Pandu mengangguk dan menjawab lirih, “Baik, Paman.” Pandu dengan serta-merta menuruti permintaan Damara, ia langsung surut beberapa langkah ke belakang.
Setelah itu, tanpa basa-basi lagi, Damara langsung melancarkan dua pukulan keras secara mendadak mengenai kepala dan leher pemuda sombong itu.
Dengan demikian, Andaresta pun terjatuh. Namun dengan sangat cepat ia bangkit kembali.
Andaresta hanya tertawa dingin sambil menatap wajah Damara yang berdiri tegak di hadapannya, “Hahaha!"
Tanpa terduga, kaki kanannya dengan begitu cepat menyapu lawannya dengan tendangan berkekuatan tinggi, sehingga Damara pun terjatuh karena kehilangan keseimbangan.
"Pemuda ini benar-benar memiliki kemampuan yang sangat luar biasa. Pantas saja sang panglima bisa dia kalahkan," kata Damara dalam hati.
Tak berhenti sampai di situ saja, Andaresta kembali menyerbu ke arah Damara yang sudah terpuruk di hadapannya.
Namun dengan gerakan cepat Pandu menghalau serangan tersebut, ia mementahkan serangan Andaresta dengan sebuah pukulan tenaga dalam yang sangat dahsyat, tepat mengenai dada pemuda sombong itu. Hingga tubuh Andaresta terpental jauh beberapa tombak ke belakang, tampak darah segar mengalir dari mulut dan hidungnya.
Walau demikian, Andaresta tidak merasa jera. Berkatalah pemuda sombong itu, “Kau pikir, bisa apa dirimu? Sungguh tak berguna beberapa saat yang lalu kau telah meminum racun yang kutuangkan dalam gelas minumanmu itu. Sehebat apa pun ilmu yang kau miliki, tentu dalam waktu satu atau dua jam ke depan kau akan mati!”
Mendengar perkataan dari lawannya, Pandu tampak kaget. Karena memang benar jauh sebelum ia bertemu dengan Andaresta di hutan itu, terlebih dahulu ia makan dan minum di sebuah rumah makan yang ada di desa tersebut. Mungkin dari warung itulah, Andaresta sudah mencampurkan racun ke dalam makanan dan minuman Pandu. Karena sebelum makan Pandu sempat keluar dulu untuk menemui Ki Kuwu yang kebetulan lewat di depan warung makan tersebut.
Dengan demikian, apa yang dikatakan oleh Andaresta memang masuk akal. Dalam benaknya, Pandu pun berpikir, “Bisa jadi dia sudah mencampurkan racun ke dalam makanan dan minumanku, ketika aku berada di warung beberapa waktu lalu.”
Pandu berusaha untuk tidak menghiraukan perkataan dari Andaresta.
Dengan demikian, Pandu sudah tidak resah lagi. Ia kembali melanjutkan pertarungannya dengan Andaresta. Tangan kanannya melesat cepat hinggap di wajah Andaresta, pukulan tersebut membuat Andaresta terjatuh dan memuntahkan darah.
Setelah menyerang Andaresta dengan beberapa pukulan keras mengenai wajahnya. Tiba-tiba saja, Pandu terjatuh sambil memekik menahan hawa panas di sekujur tubuhnya yang tiba-tiba saja muncul seiring dengan rasa getir melekat di tenggorokannya.
Hal tersebut tentu dimanfaatkan oleh Andaresta, ia bangkit kemudian berkata, "Tunggu saja waktunya! Kau akan mati secara perlahan-lahan oleh pengaruh racun itu!" pungkas Andaresta langsung melesat ke udara meninggalkan tempat tersebut.
Karena saat itu, ia pun sudah mengalami luka yang sangat parah akibat hantaman tenaga dalam yang dilancarkan oleh Pandu. Langkah tersebut ia tempuh demi menyelamatkan dirinya, karena ia sudah tidak mungkin memaksakan diri untuk melanjutkan pertarungan tersebut.
"Tolong aku Paman!" teriak Pandu kesakitan. Dari mulut dan telinganya tampak mengalir darah segar begitu derasnya.
Damara pun segera melangkah terpincang-pincang menghampiri Pandu yang sedang kesakitan. Saat itu, ia langsung membantu membangunkan Pandu.
"Racun dalam tubuhmu sudah mulai bereaksi kalau tidak segera dikeluarkan akan berakibat fatal," ujar Damara. "Duduklah! Paman akan segera membantu mengeluarkan racun di dalam aliran darahmu!" sambung Damara, kedua tangannya memegangi tubuh Pandu.
Belum sempat menjawab perkataan dari Damara. Tiba-tiba saja tubuh Pandu roboh tergeletak di hadapan pria paruh baya itu. Pemuda itu sudah tak sadarkan diri, karena pengaruh racun yang sudah menjalar di sekujur tubuhnya.
*****
Damara bergegas menotok seluruh titik aliran darah di tubuh Pandu. Kemudian, ia segera mengeluarkan racun tersebut dengan kekuatan tenaga dalamnya. Beberapa saat kemudian, Pandu sudah mulai sadar dan kembali membuka matanya. "Kau kunyah dan telan serbuk ini!" perintah Damara menyerahkan bungkusan kertas dalam bentuk lipatan berukuran kecil kepada Pandu. "Iya, Paman." Pandu langsung meraih kertas yang berisikan serbuk penawar racun tersebut. Lantas, ia pun segera menelan serbuk ramuan itu tanpa menggunakan air. Setelah memberikan penawar racun, Damara langsung meminta bantuan kepada beberapa orang warga yang tengah mencari kayu di hutan tersebut, untuk membawa Pandu pulang ke kediamannya. Di tempat terpisah, Andaresta pun tengah berjuang untuk mengobati luka dalam yang dideritanya. Namun, ia masih tetap bersikap sombong. Andaresta sangat yakin, bahwa Pandu tidak akan mungkin selamat oleh pengaruh racun itu. "Pandu, ajalmu akan segera ti
Mendengar perkataan dari ayahnya, sikap Pandu mendadak bimbang dan gundah. Ada rasa bahagia dan ada pula rasa sedih yang membelenggu dalam jiwa dan pikirannya kala itu. Seakan-akan, ia tidak rela jika harus meninggalkan ayahnya seorang diri. Meskipun demikian, Pandu sangat berkeinginan untuk mengabdi di istana sebagai seorang prajurit. Karena dirinya mempunyai cita-cita tinggi, ingin menjadi seorang senapati seperti ayahnya di masa lalu. Pandu menghela napas dalam-dalam, dan membuangnya perlahan. Lantas, ia segera menjawab perkataan dari ayahnya, "Aku tidak tega jika harus meninggalkan Rama sendirian." Suaranya terdengar berat, seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. "Kenapa, Nak?" tanya Wira Karma menatap tajam wajah putra semata wayangnya. "Sedari kecil aku tidak pernah berpisah dengan Rama, sekarang aku harus meninggalkan Rama sendiri hanya karena mengejar cita-cita," jawab Pandu balas menatap wajah sang ayah. Bulir bening
Pandu menghentikan langkahnya sejenak. Lalu berpaling ke belakang. Tampak seorang pemuda tengah berlari kecil ke arahnya. "Reksa Pati," desis Pandu meluruskan dua bola matanya ke arah pemuda tersebut. Reksa Pati tersenyum-senyum ketika sudah berada di hadapan Pandu. Ia terus menatap lekat wajah sahabatnya. Lalu bertanya, "Kau mau ke mana, Pandu?" Pandu balas senyum. Lantas menjawab dengan lirihnya, "Aku hendak menemui Paman Damara di saung. Apa kau mau ikut?" "Tidak, Pandu! Aku masih ada urusan," jawab Reksa Pati tersenyum lebar. "Baiklah kalau memang seperti itu. Lain kali kalau ada waktu, aku tunggu kau di rumahku!" kata Pandu balas tersenyum sambil menepuk pundak sahabatnya. "Baiklah, kapan-kapan aku pasti berkunjung ke rumahmu," tandas Reksa Pati. Dengan demikian, Pandu pun langsung pamit kepada sahabat baiknya itu, ia kembali melanjutkan perjalanan menuju ladang untuk menemui Damara. "Aku pikir Reksa Pati mau
Mendengar bentakkan dari Pandu, dua orang pria itu tertawa lepas, "Hahaha!" Salah seorang dari mereka kemudian berkata, "Kau tidak perlu tahu tentang siapa kami ini!" Salah seorang dari mereka balas membentak, kemudian melangkah mendekat ke arah Pandu. "Kami adalah orang yang diutus untuk membinasakanmu," ucap pria berikat kepala hitam tampak jemawa. Mendengar perkataan dari pria itu, Pandu pun lantas berkata sambil tertawa dingin, "Sekarang aku ingin tahu apa kau masih berani keras kepala?" Bersamaan dengan itu, tangan Pandu mengayun cepat bagai kilat hendak menyambar kepala orang yang mengenakan ikat kepala hitam itu. Namun, orang itu dengan begitu mudahnya dapat menghindari serangan dari Pandu. Sambil membentak ia langsung membalikkan tangannya dengan sangat cepat, dan sudah berbalik mencekal pergelangan tangan Pandu. "Kau tidak akan bisa lepas dari cengkraman kami, Anak muda." Pandu tidak banyak bicara, ia langsung mengerah
Pandu semakin geram sekali melihat sikap dua pendekar yang tengah berdiri angkuh di hadapannya. "Sekadar mengingatkan. Kau ini tidak mungkin terlepas dari cengkraman kami, dan sudah dapat dipastikan bahwa malam ini adalah mimpi burukmu, Anak muda!" ucap seorang pendekar yang satunya lagi. Tanpa banyak bicara lagi, Pandu langsung menerjang dua pendekar itu dengan menggunakan tangan kosong. Akan tetapi, tangannya itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi. Serangan yang dilancarkan Pandu memang sangat luar biasa, jika saja mereka tidak memiliki kemampuan ilmu bela diri yang mumpuni. Maka, mereka akan binasa saat itu juga terkena pukulan tenaga dalam dari Pandu. "Kau ini masih bau kencur, tidak layak bertarung dengan kami yang sudah menguasai pengalaman di rimba persilatan!" bentak salah seorang dari dua pendekar tersebut. "Kemampuan seseorang tidak dinilai dari kematangan usia. Aku ti
Rabuta terus berlari kencang membawa Pandu mengejar ketiga pendekar itu, menerobos kegelapan malam. Hingga pada akhirnya, mereka pun telah tiba di sebuah perbukitan yang berada di balik hutan tersebut yang terkenal dengan julukan Bukit Tengkorak. "Kita sudah berhasil memancing anak muda itu," desis salah seorang dari ketiga pendekar tersebut. "Malam ini kita harus menghabisi anak muda itu di bukit ini!" sambungnya sambil tertawa lepas. Pandu terus mengamati tiga orang pendekar yang ada di hadapannya. Sejatinya, ia merasa heran dan kebingungan ketika melihat tiga orang pendekar itu, tiba-tiba saja berhenti dengan posisi membelakanginya, dan tertawa dengan begitu puas. Seakan-akan, mereka tengah merayakan sebuah kemenangan. "Aku tidak mengerti dengan maksud kalian, sebenarnya kalian ini siapa? Ada maksud apa kalian memancingku hingga tiba di bukit ini?" tanya Pandu masih duduk di atas pelana kudanya.
Dengan demikian, pendekar itu pun tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang. Seakan-akan, terkena oleh pengaruh jurus yang sangat dahsyat dari orang tua tersebut. Pria senja yang tiba-tiba datang itu adalah Resi Naraya—gurunya Pandu yang hendak ditemui oleh Pandu. Entah kenapa? Mendadak ia datang dan memberikan pertolongan kepada muridnya yang tengah dihadapkan dalam sebuah kesulitan. Sehingga Pandu pun hanya diam termangu sambil menatap sosok sang guru yang tengah berhadap-hadapan dengan satu orang lagi pendekar yang masih hidup itu. "Kenapa guruku bisa tahu jika aku tengah dalam kesulitan?" berkata Pandu dalam hati. Jiwa dan pikiran Pandu kala itu diselimuti rasa penasaran yang begitu tinggi terhadap gurunya yang sudah datang dan memberikan pertolongan untuknya. "Hentikan perbuatanmu, jika tidak ingin bernasib sama seperti dua kawanmu!" seru pria berusia senja yang mengenakan ju
Resi Naraya tersenyum lebar, lantas menjawab pertanyaan Pandu, "Ya, aku sudah tahu semua seluk-beluk kehidupanmu. Berhati-hatilah! Karena akan ada banyak aral melintang yang harus kau hadapi selama mengemban tugas dari raja." Mendengar perkataan dari gurunya, Pandu tersenyum. Sejatinya, ia merasa bahagia karena mendapatkan dukungan dan sentuhan nasihat baik dari orang yang sangat berjasa terhadap dirinya. "Terima kasih, Guru." Pandu meraih tangan sang resi seraya mencium tangan gurunya itu penuh rasa hormat. Pandu tidak menyadari bahwa yang tengah berhadap-hadapan dengan dirinya adalah roh halus dari Resi Naraya yang sudah meninggal dunia satu bulan yang lalu. Kemudian, Pandu kembali mengangkat kepalanya. Dipandanginya wajah Resi Naraya yang tampak pucat seperti orang yang tengah dalam keadaan sakit. Tangannya pun mulai terasa dingin bagaikan es. Sehingga, Pandu pun merasa kaget dengan semua itu.