Share

Bab 4. Kabar Buruk

Mas Satria terlihat menajamkan matanya sambil memegang tangan Mbak Yuli dengan kuat. Lelaki itu terlihat sangat marah karena kelakuan Mbak Yuli yang di luar dugaan.  Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, ingin rasanya marah tapi ada Mas Satria yang lebih berhak untuk mengurus Mbak Yuli karena aku terlalu lelah. 

Dalam kemarahan, aku hanya bisa bertanya-tanya. Kenapa Mbak Yuli bisa ada di sini? Kenapa dia tiba-tiba mau menamparku?

"Mas, Mas, lepasin! Kenapa Mas membela jal*ng ini? Kenapa Mas? Apa mungkin sebenarnya Mas it--"

"Diam kamu Yuli! Berhenti bermain playing victim! Jangan menghina hati wanita yang sudah kamu rebut suaminya! Ingat kamu sudah banyak berhutang sama dia, seharusnya kamu malu!" Mas Satria tiba-tiba memotong teriakan Mbak Yuli secara membabi-buta.

Mbak Yuli sejenak membeku, mungkin dia tidak menyangka kalau Mas Satria malah membelaku.

Mbak Yuli, terimalah karmamu!

"Ja-jadi, Mas tahu kalau aku berhutang sama Mona?" tanya Mbak Yuli terbata.

Mas Yuga mendesis miris. "Ya. Karena itulah aku di sini. Aku mau membayar hutangmu yang menggunung itu. Seharusnya kamu malu Yul! Malu! Aku heran, apa gak cukup semua uang yang kuberikan sama kamu? Bahkan kamu memegang atmku!"

Mbak Yuli tercengang mendengar ocehan tajam Mas Satria. Dengan gemetar, dia berusaha meraih tangan Mas Satria tapi pria tampan yang sedang murka itu langsung menepis tangan istrinya kasar.

"Maafkan aku Mas, aku ...."

"Jangan pegang aku, Yuli! Aku sudah selesai sama kamu semenjak kamu mengkhianati pernikahan kita dan memilih berselingkuh dengan Ramdan! Mulai sekarang aku harap kamu gak usah menunjukan wajah di depanku lagi atau Galang! Dan sekarang lebih baik kamu pergi! PAHAM?" bentak Mas Satria tepat di depan wajah Mbak Yuli yang pucat bak tidak dialiri darah.

Aku melongo hebat.  Wow! Galak juga kalau Mas Satria marah begini, pantas Bang Ramdan saja sampai babak belur.

Jika dia murka, sudah bisa dipastikan semua apa yang ada di depannya dipastikan akan dilibas habis tanpa terkecuali. Bagaikan membangunkan singa yang tidur, Mas Satria yang terbiasa datar dan menyembunyikan kesedihannya kini terlihat sangat mengerikan. Kakiku saja sampai gemetar mendengar gema dari setiap kalimatnya.

Namun, meski begitu, jauh di dalam hati aku merasa bersyukur, akhirnya Mas Satria bisa menentukan sikapnya pada Mbak Yuli. Sekarang, aku tidak takut lagi untuk melawan dua orang yang gemar bermain playing victim ini.

Mbak Yuli terus merengek.

"Mas tolong, Mas! Jangan begini! Maaf, Mas aku hanya khilaf! Aku dipaksa Mas! Aku masih cinta kamu, Mas! Aku gak cinta Ramdan!" rengek Mbak Yuli meminta pengampunan tapi lelaki itu bergeming. Gigi Mas Satria bergemeletuk seakan menahan panas yang membara dalam dirinya.

"No, I dont need your explanation! Mulai sekarang kita gak ada hubungan lagi, aku muak! Bilang sama ibu angkat kamu itu, surat perceraian akan segera datang dan jangan pernah berharap kita rujuk! Maaf Mon, maaf jika membuat keributan, saya pamit pergi!"

Secara tiba-tiba, Mas Satria tiba-tiba beralih ke arahku. Aku yang sedang berdiri bingung hanya bisa mengerjap gagap.

"I-iya Mas," jawabku.

Setelah memberi kode pamit, Mas Satria gegas pergi melintasi Mbak Yuli yang langsung mengejarnya.

"Mas please dengerin aku! Mas aku gak mau cerai! Mas, aku gak mau kamu jadi milik orang lain, Mas!"

Ancaman Hana yang bagaikan orang gila sama sekali tak ditanggapi Mas Satria lelaki itu hanya berjalan terus hingga ke dalam mobilnya. Meninggalkan Mbak Yuli yang meraung di halaman rumahku, sementara aku hanya bisa tersenyum sinis dan lalu pergi ke dalam rumah.

BRAK.

Aku gegas membanting dan mengunci pintu. Takut Mbak Yuli akan melampiaskan kemarahannya dan menggila.

Sumpah! Aku muak!

Namun, baru saja aku selesai terdengar teriakan disertai gedoran.

"Mona! Mau ke mana kamu? Obrolan kita belum selesai! Buka!" teriak Mba Yuli gak menyerah sementara aku meringis sambil meninggalkan ruang tamu.

Si Yuli itu emang bandit! Dia gak mau menyerah juga!

Kacau.

(***)

"Mon, maafin. Aku gak bisa bantu. Maaf ya Mon. Makanya Mon, kalau punya utang tuh jangan gede-gede. Orang miskin kayak kita mah susah Mon buat bayarnya. Hem ... oh atau aku punya ide biar kamu dapat duit banyak."

"Apa?"

"Jual diri aja. Biar kayak kupu-kupu malam."

"Astaghfirullah Mel, nggaklah! Mana mungkin aku melakukan itu."

"Iya maaf, hehehe ... aku bercanda. Aku doain moga ada pangeran berkuda putih yang mau bayarin, oke? Mon, jangan takut ya. Pasti ada jalan. Kamu harus bercerai dari lelaki macam begitu, janji ya Mon? Gak akan balikan sama dia?"

"Ya, Mel. Aku gak akan balikan, haram Mel bagi aku menerima dia kembali. Pengkhianatan tetap pengkhianatan gak ada toleransi."

"Bagus itu, sweeety. Oke, aku kerja dulu ya? Lagi ganti shift nih.  Dah Mona. Kalau ada info kabar-kabarin, ya? Oh ya, betewe di klinik aku ada dokter baru ganteng banget, entar aku cerita ya."

Tut.

Dan sambungan telepon pun terputus.

Aku menghembuskan napas berat, sebenarnya Mela bukan orang pertama yang kuhubungi guna meminjam uang. Aku sudah melakukannya ke semua teman terdekat bahkan saudara tapi tidak ada yang bersedia meminjamkan. 

Aku tahu yang kulakukan itu konyol. Tak mungkin juga mereka mau meminjamkan itu, aku hanya mempermalukan diriku sendiri. Meski aku berjanji mau bekerja di mereka tanpa dibayar sampai hutangku lunas tetap saja semua tak mungkin.

Kini, di antara semua usaha yang telah kulakukan dari kemarin sampai sekarang tinggal satu nama yang belum kuhubungi.

Mas Satria.

Mengingat nama itu, entah mengapa jantungku suka mendadak berdenyut ngilu.

Haruskah aku menghubunginya? Haruskah aku menceritakan kegalauanku? Di antara orang yang kukenal hanya Mas Satria yang memungkinkan karena dia memang anak orang kaya.

Ish! Ya Allah kenapa aku bingung sekali? Jujur, kalau aku menghubungi Mas Satria, aku takut dikira cari kesempatan dalam kesempitan.

"Ah, pusing! Ke mana lagi aku harus mencari duit pinjaman? Hem ...."

Entah berapa kali, hari ini aku bergumam frustasi seraya merutukk diri yang tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah utang-piutang ini. Andai dulu aku gak bucin sama Mas Ramdan bisa jadi ini gak akan kualami.

Tak kuduga akibat emosi semua jadi kacau begini.

Drrt.

"Ih, siapa lagi yang hubungin aku? Jangan bilang kalau ... Bang Ramdan?"

Badanku yang semula duduk reflek berdiri dan mataku membelalak melihat pesan yang baru saja masuk ke ponselku.

[Menyerahlah Mon, kamu gak akan dapat uang 200 juta itu dan kembalilah padaku. Aku janji gak akan membandingkan kamu sama Yuli lagi. Aku juga akan menganggap lunas hutang almarhum bapakmu.]

"Dasar jahat!"

Aku menggeram seraya mengepalkan tangan ketika membaca pesan dari Bang Ramdan yang tidak punya pri ke-istrian. Rasanya ada yang sakit di dalam sini, melihat suami yang dulu kucintai bertindak sangat pongah seolah kesakitan yang ia berikan sangat kecil.

Tok. Tok. Tok.

"Teh Mon, gimana? Apa ada yang mau bantu?" Dina melongokan kepala, penuh harap.

Aku menjawab pertanyaan adikku dengan gelengan kepala lemah lalu menghempaskan bokong di ranjang dengan pasrah.

Melihat kakaknya bertingkah putus asa, Dina masuk ke dalam kamar lalu duduk di dekatku. Sesaat kami diliputi hening karena sibuk dengan pikiran masing-masing.

Tidak dapat dinafikan, bukan hanya aku yang berusaha mencari uang itu sekarang. Bahkan gara-gara hutang pada Bang Ramdan sekarang kami benar- benar kelimpungan.

"Teh, apa harus Dina berhenti kuliah?" celetuk Dina tiba-tiba membuatku terperanjat bangun dan menatapnya lebar. 

"Heh? Apa kamu bilang? Berhenti?" tanyaku memastikan yang langsung disambut anggukan sedih dari Dina.  Sebagai kakak aku tahu sekali kalau Dina sangat ingin membantu keluarga ini tapi di satu sisi tentu saja dia tidak mungkin berhenti. 

Aku menggeleng tak setuju. "Jangan atuh. Din! Kamu tahu kan  Mamah ingin banget kamu sarjana."

"Tapi Teh ...."

"Udah Din, masalah hutang kamu gak usah khawatir Teteh akan cari jalan keluarnya," ujarku seraya  menggenggam tangan Dina--adik semata wayangku.

Di tengah obrolan kami tiba-tiba ponselku bergetar di atas tempat tidur.

Awalnya mengabaikan karena takutnya itu dari Bang Ramdan yang menelepon hanya untuk menerorku tapi anehnya deringan ponsel itu terus menerus berulang hingga akhirnya mengganggu. Terpaksa, aku melepaskan tangan Dina dan menyetop pembicaraan kami untuk mengangkat telepon. 

Mataku memicing ketika melihat kalau nama Mela, tertera di layar ponslku. Sungguh membingungkan melihat dia mendadak meneleponku. Bukannya dia bilang mau kerja? 

"Halo ... assalammu'alaikum," sapaku. "Ada apa?" 

"Wa'alaikumsalam, Mon," jawab Mela dengan suara yang sedikit bergetar. 

"Iya, Mel, gimana?" tanyaku agak khawatir karena mendadak diserang firasat buruk. 

"Maaf Mon aku harus mengabarkan ini tapi mamahmu barusan ...."

Aku tak bisa mendengar dengan pasti apa yang diucapkan Mela secara lengkap. Tubuhku langsung lemas dan ponsel di tanganku jatuh begitu saja hingga Dina langsung menatapku.

"Ada apa Teh?" tanyanya panik.

Aku tak bisa menjawab karena lidahku terlalu kelu. 

"Teh!" Dina mendesak dan aku pun menjerit.

"MAMAH! Mamah kecelakaan DIN! KECELAKAAN!" 

"APA?!" 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Harini
koq aneh ya masak bpknya punya hutang 1 keluarga nggak ada yg tahu bahkan sampe bpknya ngga ada yang tahu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status