Bab 3“Abian …,” lirih Aluna menatap wajah itu. Wajah lelaki yang telah membuat luka terbesar dalam hidupnya.Abian terpaku sejenak saat melihat Aluna, penampilannya sangat berubah, tapi tak sampai membuatnya pangling terlalu lama. Ia sangat mengenali garis wajah Aluna meski kini ia mengenakan abaya dan hijab warna hitam.Sejak saat itu, Aluna sangat menyukai abaya warna hitam. Ia hanya merasa warna itu menarik dan cocok untuknya yang sedang berkabung.Berkabung dalam luka yang tertancap dalam di hatinya.Aluna segera meninggalkan tempat itu, ia berjalan cepat untuk keluar lewat pintu satu lagi, karena jika ia keluar dari pintu di depannya, tubuhnya pasti bertabrakan dengan Abian.“Sebentar ya, Mas,” kata Abian pada rekan kerja yang mengobrol dengannya tadi.“Aluna …,”“Aluna tunggu …,” panggil Abian.Ia membalikkan badan dan menyusul langkah Aluna ke luar.Semakin Abian mengejar, semakin Aluna mempercepat langkahnya. Hingga Aluna menyeberangi jalan dan berjalan di pinggir dengan lang
Bab 4“Ke mana adek gue brengsek?!” teriak Kayren sesaat setelah ia turun dari mobilnya, menuju Abian.Tanpa aba-aba, ia menghadiahi sebuah pukulan di wajah Abian yang juga baru memasuki halaman rumahnya, selepas pulang dari rumah sakit.Hal itu membuat Sisil yang ikut bersamanya meringis ngeri. Pertemuan amarah dua orang lelaki dewasa, tak bisa ia bayangkan akan sehancur apa. Namun, tak bisa ia cegah saat Kayren bergerak cepat, setengah berlari saat mengambil ancang-ancang menghajar Abian.Abian yang tak siap dengan pukulan itu, tubuhnya terhuyung. Seketika rasa nyeri berdenyut di pipinya.“Lo apain adek gue, hah?” teriak Kayren tepat di wajah Abian.Kayren Althaf Hussein, abang Aluna yang mendapat informasi tentang keadaan keluarganya di Jakarta, langsung pulang untuk memastikan kekacauan itu.Abian benar-benar diam tak berkutik. Ia juga berada di posisi yang sangat sulit. Saat itu, ia juga baru mendapatkan informasi bahwa Aluna lari dari rumah, entah ke mana.“Jawab!” bentaknya lag
Bab 5Aluna pulang dengan hati yang gusar. Ada yang mendadak terasa hampa, sedih yang berulang dalam hidupnya.Mengetahui kondisi mama yang lumpuh membuatnya lemas, lalu ditambah dengan mama mertua dan Haura yang sudah berpulang. Ia benar-benar meninggalkan semua cerita yang ada di Jakarta.Hingga saat ia tahu kabar itu semua, hatinya terasa cukup terpukul.Aluna pikir di sana baik-baik saja. Ia dulunya memang meninggalkan mama dalam keadaan lumpuh, tapi ia pikir mama pasti kuat dan akan sembuh sebagaimana mestinya.Aluna antara tega dan tak tega. Satu sisi ia memang masih sadar bahwa itu orangtuanya, tapi kelakuan mereka yang membuat Aluna tak bisa bertahan di sana.Ia tak bisa bertahan untuk membiarkan orang-orang terdekatnya menghancurkan hidupnya lebih jauh lagi.Yang paling membingungkan adalah ketika ia tahu bahwa Haura sudah tiada. Rasanya terlalu tiba-tiba, karena ia pikir setelah ia pergi, Abian dan Haura hidup bahagia bersama keluarganya.Tiba di rumah, Haura langsung masuk
Bab 6Tiga bulan setelah menikah, Abian dan Haura masih tinggal di villa. Masih mengurus perkebunan teh. Kadang Abian juga mengajarkan Haura tentang mengelola hasil panen agar penghasilannya tetap stabil, juga mengajarkan tentang pemasaran dan cara menjaga kualitas.Di lain kesempatan Abian juga memperkenalkan perusahannya di Jakarta, menunjukkan grafik pergerakan saham dan hal semacamnya. Tak mudah bagi Haura yang memang tak pernah mengenal dunia bisnis, ia hanya tamatan SMA.Namun, Abian tetap sabar mengajarkan Haura ini dan itu. Semua hanya persiapan untuk menjadikan Haura berharga di mata kedua orangtuanya. Menjadikan Haura perempuan kaya dan berkelas.Mereka menikmati bulan madu pertama di villa itu, dengan suasana dingin di pagi hari yang dihangatkan dengan pelukan demi pelukan.Haura benar-benar merasa aman juga nyaman bersama Abian.Namun, gadis itu tetaplah gadis pendendam. Ia meminta Abian untuk mengusut tentang kematian Anisa, temannya yang merupakan istri ke tiga sang jura
Bab 7Aluna … orang itu adalah aku, bukan orangtuamu. Yang menjebakmu dengan Abian adalah aku, bukan mama dan papa.“Nikahi dia, Mas. Sepertinya dia gadis yang baik, dan berkelas.”Setelah cukup lama Haura memikirkan itu, akhirnya ia mengizinkan Abian menikah dengan Aluna.“Gak bisa, Sayang. Aku mencintaimu, bukan Aluna! Kita akan datang ke rumah orangtuaku,” jelas Abian. Ia sudah mantap dengan keputusannya.Ia sudah siap jika harus meninggalkan kehidupan mewahnya bersama orangtuanya. Siap dikeluarkan dari garis keturunan keluarga Rajendra.“Nggak, Mas!” bantah Haura.“Aku ikhlas,” tambahnya lagi.“Whaaat? Yang benar saja, Sayang?” Abian menatap Haura dengan heran. Setahunya, tidak ada perempuan yang ikhlas berbagi suami. Dan sampai saat ini belum pernah ada niatnya untuk menduakan Haura.Kau tahu Aluna?Dibalik semua rasa nyaman dan aman, ada rasa lain yang sangat mengganggu saat aku bersama Abian.Rasa tak layak, dan tahu diri. Rasa takut jika sewaktu-waktu pernikahan ini ketahuan k
Bab 8Maafkan aku, Aluna. Aku terlalu berdosa padamu.Malam itu, Haura melancarkan rencananya. Ia mengikuti Aluna untuk mencari celah agar bisa menjebaknya. Saat itu Aluna masuk ke sebuah club, diikuti Abian yang tanpa direncanakan.“Mas … orang seperti apa kamu?” tanya Haura setelah ia menikah dengan Abian.“Aku dengar Jakarta itu sangat bebas ya. Banyak orang mabuk sesukanya. Apa kamu pernah mabuk?” tanya Haura lagi.Abian diam cukup lama. Mau mengakui tapi malu. Sejak menikah ia melihat Haura salat dan mengaji membuatnya merasa takut, seperti ada yang aneh.Namun, Haura tak pernah berani mengajaknya salat dan jadi imam. Ia hanya mengamati. Tapi, lama kelamaan Abian jadi malu sendiri, dan melakukan apa yang selama ini cukup lama ia tinggalkan. Ia salat bersama Haura.“Aku janji, gak bakalan menyentuh minuman itu lagi.” Abian berkata saat itu.Abian memang tak mengingkari janji pada Haura. Namun, mendatangi tempat itu seperti sama saja, dan malam itu tempat yang Abian kunjungi malah
Bab 9.Hafiz berdiri dengan ragu di depan pintu kamar Aluna. Sejak kemarin lusa, gadis itu tidak keluar kamar, tidak menyapanya seperti biasa dan tidak baik-baik saja.Hafiz mengerti bahwa Aluna tidak marah, karena mereka memang tidak pernah bertengkar. Namun, ia hanya sangat khawatir.Kamu baik-baik saja, Aluna?Kamu sudah makan?Kamu tidur nyenyak?Kamu menangis?Kamu masih tidur?Banyak pesan yang Hafiz kirimkan untuk gadis itu, tapi sama sekali tak mendapat balasan. Lagi-lagi Hafiz tahu bahwa Aluna tidak marah, ia mungkin hanya ingin sendiri.Namun, lagi-lagi Hafiz hanya khawatir. Ia takut Aluna kenapa-napa.Hingga pagi ini ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Aluna sebelum ia berangkat bekerja. Ia bangun terlalu pagi demi menyiapkan sarapan untuk Aluna.Meskipun sudah sering, tapi kali ini rasanya berbeda.Rasa rindu memasak untuknya, dan makan bersamanya, padahal baru dua hari mereka tak bertemu.Beberapa kali Hafiz mengetuk pintu dan memanggil nama Aluna, hingga akh
Bab 10.Pukul enam pagi, Abian sudah berada di depan kosan Aluna.Gadis itu sudah bersiap dengan satu tas dan koper di tangannya. “Kita harus move on dari masa lalu, Abian. Kita harus bahagia.” Aluna berkata kemarin saat menemui Abian.Lelaki itu tersenyum. Entah.“Kenapa kamu tersenyum?” tanya Aluna.Bibir Abian yang tadi melengkung mendadak dirapatkan kembali.“Kau bahagia? Atau merasa menang?” tanya Aluna sambil menautkan dua alisnya.“Kamu pasti gak salah memahami kalimatku, kan?” tanyanya lagi.Kini Abian menggeleng dan merasa sedikit malu. Jujur saja ia mencerna kalimat Aluna dengan pemahaman yang berbeda saking berharapnya. Ia pikir, Aluna akan bangkit bersamanya. Bahagia bersamanya.Namun, tak segampang itu.Abian diam. Ia merasa harus tahu malu!“Aku mau pulang sama kamu, tapi ada syaratnya,” kata Aluna melanjutkan kalimatnya.Lelaki itu lebih banyak diam. Aluna yang mendominasi obrolan mereka.“Apa itu, Aluna?” tanya Abian bingung.Aluna menatap Abian dengan tatapan yang s