Empat pendekar pria dan dua pendekar wanita bergabung dengan Limbur Kancana, Jaya Sasana, Manggala Putra, dan Candra Kirana di gubuk.“Salah satu tiruanku sudah sampai di hutan yang dekat dengan Batu Nangkarak. Ketika kita sudah sampai, aku juga akan mengirim beberapa kelompok pendekar untuk menjaga wilayah selatan,” ujar Limbur Kancana.Jaya Sasana menanggapi, “Wilayah Batu Nangkarak adalah wilayah yang berbahaya karena wilayah itu merupakan wilayah kekuasaan beberapa siluman kuat. Kemungkinan mereka sudah bergabung dengan Nyi Genit. Para pendekar biasa akan kesulitan untuk menghadapi mereka.”Candra Kirana menambahkan, “Aku sependapat dengan Jaya Sasana. Wilayah itu adalah wilayah yang sudah lama tidak dihuni oleh manusia bertahun-tahun lamanya. Jika tidak berhati-hati, hal buruk bisa saja terjadi.”“Mengingat bagaimana sepak terjang Nyi Genit dalam pertarungan beberapa waktu lalu, Totok Surya berada di balik siluman wanita itu. Kita akan sangat kesulitan jika harus bertarung dengan
“Kita harus segera bersembunyi secepatnya, Darmasena. Jika kita sampai tertangkap, kita akan berada dalam bahaya. Kita masih bukan tandingan Jaya Sasana maupun Limbur Kancana sekarang,” ujar Danuseka seraya melompat ke bawah.“Aku benci mengakuinya, tapi kau benar, Danuseka.” Darmasena mengikuti Danuseka.“Kita akan bersembunyi di bawah gua ini. Aku yakin kita akan menemukan sebuah tempat persembunyian.” Danuseka mengirimkan kembali pasukan kelelawarnya pada arah mulut gua. “Pasukan kelelawar itu akan menyamarkan hawa keberadaan kita.”“Seberapa lama pasukan kelelawarmu bisa melakukannya?”“Melihat lawannya adalah salah satu petinggi golongan putih dan tiruan Limbur Kancana, mungkin tidak akan lama.”Danuseka dan Darmasena melompati satu per satu batu dengan cepat, sesekali menoleh ke samping, belakang, dan atas. Meski tampak tenang, mereka merasa sangat tegang mengingat siapa yang mereka hadapi sekarang.Danuseka dan Darmasena melesat ke bawah, mendarat di sebuah tanah yang cukup lap
Rombongan pengelana tiba di sebuah perkampungan besar. Suasana tampak ramai dengan lalu lalang pengunjung dan warga. Beragam kedai dibuka dari awal pintu masuk hingga ke tengah perkampungan, dilanjutkan dengan pasar dan tempat permainan dan ketangkasan.Wira masih berdiri di depan pintu masuk, mengawasi keramaian. “Aku melihat beberapa penjaga yang berlalu lalng di beberapa tempat.”Wira menoleh pada sebuah bangunan tinggi di sisi kiri dan kanan. “Selain itu, aku melihat para pendekar berjaga di sekitar gerbang. Mereka tidak boleh sampai tahu keberadaanku. Aku harus bergegas untuk mengumpulkan perbekalan secepatnya.”Wira menyamar menjadi seorang pengelana, mengawasi keadaan sekeliling dengan ketat, menghindari perjumpaan dengan para pendekar. Ia membeli beberapa buah dan bekal makanan, kemudian bergegas menuju sisi perkampungan.“Aku akan kelelahan jika harus berjalan kaki. Aku juga tidak mungkin menggunakan kekuatanku karena hal itu akan memancing para pendekar golongan putih.”Wira
“Kau benar, Jaya Sasana. Hawa keberadaan mereka mendadak menghilang seperti bau makanan yang terbawa oleh angin.” Candra Kirana mendekat pada lubang. “Namun, aku mencurigai lubang ini.”“Lubang ini tampak seperti lubang biasa, tapi aku merasakan hawa buruk darinya.” Manggala Putra melemparkan sebuah batu.“Jika mereka memang ada di tempat ini, kita pasti masih bisa merasakan hawa keberadaan mereka.” Jaya Sasana mengarahkan pedangnya pada lubang, mengalirkan kekuatannya. “Mereka hilang tanpa jejak seakan lubang ini menyerap mereka. Ada kemungkinan jika mereka pergi memasuki alam lain.”“Kita membutuhkan bantuan Limbur Kancana sekarang,” ucap Manggala Putra.Jaya Sasana memegang bahu tiruan Limbur Kancana. “Kami membutuhkan bantuanmu sekarang, Limbur Kancana.”Limbur Kancana seketika muncul, mendekati lubang. “Aku juga merasakan kekuatan aneh yang muncul dari lubang ini. Aku menduga jika Nyi Genit membantu mereka untuk melarikan diri. Beberapa hari lalu, Nyi Genit berada di wilayah teng
Padepokan Maung Bodas Langit sudah bersolek lembayung ketika seorang anak laki-laki baru tiba di depan sebuah padepokan. Tampak halaman bangunan itu dipenuhi murid-murid persilatan yang tengah berlatih secara berpasang-pasangan. Ketika mentari sudah sepenuhnya terlelap di ufuk barat, obor yang mengelilingi area sekitar menyala secara bersamaan. Anak laki-laki bernama Lingga itu memilih jalan samping untuk sampai ke belakang bangunan. Pandangannya bermuara pada kumpulan murid yang masih berlatih, merekam dan mencatat dalam otak semua gerakan yang ditampilkan. “Kuda-kudanya masih salah, pukulannya kurang bertenaga, gerakannya masih kaku,” gumam Lingga seperti guru yang tengah mengamati perkembangan muridnya. Beban berat yang anak itu pikul mendadak ringan, padahal ia tengah membawa tiga ikat kayu bakar di punggung, juga dua kantong besar berisi buah dan sayuran liar yang ia dapat di sekitar hutan. Lingga terus bergumam dengan pan
Malam kian menggurita di pedalaman hutan Ledok Beurit. Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memantulkan cahaya keemasan. Langit terlihat cerah dari jajahan awan. Di salah satu pohon yang tak jauh dari padepokan, Lingga tengah duduk di dahan paling tinggi. Dari tempatnya saat ini, ia bisa melihat pekatnya Ledok Beurit. Kawasan padepokan ini memang berada di tengah hutan, jauh dari lokasi penduduk. Setidaknya butuh setengah hari agar bisa ke perkampungan terdekat. Berbekal obor kecil, Lingga mulai membuka lembaran gulungan-gulungan berisi gerakan silat yang sengaja ia gambar secara sembunyi-sembunyi. Ia berusaha berkonsentrasi untuk mengamati isi gulungan. Namun, fokusnya justru tertuju pada pekarangan yang ramai. Malam ini, para murid padepokan akan mendapat senjata mereka masing-masing dari Ki Petot sebagai tanda kelulusan dari padepokan ini. “Aku sangat kesal setiap kali kegiatan ini berlangsung.” Lingga menutup kembali gulungan, memilih berbaring
“Lingga!” sentak Ki Petot dengan suara tertahan. Matanya seakan ingin melompat dari tempatnya. Lingga dengan cepat berdiri, menepuk-nepuk baju dan celana. “Punteun, Ki,” ucapnya takut. Pandangan para murid segera tertuju pada Lingga dan Ki Petot. Sepertinya bocah pelayan itu akan kembali menjadi bulan-bulanan sang guru, pikir mereka. “Kenapa kau ada di sini, hah?” Ki Petot segera menunjuk dahi Lingga dengan ujung tongkat. “Bukannya aku sudah memerintahkanmu untuk menjauh dari semua hal yang berbau silat dan pendekar? Kenapa sekarang kau justru berada di sini?” “Ma-maaf, Ki. Aku ... tidak sengaja melihat hantu di kamar Aki,” jawab Lingga seraya menunduk. “Kamar?” Ki Petot sontak mengcengkeram kerah baju Lingga, lalu mengangkat tinggi-tinggi anak itu dengan satu tangan. Pandangannya menguliti Lingga lekat-lekat seperti harimau mengamati buruan. “Siapa yang menyuruhmu masuk ke kamarku, hah? Bukannya aku sudah melarangmu untuk masuk?”
Ki Petot memulai serangan dengan melempar tongkat. Benda itu memutar seperti gangsing ke arah lawan. Kartasura menghindar dengan cara melakukan salto sebanyak tiga kali ke belakang.“Kau mengarahkan tongkatmu ke mana, Aji Panday?” Kartasura tersenyum mengejak bersamaan dengan tubuhnya yang kembali mendarat di tanah.Ki Petot balas menyeringai. Tujuan dari tongkatnya saat ini bukanlah Kartasura, melainkan makhluk hitam di belakangnya. Serangan itu sukses mendarat di perut Jurig Lolong sesuai rencananya. Sosok hitam itu langsung tersungkur hingga membuat tanah bergetar. Dengan begitu, para murid padepokan akan memiliki cukup waktu untuk melarikan diri.“Kurang ajar!” Melihat hal itu, Kartasura seketika dilahap emosi. Ia dengan cepat menerjang ke depan, melayangkan pukulan dan tendangan beruntun ke arah mantan gurunya. Sialnya, pria tua itu dengan mudah mengelak.Ki Petot melompat ke atas tongkatnya, memastikan jika seluruh muridnya b