“Oh shit!” Devan mengumpat. Memberhentikan mobilnya di pinggir jalan, mematikan mesin mobil, lalu membuka pintu mobil untuk ke luar setelah sebelumnya melepaskan safety belt yang dipakainya, melangkah mengecek ban mobil bagian belakang.Menatap ke sekeliling, untuk memastikan tidak ada orang mencurigakan yang sudah menunggunya. Devan bisa melihat ban mobilnya bocor disebabkan oleh ranjau paku yang sepertinya memang sengaja disebar di jalanan sepi ini—bisa jadi yang menyebar ranjau adalah para pelaku begal yang berniat jahat, tetapi beruntungnya Devan tidak menemukan seseorang yang menghampirinya dengan mencurigakan.“Kenapa, Pak Devan?” tanya Disya yang sudah berada di sampingnya, sesekali matanya melirik ke kanan dan ke kiri dengan takut-takut—ini sudah malam, jalanan yang dilaluinya juga sangat sepi sekali, Disya takut.“Bannya bocor, saya akan menelepon—”“Apa?!” teriak Disya sangat kenecang sekali, memotong cepat penjelasan Devan. Memejamkan mata dengan bibir yang dikerucutkan sed
“Udah ngga papa, Pak. Tempatnya bersih kok—” jelas Disya ketika melihat Devan tidak juga melangkah masuk ke dalam kamar, hanya berdiri dengan pandangan mengedar menatap sekeliling dengan ekspresi tidak suka.“Pak Devan bakalan baik-baik aja kok, ayo masuk!” ajak Disya lagi.Devan beralih menatap Disya yang sudah melangkah duduk di pinggiran kasur, sibuk mengeluarkan handphone dan chargerannya dari dalam tas. Benar! Akan baik-baik saja karena Devan bersama Disya di sini. Melangkah masuk menghampiri Disya, Devan terus memperhatikan perempuan di depannya.“Pak Devan juga mau charger handphone kan?” tanya Disya mendongak menatap Devan, detik berikutnya memperhatikan kembali sekitar mencari stop kontak lainnya yang ada di kamar ini— “Stop kontaknya cuman satu ya?” tanya Disya karena tidak menemukan stop kontak lainnya, hanya ada satu menempel di dinding dekat meja nakas samping tempat tidur.“Handphone kamu saja dulu, biar bisa hubungi orang rumah, Alif juga pasti khawatir.”Ekspresi wajah
Membuka matanya perlahan sesaat setelah merubah posisi tidurnya karena merasakan cahaya masuk melalui celah jendela kamar. Mengerjap pelan, Disya bisa merasakan perih di kedua matanya, menghembuskan napas pelan sembari menarik selimut hingga ke leher.Menatap sekeliling kamar, hening dan sepi, tidak ada siapapun di kamar itu selain Disya. Tidak berpikir Devan meninggalkannya sendirian karena jas milik lelaki itu masih berada di atas bean bag. Matanya melirik ke arah jam dinding tua yang menempel di dinding, matanya membelalak terkejut, buru-buru menyibakkan selimut lalu turun dari kasur.“Ih Pak Devan kok ngga bangunin, sih?” cerocos Disya karena kini jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih. Mondar-mandir sambil menggaruk kepalanya, Disya bingung apa yang harus ia lakukan—handphone—Disya menatap handphonenya yang berada di atas atas nakas, charger masih menempel, yang artinya handphonenya sedang diisi daya.Seratus persen, daya baterainya sudah penuh—sudah pasti Devan yang melakukan
Berhenti berdebat di depan meja resepsionis ketika seorang lelaki tua datang dengan membawa dua mangkuk bubur ayam pesanan Samudra sebelumnya. Jangan kira perdebatan mereka berhenti begitu saja—perdebatan itu dilanjut saat keempatnya masuk ke dalam salah satu kamar yang ditempati Samudra dan Naya semalaman.Disya menjelaskan keseluruhan cerita tentang bagaimana pada akhirnya ia dan Devan bisa bermalam di tempat ini—tidak ada kebohongan sedikitpun, diawali ketika keduanya yang menghadiri acara pertemuan para wali murid di sekolah Kai, dilanjut mengunjungi resto milik salah satu wali murid untuk dinner, saat di perjalan pulang mereka harus menggunakan maps untuk petunjuk jalan karena ada perbaikan jalan di beberapa jalanan yang akan mereka lalui, dan berujung terjebak di tempat ini karena ada masalah dengan mobil yang dikendari keduanya.Melingkarkan tangannya di lengan Samudra. “Abang... Disya beneran jelasin yang sebenarnya kok,” kata Disya kembali meyakinkan, ketika Samudra masih men
"Wah! Disya lo benar-benar luar biasa! Bisa buat seseorang kaya Bang Devan jadi bucin banget gini," komentar Gio yang baru saja membuka pintu kamar kakak sepupunya.Kamar luas dengan nuansa monokrom, hampir semua furniture dan segala pernak-pernik di dalamnya berwarna gelap. Namun, siapapun yang memasuki kamar ini pasti matanya akan langsung tertarik untuk menatap beberapa boneka yang ada di atas kasur. Warnanya bermacam ada pink, biru, purple—tentu saja warna-warna cerah seperti itu akan terlihat menonjol.Gio menggeleng-gelengkan kepalanya menatap sekitar, namun kakinya kembali melangkah menuju pintu yang akan mengantarkannya ke dalam ruang kerja Devan. Lelaki itu ditugaskan oleh Devan untuk mengambil map berwarna merah maroon di meja kerjanya.Gio mengeluarkan handphonenya, memotret kamar Devan sambil terkekeh lucu. "Ini kalau gue sebar di media bakal geger nih, seorang Devan Zayn Ganendra ngoleksi boneka-boneka warna pink di kamarnya...." Setelah selesai dengan kegiatan memotretny
Seluruh keluarga sudah mengetahui kabar perceraian Disya dan Devan—termasuk kelakukan gila Devan, serta rahasia yang pada akhirnya terkuak tentang siapa Ibu kandung Kai, pasalnya dulu Devan adalah lelaki yang sangat dingin, cuek, sama sekali seperti tidak tersentuh. Sepulangnya dari London, lelaki itu membawa seorang bocah yang diakui sebagai anak kandungnya, tapi Devan tidak pernah membicarakan tentang siapa dan bagaimana ibu kandung Kai sendiri.Devan itu tidak pernah mengenalkan seorang perempuan kepada keluarga besar. Disya adalah perempuan pertama yang Devan kenalkan sebagai istrinya, gadis itu juga baik, dan sudah akrab dengan keluarga besar Ganendra. Jadi, tentu saja mereka sangat menyayangkan jika mereka berpisah. Tapi... itu adalah konsekuensi yang Devan harus terima.Devan kembali menatap arlojinya, lalu menatap sekitar, menunggu kedatangan seseorang di Bandara. Senyumnya langsung merekah ketika kedua maniknya menemukan seseorang yang sedang berjalan ke arahnya dengan senyum
Wajahnya masih terlihat cantik seperti dulu, dengan netra berwarna coklat jernih, bibir tipis, dengan kedua pipi yang bulat—ingin rasanya Devan kembali membuat kedua pipi perempuan itu kembali bersemu merah, ingin sekali Devan mengelusnya lembut, mencubitnya dengan gemas."Aunty Nay mana?" tanya Maya saat melihat putra sulungnya berjalan menuruni tangga beriringan dengan Kai."Nanti menyusul katanya," jawab Kai yang langsung berjalan cepat dan duduk dipangkuan Disya."Kai sudah besar, Mommy keberatan itu kalau Kai duduk di pangkuannya," kata Maya menggelengkan kepalanya dengan terkekeh pelan."Mommy nanti mau pulang, aku mau meluk dulu Mommy sebelum Mommy pulang!" Kai melingkarkan tangannya di leher Disya, dengan tangan kanan yang masih memakan coklat yang belum juga habis sedari tadi."Padahal seharian penuh ini Kai sudah bersama Mommy kan?" tanya Maya menatap cucunya.Kai menampilkan cengirannya, dan malah semakin mengeratkan pelukannya.Devan ikut duduk di single sofa, menatap Samu
"Naya benaran mau balik lagi ke Lampung?" tanya Diky menatap Devan yang masih berkutat dengan laptop di depannya. Yang dibalas dengan anggukkan pelan dari lawan bicaranya."Kenapa?""Naya ngga bilang sama saya alasannya apa. Waktu saya tanya kenapa harus kembali ke Lampung dan jawaban dia 'hanya ingin' katanya."Diky mengernyit bingung. "Saya masih heran kenapa dengan tiba-tiba Naya membuat keputusan yang menggeparkan seluruh keluarga besar karena secara sepihak memutuskan hubungannya dengan Nathan, dan memilih langsung pergi ke Lampung. Apa tidak curiga ada sesuatu hal?"Devan yang sedari tadi berkutat dengan laptop dan pekerjaannya bahkan sampai menghentikan kegiatannya mendengar perkataan Diky. "Maksudmu?""Ya... apa coba alasan Naya mutusin hubungannya dengan Nathan secara sepihak gitu? Bosan katanya? Kalau pun bosan atau ada lelaki lain yang membuat Naya jatuh cinta dan berani meninggalkan Nathan. Mana lelaki itu sekarang? Apa Naya pernah menjalin hubungan dengan seseorang setela