Freya termenung di meja kerjanya. Hari-hari ini ia dipusingkan dengan masalah percintaan yang rumit. Sudah lama sekali, Freya tak percaya lagi ucapan laki-laki. Baginya, semua laki-laki sama saja. Mereka hanya akan menghargai gadis yang mereka sukai. Sementara Freya?
Memori empat tahun yang lalu terus berputar di kepala Freya. Ia selalu ingat bagaimana Arga memperlakukannya. Freya tersenyum kecut. Ia pernah begitu bodoh hanya karena menyukai seseorang. Ia pernah hampir kehilangan dirinya demi mendapat penerimaan dan rasa cinta dari pria itu. Trauma itu belum bisa hilang hingga sekarang. Bahkan, peristiwa empat tahun lalu seakan mengubah kehidupan Freya.
“Frey.” Suara Dita membuyarkan lamunan Freya. Ia tersenyum kepada gadis itu. Satu-satunya sahabat yang Freya punya.
“Apa yang kau pikirkan? Kau, memikirkan David?” tanya Dita.
Freya terdiam sejenak. “Kau tahu, rasanya aku ingin segera pindah. Aku ingin dia melupakanku.” Ucap Freya.
“Frey, sadarlah. Dia begitu tulus padamu. Kenapa kau tidak bersikap baik padanya?” ucap Dita.
“Aku tidak tahu harus bagaimana.” Jawab Freya.
“Lupakan Arga sekarang juga. Dia hanya bagian dari masa lalumu. Kau tidak bisa menilai semua pria seperti Arga.” Jawab Dita.
“Aku takut. Aku takut David hanya akan mempermainkanku seperti apa yang Arga lakukan dulu.” Jawab Freya.
“Aku tahu, aku bahkan tidak cantik sepertimu. Aku tidak cantik seperti para gadis lainnya.”
"Dulu kau bilang aku tidak perlu berubah untuk orang lain."
"Itu memang benar Frey. Kau tidak perlu melakukan itu hanya demi orang lain." ucap Dita
"Tapi kau bisa melakukannya demi dirimu sendiri. Demi dirimu yang lebih baik."
"Sepertinya sudah terlambat. Sampai kapanpun aku akan seperti ini." ucap Freya.
"Dan aku sudah menerima kalau aku memang tidak cantik."
“Tidak. Jangan berkata begitu. Ayolah Frey, sampai kapan kau akan seperti ini?” tanya Dita.
“Apa kau tidak bisa merasakan ketulusannya?”
"Harus berapa kali aku katakan kalau dia sangat mencintaimu?"
Lagi-lagi Freya terdiam. Perlakuan David padanya memang berbeda dari pria lainnya. Pria itu begitu lembut pada Freya. Tapi sekali lagi, Freya hanya takut.
“Frey, singkirkan pikiran negatifmu itu.” Ucap Dita.
"Itu hanya akan membuat hidupmu berhenti di satu titik."
"Kau pikir, apakah aku rela kau menua sendirian?"
"Aku tidak rela sahabatku ini kesepian hingga tua nanti."
"Sekali ini saja, cobalah buka hatimu."
Begitu banyak nasehat yang meluncur dari mulut Dita. Meski begitu, belum ada satupun nasehat yang bisa mengubah hati Freya.
***
“Aku kenal Freya sejak kuliah.” Ucap Krisna lalu menyeruput kopinya. “Dia, sebelumnya tidak seperti itu.”
"Tadinya dia sama seperti gadis lainnya. Bahkan dia juga pernah menyukai seorang pria di kampus."
"Hanya saja, memang sejak dulu Freya selalu memandang rendah dirinya."
"Kau tahu, dia selalu menilai dirinya hanya dari segi fisik."
"Dia pikir, hanya gadis bertubuh langsing saja yang pantas untuk para pria."
"Dia selalu rendah diri karena fisiknya sendiri, itu kelemahannya."
David mendengarkan ucapan Krisna dengan begitu fokus. “Aku, Freya dan Dita kekasihku. Kami satu kelas dulu.” Kata Krisna.
“Kupikir, Freya berubah karena sebuah kejadian menyedihkan.”
“Apa itu?” tanya David.
“Dia dipermalukan.” Kata Krisna.
“Dia menyukai seorang pria dulu. Dia berubah demi laki-laki itu, tapi ternyata dia hanya mempermainkan Freya.”
“Mempermainkan? Maksudmu?” tanya David.
“Ya, pria itu sebenarnya tidak menyukai Freya. Kadang dia bersikap baik pada Freya, kadang juga dingin padanya. Semua itu hanya untuk mempermainkan Freya.” Jawab Krisna.
"Pria itu, cinta pertama Freya. Tapi mungkin juga patah hati pertama Freya."
"Mungkin dia masih trauma karena hal itu. Hingga sudah bertahun-tahun sejak kejadian itu, dia belum mau membuka hati untuk pria manapun."
"Mungkin termasuk kau."
David terdiam. Ia tahu mungkin Freya menganggap dirinya sama seperti pria di masa lalunya. Itulah kenapa Freya selalu acuh padanya, bahkan berusaha menghindari David.
“Jadi, kau belum menyerah?” tanya Krisna.
“Aku tidak akan menyerah. Sudah kukatakan berulang kali kalau aku mencintai Freya.” Jawab David.
“Kalau begitu silahkan berusaha. Mungkin akan sulit bagimu untuk membuat Freya percaya bahwa kau benar-benar mencintainya.” Kata Krisna.
“Tapi kalau kau benar-benar tulus padanya, aku yakin suatu saat kau akan berhasil.”
"Kau hanya sedikit terlambat, Bung." lanjut Krisna lalu tertawa.
"Ya, mau bagaimana lagi. Waktu belum mempertemukan aku dengannya. Baru sekarang aku bisa bertemu dengannya." jawab David.
"Andai saja dulu kau sudah bertemu dengannya, mungkin Freya tidak akan seperti ini." ucap Krisna
"Aku ingin sekali membuatnya tahu, bahwa dia layak dicintai. Dia layak mendapat pria yang tulus, bagaimanapun keadaannya." kata David.
David tersenyum sambil memikirkan cara lain untuk mendapatkan hati gadis pujaannya. Di matanya, Freya adalah gadis yang sempurnam tapi entah kenapa gadis itu justru selalu merendah di hadapan David.
“Aku akan mengobati luka masa lalumu, kau bukan tidak pantas untuk siapapun Frey. Kau hanya belum bertemu denganku waktu itu. Kau belum bertemu dengan orang yang benar-benar mencintaimu.” Batin David.
Empat tahun yang lalu… Freya berjalan menelusuri lorong-lorong kampusnya. Ia bukan lagi mahasiswa polos yang baru saja selesai ospek. Beberapa tempat di kampus itu sudah sangat familiar bagi Freya. Setiap hari ia menyusuri lorong-lorong itu bukan untuk menuju ke kelasnya. Ia melakukan itu demi melihat pria yang ia suka, Arga. Pria berbadan tegap itu cukup populer di kampus Freya. Mahasiswa matematika murni itu memang terlihat sangat menawan. Bahkan Freya pun jatuh hati padanya. Bagaimana tidak, perawakannya yang bagus, otaknya yang cukup jenius, ditambah hobinya bermain basket di lapangan kampus mampu membuat para mahasiswi tertarik padanya. Setiap sore, Freya menunggu. Menuggu waktu yang tepat untuk mel
Sampai di kamar, Freya langsung membanting tubuhnya ke ranjang. Ia tak bisa membendung air matanya. Ucapan Arga sangat menyakitkan baginya. Ia sudah bersusah payah untuk belajar merias wajahnya. Freya pikir, itu akan berdampak baik baginya. Tapi, ia justru salah. Keputusannya itu, justru membawa kekecewaan mendalam baginya. Suara Arga masih terngiang di telinganya. Bagaimana pria itu menyamakan Freya dengan badut dan bagaimana teman-teman David tertawa. Sesaat, ia memikirkan ucapan Dita. Memang benar kata sahabatnya itu. Berubah untuk orang lain hanya membawa sakit hati untuknya.Setelah beberapa lama menangis, Freya beranjak. Ia duduk di depan cerminnya sambil mengasihani dirinya sendiri. “Aku bersumpah tidak akan melakukan h
Sejak makan siang bersama beberapa waktu lalu, Arga dan Freya semakin dekat. Tak jarang, Freya memberikan hadiah-hadiah kecil untuk pria pujaan hatinya itu. Hari-hari terasa semakin indah bagi Freya. Tak jarang, Arga pun memberikan perhatian-perhatian khusus pada Freya. “Frey, apa yang kau bawa?” tanya Dita. “Ah ini, makan siang untuk Arga.” Jawab Freya. “Kau semakin dekat dengannya. Apa ada hubungan spesial?” tanya Dita. “Aku nyaman dengannya. Dia juga mungkin menyukaiku.” Ucap Freya.“Kami sering pergi bersama akh
Freya duduk sendirian di tepian jalan. Malam makin larut tapi Freya tak peduli. Ia merasa sangat hancur. Dan sekarang penampilannya pun sudah sangat lusuh. Pipinya basah oleh air mata. Dress yang ia pakai sudah kusut dan kotor karena Freya duduk begitu saja di jalanan.Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depan Freya. Lalu seorang pria turun menghampirinya. “Hai nona, kau butuh tumpangan?” tanya pria itu. “Tidak, pergilah. Aku tidak butuh siapapun.” Jawab Freya lirih.“Tapi ini sudah hampir larut. Tidak baik seorang gadis sendirian disini.” Jawab pria itu.“Percayalah padaku, aku akan mengantarmu
Setelah wisuda, Freya berusaha mencari pekerjaan yang layak untuknya. Ia terpaksa berpisah dengan sahabatnya untuk mencari kesempatan yang lebih baik. Freya pindah ke sebuah tempat di pinggiran kota. Ia berharap bisa mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan kecil disana. Lagi-lagi Freya tinggal di kamar kos yang sempit dengan perabotan seadanya. Tidak jauh beda dengan kamar kosnya yang dahulu. Freya sadar, ia tidak seberuntung orang lain. Ia tidak memiliki cukup uang untuk membangun bisnis sendiri atau melanjutkan kuliah. Yang Freya tahu ia hanya harus bekerja. Setiap hari ia berjalan mencari-cari lowongan pekerjaan. Satu demi satu lamaran pekerjaan ia sampaikan di gedung-gedung perusahaan kecil. Sayangnya, setelah menunggu dua minggu belum ada satupun perusahaan yang memanggilny
“Terimakasih.” Ucap Freya.David kembali tersenyum. Ia tak tahu kenapa gadis itu terasa menarik bagi Freya. Dan memang benar, dialah yang membuat David bertahan di tempat makan menjijikan seperti tadi. Entah apakah tempat itu pantas untuk disebut tempat makan. David yakin ada yang berbeda dengan gadis itu. Kalau tidak, tidak mungkin David mau membawa gadis itu pergi. “Frey, bagaimana jika kau berangkat bersamaku besok?” tanya David. “Hmm sebelumnya, aku tidak bermaksud apa-apa.” “Kupikir, itu akan menghemat uangmu bukan?”
David berjalan dengan gelisah di ruangannya. Sudah pukul setengah sepuluh, tapi sosok Freya belum juga muncul. “Sudah terlambat tiga puluh menit, kenapa dia tidak datang?” ucap David.“Apa dia tidak mempercayaiku?” “Arrgghhh!” Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka. Krisna masuk dengan santainya ke ruangan itu. “Ada apa? Kau terlihat gelisah.” Ucap Krisna.‘Aku sedang menunggu seseorang.” Jawab David.
Krisna membuka pintu ruangan David. Ia begitu terkejut melihat sosok wanita yang duduk di ruangan itu. “Freya?” ucap Krisna.“Kris, hai!” seru Freya dengan gembira.“Kau bekerja disini?” Krisna mengangguk. “Dan kau tahu apa yang lebih istimewa? Dita juga bekerja disini.” Kata Krisna. Freya berteriak gembira. Ia sama sekali tak tahu kalau sahabatnya itu berada di kantor yang sama dengannya. “Benarkah?” ucap Freya.“Kalian saling kenal?