Share

Bab 5. Pertolongan

Aku pergi ke rumah sakit yang disebutkan Mela bersama Dina dengan menggunakan motor yang biasa dipakai Dina kuliah. Sepanjang perjalanan aku benar-benar cemas tapi tetap berusaha untuk bersikap waras sementara Dina terus saja menangis dan menambah kekalutan.

Jujur, jauh di dalam hati aku pun merasa sangat kalut setelah mendengar Mamah kecelakaan tapi sebagai kakak sulung aku harus bisa lebih tenang dibanding adikku. Walau benak ini terus saja mempertanyakan.

Bagaimana ini bisa terjadi pada Mamah? Kenapa Mamah bisa kecelakaan? Kenapa ujian ini gak berhenti melingkupi kami? Kenapa Mamah harus terluka di saat aku sedang berjuang untuk perceraianku?

"Ya Allah! Tolonglah kami," desahku di antara suara bising kendaraan.

Saat ini meski perasaanku campur aduk yang bisa kulakukan hanya terus berdoa agar mamah gak kenapa-kenapa walau kuakui aku terlalu takut kehilangan Mamah. 

Tidak perlu waktu lama, akhirnya kami sampai di rumah sakit, kulangkahkan kedua kakiku secara cepat menyusuri ruangan yang mengarah ke UGD sementara Dina dari belakang mengikuti. Tadinya aku ingin menelepon Mela karena sepertinya dia tahu keberadaan Mamah sekaligus meminta bantuannya tapi setelah di lobby kurasa itu tidak perlu.

Aku tidak mau mengganggu Mela karena dia juga pasti sedang sibuk dengan tugasnya sebagai perawat.

"Maaf Sus, korban kecelakaan yang masuk siang ini di rawat di mana ya?" tanyaku pada salah satu perawat yang berjaga di meja informasi.

Perawat itu gegas berdiri. "Korban kecelakaan? Atas nama siapa ya Mbak?" tanyanya bingung.

"Liana Marina, Sus. Katanya dia mengalami kecelakaan dan dirujuk ke sini." Aku menyebutkan nama Mamah dengan bibir gemetar saking cemasnya. 

"Oh sebentar." 

Suster itu lalu mengotak-ngatik komputernya untuk memeriksa data. "Oh ya ada Mbak, sekarang pasien lagi di ruang HCU, Mbak."

"Hah? Ruang HCU?" Aku reflek memekik setelah tahu kalau Mamah dirawat di HCU. Setahuku ruang HCU adalah ruangan khusus yang diperuntukan untuk pasien yang perlu penjagaan ekstra, satu tingkat di bawah ICU.

Suster itu mengangguk. "Iya dan hanya satu orang keluarga yang diperkenankan masuk. Mamah Anda cukup terluka parah dan baru saja menjalani operasi."

Sungguh, ingin rasanya aku menangis sekencangnya tapi aku harus menenangkan Dina yang menjerit lebih dulu. Aku tidak mau menarik perhatian dan mengganggu orang lain dengan tangisan kami.

"Ya Allah Teh, gimana atuh Teh? Mamah di HCU! Mamah ya Allah!" Tangisan Dina meledak dan aku hanya bisa menangis sambil memeluknya.

"Tenang-tenang Din, insya Allah mamah gak kenapa-kenapa."

Di titik ini, aku berusaha untuk tegar dan tidak boleh kalah oleh emosi. Dengan kekuatan yang masih tersisa, setelah mengucapkan terima kasih pada suster aku mengajak Dina untuk mencari ruang HCU.

Butuh lima menit waktuku untuk menemukan ruangan Mamah. Namun, ketika aku sudah tiba di depannya langkahku seketika terhenti karena mataku tiba-tiba saja menangkap seorang suster tiba-tiba berjan cepat keluar dari ruangan menghampiri seorang lelaki berjas putih yang tengah berdiri membelakangi kami.

"Dokter! Dok! Pasien Liana kritis!"

Pasien Liana? Itukan ... MAMAH?

(***)

Aku menyandarkan diri di dinding rumah sakit yang dingin. Mamah sudah dipindahkan ke ruang ICU. Kata dokter Aldo yang menangani Mamah, selain karena benturan yang menyebabkan pembuluh darah di otak Mamah menggumpal ternyata Mamah memiliki penyakit lain yaitu Mamah mengidap kanker paru-paru.

Takut, cemas dan gelisah. Mungkin itulah yang sedang aku rasakan sekarang. Aku sungguh gak ingin terjadi hal buruk pada Mamah dan aku merutuki kebodohanku yang sampai tidak mengetahui kalau Mamah menderita. 

Mendengar itu tentu saja kami syok, selama ini Mamah gak pernah cerita kalau punya penyakit itu. Sekali pun Mamah terlihat lemah dan batuk terus menerus Mamah bilang itu karena dia kedinginan dan dia gak mau dibawa ke dokter karena gak mau menyusahkan kami.

Ah, Mamah memang ibu terbaik untukku dan Dina. Sayangnya aku yang terlalu bodoh dan baik.

"Maafin Mona Mah, maafin."

Aku mengusap buliran air mata yang terus mengalir ke pipi seraya berdoa. Aku merutuki diri sendiri yang terlalu sibuk pada masalah pribadi hingga lupa kesehatan ibu kandung sendiri. Padahal selama ini hanya Mamah yang membuatku tegar dan mampu melalui hal apa pun. Tidak terbayang jika aku harus kehilangannya. 

Apa jadinya aku dan Dina nanti jika hidup tanpa Mamah? Apakah kami harus jadi yatim piatu? Allahu Akbar! Aku tidak sanggup membayangkannya. Aku terlalu menyayangi Mamah. 

"Mbak, maaf! Mbak ini namanya Mbak Mona, kan? Keluarga Bu Liana?" panggil seseorang membuyarkan lamunanku. 

"Iya, Sus? Ada apa?" Aku terperanjat dan menoleh pada sosok wanita berpakaian serba putih tersebut. 

"Maaf Mbak, sekarang Mbak diminta ke ruangan Dokter Aldo," ujar Suster itu agak keras membuat Dina langsung beranjak dari pangkuanku. Dia menatapku dan Suster itu bergantian. 

"Do-dokter Aldo? Sekarang?" tanyaku gagap.

Suster berwajah agak judes itu mengangguk. "Ya. Dokter Aldo sekarang juga. Oh. ya, ruangannya di lantai tiga paling ujung, ya?" 

"Baik Sus." 

Setelah berkomunikasi dengan Dina dan memintanya menunggu di depan ruang operasi, aku bergegas mencari di mana ruangan dokter Aldo. Tiba di ruangan yang ditunjukkan oleh Suster, aku menarik napas dalam. Kuakui hatiku kebat-kebit karena tidak tahu apa yang akan dibahas di dalam sana. 

Aku takut ada hal buruk yang akan disampaikan oleh dokter Aldo mengenai kondisi Mamah.

Selepas menghembuskan napas dalam, aku mulai mendekatkan diri tepat di depan pintu ruang dokter Aldo dan mengetuknya sampai terdengar sahutan dari dalam.

"Silahkan masuk," ujar dokter Aldo. Aku kenal betul suara dokter Aldo karena kami sempat bercakap-cakap sebelum Mamah dipindahkan ke ruang ICU.

Secara perlahan aku pun membuka pintu lalu berjalan mendekati meja dokter Aldo.

"Maaf Dok, dokter mencari saya?" tanyaku to the point karena pikiranku sudah penuh dengan berbagai praduga.

Dokter Aldo yang sepertinya lebih tua dariku itu tersenyum tapi anehnya sama sekali gak menenangkan. Sebaliknya aku malah takut karena di ruangan ini hanya ada kami, perawat yang biasa hilir mudik pun tak ada.

"Iya saya nyari kamu. Ayo, silahkan duduk dan tutup pintunya!" ujar dokter Aldo.

Aku mengangguk patuh dan lalu mengambil tempat duduk berhadapan dengan dokter Aldo. "Mona, seperti yang sudah kita bicarakan sebelumnya kamu tahu kan kalau kondisi mamah kamu sangat parah. Perlu penanganan khusus yang mungkin membutuhkan biaya dan saya kira kamu harus mulai mempertimbangkan matang-matang karena selain biaya saat operasi, hemat saya biaya pasca operasinya pun akan besar," jelas dokter Aldo seraya menatapku lekat. 

Aku tercekat. "Kira-kira berapa biayanya Dok?" tanyaku cemas sekaligus bingung. Otakku rasanya terlalu buntu. 

"Biayanya sekitar puluhan juta."

"Apa? Puluhan juta?" tanyaku seraya menutup mulut yang menganga. 

 Dalam posisi ini kondisi keuangan kami sangat sulit, selain karena hutang pada Bang Ramdan aku pun bingung bagaimana membayar tagihan rumah sakit Mamah yang cukup besar. Apalagi asuransi BPJS kami sudah lama menunggak. 

Ya Allah! Apa yang harus kulakukan?

"Iya puluhan juta. Tapi tenang Mon, saya pikir saya bisa membantu kamu dan saya juga tahu kondisi kamu yang gak mungkin membayar tagihan rumah sakit sekarang karena keluarga kamu sedang kekurangan terutama kamu dalam masa perceraian." Melihat aku yang kehilangan kata-kata, Dokter Aldo tiba-tiba mengatakan hal yang menurutku di luar dugaan.

Aku menelengkan kepala. "Ma-makdunya dokter apa? Kenapa dokter tahu saya dalam masa perceraian?" Suaraku agak bergetar karena tidak menyangka dokter Aldo akan membawa ranah pribadiku dalam percakapan kami. 

Dokter Aldo sedikit menyeringai. "Maaf jika gak nyaman tapi saya gak sengaja melihat berkas perceraian dalam tas kamu saat kita berbicara. Jadi, saya kira kamu akan single sebentar lagi dan apa salahnya jika saya menawarkan bantuan," ucap dokter berparas oriental itu santai tapi tak begitu denganku.

Aku tercengang. Tak kusangka dokter Aldo mengamatiku sedetail itu. Memang tadi saat kami berbicara tentang kondisi Mamah aku membawa berkas perceraianku serta karena berkas itu bercampur dengan berkas penting lainnya.

"Bantuan? Bantuan seperti apa yang dokter maksud?" tanyaku tak sabar. 

Dokter Aldo menarik napas dalam. "Mon, saya akan membayarkan semua tagihan Mamah kamu sampai memastikannya sembuh tapi ada satu syarat."

"Syarat? Syarat apa itu?" 

"Jadilah simpanan saya. Saya tertarik sama kamu Mon saat kita bicara. Kamu mau kan?" 

"Apa? Dokter mau saya jadi simpanan dokter? GILA!" Mataku seketika membulat tak percaya. "Anda ini berengsek atau apa Dok? Masa Anda memanfaatkan saya yang merupakan keluarga pasien Anda sendiri? Saya gak mau!" tegasku penuh emosi sambil berdiri.

Sungguh, aku marah karena mendengar permintaan dokter Aldo yang terkesan merendahkanku dan itu membuat rasa hormatku pdanya runtuh. Tapi, dokter Aldo bukannya sadar dia malah mencekal lenganku hingga aku meringis. 

"Eh, Mon! Jangan bilang saya berengsek. Saya jatuh cinta sama kamu di pandangan pertama kita. Ayolah, saya akan membahagiakanmu, lagipula mamahmu akan tertolong jika kamu mau jadi simpanan saya!" pungkasnya lagi dengan sorot mata bernafsu. 

Aku terus melepaskan tangannya. "Enggak! Sekali lagi enggak! Lepaskan saya dok! Saya akan bayar tagihan rumah sakit sendiri! Tolong lepaskan saya!"

"Dari mana kamu akan mendapatkan itu Mon? Dari mana? Kamu itu miskin! Jang--"

BRAK!

"Lepaskan dia!" Mendengar suara bariton yang gak asing sontak aku dan dokter Aldo melihat ke samping dan seketika mataku membelalak karena kulihat Mas Satria tengah melotot ke arah dokter Aldo, tajam.

Bagaimana Mas Satria bisa ada di sini? Apa Dina yang memberitahunya?

"Ma-Mas Satria?" teriakku tercekat. 

"Dokter Satria ngapain an--"

"Saya ke sini untuk membayar tagihan Mona karena itu lepaskan dia! Dia adalah keluarga saya!" putus Mas Satria membuat dokter Aldo seketika melepaskan cengkramannya dariku dan mundur beberapa langkah.

"Apa? Keluarga?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status