kai,” sapa Disya, melambaikan tangannya dengan kedua kaki yang sudah melangkah menghampiri putranya sembari tersenyum sumringah. Kai menatap kehadiran Disya, bahkan langkah kakinya terhenti karena sapaan Disya. “Sayang, capek ya?” tanya Disya saat ia sudah berdiri di depan Kai, bahkan perempuan itu sudah mengusap pelan rambut K
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.