"Tidak mungkin ada kata manis yang terlontar dari bibir jika hati sudah berdarah-darah."
~Aleeya Puspita Wulandari~***“Teman SMA, satu kelas terus dari kelas satu sampai kelas tiga,” sambarku sebelum Ardhan menyelesaikan kalimatnya.Ardhan mengerutkan kening. “Aleeya kita, kan, pernah pa–”“Dulu, aku agak tomboi jadi, ya, suka kumpul-kumpul anak cowok,” potongku cepat sambil terkekeh.Rosa mengangguk-angguk. Aku memelototi Ardhan, mengirimkan sinyal agar lelaki itu tidak mengungkit hubungan di masa lalu. Dia malah mengerutkan kening, lalu memandangiku dan Rosa secara bergantian."Kebetulan banget si Upin teman SMA-nya Aleeya. Bantuin Kak Ros bujuk teman kamu ini dong," rengek Rosa tiba-tiba membuatku merasakan firasat buruk.“Buat apa?” tanya Ardhan dengan kening yang semakin berkerut.“Biar dia mau nerima cinta Bang Syahril. Kesian tuh si abang udah sepuluh kali ditolak.”Rosa terus mencerocos. Sementara Ardhan tidak menyahut. Mata elangnya mendelik tajam, tapi tidak lama. Sepasang netra yang dulu selalu menawan hatiku itu tiba-tiba tampak berbinar. Aku mengusap tengkuk.Perasaan kok jadi nggak enak, nih. Jangan bilang ... dia jadi kegeeran dan mengira aku belum move on!Jangankan cinta, rasa benci dan dendam saja tak lagi bersisa, hanya tertinggal ketidakpedulian. Hatiku sudah membatu untuk menerima lowongan cinta. Sekelas sosok keren macam Dokter Syahril saja mantul dari tembok yang melindungi perasaanku agar tak terluka lagi. Apalagi, seseorang yang jelas-jelas pernah menoreh luka.Ponsel Rosa berdering. Dia permisi untuk menerima panggilan, meninggalkan duo mantan yang berhadapan. Ardhan menghela napas.“Maafkan aku, Aleeya, sudah melukaimu.”Tuh, ‘kan? Dia salah paham.Ardhan terus berbicara dengan tatapan sayu. Suaranya terdengar mendayu-dayu saat menjelaskan taruhan yang dulu menghancurkan hubungan kami. Aku benar-benar tidak nyaman karena paling tidak suka terjebak suasana melankolis begini.“Seandainya, waktu bisa diputar, aku tidak ingin melukaimu. Aku pasti akan jujur sebelum kamu mengetahuinya secara tidak sengaja," gumam Ardhan dengan suara bergetar. "Kamu tahu, perasaanku sebenarnya berubah sejak kita pacaran. Aleeya, aku ....”Aku langsung menepuk bahu Ardhan. Sudah saatnya terbebas dari situasi konyol ini. Dia harus tahu nama Ardhan sudah terhapus dari lubuk hati.“Ya, Leeya?”“Kejadian nggak enak di antara kita dulu memang menjadi salah satu faktor yang membuatku enggan menikah karena semakin tidak percaya laki-laki. Hanya saja pemicu utamanya bukan itu, kok.” Aku mengatur napas sejenak. “Yah, intinya kamu tidak perlu merasa bersalah. Toh, aku juga mengambil banyak pelajaran dari kejadian masa lalu itu.”“Tapi, Leeya aku bukannya merasa bersalah, justru aku mau ....”“Sudahlah, aku sudah maafin kamu, kok. Kamu juga harus memaafkan diri sendiri, oke?” potongku.Ardhan mengangguk patuh. Sedikit geli melihatnya bertingkah seperti anak TK mematuhi perintah guru. Namun, aku menurunkan tangan dari bahunya begitu melihat Rosa datang dengan raut wajah muram.“Beib, aku pulang dulu, ya. Papinya anak-anak udah ngomel nih," keluh Rosa.Aku terkekeh. “Kamu, sih, suami diare minta dicarikan obat cepat, malah ghibah di sini.”Rosa tergelak. Dia pun mengajak Ardhan pulang. Lelaki masa laluku itu sempat tergagap. Begitu keduanya hendak berbalik, secara kebetulan Dokter Syahril juga ke luar ruangan.“Lho, kalian, kok, ada di sini?” tanya pria berjas putih itu.“Aku, Bang, yang minta temanin Upin beli obat,” sahut Rosa.Mereka sempat-sempatnya mengobrol lagi, membahas permintaan orang tua untuk berkumpul di rumah utama minggu depan. Ada-ada saja, apotek malah jadi tempat kongko satu keluarga ini. Aku jadi kasihan pada suami Rosa yang sedang menderita diare.Akhirnya, tiga bersaudara itu pulang bersama. Sebelumnya, aku cipika-cipiki dulu dengan Rosa. Ardhan malah mau ikutan. Untung saja, dia langsung ditarik menjauh oleh Dokter Syahril dan berita baiknya psikiater ganteng itu tidak bisa modus malam ini.“Yuk kita siap-siap pulang juga!” ajakku pada dua asisten yang baru saja keluar dari ruang racik.“Siap, Bu Bos!”Keduanya berpose hormat. Aku menggeleng sembari menahan tawa melihat tingkah kocak mereka. Setelah semua beres, kami pun menutup apotek, lalu pulang ke rumah masing-masing***Taksi online yang kutumpangi memasuki halaman. Senyuman terukir di bibir melihat kantong plastik berisi puding kesukaan Ghaida. Aku sengaja mampir ke toko kue langganan untuk membelinya. Semoga saja dessert favorit Ghaida ini bisa mendinginkan suasana panas di antara kami.“Terima kasih, ya, Pak,” ucapku seraya keluar dari mobil setelah membayar ongkos.“Sama-sama, Mbak.”Aku bergegas menuju rumah. Hati tak sabar melihat mata berbinar Ghaida nanti. Puding ini memiliki banyak kenangan di dalamnya.Dulu, kami mengalami kesulitan ekonomi. Sepulang sekolah, aku ditugaskan ibu menjaga Ghaida selama beliau bekerja sebagai petugas kebersihan taman yang kebetulan berseberangan dengan toko kue. Aku sering menggendong Ghaida, berjalan-jalan melihat lebih dekat toko dengan aroma wangi itu.Aneka penganan cantik tertata rapi di etalase kaca, membuat kami sering kali menelan ludah. Aku pun diam-diam mencari uang dengan memulung. Setelah terkumpul, barulah bisa terbeli satu cup puding. Kami memakannya bersama sambil menyeka air mata haru.“Ibu lagi-lagi nggak setuju, Mas.” Suara Ghaida yang bernada kecewa terdengar dari dalam rumah membuyarkan lamunan. Kuurungkan niat membuka pintu.“Kita sabar saja, Dek. Bujuk pelan-pelan.”“Biar gimana juga Ibu nggak akan setuju, Mas, selama Kak Aleeya nggak nikah. Aku kecewa banget sama kakak. Kenapa, sih, trauma sampai segitunya, gara-gara cinta pertamanya yang berengsek itu?”Aku tergugu. Ya, cinta pertama. Sayangnya, penoreh luka terdalam itu bukan Ardhan, tapi sosok yang biasa disebut cinta pertama bagi setiap anak perempuan.“Trauma itu nggak main-main lho, Dek. Bukannya kamu harusnya malah simpati sama Kak Aleeya? Dia, kan, sudah banyak membantu dan berkorban buat kamu.”“Ck! Mas Teguh kok malah belain Kak Aleeya! Ah, seandainya, Kakak nggak ada ....”Brukk!Bersamaan dengan pintu yang tak sengaja terbuka, kantong plastik dalam genggamanku terlepas. Puding favorit Ghaida sudah tak bisa lagi dimakan karena tumpah di lantai. Mataku mulai mengembun, membuat pandangan menjadi memburam. Aku menggigit bibir.Sementara itu, Ghaida menutup mulut dan terbelalak. Teguh menatap canggung, juga ada selarik rasa bersalah dalam sinar matanya. Ghaida berdiri, lalu menghampiri.“Kakak, aku ....”“Sudahlah, Dik. Kamu benar. Mungkin akan lebih baik, jika waktu itu ibu terlambat membawaku ke rumah sakit.”Ghaida dan Teguh hanya melongo. Tatapan keduanya seolah meminta penjelasan. Namun, tidak mungkin ada kata manis yang terlontar dari bibir jika hati sudah berdarah-darah. Tak ingin mengucapkan hal menyakitkan, kuputuskan langsung masuk ke kamar.Aku menghempaskan diri ke tempat tidur. Kasur empuk segera memeluk tubuh. Mandi? Rasanya, jiwa dan raga terlalu lelah meskipun hanya sekedar untuk membersihkan diri. Perlahan, kantuk mulai menguasai. Kenangan-kenangan datang silih berganti.Saat keriangan masa kanak-kanak masih mendominasi. Canda tawa mewarnai ketika kami berkumpul bersama di meja makan, menunggu masakan ibu yang paling enak sedunia. Saat ....***“Kamu itu lebih dewasa dan bijak, memiliki aura seorang ibu, cocok jadi calon ibu anak-anakku nanti."~Ardhan~---Kelas sepi, hanya ada bangku dan meja tak berpenghuni. Lagu-lagu bertema persahabatan terdengar silih berganti. Hari ini perpisahan kelas tiga, terakhir kali para murid bersua. Namun, Ardhan malah menyanderaku di kelas.Alasannya sangat menggelikan. Dia cemburu karena aku menyumbangkan lagu di panggung acara perpisahan dan mendapat pujian dari para murid laki-laki. Ardhan memang sedikit posesif, tidak bisa menahan emosi saat cemburu. Padahal, kami sudah berpacaran selama setahun terakhir, tapi seperti baru-baru jadian saja."Sudah dong, Dan. Jangan ngambek," bujukku."Tapi, janji jangan pernah beri harapan cowok-cowok genit itu, ya?""Iya, iya."Ardhan tersenyum manis, membuat hatiku menghangat dan berdebar. Saat-saat bersamanya memang selalu membuat jantung berdetak kencang. Momen romantis ini benar-benar seperti mimpi yang terlalu indah bagiku.Sebenarnya, aku memiliki
“Adakah yang lebih menggelikan daripada cara kematianku?”~Aleeya Puspita Wulandari~***Hari ini, aku sengaja tak langsung pulang ke rumah usai bekerja meskipun hari sudah semakin malam. Dua hari perang dingin dengan Ghaida membuat jiwa terasa lelah. Oleh karena itu, kuputuskan menyegarkan pikiran sejenak di tempat favorit.Decit terdengar saat pintu bertuliskan “Toko Buku Catleya” didorong. Paduan aroma buku dan rak kayu bergaya vintage membangkitkan berbagai kenangan indah. Mataku langsung menyapu sekeliling. Buku dengan sampul beraneka rupa sungguh memanjakan mata.Aku segera menuju rak khusus fiksi. Bukannya novel romantis, justru buku cerita bergambar yang tertangkap pandangan. Tanpa sadar, tanganku sudah meraihnya. Cerita Rakyat Bawang Putih dan Bawang Merah, begitulah yang tertera di sampul, dongeng favorit Ghaida. Ingatan tentang masa lalu terbayang dalam benak.“Ayolah, Kak. Bacain ....” Ghaida merengek untuk yang kesekian kalinya agar dibacakan buku dongeng Bawang Putih da
“Dasar dukun nggak ada akhlak! Makhluk halus aja difitnah.”~Aleeya Puspita Wulandari~---“Bawang Meraaah, sadarlah anakku!”Suara serak-serak basah, sedikit seksi mengusik pendengaran. Cahaya menyilaukan tadi kembali digantikan kegelapan. Aroma anyir juga tidak lagi tercium. Kini, hidung menghidu petrichor bercampur bau khas kayu. Aspal juga tidak terasa keras, malah empuk seperti kasur.Eh? Tunggu dulu! Pantas saja gelap, ternyata mataku sedang terpejam.Aku membuka mata perlahan. Dinding kayu tertangkap pandangan. Hampir saja bibir menjerit begitu melihat ukiran seorang gadis penari berwajah seram tergantung di sana.Ck! Selera penghuni tempat ini buruk sekali. Bikin penari cantik, kek. Aku, kan, jadi ingat cerita KKN yang sempat viral itu!“Di mana aku? Ugh, pusing ....”Aku tersentak saat tangan digenggam. Wanita berkebaya cokelat tertangkap pandangan, membuat mata terbelalak. Sosok yang tengah berurai air mata itu sungguh cantik, tidak salah kalau disebut bagaikan dewi. Si Ular
"Meskipun sudah berusaha menerima takdir sebagai Bawang Merah, hati belum sepenuhnya ikhlas." ~Aleeya Puspita Wulandari~ *** Mbah dukun meminum kembali air mantranya. Aku berpikir cepat. “Ibu, aku lelah,” lirihku sambil mendekap erat, tentu sambil menahan napas. Jika tingkahku aneh di mata wanita ini, bisa-bisa kena semburan si aki-aki lagi. Oleh karena itu, sandiwara seolah sudah sadar dari kesurupan perlu dilakukan. Aku bisa pingsan kalau harus menikmati aroma jigong sialan itu lagi. “Syukurlah, Mbah. Roh jahatnya sudah keluar. Terima kasih, Mbah.” Wanita cantik itu, maksudku Ibu bangkit dan menghampiri si aki-aki, menyelipkan beberapa koin ke dalam tangan keriput. Mbah dukun memejamkan mata sejenak. Bibirnya komat-kamit membaca mantra sebelum pergi tanpa permisi. Dasar dukun tidak sopan! Eh? Bukannya justru bagus dia pergi? Salah-salah nanti kesembur lagi. Ogah! “Putriku ....” Ibu hendak memeluk lagi. Gawat, aku harus mencari alasan untuk menghindar, bisa pingsan kalau te
“Cita-citaku tidak hebat seperti, Mbakyu, hanya ingin menjadi ibu terbaik sedunia.” ~Bawang Putih~ ---Bawang Putih tampak masih menunggu jawaban. Aku menelan ludah. Otak berpikir cepat menemukan penjelasan yang mudah dimengerti. Tidak mungkin, kan, bilang pada Bawang Putih kalau aku memutuskan untuk berhenti menjadi tokoh antagonis? Ya, itulah keputusanku. Seorang Bawang Merah harus menjadi kakak yang penuh kasih sayang. Mungkin saja takdir akan berubah. Hukuman di akhir cerita pun tidak perlu dihadapi. Aku dan ibu juga akan mendapat ending bahagia selamanya bersama tokoh protagonis. “Mbakyu?” “Eh? Ah, iya! Mbakyu sudah memutuskan untuk ....” Sebatang pohon menjulang tak jauh dari kami tertangkap pandangan. Tingginya mungkin mencapai sepuluh meteran. Daun-daun kecil menaungi serenteng buah kuning dan kemerahan. Ara atau Ficus glomerata Roxb adalah nama tumbuhan ini. Dulu, Ibu-ibuku yang ada di dunia nyata-biasa mengonsumsinya saat gula darah beliau naik. Buah ara memang dapat
"Ibu tersenyum hangat, membuat kerinduan pada ibu di dimensi yang lain menyeruak." ~Aleeya/Bawang Merah~ --- “Ada apa, Bawang Merah? Kamu baik-baik saja, Nak?” Ibu menghambur ke arahku. Bulu mata lentik sudah basah. Tangan halus menggenggam jemari. Kadang, aku sulit percaya wanita yang penuh kasih sayang ini akan menjadi antagonis. Namun, jika dipikirkan lagi, bisa saja dia menjadi tokoh kejam demi putrinya bukan? Bawang Merah yang manja terus merengek ingin hidup enak. Ibunya pun menghalalkan segala cara, termasuk merusak kebahagiaan orang lain. Aku memutuskan untuk berhenti menyukai tokoh Bawang Merah. Dulu, kupikir Bawang Merah dan segala rencana jahatnya yang begitu brilian sangat keren. Dia dan ibunya tampak seperti perempuan cerdas. Namun, 2 bulan hidup di sini dan harus bertingkah manja membuatku sadar Bawang Merah tidak lebih dari remaja manja dan egois. Eh, sekarang, kan, aku jadi Bawang Merah? Berarti membenci diri sendiri dong? “Aku tidak apa-apa, Bu.” “Tapi, kenap
"Fobia terhadap pernikahan, bukan berarti tidak menyukai orang tampan. Aku pun sering mengagumi para lelaki ganteng, hanya tidak tertarik menjalin hubungan." ~ALeeya/Bawang Merah~ --- Kepala sedikit berdenyut saat aku membuka mata. Insiden dengan makhluk cokelat yang suka menggeliat-geliat itu membuat tubuh lemas dan langsung tidak sadarkan diri. Bulu kuduk seketika berdiri hanya karena teringat kejadiannya. Tidak, tidak! Jangan dibayangkan! Hush! Hush! Pergilah dari otakku! “Kamu sudah sadar, Nona?” Suara bariton yang indah menyapa telinga, membuyarkan lamunan. Aku mengalihkan pandangan. Waktu seakan terhenti. Makhluk nan indah menatap lembut. Aku tidak menyebutnya lelaki meski dari segi fisik dan suara terlihat seperti kaum Adam. Dia terlalu menawan jika disebut manusia. Terlebih, telinganya memang sedikit runcing, persis para elf di Film Lord of the Ring. Tubuh tegap terbalut sutra putih itu mendekat. Aku menunduk, takut pikiran teracuni karena dada bidang dan enam otot peru
“Aku memberinya nama karena dia lucu.” ~Bawang Putih~ --- Genggaman tangan terasa berbeda, tidak lagi kokoh, tapi permukaannya lembut. Aku membuka mata. Ibu dan Bawang Putih tampak menatap pilu dengan wajah basah. “Ibu ... Bawang Putih ....” Ibu langsung mendekap erat. Untunglah, aku sudah membuatkan jamu kunyit asam sirih untuk mengurangi bau badan, juga meminta beliau mandi dengan rebusan air sirih minimal seminggu sekali. Sekarang, hidung sudah aman dari bau ketek, tidak perlu menahan napas lagi. “Aku takut sekali tadi, Mbakyu,” isak Bawang Putih, lalu ikut memelukku. “Maaf, ya, membuat semuanya cemas.” Ibu melepaskan pelukan dan mengusap wajahku dengan lembut. “Sudahlah, yang penting kamu baik-baik saja. Sekarang, Ibu mau membuat masakan kesukaanmu dulu. Kamu pasti lapar karena sudah pingsan seharian.” “Terima kasih, Bu.” Ibu beranjak dari tempat tidur. Beliau ke luar kamar, meninggalkanku dan Bawang Putih. Gadis itu masih saja menatap cemas. Dia baru bisa tenang setelah