“Astatang, mau sampai kapan mata gue dilimpahi dosa? Mana suara lo panas banget lagi,” kritik Diska, lelah dengan desisan kasar dari mulut Selma.
“Kicep, lo! Kalau bukan karena lo yang kasih info, udah gue mutilasi dari tadi!” desis Selma, kemudian membenahi posisi ponsel yang terselip di antara ronce kerang.
Lepas memastikan belah bibir Diska merapat, Selma kembali memfokuskan bidik kamera ke arah dua sejoli yang dengan tidak tahu malu tengah bercumbu di sudut kafe. Lebih memalukan lagi, pemeran pria dalam video panas itu adalah manusia yang selama dua tahun ini lancang melabeli diri sebagai kekasih Selma.
Posisi panas itu mungkin memang tidak terlalu tersorot karena terhalang penyekat ruangan. Tidak jelas, bukan berarti tidak terlihat. Untungnya Diska cukup andal dalam memilih markas, sehingga sekat beraksen kerang itu justru menjadi profit tersendiri bagi Selma. Dari sekian banyak sumpah serapah dan absen kebun binatang, hanya posisi itulah yang sepertinya akan mendapat pujian Selma.
Diska mencolek bahu Selma. “Kenapa nggak dilabrak aja, sih? Lo cuma menodai mata gue tahu, nggak! Pakai acara direkam segala, kaya situ ada pasangan buat begituan aja,” komentarnya, dengan suara berbisik.
“Sembarangan banget kalau nyablak. Kalau ada pun, gue ogah kali diajak begituan. Apalagi mojok gratisan, kaum nggak kuat nyewa hotel,” ejek Selma, kemudian menyimpan ponsel ke dalam saku celana. “Lagian, lo yang kasih tahu gue, jadi lo harus siap dengan rencana penyergapan kaya gini.”
“Iya, Sel, tapi masalahnya gue gatal sendiri lihat mereka. Bikin pengen ‘anu’ aja.” Diska mengelus dada. Jomblo berkuncir kuda itu berulang kali tarik-ulur akses oksigen ke dalam paru-parunya.
“Anu apaan? Yang begituan lo pengenin?”
“Bodo, lah! Hayati sudah lelah.” Diska menenggelamkan kepala ke lipatan lengan.
Memang benar, Selma pikir Diska harus mempertanggungjawabkan laporannya sampai akhir. Semula ia hanya merebah santai ditemani drama kesukaan di dalam kamar. Pikiran Selma masih aman diombang-ambing oleh teori kasus pelik di layar laptop, tapi tidak lagi sampai sahabatnya itu mengirim sebuah foto pemicu hipertensi lewat pesan singkat.
Selma meremas buku menu di tangannya. “Emang nggak ada otak. Mentang-mentang kafe lagi sepi, seenaknya mojok. Apa dikira pegawai sama segelintir pelanggan ini buta!” cercanya.
“Udah. Daripada mikir pegawai sama pelanggan,” Diska mengelus bahu Selma “mending pikirin diri lo sendiri. Sekarang gimana, apa mau nunggu sampai mereka buka baju?” tanya gadis itu, separuh sarkas.
Suara Selma hening, namun saraf kepala tengah ramai mengendalikan emosi. Suatu kebohongan besar jika gadis dua puluh satu tahun itu tidak merasa sakit. Hanya bermodalkan percaya, pria yang tidak berani berbuat lebih dari menenteng tangannya ternyata telah mencari kepuasan bersama wanita lain.
Dendang musik beraliran pop dance yang tersiar melalui pengeras suara menyadarkan Selma. Hanya layar televisi padam, namun benda menggantung di tengah atap itu sedikit mencuri atensinya. Tidak bisa terus seperti ini, menjadi lemah dan penuh ratap tidak akan menyelesaikan penderitaan. Hari ini juga, Selma bertekad memperjelas kekuatan yang sebenarnya.
“Mengkhianati Selmara Vallence tidak akan semudah itu,” ucap Selma seraya memasang smirk andalan. “Gue bakal bikin mereka malu, bahkan lebih malu dari sekadar nggak pakai baju,” tambahnya, penuh amarah.
Jangan pernah melupakan satu fakta penting. Seorang Selma adalah pribadi yang tidak pernah gagal mempermalukan orang lain, terlebih lagi orang yang dianggap telah merugikannya. Pernah sewaktu masih putih abu-abu, Selma menyiramkan urine bekas tes kehamilan pada seorang siswi yang menuduhnya positif tanpa bukti.
Tes yang rutin dilakukan oleh pihak sekolah itu otomatis ramai dengan tajuk ‘menyebar kabar miring, tubuh bau pesing’. Memang kurang ajar, tapi itulah Selma. Meski berakhir dihukum, gadis itu tetap bangga karena berhasil menyelamatkan nama baik dengan hasil satu garis merah sepanjang tiga tahun bersekolah.
“Eh, Selmacan! Mau ke mana, woi!” Tangan Diska mengambang di udara, lantas segera menyusul langkah Selma tanpa ribut mengundang perhatian sejoli yang menjadi objek pengintaian mereka.
Mungkin saking seriusnya bermesra, sampai-sampai langkah murka Selma tidak berhasil menggugah kesadaran mereka. Hanya satu tempat yang menjadi fokus gadis ternistakan itu, meja kasir.
“Halo, Kak, ada yang bisa kami bantu?” sapa pelayan wanita sambil tersenyum ramah.
“Saya boleh sewa audio sama televisi di sini sebentar, nggak?” Tanpa banyak pembuka, Selma mengutarakan niatnya.
Diska menampar bahu Selma. “Jangan mengadi, deh! Mau apa sama televisi?” tanyanya, setengah memperingatkan lewat tatapan tajamnya.
Selma menghela napas, menatap Diska sekilas sebelum berakhir mengabaikan sahabatnya itu. “Boleh, Mbak? Saya mau numpang promosi ini.” Gadis itu menyodorkan ponsel, di mana layarnya menampilkan thumbnail adegan panas di sudut kafe.
Pegawai yang bertugas menunggui meja kasir itu terbelalak sembari menutupi separuh mulutnya, lalu mengatakan,”Maaf, Mbak, bukankah ini terlalu … tidak pantas?”
“Lo beneran udah gila, Sel! Nggak gini juga caranya,” peringat Diska, volume suaranya membisik di telinga Selma.
“Gue emang udah gila dari dulu, dan lo yang paling tahu soal itu,” balas Selma dengan yakin.
Dari dulu sampai sekarang, segala kelakar Selma kerap kali mendapat penahanan dan wejangan dari Diska. Namun, Selma tetaplah Selma. Nasehat Diska yang sudah seperti nenek tua pun akan lewat begitu saja. Memang Diska akui bahwa sahabat satu itu sangat menjunjung tinggi namanya kesucian dan kehormatan wanita, bahkan mungkin cocok jika dijuluki titisan Raden Ajeng Kartini. Kendati demikian, polah Selma yang lebih mirip Harley Quinn kerap membuat kesan negatif pada diri gadis itu.
Pegawai kafe tampak kebingungan didesak Selma. “Aduh, maaf, Mbak. Masalahnya adalah–“
“Ada apa ini?” Pria berkemeja rapi yang diduga kuat adalah atasan pegawai tersebut pun muncul, mengambil alih posisi pegawainya untuk menghadapi Selma. “Maafkan atas ketidaknyamanan kafe kami, apa ada masalah, Mbak?” tanyanya.
Selma mengangguk kuat. “Tentu saja ada. Saya pikir tindakan mesum tidak dibenarkan di tempat umum mana pun, terlebih lagi jika itu terjadi di kafe ini. Apa Bapak setuju?” timpalnya.
“Ya, Anda benar sekali. Tapi, siapa yang ber–”
Prak!
Diska dan dua manusia lain yang tengah berinteraksi dengan Selma sedikit terjingkat oleh gebrakan tangan gadis itu. Selma kemudian berkata, “Maka dari itu, saya berniat membantu Bapak dalam mempertahankan nama baik kafe dari pasangan tak bertanggung jawab seperti ini.” Selma memperlihatkan layar ponselnya, dibantu Diska yang dengan sukarela menunjuk lokasi konkret dari meja kekasih, emm calon mantan kekasih Selma.
“Astaga, benar-benar tidak tahu malu! Biar saya urus mereka dengan benar!” Pria itu menyingsingkan lengan kemeja, bersiap melabrak.
“Eits, tunggu sebentar, Pak. Daripada membuang tenaga, saya akan dengan senang hati membantu pekerjaan Bapak selesai dengan lebih berkelas. Tidak susah, hanya izinkan saya meminjam audio dan televisi di kafe ini,” ujar Selma, mengajukan penawaran. Diska hanya menanggapi niat gadis itu dengan helaan napas pasrah.
“Tapi, Mbak ….”
“Berapa?” todong Selma, membuat pria di hadapannya terjingkat kebingungan. “Apa dengan membayar bill seluruh pengunjung sudah cukup?” imbuhnya.
“Iyain aja, deh, Pak. Daripada teman saya ini makin menggila,” bujuk Diska, sudah lelah dengan segala kebobrokan Selma.
Pria itu menggaruk kepala. “Eum, tapi saya tidak–“
“Dua kali lipat. Atur semuanya, dan saya bayar tagihan seluruh pengunjung sebanyak dua kali lipat.” Sebuah kartu kredit tersodor di atas meja. Mata Selma menyorot tegas, sama sekali tidak menampakkan keraguan terhadap pundi rupiah yang akan dilayangkan dompetnya.
“Deal!” Pria berkemeja biru navy itu menyodorkan telapak tangan dengan penuh semangat.
Rekaman video sudah berada di posisi, begitu pula dengan Selma yang siap dengan segala rencana eksekusi. Jangan tanya di mana dan sedang apa Diska, karena sahabat baik satu itu hanya anteng seraya mengabadikan susasana kafe lewat kamera ponselnya. Pemeriksaan terakhir, manajer kafe mengacungkan ibu jari di sela giginya yang tersenyum semangat. Selesai, dan klik!
“Selamat siang, semuanya! Mohon maaf mengganggu waktunya.” Suara Selma menggema di seantero kafe, seluruh pengunjung termasuk dua pelaku yang akan dibidik telah tercuri ruang dengarnya.
Prang!
“Selma ….” Pemeran pria yang tengah menyuapi wanitanya cepat sekali tersadar, sendoknya saja sampai tercerai di atas lantai.
“Mungkin yang saya sampaikan ini sedikit tidak nyaman untuk didengarkan, dan saya akan meminta maaf untuk hal itu. Sebagai gantinya, saya akan mengambil alih seluruh tagihan pengunjung sekalian tanpa terkecuali. Tidak perlu berterima kasih, karena saya tidak membutuhkannya.”
Suara yang tak memperlihatkan sosoknya itu sukses besar mengundang sorak bahagia dari pengunjung yang terhitung kurang dari dua puluh orang itu. Tak ingin berlama, otak kejahatan utama memulai lagi orasinya.
“Hadirin sekalian, hari ini adalah momen yang berkesan untuk kekasih saya. Oleh karena itu, sedikit persembahan ini semoga dapat mengesankan Anda juga. Dari Princess Vall teruntuk Marviko Savalas, semoga bahagia bersama kekasih barumu.” Riuh kebingungan dari pengunjung menjeda suara Selma sejenak. Gadis itu kemudian menyambung, “Ah, iya! Bijaklah dalam memilih tontonan, hiburan ini mengandung konten dewasa. Terima kasih.”
Tidak perlu banyak acara, video tidak senonoh yang telah diburamkan wajah pelakunya itu menghiasi layar televisi 50 inch milik kafe. Masih baik Selma tidak mempertontonkan wajah Viko dengan gamblang. Sebagai gantinya, pria itu dan kekasihnya diseret manajer kafe keluar paksa di sela mulut pengunjung yang sibuk melayangkan hujatan.
Entah hujatan itu ditujukan pada Viko atau siapa, yang jelas sekarang gadis bermarga Vallence itu sudah melengang santai diiringi tatapan abstrak dari para pengunjung. Senyum puas tercetak jelas di bibir coral pink milik Selma, bahkan setelah bertatap muka dengan Viko di luar kafe pun kebahagiaan itu tidak meluntur.
“Selma, lo benar-benar, ya!” Viko merah padam, menatap Selma berapi-api.
“Bukankah sepuluh juta terlalu mahal untuk kebobrokan semacam ini?” Diska menatap jijik pada Viko.
Selma bergaya dengan kacamata big frame coklat miliknya. “Bukankah kita harus membayar mahal untuk sesuatu yang menghibur?” Gadis itu memajang senyum miring penuh kejahatan.
“Ah, tidakkah hiburan hari ini terlalu murahan untuk sekelas kita?” timpal Diska. Gadis ini memang partner terbaik Selma dalam menghujat orang lain.
“Jangan berkata seperti itu, Nona,” Selma melepas kacamatanya, “setidaknya harga yang kubayar jauh lebih mahal daripada harga diri mereka.” Gadis itu berancang-ancang pergi, lugas menertawai Viko yang ditinggalkan wanitanya begitu saja.
“Marina, tunggu!” Viko hendak meninggalkan Selma, namun urung dan malah berbalik lagi.
“Oh, namanya Marina. Pantas aja lenjeh, kaya lotion,” decak Selma.
“Sel, awas!”
Wet, brug!
Teriak peringatan dari Diska sepertinya terlampau lambat. Selma yang tidak siap apa-apa hanya bisa diam tertahan. Oh, ayolah! Sangat tidak menyenangkan sekali jika babak kedua di mulai dalam waktu sedekat ini.
“Fitting baju pengantin jam berapa?” “Dua jam lagi, Tuan.” Pria yang sibuk dengan berkas di tangan itu tidak juga mengalihkan matanya pada sang sekretaris. Dua jam, itu artinya masih ada kesempatan untuk mempelajari beberapa berkas lagi sebelum tanda tangannya dibubuhkan di atas kertas. Heran melihat sekretarisnya yang tidak kunjung beranjak, pria itu akhirnya bertanya, “Apa masih ada yang ingin kamu sampaikan?” “Maaf, Tuan Panji,” sekretaris pria itu menyodorkan sebuah amplop cokelat, “ini ada titipan dari Tuan Wira. Beliau bilang, itu adalah foto calon istri Anda,” ujarnya. Panji menutup dokumen di tangannya. “Singkirkan saja, aku tidak peduli dengan visualnya. Tidak ada yang bisa kupastikan lewat kertas bergambar itu. Lagi pula, sebentar lagi kita akan bertemu,” katanya. “Tapi, Tuan–“ “Apa kamu tidak ada kesibukan selain mengurus yang bukan urusanmu?” terjang Panji. Sekretaris yang diketahui bernama Dafa itu pun mengangguk. “Baik, Tua
“Om, berhenti, nggak! Aku lompat, nih!” ancam Selma, tetapi Panji malah menambah kecepatan mobilnya.“Lompat aja kalau kamu bisa,” tantang Panji.Selma menggedor kaca mobil, berulang kali menekan kunci pintu yang tidak berhasil menganga sama sekali. Pria yang belum diketahui namanya itu tidak terlihat seperti penculik. Pikiran Selma semakin sibuk bekerja. Apa mungkin karena martabat keluarganya yang terpandang, maka penculiknya pun cukup tahu diri untuk memboyong dengan kendaraan dan gaya berkelas seperti ini.“Om, aku capek. Tolong turunin aku, nggak ada untungnya buat Om berbuat jahat kaya gini. Aku nggak tahu apa masalah Om sama keluargaku, tapi mereka nggak bakal biarin Om lolos sebelum jadi daging panggang,” cerocos Selma, menyandarkan punggungnya yang lelah.Earbuds yang tersangkut di telinga Panji memang tidak membawa dampak apa-apa dari awal. Suara gadis di samping kemudinya terlalu kuat untuk disebut sebagai be
“Bisa beri kami waktu sebentar?” pamit Panji, kemudian menggandeng Selma untuk menepi dari jangkauan dengar pegawai butik.“Om, jalannya pelan-pelan, dong! Sadar usia, udah pikun juga!” hardik Selma.Gadis itu susah payah mengiringi langkah lebar Panji dengan setelan feminim di tubuhnya. Peduli amat, gaun cantik itu berakhir ditenteng dengan tidak etis hingga setinggi betisnya. Di mana letak kesalahannya hingga Panji menyeret murka seperti itu. Kalau Selma rangkum, justru pria itu yang bersalah. Kepayahan macam apa hingga dirinya dan Angsana disamakan, padahal jelas-jelas berbeda.Bats!Masuk ke dalam ruang ganti, Panji menghempaskan Selma dan memegang kedua bahu gadis itu begitu erat. “Saya tidak suka bercanda. Jangan coba-coba menipu saya hanya karena kamu ingin mangkir dari perjodohan ini!” tegas pria itu, menatap Selma dengan kilat berapi-api di kedua iris gelapnya.“Yang bohong juga siapa,” Selma
Sret!Panji merebut kunci mobil dari tangan Sana. “Kamu pulang sendiri, ada yang harus kubicarakan dengan Nona Angsana,” ucapnya, ditujukan pada Selma.Acara fitting baju pengantin gagal total, bahkan sampai jam operasional butik hampir selesai pun tidak ada yang bisa diperoleh melainkan sebuah kerumitan. Dari tatapan pria itu, Selma memiliki firasat yang tidak baik. Kendati demikian, gadis itu seratus persen yakin bahwa Sana tidak seperti yang Madam Runi dan Panji bicarakan.“Hati-hati, ya, Om! Kalau sampai Sana kenapa-kenapa,” Selma menudingkan telunjuk, “urusannya sama saya!” peringat gadis itu.“Justru kalian yang akan berada dalam masalah karena mencoba menipu saya.” Selesai dengan kalimatnya, Panji menarik Sana dengan kasar. Calon pengantin baru itu meninggalkan butik lebih dulu.“Siapa yang menipu siapa, perasaan dari tadi nggak ada satu pun omongan gue yang dipercaya. Ampun, deh!”
“Pa, jangan tarik-tarik, dong!” protes Selma, kaki gadis itu tertatih mengimbangi sang ayah yang melangkah lebar sambil menenteng lengannya. Bruk! Setelah memaksa Selma duduk di sebelah Damar, Sasmara memelototi gadis itu. “Diam, jangan banyak ulah!” peringatnya. Gadis itu kesusahan menelan saliva, lantas merapatkan dua lembar bibirnya secara paksa. Ternyata memang benar, ia kelewat terlambat di pertemuan krusial itu. Lihat, seluruh akar hingga cabang keluarga Vallence sudah berjajar lengkap–kecuali Sana–di ruang tamu Kakek Sagara, bahkan seorang Panji yang bukan siapa-siapa saja ikut hadir di sana. Gadis yang semula memberontak itu terpaksa hening setelah dirasuki atmosfer tidak ramah dari orang-orang di sekitar. “Tama!” Pita suara Kakek Sagara memecut dari arah pintu utama, meneriakkan nama sang putra sulung. Netranya sama sekali tidak berkedip, menjurus pada satu orang yang tengah menenangkan tangisan sang istri. Langkah demi langkah semakin mendekat, membuat nuansa tegang kian
“Maksudmu adalah Selma?” timpal Sasmara, diakhiri dengan menunjuk putri semata wayangnya. “A-apa? Tunggu, tunggu!” Selma berekspresi aneh, rumit untuk dijabarkan seperti kondisi otaknya yang tiba-tiba buram. Seluruh mata langsung terfokus pada gadis itu, terlebih lagi Panji. Pria itu semakin jelas menunjukkan niatnya di muka, menggariskan bibir miring yang mana maksudnya hanya dipahami oleh Selma. Panji mengangguk. “Siapa lagi, Tuan Sasmara? Apakah Anda memiliki putri selain dia?” tanyanya. “Om Panji jangan bercanda, ya!” seru Selma, diiringi dengan tatapan nyalak. Kakek Sagara mengerutkan dahi, semakin memperjelas garis penuaan di wajahnya. “Memang benar, satu-satunya kandidat yang mungkin hanyalah Selma,” tutur pria itu. “Kalau kau menolak Sana, cucuku tersisa dia dan Damar,” pungkasnya. Lelucon macam apa lagi ini, Selma sampai terbengong saking gagalnya diajak melawak. Seumur hidup, baru kali ini telinganya diperdengarkan candaan yang menyebalkan. Ia mencoba untuk tidak serius
“Lihat! Gara-gara kamu, Kakek jadi sakit!” omel Sasmara, suaranya berdesis mengisi keheningan ruang keluarga di rumah utama. Bahu Selma bergetar hebat, bahkan tangis membuat tenggorkan gadis itu sulit menjawab tuduhan yang dilayangkan ayahnya. Semua orang yang ada di sana dengan mudah melimpahkan salah padanya, padahal sudah jelas siapa yang lebih pantas dihakimi daripada dirinya. Membuat jantung kakeknya kambuh sama sekali bukan tujuan Selma, tetapi itu semua juga di luar kendalinya. Dokter yang memeriksa Kakek Sagara baru saja pulang. Sekarang, pria tua itu tengah beristirahat di kamar bersama Nenek Sasti. Semua anggota keluarga masih lengkap ada di sana, bahkan Panji mendadak seperti pengangguran dan meninggalkan perusahaannya begitu saja. Entah apa urusan pria itu, tetapi keberadaannya tidak ada yang menolak. Oh, kecuali Selma tentunya. “Pa, sudah. Jangan bikin suasana makin ribut, Ayah masih butuh istirahat,” lerai Azalea. Wanita itu kemudian mengelus pundak putrinya sambil ber
Blam! “Selma!” Mengetahui sepupunya baru tiba, Damar segera menghampiri gadis itu. “Sel!” panggilnya, setengah berteriak. Gadis itu pun menoleh. “Kak Damar ….” Air mata Selma tumpah begitu saja di pelukan Damar. Mungkin para orang tua tidak tahu, tetapi sedalam-dalamnya perasaan tetap saja mereka bisa saling mengerti. Entah Sana sudah kembali atau belum, ia tidak bisa menduga hanya dengan menatap kerisauan di wajah Damar. Damar mengurai dekapannya, lalu menghapus air mata Selma. “Kamu dari mana aja? Aku khawatir, tahu,” lapor pria itu. “Sana mana, Kak? Dia udah pulang?” Enggan menjawab pertanyaan kakaknya, Selma justru mendapat perlakuan serupa dari Damar. Pria itu terlihat tidak memiliki penjelasan lewat ekspresi masamnya. Dilihat dari sisi garasi pun, gadis itu seharusnya tahu bahwa kendaraan yang ditumpangi Sana belum masuk kandang lagi. “Kita ngobrol di dalam aja, Sel,” ajak Damar, bermaksud menuju rumahnya. Setibanya di kamar pria itu, Selma langsung menghambur ke sudut fa