Share

PRS - 5

Setelah berucap demikian. Mas Rafka pun bangkit dari duduknya. Kini dia berdiri menjulang di depanku. Kepalaku mendongak mengikuti arah gerak tubuhnya.

Entah apa maksudnya berucap seperti barusan. Aku rasa, dia hanya ingin menyangkal. Dia hanya sedang berusaha menutupi kebenaran tentang anak perempuan itu.

Aku rasa dia hanya sedang mencari-cari alasan untuk bisa terus menyangkal. Apa dia pikir aku akan percaya lagi? Apa dia pikir aku akan peduli?

Mata kami bertemu pandang. Sebelum cepat-cepat aku memutusnya. Tak mampu lagi aku melihat sepasang manik matanya itu.

Tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulut Mas Rafka. Lelaki dengan tinggi badan 175 cm itu berjalan menjauh dari hadapanku. Melangkah hanya dengan kaus santai sehari-harinya di rumah menuju ke arah pagar sana.

"Jangan datangi kantor dan juga butik! Jangan injakan kaki kamu di tempat yang sudah tidak lagi menjadi milikmu!" Aku berteriak di tempatku.

Mas Rafka terlihat menghentikan langkahnya sejenak. Berdiri mematung sekitar satu meter dariku, sebelum kemudian meneruskan langkah kakinya tanpa menoleh padaku. Hingga punggung tegapnya lenyap di balik pagar besi putih.

Di saat itulah tangisku luruh.

Duduk sambil menekuk lutut dan memeluknya. Menenggelamkan wajahku sambil menangis sesenggukan. Tangisku benar-benar tumpah. Bahuku berguncang hebat.

Aku meraung sendirian. Tangisku pecah. Aku menjerit, menumpahkan sesak yang terasa masih menggulung dada.

Aku tersedu-sedu. Hanya sendiri bertemankan mawar-mawar putih yang bergoyang tertiup angin seolah mengejek.

Aku meratap.

Pilu.

Mas Rafka memang pergi, tanpa membawa apa pun harta benda yang kami dapat selama menikah. Karena di antara kami, tertulis surat perjanjian pernikahan. Siapa saja yang sampai berselingkuh dan berkhianat dalam pernikahan ini, maka ia tidak berhak sedikit pun atas semua aset dan harta bersama yang terkumpul selama menikah. Kami membuatnya dengan sadar dan tanpa paksaan. Masing-masing dari aku dan Mas Rafka pun menyetujuinya.

Aku kira, itu sudah cukup untuk membuatnya tetap bersamaku. Aku kira itu sudah cukup kuat, untuk membuatnya tetap setia dengan pernikahan kami. Ternyata aku salah. Aku salah besar.

Sekarang Mas Rafka telah pergi, tanpa apa-apa selain pakaian yang melekat di tubuhnya. Namun lebih dari itu, dia telah membawa hati dan seluruh cinta yang aku miliki juga pergi bersamanya. Membuat ruang hati ini seketika kosong.

Dan itu, jauh lebih menyakitkan daripada kehilangan seluruh harta yang kami usahakan bersama selama ini.

Entah sudah berapa aku menangis sambil mendekap lutut. Wajahku rasanya sudah basah dan tangisku rasanya telah kutumpahkan. Namun sesaknya tak kunjung berkurang.

Hingga deru mesin mobil terdengar memasuki halaman rumah ini. Aku masih enggan mengangkat wajah yang tenggelam di antara lutut. Sakit di leherku belum sebanding dengan sakit yang mendera jiwa ini. Sehingga aku tidak peduli dengan mobil siapa yang datang.

"Fanisa!" Terdengar suara Bang Elang yang memanggil. Sepertinya memang mobil dari kakak laki-lakiku satu-satunya itu yang datang.

Derap langkah terdengar mendekat tanpa ke arahku tanpa sedikit pun aku mengangkat wajah. Hingga dekapan hangat aku rasakan.

"Kamu kenapa di sini? Ada apa? Apa yang terjadi?" Suara Bang Elang terdengar panik.

"Hu hu hu ...." Bukannya menjawab, tangisku justru semakin meledak dalam dekapan Bang Elang.

"Hu hu hu ... Abang ...." gumamku di sela isakan tangis. Tangan kekar Bang Elang terasa mendekapku erat. Telapak tangannya yang besar juga terasa mengusap kepalaku.

Aku masih terus menangis. Karena hanya dengan tangisan aku merasa bisa mengeluarkan kesakitan ini, walau sebenarnya tidaklah demikian. Sakit ini tetap memenuhi hati, jangankan untuk sirna berkurang sedikit saja pun tidak.

Cukup lama Bang Elang mendekap dan menenangkanku. Hingga Bang Elang menegakkan badanku yang bersarang di dadanya. Tangan Bang Elang mengusap wajahku yang basah. Mataku rasanya pun bengkak karena terus menangis.

"Kamu kenapa? Bukannya kamu baru pulang dari Surabaya? Kenapa kamu malah seperti ini?" tanya Bang Elang dengan lembut.

Kedua tangannya menahan sedikit mencengkram bahuku. Matanya tajam menelisik pada netraku, sedangkan aku masih tersedu sedan.

"Mas Rafka, Bang ...," ucapku lirih.

Alis tebal dari Bang Elang terangkat. Tatapannya semakin tajam menukik menembus mataku. "Rafka? Kenapa?" tanya pelan.

"Hu, hu, hu. Mas ... Rafka, dia ...."

"Dia kenapa?!"

"Dia ... punya anak dari perempuan lain, Bang." Tangisku kembali pecah.

"Apa? Abang gak salah denger ini, Fan?" Bang Elang memekik. Nada bicaranya pun jelas menunjukkan kekagetan.

Aku menggeleng. "Abang gak salah denger. Mas Rafka ... dia memiliki anak dari perempuan lain, Bang. Dia menikahi perempuan lain. Dia menduakan aku .... hu hu hu."

Aku kembali menghambur dalam dada abangku. Kedua tangannya pun kembali melingkari punggungku.

Setelah ayah dan ibuku meninggal, hanya Bang Elang satu-satunya keluarga yang kupunya. Hanya Bang Elang yang akan selalu melindungiku, menjadi orang pertama yang akan pasang badan untukku. Seperti saat ini saat aku jatuh dan sangat rapuh, Bang Elang lah yang datang dan merangkulku.

"Kamu tidak sedang mempermainkan Abang, 'kan, Fan? Kamu bicara seperti ini setelah mendapatkan bukti kuat dari perbuatan Rafka?" selidiknya dengan masih mendekapku.

Aku mengangguk dalam dekapan Bang Elang. "Mana mungkin aku main-main bang," jawabku lirih.

Abangku ini tak lagi bersuara, namun dapat kurasakan tangannya di balik punggungku yang mengepal kuat. Bang Elang pasti merasakan kecewa serta marah yang sama sepertiku.

Bang Elang masih tidak mengeluarkan suara, hanya elusan tangannya yang terasa menenangkan di punggungku. Hingga tangisku perlahan benar-benar telah berhenti.

"Sekarang katakan pada Abang di mana Rafka?!"

Aku seketika menoleh, memicingkan mata menatap saudara kandung yang terpaut usia hanya tiga tahun di atasku. "Mana aku tahu dan mana Aku peduli," jawabku seraya memalingkan wajah.

"Kamu membiarkan dia pergi begitu saja?"

"Apalagi? Dia sudah pergi dan ke mana dia itu bukan urusanku, Bang!"

Terdengar helaan napas berat dari Abangku ini. "Seharusnya kamu jangan dulu membiarkannya pergi dari sini," tukasnya yang tidak kumengerti.

"Aku sudah membuatnya pergi tanpa membawa apa-apa, Bang. Dia hanya pergi dengan pakaian yang masih melekat di badannya," jawabku menjelaskan.

Lagi, terdengar hembuskan napas berat dari Bang Elang. "Ini bukan soal materi kalian" jawabnya.

Seketika keningku mengernyit tidak mengerti arah pembicaraan abangku satu ini.

"Seharusnya dia masih ada di sini saat Abang datang seperti sekarang. Biar Abang bisa memastikan, Rafka akan mati di tangan Abang," ujarnya membuatku syok dan terdiam.

"Seharusnya kamu tidak membiarkan dia pergi dengan mudah. Paling tidak, jika dia tidak sampai mati, Abang lebih dulu akan mematahkan lehernya," ucapnya dipenuhi semburat napsu di wajahnya. Bang Elang mengepalkan tangannya erat di hadapanku.

Aku terdiam memandangi abangku. Dia memang agak tempramental, lebih mudah tersulut amarah apalagi ketika ada masalah. Emosinya menjadi tidak stabil dan sulit dikendalikan.

"Abang yang akan mencari dia. Biar Abang buat perhitungan. Abang akan menyeretnya ke hadapan kamu. Kamu tenang saja, Abang enggak akan tinggal diam," ujarnya dengan begitu marah. Lebih pada kecewa. "Abang yang akan menghadapi laki- pengecut seperti dia!" umpatnya dengan kulit muka yang memerah, menahan amarah.

.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
coba dengar penjelasan Rafka baru ambil keputusan kayaknya Rafka hanya menolong menikahi dan Purnama sudah hamil duluan
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kakak beradik sama2 g waras dlm versi yg berbeda. kayak orang gila yg mengambil keputusan dlm keadaan marah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status