Limbur Kancana segera menemui para petinggi pendekar golongan putih untuk mengabarkan kabar yang baru saja ia ketahui soal Nyi Genit dan rencananya. Ia berpindah dari satu petinggi ke petinggi lain hingga akhirnya sampai pada Wirayuda.“Aku tampaknya tidak harus memberitahumu lagi, Wirayuda,” ujar Limbur Kancana.“Ketakutanku akhirnya terbukti. Saat dugaan mengenai kaburnya Nyi Genit dari penjara di Jaya Tonggoh, aku merasa jika dugaan itu akan menjadi kenyataan.” Wirayuda keluar dari gubuk, menuruni undakan tangga kayu, mengamati para pendekar yang tengah berlatih di tanah lapang.“Aku menduga jika Totok Surya ingin membangunkan para bawahan setianya yang terkurung di suatu tempat. Dalam pertarungan terakhir, dia membantu para pendekar golongan putih dari kejauhan.”“Totok Surya ingin kembali ke rimba persilatan.” Wirayuda menatap Limbur Kancana lekat-lekat. Wajahnya tampak ketakutan. “Kita kesulitan menghadapinya saat di pertarungan terkahir. Bagaimana jadinya jika dia muncul kembal
Jatnika tanpa sadar memasukkan kakinya ke lubang jendela. Matanya berkilap merah sebab kekuatan Nyi Genit.“Hei, apa yang kau lakukan, Jatnika?” Seorang murid langsung menarik Jatnika menjauh. Tindakannya seketika diiikuti oleh murid-murid yang lain.“Kau akan membuat Sekar Sari menyadari kehadiran kita.”“Kita tidak boleh membuat keributan di tengah malam seperti ini.”“Kita akan habis jika Guru Ganawirya, Kakang Indra, dan yang lain mengetahui keberadaan kita di sini.”“Aku harus menemui gadis itu.” Jatnika memberontak, berusaha untuk masuk. Akan tetapi, teman-temannya yang lain dengan cepat mencegahnya.“Jangan gila, Jatnika!”“Kendalikan dirimu atau aku akan memotong burungmu!”“Siapa di sana?” Sekar Sari seketika menoleh ke arah jendela, menyimpan golongan ke rak, mendekat pada jendela.Jatnika kembali ke keadaan semula. Tubuhnya ditarik oleh teman-temannya untuk berjongkok dan bersembunyi di bawah gubuk.Sekar Sari membuka jendela, mengawasi keadaan sekeliling. “Aku seperti mend
Limbur Kancana duduk di sebuah bangku kosong, memberi tanda pada Wirayuda untuk segera membuka pertemuan. Suasana tampak hening dan tegang. Sepuluh Tiruan Limbur Kancana duduk di belakang para petinggi golongan putih.Di luar gubuk, beberapa pendekar tampak mengawasi pertemuan, sedangkan para pendekar yang akan berlatih justru bertanya-tanya.“Aku melihat Guru Limbur Kancana memasuki gubuk untuk menemui para petinggi golongan putih. Tampaknya keadaan memang sedang gawat,” bisik Dharma.“Ya, aku semakin penasaran. Pertemuan ini tidak mungkin diadakan tanpa sebab.” Galih Jaya menyahut, menoleh pada Gubuk.“Aku sempat mendengar kabar dari beberapa pendekar penjaga jika Nyi Genit bebas dari penjara di Jaya Tonggoh,” ujar Ajisoka.Galih Jaya, Dharma, Amarsa, dan beberapa pendekar lain tampak terkejut.Ajisoka memberi tanda untuk diam pada teman-temannya. “Jika Nyi Genit benar-benar bebas, maka kita semua berada dalam bahaya. Siluman wanita itu mungkin sedang merencanakan sesuatu yang buruk
“Ini pemandangan yang sangat indah,” ujar Darmasena.Danuseka menyahut, “Jangan tertipu oleh matamu, Darmasena. Meski tempat ini sangat indah, tapi tersembunyi banyak hal yang sangat berbahaya. Hal itulah yang menyebabkan tempat ini jarang sekali didatangani oleh manusia.”“Ah, kau benar, Danuseka. Aku merasakan hawa mistis yang pekat. Tempat ini tampaknya dihuni oleh para siluman yang berbahaya.”“Tempat ini memang dulunya menjadi sarang para siluman. Akan tetapi, setelah pertarungan di Jaya Tonggoh beberapa waktu lalu, tampaknya tempat ini mulai ditinggalkan oleh para siluman. Hawanya tidak terlalu menyeramkan.”“Apa kau pernah pergi ke tempat ini sebelumnya, Danuseka?”“Ya, aku pernah menjelajahi tempat ini bersama pasukanku untuk mencari pemuda pewaris kujang emas. Para siluman bersemayam di tempat ini dan seringkali menangguku dan pasukanku. Barulah saat aku mengatakan bahwa aku adalah suruhan Gusti Totok Surya, mereka berhenti mengangguku.”Danuseka dan Darmasena melompat dari t
Empat pendekar pria dan dua pendekar wanita bergabung dengan Limbur Kancana, Jaya Sasana, Manggala Putra, dan Candra Kirana di gubuk.“Salah satu tiruanku sudah sampai di hutan yang dekat dengan Batu Nangkarak. Ketika kita sudah sampai, aku juga akan mengirim beberapa kelompok pendekar untuk menjaga wilayah selatan,” ujar Limbur Kancana.Jaya Sasana menanggapi, “Wilayah Batu Nangkarak adalah wilayah yang berbahaya karena wilayah itu merupakan wilayah kekuasaan beberapa siluman kuat. Kemungkinan mereka sudah bergabung dengan Nyi Genit. Para pendekar biasa akan kesulitan untuk menghadapi mereka.”Candra Kirana menambahkan, “Aku sependapat dengan Jaya Sasana. Wilayah itu adalah wilayah yang sudah lama tidak dihuni oleh manusia bertahun-tahun lamanya. Jika tidak berhati-hati, hal buruk bisa saja terjadi.”“Mengingat bagaimana sepak terjang Nyi Genit dalam pertarungan beberapa waktu lalu, Totok Surya berada di balik siluman wanita itu. Kita akan sangat kesulitan jika harus bertarung dengan
Padepokan Maung Bodas Langit sudah bersolek lembayung ketika seorang anak laki-laki baru tiba di depan sebuah padepokan. Tampak halaman bangunan itu dipenuhi murid-murid persilatan yang tengah berlatih secara berpasang-pasangan. Ketika mentari sudah sepenuhnya terlelap di ufuk barat, obor yang mengelilingi area sekitar menyala secara bersamaan. Anak laki-laki bernama Lingga itu memilih jalan samping untuk sampai ke belakang bangunan. Pandangannya bermuara pada kumpulan murid yang masih berlatih, merekam dan mencatat dalam otak semua gerakan yang ditampilkan. “Kuda-kudanya masih salah, pukulannya kurang bertenaga, gerakannya masih kaku,” gumam Lingga seperti guru yang tengah mengamati perkembangan muridnya. Beban berat yang anak itu pikul mendadak ringan, padahal ia tengah membawa tiga ikat kayu bakar di punggung, juga dua kantong besar berisi buah dan sayuran liar yang ia dapat di sekitar hutan. Lingga terus bergumam dengan pan
Malam kian menggurita di pedalaman hutan Ledok Beurit. Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memantulkan cahaya keemasan. Langit terlihat cerah dari jajahan awan. Di salah satu pohon yang tak jauh dari padepokan, Lingga tengah duduk di dahan paling tinggi. Dari tempatnya saat ini, ia bisa melihat pekatnya Ledok Beurit. Kawasan padepokan ini memang berada di tengah hutan, jauh dari lokasi penduduk. Setidaknya butuh setengah hari agar bisa ke perkampungan terdekat. Berbekal obor kecil, Lingga mulai membuka lembaran gulungan-gulungan berisi gerakan silat yang sengaja ia gambar secara sembunyi-sembunyi. Ia berusaha berkonsentrasi untuk mengamati isi gulungan. Namun, fokusnya justru tertuju pada pekarangan yang ramai. Malam ini, para murid padepokan akan mendapat senjata mereka masing-masing dari Ki Petot sebagai tanda kelulusan dari padepokan ini. “Aku sangat kesal setiap kali kegiatan ini berlangsung.” Lingga menutup kembali gulungan, memilih berbaring
“Lingga!” sentak Ki Petot dengan suara tertahan. Matanya seakan ingin melompat dari tempatnya. Lingga dengan cepat berdiri, menepuk-nepuk baju dan celana. “Punteun, Ki,” ucapnya takut. Pandangan para murid segera tertuju pada Lingga dan Ki Petot. Sepertinya bocah pelayan itu akan kembali menjadi bulan-bulanan sang guru, pikir mereka. “Kenapa kau ada di sini, hah?” Ki Petot segera menunjuk dahi Lingga dengan ujung tongkat. “Bukannya aku sudah memerintahkanmu untuk menjauh dari semua hal yang berbau silat dan pendekar? Kenapa sekarang kau justru berada di sini?” “Ma-maaf, Ki. Aku ... tidak sengaja melihat hantu di kamar Aki,” jawab Lingga seraya menunduk. “Kamar?” Ki Petot sontak mengcengkeram kerah baju Lingga, lalu mengangkat tinggi-tinggi anak itu dengan satu tangan. Pandangannya menguliti Lingga lekat-lekat seperti harimau mengamati buruan. “Siapa yang menyuruhmu masuk ke kamarku, hah? Bukannya aku sudah melarangmu untuk masuk?”