"Mon, Mona?" Panggilan lirih seorang lelaki membuat aku terbangun dari lena.Aku mengerjapkan kedua mataku dengan hati-hati. Saat ini pusing di kepalaku mulai agak berkurang hanya mualnya saja yang masih terasa. Aku terkesiap ketika melihat Mas Satria ada di samping bed tempat aku dibaringkan.Di situlah aku menyadari kalau aku bukan lagi ada di lorong rumah sakit tapi di suatu ruangan mirip kamar periksa karena hidungku bisa mencium bau obat yang pekat."Mon, kamu sudah bangun?" Mas Satria menatapku cemas. Dia memegang tanganku untuk memastikan bahwa aku sadar sepenuhnya.Aku melirik ke arahnya. "Ehm ... iya Mas. Ini di mana Mas? Saya pingsan, ya?"Dia tersenyum simpul. "Iya kamu pingsan. Sepertinya kamu kekurangan nutrisi. Ayo, diminum dulu, " ujar Mas Yuga sambil membawa segelas air putih dari atas nakas. Dengan perlahan dan lembut, dia membantuku duduk bersandar ke ranjang.Aku meminum air itu hingga tandas di bawah pandangan Mas Satria yang masih terlihat khawatir."Gimana rasany
"Awas saja kalau kamu menggoda Mas Satria! Sampai kapan pun aku tidak akan melepaskannya!" Lagi. Ancaman Yuli terngiang-ngiang bagaikan peluru yang terus memborbardir kepalaku dengan ucapannya. Beruntung, beberapa waktu lalu obrolan dengan Mbak Yuli tak berlangsung lama karena perawat langsung datang dan membolehkan aku untuk keluar dari IGD. "Hah ...." Aku menghela napas seraya duduk termangu di depan ruang rawat Mamah. Tak terasa sudah hampir sebulan lamanya Mamah dirawat, semenjak itu juga aku bertekad menjaga Mamah dan gak mau pingsan lagi di IGD seperti sebelumnya. Alhamdullilah, berkat usaha semuanya Mamah berangsur pulih.Gumpalan darah di otak Mamah syukurnya bisa disembuhkan dengan operasi yang dilakukan oleh Mas Satria. Aku bersyukur bisa bertemu dengan pria itu, dia mengawasi kesehatan Mamah hingga Mamah siuman dan berpindah dari ICU ke ruang rawat biasa. Sekarang tinggal penyakit kanker Mamah yang harus terus menjalani pengobatan.Ini keajaiban. Alhamdullilah. Namun, t
"Bang Ramdan!?" Suaraku tercekat, jantungku seolah tertumbuk. Melihat sosok Bang Ramdan hadir kembali di hadapanku setelah sekian lama hilang membuat jiwaku yang semula tenang mulai terbakar amarah kembali karena lelaki itu sudah menghancurkanku sepenuhnya.Dia adalah penyebab trauma yang tidak berkesudahan di hidupku."Apa kabar, Mon? Mamah? Katanya Mamah sakit?" tanya Bang Ramdan basa-basi. Dia melirikku dan Mamah secara bergantian.Aku menggeram. Takkan kubiarkan si bedebah itu mengganggu ketentraman kami lagi. "Buruk! Kabar kami yang semula baik jadi buruk karenamu!" tegasku sambil melangkah maju hingga tepat berada di antara Mamah dan Bang Ramdan.Aku tidak akan membiarkan Bang Ramdan mendekati dan menyakiti Mamah. Mamah sedang mengalami pengobatan, dia tidak boleh tertekan."Ya, kondisiku menjadi gak baik kalau kamu datang, lebih baik kamu pergi!" usir Mamah.Bang Ramdan menyeringai sinis seraya memasuki ruang kamar rawat. "Wow, sungguh ramah sekali sambutannya. Mona, Mamah, te
Aku berdiri cukup lama dan canggung di ruangan Mas Satria seraya memainkan jari. Sudah setengah jam berlalu usai kelakuanku yang bar-bar, akhirnya aku bisa berada di ruangan Mas Satria. Tidak terbayang, jika tadi aku gak diminta Mas Satria ke sini, mungkin aku akan berada di bawah tatapan semua orang yang menatap aneh, seakan-akan aku adalah makhluk luar angkasa. Namun, sayangnya ketika sampai sini, aku merasa Mas Satria tengah mengabaikanku. Melihat sikap Mas Satria yang mendadak diam, tak terelakkan sisi batinku kian tersusupi rasa tak nyaman. Padahal aku tidak tahu pasti alasannya."Dok!" Aku memberanikan diri bersuara sebelum kakiku kesemutan karena berdiri di pojok terlalu lama.Mas Satria mengangkat pandangannya dari buku sejenak. "Hm?""Anu ... Dok say--""Jangan panggil saya Dok panggil Mas saja," potong Mas Satria penuh penekanan. Tatapan lelaki itu masih sibuk meneliti data pasien. Bener-bener dah ini dokter, dikira aku gak kasat mata kali. Aku menarik napas dalam. "Oh i
"Mona! Hey, tunggu! Kita perlu bicara!"Aku tidak lagi menoleh ke belakang dan hanya bisa berjalan secepat aku bisa. Perasaanku mengatakan untuk terus menghindari kejaran Bang Ramdan, aku harus pergi dari sini.Kupikir sudah saatnya aku mengambil tindakan. Sudah lelah bertengkar dengan Bang Ramdan dan sudah saatnya melarikan diri demi ketentraman hati. "Mona!" Panggilan keras Bang Satria kembali menyapa telinga tapi aku tidak perduli. Lelaki itu mengejarku tapi kakiku tak mau kalah langkah."Apa sih, Bang? Sudah ya, aku gak mau mengobrol lagi!""Tapi aku ingin bicara!""Gak! Saya gak mau!" tolakku sambil berteriak. "Diam di situ atau gak saya tendang lagi!" Aku semakin berlari menuju ke arah luar pagar rumah sakit, aku gegas menyetop taksi yang melintas di depan rumah sakit dan masuk ke dalamnya.Ya, kupikir ini adalah cara terbaik untuk menyelamatkan diri. Aku tidak ingin berurusan dengan keluarga Bang Ramdan. Tidak dengan anaknya apalagi ibunya.Stop! Aku lelah. Aku hanya ingin be
Kurang lebih empat jam perjalanan, akhirnya aku tiba juga di sebuah komplek perumahan yang lumayan asri tapi elit itu. Sepanjang mata memandang, aku hanya bisa melihat rumah-rumah besar yang berpagar. Rupanya rumah asli Mas Satria lebih besar dibanding yang kuduga, benar ternyata kata ibu-ibu Mas Satria itu diam-diam orang kaya. Namun, walau sekarang kehidupanku lebih baik tetap saja rasanya masih ada yang mengganjal. "Huuuuh!" Aku menghembuskan napas dalam ketika kakiku turun dari mobil dan menjejakkan kaki di halaman rumah Mas Satria. Tanganku terkepal untuk menguatkan diri, sebelum masuk aku mengambil jeda untuk menatap langit.Entah mengapa tiba-tiba sesak merambat ke dalam dada. Dulu, pas masih jadi istri Bang Ramdan aku tidak bisa memandang langit dengan begitu lega seperti ini. Masih teringat jelas di benakku bagaimana di masa lalu setiap harinya aku hanya bisa bekerja dan bekerja. Belum lagi, di rumah itu juga aku mendapat kabar kehamilan yang telah lama kutunggu tapi akhir
Aku hampir saja terjatuh tapi untungnya tanganku masih memegang sisian kursinya. Detik ini juga, entah mengapa aku merasa hatiku terasa sangat ngilu dan dadaku panas hingga darahku seakan berhenti mengalir.Sungguh! Aku masih gak menyangka kalau di hari pertamaku sebagai baby sitter berakhir dengan peristiwa yang amat mencengangkan. Sekuat apa pun aku berpikir tetap saja kebetulan ini terasa janggal. Benakku tak henti mempertanyakan.Mengapa Mas Satria bilang dia mau menikahiku dan menjadikanku ibu bagi Gaza? Kenapa? Dalam diam aku melirik Mas Satria dan Mbak Yuli yang kini berdiri bersamaku di depan rumah. Semenjak pernyataan Mas Satria, Mbak Yuli seolah tersengat listrik. Matanya tak henti melotot ke arahku dan Mas Satria. Honestly, aku juga ingin menanyakan yang sama pada Mas Satria tapi dia lebih dulu memberi kode padaku agar jangan dulu menyanggah. Sepertinya dia punya rencana. Alhasil, setelah Mbok Nah membawa Gaza ke dalam terjadilah pembicaraan tiga orang dewasa ini di tera
Mas Satria melamarku, katanya dia meminta ini karena demi Gaza dan lagi pula masa iddahku sudah selesai. Tiga minggu pasca kesepakatan akhirnya aku dan Mas Satria sepakat untuk melaksanakan akad nikah di rumah Mas Satria dengan hanya mengundang sahabat dan perwakilan keluarga.Dari pihak Mas Satria ternyata pria itu menghadirkan keluarga lengkapnya. Nenek dari Gaza yang merupakan ibu dari pihak Mas Satria pun datang untuk merestui kami. Sebelum akad, kami pernah bertemu, ibunya bilang kalau dia setuju aku menikahi putraya karena selama ini bagi mereka Yuli bukanlah menantu dan istri yang baik. Dan yang paling mengagetkan si ibu tahu kalau Yuli sudah berselingkuh sejak lama. Sangat miris. Aku yang semula menikah hanya karena Gaza menjadi kasian sama Mas Satria. Aku bisa melihat keputusasaan di binar matanya."Mon, alasan saya ingin menikahimu karena Gaza. Semenjak kecil perhatian Yuli kurang sekali, dia selalu sibuk dengan dunianya. Bahkan dia punya trauma karena melihat perselingkuha