[Iya, Sayang. Aku udah nggak sabar juga ketemu kamu. I love you, Mashen.]
Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel. Aku yang tengah berselancar di aplikasi F******k, buru-buru membuka top up notifikasi untuk membaca pesan tersebut. Mataku membelalak sempurna saat membaca teks yang dikirim oleh Nadia, sahabat kentalku.
Mashen? Mashen siapa? Kenapa Nadia mengirimkan pesan ini kepadaku? Apa dia salah nomor?
Baru saja aku ingin membalas, pesan itu telah dihapus. Tampak di layar bahwa janda beranak satu yang kerap kubawa main ke rumah, sedang mengetik.
[Ri, maaf aku salah kirim š ]
Degupan jantungku tiba-tiba saja menjadi tak senormal biasa. Ada debaran kuat yang mendera. Seperti tengah kurasa ada yang tak beres. Mashen ... apakah mungkin maksudnya adalah Mas Hendra, suamiku?
Aku menggelengkan kepala. Tidak mungkin. Apalagi di awal Nadia mengucapkan āsayangā segala. Mungkin itu adalah untuk teman atau pacar barunya. Namun, mengapa kawan akrabku itu tak pernah cerita?
Seribu tanya berkelebat di kepala. Tangan yang tiba-tiba berkeringat dingin, jadi agak gemetar saat aku hendak mengetik balasan untuk si Nadia. Apa perlu kutanyakan pesan untuk siapa yang tadi dia kirimkan?
[Eh, memangnya pesan apa? Aku belum baca š]
Akhirnya, pura-pura aku tak tahu tentang pesan apa yang dikirimnya tadi. Bukan apa-apa, entah mengapa seperti batinku tak siap dengan apa yang bakal diungkap Nadia. Sementara itu, di satu sisi lain aku menyangkal bahwa Mashen yang dia sebutkan adalah suamiku. Mana mungkin sahabatku mengirimi Mas Hendra pesan. Tidak mungkin! Nadia bukan tipikal wanita perebut laki orang. Dia perempuan terhormat. Menjadi janda pun sebab cerai mati.
[Nggak, Ri. Aku tadi mau pesan galon. Eh, malah kekirim ke kamu š]
Selama lima belas tahun kami berteman, tepatnya saat aku dan Nadia sama-sama duduk di bangku kelas X SMA, baru kali inilah kutemukan Nadia ingkar padaku. Dua centang biru dan terakhir dilihat pada aplikasi W******p memang sudah lama sengaja kupadamkan. Mungkin genap tiga tahun lamanya. Bukan apa-apa. Kadang aku sibuk di kantor dan malas segera membalas pesan dari rekan, tetapi selalu kubaca isinya sebab penasaran. Takut melukai perasaan mereka, jadi kupadamkan saja tanda telah dibaca.
Dan Nadia benar-benar membuatku sangat syok. Benar-benar aku terperangah dengan kata-katanya. Dia bilang mau pesan galon? Padahal, masih terekam jelas isi pesan mesra tersebut.
[Oh, aku pikir, mau mencari Mas Hen š]
Tanganku sangat gemetar saat mengetik kata-kata tersebut. Aku yang berniat menghabiskan hari libur dengan beristirahat tenang di atas kasur sambil bermain sosial media, nyatanya harus menelan kenyataan bahwa waktu bersantaiku sebentar lagi usai sebab hal semacam ini. Feelingku kuat mengatakan bahwa Nadia memang sedang tak baik-baik saja. Wanita cantik yang memiliki balita itu pasti tengah menyembunyikan sesuatu hal penting dariku.
Nadia tak membalas pesanku. Dia langsung terlihat offline. Seketika, perasaanku gonjang ganjing. Seperti ada gerimis di hatiku. Mashen ... apakah yang Nadia maksud memang suamiku?
***
Lekas aku beranjak dari ranjang. Bergegas keluar kamar untuk mencari keberadaan Mas Hendra bersama anak kami, Carissa, yang berusia 5 tahun. Mas Hendra bilang, dia dan Carissa ingin main di kolam ikan belakang rumah.
Kaki kupacu secepat mungkin. Napas ini sampai terengah dengan degupan jantung yang ekstra kencang. Mas Hendra harus kuinterogasi! Tak boleh dibiarkan. Aku tahu jika feeling ini jarang meleset, apalagi berkaitan dengan keluarga.
Saat diriku membuka pintu belakang rumah yang menghubungkan dengan taman belakang, betapa terperanjatnya diriku. Tak ada anak dan suamiku di sana. Hanya bunyi keciprak air akibat gerakan ikan-ikan peliharaan serta kicau burung kenari dalam sangkar yang digantungkan Mas Hendra dekat jendela dapur.
Aku tak menyerah. Langkah ini langsung tergesa berlari ke depan. Siapa tahu dua beranak itu tengah main di teras.
Setibanya di ruang tamu, aku mengendap-endap sebab mendengar suara Mas Hendra tengah berbicara di teras. Untungnya, pintu depan tertutup setengah, sehingga keberadaanku tak langsung bisa disadari, kecuali pintu itu kubuka seluruhnya.
āKamu, sih! Cerobohnya bukan main! Dasar bodoh!ā
Terperanjat aku ketika mendengarkan kata-kata Mas Hendra dari balik pintu. Mas, benarkah firasatku?
Flashback Setahun Lalu “Mas Wahyu! Jangan tinggalkan aku!” Pekik jerit Nadia terdengar melengking. Membuat seisi ruangan ini menjadi ikut pilu. Aku sebagai sahabat terdekatnya, hanya bisa memeluk wanita yang mengenakan gamis hitam dan selendang warna senada sebagai penutup kepalanya. Nadia begitu hancur dengan kematian sang suami yang sangat mendadak. Tak ada tanda-tanda atau firasat sedikit pun. Bahkan, dua hari sebelum kepergian Wahyu, kami sempat tamasya bersama-sama di pantai yang jaraknya sekitar satu jam perjalanan dari rumah. Aku, Mas Hendra, dan Carissa naik mobil pribadi, sedang Nadia, Wahyu, dan Alexa, anak mereka yang seusia dengan anakku, menyewa sebuah mobil LCGC. Kami sudah menawarkan untuk naik mobil Mas Hendra saja, tetapi Nadia menolak mentah-mentah dan tahu-tahu sudah se
“Mas, aku ajak Nadia dan anaknya untuk tinggal di sini. Nggak apa-apa, kan?” Takut-takut aku meminta izin kepada Mas Hendra. Lelaki yang baru saja pulang dari kantor tersebut langsung menatapku. Aku deg-degan. Ya ampun, jangan-jangan … dia akan marah. “Iya, Ri. Silakan,” katanya lembut sambil tersenyum. Fiuh, betapa leganya aku. Langsung kupeluk Mas Hendra yang berdiri di ambang pintu. “Makasih, Sayang,” ucapku penuh syukur. “Sama-sama. Di mana mereka? Sudah di rumah kita atau masih di rumahnya?” tan
Flashback Setahun Lalu “Ri, teman si Nadia itu tinggal di rumahmu sekarang?” Eva, rekan kantorku sesama customer service yang bekerja di line call center, tiba-tiba saja bertanya saat kami hendak keluar ruangan. Aku sontak menoleh ke arah cewek berbadan subur yang belum juga menikah di usianya yang ke 31 tahun tersebut. “Iya, Va. Kok, tahu?” tanyaku heran. “Lihat story WhatsApp-mu. Sering banget posting lagi masak sama dia.” Muka bulat Eva terlihat penuh penasaran. Perempuan yang sedang membawa tote bag berisi bekal makanan tersebut tak berkedip menatapku.&nb
Flashback Setahun Lalu Buru-buru aku menuruni anak tangga dengan hati yang sangat gelisah. Tanpa kusadari, keringat mulai membasahi pelipis dan rambut lurus pendek seleherku. Sepanjang perjalanan menuju kamar utama yang berada di depan, hanya ketakutan saja yang kentara menyelimuti jiwa. Ya Allah, tolong aku. Jangan sampai rumah tanggaku bubar. Apalagi bila Nadia yang menjadi dalangnya. Aku tak ikhlas dunia akhirat! Sampai di depan pintu kayu bercat abu-abu gelap tersebut, aku pun langsung membuka kenop stainless. Kaget sekali, ternyata terkunci dari dalam. Siapa yang tak mencelos dadanya bila mendapati keadaan seperti ini? “
Flashback Setahun Lalu Ucapan Mas Hendra bagai sebuah tamparan keras di pipi. Sempat terhenyak beberapa saat, aku lalu menyadari suatu hal, bahwa aku haruslah meminta maaf sebab telah menyinggung Nadia. Bergegas diriku keluar kamar, berjalan ke arah tangga menuju lantai dua yang berada di belakang. Napas ini sampai tersengal sebab terlalu cepat melangkah. Ketika aku tiba di depan kamar yang ditempati Nadia, betapa terbelalaknya mata ini. Janda muda itu telah mengemasi semua isi lemarinya. Memindahkan pakaian-pakaian ke dalam koper besar yang dia bawa. Terdengar isak tangis dari bibir Nadia. Perempuan yang mengikat rambut lurusnya ke atas tersebut tampak begitu hancur. Sebagai seorang sahabat karibnya, aku merasa tel
##BAGIAN 7POV NADIA “Kamu harus segera bertindak.” Ucapan setajam silet itu telah membuat sekujur tubuh ini gemetar. Meskipun hanya via telepon, tetapi aku bisa merasakan betul betapa menyeramkannya perintah tersebut. Hati nuraniku belum sepenuhnya mati. Otak ini masih bisa berpikir jernih, walaupun hanya 20% saja. Dan celakanya, 20% tersebut adalah rasa keberatan akan perintah yang benar-benar di luar batas wajar barusan. “T-tapi—” “Oh, kamu menolak? Ya, sudah. Sebaiknya kita akhiri saja semua ini.” Napasku ter
POV NADIA “Eh, Papah,” kataku gelagapan. Obat tetes mata itu buru-buru kumasukan ke dalam saku daster. Secepat kilat tanganku bergerak. Kuharap, Mas Wahyu tak menyadarinya. “Mana kopinya? Papah udah haus, nih,” ujarnya sambil merangkul tubuhku. Pria yang aroma tubuhnya agak masam tersebut membuatku agak risih. “Ini kopinya. Mau minum di sini atau bawa ke kamar?” tanyaku sembari melepaskan rangkulannya. Jujur saja, aku sudah sangat ilfeel kepada Mas Wahyu. Pikiranku saat ini hanya tertuju kepada pria kesayanganku seorang. “Minum di meja makan sini aja. Kamu temenin aku tapi ya, Mah. Jangan ngurung diri di
HAPUS AIR MATACuplikan sebelumnya:Setibanya di ruang tamu, aku mengendap-endap sebab mendengar suara Mas Hendra tengah berbicara di teras. Untungnya, pintu depan tertutup setengah, sehingga keberadaanku tak langsung bisa disadari, kecuali pintu itu kubuka seluruhnya.“Kamu, sih! Cerobohnya bukan main! Dasar bodoh!”Terperanjat aku ketika mendengarkan kata-kata Mas Hendra dari balik pintu. Mas, benarkah firasatku?*** “Jangan sampai, perjuangan kita selama ini sia-sia karena ketololanmu!” Di balik pintu, aku berdiri dengan kedua tungkai yang gemetar. Dua telapak tanganku pun sontak basah akibat keringat dingin yang mendera. Perjuang kita selama ini? Ya Allah … apa yang tengah dibicarakan suamiku? Betulkah lawan bicaranya tersebut adal