"Serahkan mantan Kaisar!" sentak Lu Bu.
Dengan suara keras yang menggelegar seperti bunyi halilintar, dua membuat kuda Zhu Cun meringkik ketakutan.
"Ayo, menyerahlah!" lanjut Lu Bu. "Atau keluargamu akan mati!"
"Hmmp!" sentak Zhu Cun. "Demi Han, keluargaku siap mati, kamu dengar?"
Lu Bu terbahak. "Lucu sekali. Ayo berhentilah bercanda, serahkan kaisar sekarang juga. Kamu akan diampuni kelak, Cun."
"Kamu mau memiliki Bian? Langkahi mayatku dulu!" tantang Zhu Cun.
Lu Bu memberi kode bagi beberapa penunggang kuda di sekitar Zhu Cun untuk menyerang.
Tiga penunggang kuda dari kiri, kanan, dan belakang maju. Dengan tangkas Zhu Cun meladeni mereka. Permainan tombaknya lumayan lihai hingga berhasil menghabisi dua penyerang. Perut penyerang terakhir dia tusuk memakai tombak lalu dia lempar ke arah Lu Bu.
Dengan sekali tebas Lu Bu membelah pria yang melayang menjadi dua. Dia tertawa keras karena rasa puas.
"Cukup menghibur aksimu, pengkhianat!"
"Kamu yang pengkhianat!" sentak Zhu Cun, tombaknya menuding Lu Bu.
Seorang pria di sebelah Lu Bu memacu beberapa langkah kudanya mendekati Zhu Cun.
Tangan kiri Cao Cao mengepal dalam genggam tangan kanan, begitu caranya memberi hormat pada sesama Jenderal.
"Jendral Zhu Cun, tolong pikirkan baik-baik. Kaisar hanya diganti, dia tidak akan diapa-apakan. Nasibnya akan dijamin oleh Perdana Menteri."
"Tidak diapa-apakan kamu bilang?"
Zhu Cun meludah lalu ujung tombaknya menuding Cao Cao. Dia begitu murka karena Cao Cao ternyata telah lupa akan janjinyabpada He Jin juga Liu Bian.
"Dong Zhuo memintaku meracuni Liu Bian!" sentak Zhu Cun. "Kalian semua pengkhianat yang harusnya mati tersambar geledek!"
Lu Bu memacu kuda menyerang Cun. Aura merah keluar dari tubuh berlapis baju zirah hitam merahnya. Dia memutar tombak lalu menusuk Zhu Cun dengan kecepatan angin.
Pengalaman bertahun-tahun di medan perang membuat Zhu Cun berhasil membaca gerak Lu Bu. Akan tetapi perbedaan tenaga mereka sangat jauh. Tombak di tangan kanan Zhu Cun tidak mampu beradu dengan serangan Lu Bu, benda itu hancur seketika.
Lu Bu hendak menusuk Zhu Cun dari belakang. Ujung tombaknya nyaris menembus baju perang Zhu Cun. Beruntung Cao mengayun pedang hingga merubah arah laju tombak.
"Cao Cao! Berani sekali kamu?" sentak Lu Bu
"Jika kamu menusuk Zhu Cun, bukankah Kaisar bisa terkena tombakmu?"
"Peduli setan--"
"Dengar, jika badan Kaisar hancur, apa reaksi Perdana Menteri? Dia ingin badan bocah itu utuh!"
Zhu Cun melihat celah, berusaha kabur memacu kuda.
Akan tetapi Cao Cao menendang kuda itu hingga kedua penunggangnya jatuh ke jurang curam nan sangat gelap.
"Cao Cao bodoh!" sentak Lu Bu.
Dengan panik dia turun dari kuda seakan ingin terjun ke jurang.
"Haiya, lihat apa yang kamu lakukan!"
Para penunggang kuda turun dari tunggangan, mengamati jurang. Jurang Lao Lao terkenal sangat curam dan dalam.
Menurut prediksi Cao Cao, keduanya tidak akan selamat.
Kesal Lu Bu menendang salah seorang penunggang kuda hingga jatuh ke jurang.
"Cari sampai ketemu atau kalian semua akan merasakan tebasan tombakku!"
Dia kembali menunggangi kuda merah, menuding Cao Cao memakai ujung tombak.
"Kamu, komandoi mereka untuk mencari. Kalau tidak ketemu, keluargamu akan kupenggal!"
Cao memberi hormat. "Laksanakan!"
Suara gemuruh di langit membuat mereka mendongak. Tetes air pertama mendarat ke muka Lu Bu.
Dia benci hujan, memilih memutar kuda bersama beberapa pasukan pergi meninggalkan Cao Cao beserta pasukannya.
Langit berkedip-kedip. Di balik awan naga putih terbang berdansa. Sontak para pasukan berkuda panik, beberapa bahkan bersujud pada langit.
"Ada apa ini?" gumam Cao. "Bukankah mandat dari langit telah hilang bagi Han? Bukankah langit biru akan tergantikan dengan langit kuning? Tapi mengapa--"
"Tuan Cao Cao, bagaimana ini?" rengek salah satu pasukan.
Pasukan itu merangkak mendekati Cao Cao, lalu menangis sembari menarik kaki Jendral.
"Dewa marah karena kita mengusik Kaisar! Bagaimana ini, Tuan. Apa yang akan terjadi?"
Cao membantu pasukan itu berdiri, sia memandang pasukan lain yang juga ketakutan.
"Tenang saja. Jangan takut. Langit tidak akan runtuh."
Rintik hujan semakin deras. Angin berembus kencang. Entah sakit apa langit hingga jadi seperti ini.
"Kalian harus mencari mantan-Kaisar sampai ketemu. Jika gagal, keluarga kalian akan dipenggal!"
Cao Cao menginspirasi pasukan hingga moral mereka meningkat. Mereka berdiri tegap memberi hormat, nyaris serempak menjawab, "Laksanakan!"
Cao Cao memandang lekat ke langit. Dia tidak menyangka semua akan berantakan seperti ini. Semua terjadi begitu cepat dan siapa yang tahu bagaimana nasib Bian?
Hujan semakin brutal menghantam bumi. Tapal kuda menghantam jalanan berkubang. Cao Cao memimpin pasukan berkuda untuk mencari Zhu Cun dan Liu Bian. Dia tak peduli jika besok demam lantaran hujan-hujanan. Mereka berputar cukup jauh mengikuti jalan, karena jurang terlalu terjal dan dalam untuk bisa langsung dituruni. Dia berharap dua orang itu baik-baik saja. Cao Cao punya rencana untuk kabur bersama Bian, Xian, dan Ibu Suri, memakai perahu pergi ke utara bergabung dengan Yuan Shao, tapi Zhu Cun merusak segalanya. Zhu Cun membawa Bian pergi begitu saja. Memikirkan hal itu membuat Cao Cao mengepal kencang. Dewa, kenapa tidak membantuku? Kenapa malah merusak rencanaku? batin Cao Cao. Setelah lama b
Cao Cao meluncur menuju tempat penggalian makam. Belum sampai ke tujuan, nyala obor di tengah hujan membuat langkah melambat. Tiga pasukan memeriksa mayat teman mereka. Seketika kerongkongan Cao Cao kering. Dia bukan pendekar, tidak terlalu jago bermain pedang. Menghadapi satu atau dua pasukan dia bisa, tapi tiga terlalu banyak. Hanya dengan kejutan dia bisa menang. "Kenapa kalian berkumpul di sini?" tanya Cao Cao. Dia memandang bingung ketiga pasukan. Akan tetapi ketiga pasukan menjaga jarak, mundur. Mungkin mereka mengetahui apa yang terjadi? Begitu isi kepala Cao Cao. Satu dari mereka menjawab, "Lapor Tuan, kami menemukan mayat teman-teman--" "Bagaimana dengan kuburan pesananku, beres?" sela Cao Cao, melangkah pelan mendekat. Pria itu memandang kedua temannya di belakang, lalu menjawab, "Kami berhasil membuat makan itu dengan baik." Cao Cao mengangguk, sembari tersenyum pelan. Dia menepuk pundak pria itu. "Ke
Nu An melihat Cao Cao membunuh teman-temannya. Dia bersembunyi di kegelapan malam. Setelah dirasa aman, dia bergegas pergi dari sana. Dia harus menceritakan apa yang dia lihat kepada Jenderal Lu Bu. Beruntung di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang bocah di atas kuda, tepat di bawah pohon tua besar. "Bocah, aku pinjam kudamu!" bentak Nu An. Bocah menggeleng. "Ini kuda Kakakku" "Mana Kakakmu?" tanya Nu An. "Itu, di sana." Nu An berjinjit melihat semak. Di sana nyala obor nampak terang, sepertinya lokasi itu memang menjadi tempat ideal untuk membuang kotoran. "Ayo turun, nanti aku kembalikan." Bocah kecil menggeleng. "Aku bayar lima keping tembaga, mau?" tanya Nu An. Bocah itu menggeleng. Sikap ini membuat Nu An geram. Diam enarik jatuh bocah kecil dari atas kuda, lalu menggantikan bocah itu di pelana. "Pencuri kuda!" teriak bocah, menarik kaki Nu An. Sua
"Berani sekali kalian memperebutkan Kaisar?" Suara itu menggema di hutan yang gelap. Baik pasukan penunggang kuda dan Cao Cao menoleh ke berbagai arah, mencari sumber suara. "Keluar kamu!" bentak penunggang kuda. Dari kegelapan muncul selendang putih memukul mata penunggang kuda. Seorang pria tua melayang di udara, menendang jatuh penunggang dan mendarat ke pelana kuda sebelum Bian terjatuh. Dari pakaiannya pria tua itu petapa Taoist. "Keparat!" Pasukan hendak menyerang petapa. Petapa menyentil kerikil menembus kening penyerang. Seketika badan penyerang ambruk. "Haiya, aku membunuh satu makhluk. Semoga Dewa mengampuniku." Cao Cao memungut pedang, mendekati petapa memberi hormat. "Guru, terima kasih karena datang menolong. Sekarang biar aku--" "Kamu kira aku tidak tahu siapa bocah ini? Sekarang ikuti aku, kita harus segera menolongnya." Petapa melayang ke udara, menghilang ditelan kegelapan malam. Cao Cao
Seorang pria paruh-baya dengan panik menggendong Sima Zhou yang terluka parah masuk ke rumah. "Petapa Zuo Ci, tolong anak saya!" Seketika Cao Cao memberi jalan baginya untuk masuk. Dia enggan keluar, penasaran dengan apa yang terjadi. Terutama dia melihat sosok yang Sima Yi bawa, bocah kecil itu, Cao Cao menginginkan bocah itu sebagai bejana, Petapa bangkit menggusur gelas di atas meja untuk mempersiapkan meja sebagai kasur dadakan. "Mari temanku, taruh sini, biar aku periksa Sima kecil." Petapa membuka pakaian anak kecil di atas meja untuk memeriksa kondisi. Suara detak yang tidak teratur dan begitu tipis serta darah yang keluar semakin banyak dari luka membuatnya cemas. "Gawat, tenaga chi-nya terlalu kecil." Telapak tangan petapa berputar mengumpulkan energi sebelum mendarat ke dada kiri bocah. Asap putih keluar dari sana dan membuat badan petapa bergetar hebat. Darah segar keluar dari kedua sisi bibir petapa menetes membasahi pakaian, tapi beliau t
Cao Cao menarik Sima Shi mendekat. "Adik, sebenarnya apa yang terjadi pada adikmu?" "Tadi kami bertemu pencuri kuda, dan ... pencuri itu menyabet Adik memakai benda ini." Sima Shi mengeluarkan pedang yang dia pungut di jalan, pedang yang masih berlumur darah Zhou. "Aku benar-benar menyesal. Andai aku mampu menahan sakit perut maka--" Cao Cao membungkam mulut Shi. "Semua takdir, bukan salahmu, Nak." Terlebih jika tidak ada insiden itu, Cao Cao belum tentu mampu membawa pulang bejana untuk Bian. Dia ingin berterima kasih pada Shi, tetapi melihat bocah itu menangis, Cao Cao tidak tega. Dia bukan monster yang mampu melakukan itu. Cao Cao memeriksa pedang dan seketika tahu dari lambang di badan gagang, pedang itu milik pasukan berkuda. Sekarang tangannya bergetar memikirkan apa yang terjadi. Mungkin pasukan itu sudah sampai Hu Lau, atau bahkan ke Luo Yang memberi tahu apa yang terjadi kepada Dong Zhuo "Petapa, cepat sedikit!" sentak Cao Cao.
Cao keluar dari gubuk sembari membawa badan Bian. Melihat puluhan pasukan berkuda mengelilinginya membuat kaki Cao Cao lemas, tapi dia tetap melangkah mendekati Lu Bu. "Pengkhianat, berani kau--" "Jenderal Lu Bu, apa salahku sampai kau menghinaku sebagai pengkhianat?" "Masih berkelit? Kau kira aku tidak tahu, kau membunuh pasukanmu sendiri lalu bermaksud kabur bersama Bian, kan?" Ucapan Lu Bu menembus akal pikiran dan membuat hati Cao Cao terguncang, ternyata bocah bodoh seperti Lu Bu bisa berpikir cukup jauh di saat seperti ini. Dia terbahak lepas sampai membuat pasukan berkuda bingung. "Kabur? Kamu salah Jenderal, aku tidak akan kabur. Lagi pula kabur ke mana? Seluruh dunia berada di bawah kaki Perdana Menteri sekarang." Lu Bu ytertawa kencang. "Dunia tidak berada di bawah kakinya, tapi dalam genggamanku. Cukup, sekarang jelaskan apa alasanmu membunuh pasukan-pasukan itu." Ujung tombak Lu Bu terangkat nyaris menyentuh leher C
Setelah dipastikan itu adalah Bian, mereka lanjut menuju Luo Yang, Ibukota. Di pagi hari mereka tiba di tujuan dan langsung menuju ke kediaman perdana menteri. Cao Cao semakin cemas ketika Li Ru memerintahkan pasukan elit untuk menjaga setiap pintu keluar, bahkan Lu Bu tidak melepas tombak ketika berada di kediaman perdana menteri. Li Ru tidak melepas pandangannya dari Cao Cao, mengawasi perubahan raut wajah. Li Ru terkenal sebagai seorang cendikiawan cerdas juga mengerti beberapa ilmu aneh. Bisa dibilang jika Lu Bu adalah otot Dong Zhuo, Li Ru otak dari Dong Zhuo. "Heh, ada apa ini?" tanya Dong Zhuo, pria gendut buruk rupa berjenggot hitam lebat seperti jenggot singa. Sembari melangkah dia mengamati Liu Bian yang terbaring kaku dia tertawa. "Bagus Lu Bu, kau berhasil membunuh cecunguk ini." Li Ru menyeringai ketika Cao Cao mengepal erat gagang pedangnya. "Itu memang Liu Bian, dan Cao Cao yang membunuhnya. Masalahnya adalah, kenapa mata Bian h