Risa terduduk lagi dengan pandangan kosong. Jantungnya seolah copot dan rasanya seperti kehilangan nyawa saat itu juga. Dia baru saja merasa senang karena lepas dari penyakit kanker, tetapi ternyata Tuhan memberinya sesuatu yang jauh lebih berat daripada kanker payudara.
Aku hamil.
Perempuan berambut gelap itu melangkah gontai, tak peduli dengan orang-orang yang terpaksa harus menyingkir agar tidak tertabrak olehnya. Risa tahu jika ada masanya dunia berputar, seperti orang-orang mendapat bagiannya sendiri untuk berada di atas maupun di bawah. Namun, roda kehidupannya berputar terlalu cepat.
Baru beberapa waktu yang lalu dia didiagnosis menderita kanker payudara, tetapi hari ini sahabatnya bilang bahwa ada janin di dalam perutnya. Risa benar-benar tidak tahu apa yang sedang Tuhan rencanakan untuknya.
Langkah Risa tiba-tiba berhenti. Bahunya masih terlihat lemas, sementara pandangan matanya jatuh pada garis putih di depan. Gadis itu kemudian menghela napas, mengangkat wajahnya yang masam.
“Apa ini karmaku karena sudah melakukan dosa?” Risa bertanya pada siapa pun. “Bagaimana caranya aku menemukan Jaya dan menuntut tanggung jawab?”
Risa masih ingat jika Jaya berasal dari negara yang sama dengannya, tetapi menemukan satu pria di dalam negara besar ini bagai mencari sebutir emas di antara jutaan pasir. Agak tidak mungkin, tetapi gadis itu pikir untuk mencoba daripada menanggung semuanya sendiri.
Hari itu di apartemen yang akan lunas sekitar lima tahun lagi, Risa membuka laptop dan mencari-cari nama Jaya di berbagai media sosial, tetapi sampai matahari berada di atas kepala, dia tidak menemukan apa pun.
Jaya tidak menggunakan hal-hal semacam itu.
Gadis itu lantas merebahkan tubuh di lantai yang dilapisi karpet bulu, menatap lampu di plafon berwarna abu-abu. Sekarang pikirannya entah ke mana lantaran ada banyak hal berputar-putar di otaknya.
“Apa aku bakal menjadi ibu tunggal?” Risa bergumam dengan suaranya yang pelan sebelum akhirnya seseorang berusaha membuka pintu rumahnya tanpa permisi.
Itu bukanlah seseorang yang tidak diinginkan, seperti pencuri atau perampok. Namun, Margareth yang memang sudah tahu sandi rumah Risa. Benar saja, selang beberapa saat perempuan itu muncul membawa tas kerjanya
“Kenapa kau datang? Memangnya di rumah sakit tidak ada pasien?” tanya Risa sambil menatap Margareth yang berdiri di sebelah kepalanya.
“Apa yang sedang kau lakukan? Meratapi nasib?” Margareth lantas mengambil duduk setelah mendorong tubuh Risa dengan kakinya. “Sekarang kau sudah tidak punya waktu untuk meratapi nasib! Bekerja untuk menghidupi kehidupan kalian berdua, atau setidaknya cari laki-laki yang telah menghamilimu!”
Helaan napas keluar setelah mendengar perkataan Margareth barusan. Risa kemudian beranjak duduk. “Aku sudah mencarinya di f******k atau i*******m, tapi tidak menemukan apa pun.” Dia menatap Margareth yang tak acuh. “Apa iya masih ada seseorang yang tidak menggunakan sosial media?”
“Daripada itu, apa kau yakin jika nama itu benar-benar miliknya? Kau yakin dia pria baik-baik?” Margareth sedikit menekan. Sejujurnya dia mencemaskan nasib Risa kedepannya. Terlebih lagi dengan pria yang mengaku bernama Jaya itu.
“Kalau soal itu, aku mana tahu,” sahut Risa pelan. Meski ucapan Margareth agak sedikit mengganggu, dia tetap tidak akan berprasangka buruk. “Seharusnya dia pria yang jujur. Aku tahu hanya dengan melihat wajahnya.”
“Cih.” Margareth ingin tertawa rasanya. “Kalau begitu kau harusnya tahu jika wajahmu itu tipe perempuan yang gampang ditipu!”
“Oh, ayolah! Jangan buat aku cemas! Aku benar-benar yakin jika dia pria baik-baik!”
Margareth mengangguki pembelaan Risa barusan daripada melihat wanita itu mengamuk. “Sekarang lebih baik kau pulang ke Indonesia dan cari laki-laki itu, lalu minta pertanggung jawaban!”
“Aku tidak bisa!” Risa menimpali dengan cepat. Dia beranjak dan duduk di sebelah Margareth. “Aku sudah mencicil apartemen ini selama hampir tiga tahun!”
“Ya sudah kalau mau mempertahankan apartemen ini dan mengurus bayimu sendiri.” Margareth mengangkat bahu, bersikap tidak acuh agar bisa melihat apa yang sesungguhnya Risa cemaskan.
“Aku tidak mau pulang ke Indonesia dan bertemu dengan Paman dan Bibi yang serakah itu,” kata Risa kemudian dengan ekspresi wajah kaku.
“Ternyata karena itu.” Margareth mengembuskan napas setelahnya.
“Menurutmu aku harus bagaimana?” tanya Risa. Dia sudah putus asa dengan keadaan yang serba rumit ini.
“Lempar apartemen ini pada orang lain, lalu pulang ke Indonesia dan temukan pria itu.” Perempuan berdarah campuran itu mengatakannya dengan tegas. “Kau tidak akan bisa bertahan sebagai ibu tunggal karena hal itu tidaklah mudah. Jadi, minta pertanggung jawabannya.”
“Kalau begitu, apa kau mau mengambil alih apartemen ini?” tanya Risa yang sontak mendapat pelototan lebar dari Margareth. “Aku cuma tanya, kenapa melotot begitu.”
“Aku tahu kau sengaja. Kalau saja perusahaan orangtuaku baik-baik saja, aku bisa membantumu, tapi … mereka sedang banyak utang sekarang.” Margareth menghela napas, kemudian merangkul pundak Risa dengan perasaan iba. “Maaf, ya, temanmu yang ini bukan lagi orang kaya.”
Risa hanya mengangguk dan menepuk punggung Margareth yang juga berada dalam posisi sulit. Tuhan agak tidak adil karena memutar roda kehidupan mereka secara bersamaan dengan kecepatan yang sama pula. Kini mereka berada di bawah, tidak bisa saling membantu kecuali saling menyemangati satu sama lain.
Di saat keduanya sedang meratapi nasib bersama-sama, getaran ponsel Margareth membuatnya menarik diri untuk melihat hal penting apa yang datang kepadanya di detik-detik terakhir sebelum jam kerja kembali efektif.
“Wah, orangnya lebih muda dari yang aku bayangkan.”
Perempuan berambut blonde itu membuka pesan dari pihak rumah sakit. Pesan itu adalah pemberitahuan yang bersifat umum dan siapa pun bisa melihatnya, termasuk para pengunjung rumah sakit karena pengumuman tersebut pasti muncul di papan buletin di lobi.“Sanatorium bakal diresmikan bulan depan,” ujar Margareth sambil membaca pengumuman yang baru saja masuk. Ibu jarinya menggeser layar ke atas untuk mengetahui informasi lebih lanjut dan begitu matanya melihat direktur utama yang menangani rumah penyembuhan di Indonesia, mereka terbelalak lebar.“Gila. Direkturnya masih sangat muda dan berkharisma,” lanjutnya. Dia kemudian menunjukkan foto pria berusia pertengahan tiga puluh itu kepada Risa. “Lihat. Direkturnya seganteng ini, aku pun rela kalau dimutasi ke cabang Indonesia!”Risa yang semula memandang ke arah lain kini beralih menatap layar ponsel Margareth. Namun, detik itu juga kedua matanya melotot lebar dan merebut ponsel tersebut dari genggaman sang sahabat. “Pria ini! Dia ayah dari
"Ya. Mungkin karena ini pekerjaannya, jadi dia terlihat berbeda dari sebelumnya."Risa menganggukkan kepala, meyakinkan jika tatapan yang dipancarkan pria itu melalui foto karena terpengaruhi oleh pekerjaan yang pastinya menuntut untuk terlihat meyakinkan dan dapat dipercaya. Meninggalkan bingkai foto besar tersebut, dia bergerak ke arah meja.Ada satu foto di dekat komputer, terlihat Danu sedang bersama seorang perempuan yang bersandar di pundaknya. Meski Risa sempat berpikiran buruk, dia kembali mengutamakan kepercayaannya kepada pria itu, yang dianggapnya sebagai Jaya."Adiknya cantik sekali. Aku jadi tidak percaya diri," gumamnya pelan.Saat tangannya berniat mengambil bingkai tersebut, tiba-tiba pintu terbuka dan itu membuat Risa berbalik. Begitu melihat seorang pria muncul, wanita itu tersenyum senang dengan jantung berdebar-debar. Dia seperti menemukan seseorang yang telah dirindukan dan dicari-cari selama ini.Melihat Risa tersenyum, Danu melangkahkan kakinya mendekat ke arah
Risa benar-benar meninggalkan ruangan itu dengan perasaan tercabik-cabik. Dia ingin menangis, tapi rasanya terlalu sia-sia menangisi perlakuan pria itu terhadapnya. Bahkan ketika dirinya masuk ke dalam lift pun, Danu tidak tampak mengejar. Baru setelah pintu lift tertutup, dia menangis tanpa bisa menahannya.Wanita itu sama sekali tidak menyangka jika sesuatu seperti ini akan menimpa dirinya. Bertemu dengan seorang pria yang baik di luar, lalu hamil tanpa bisa dicegah dan sekarang harus menanggungnya sendiri dengan penyesalan seumur hidup.Lift tiba di lantai satu, pintu terbuka dan mempertemukan Risa dengan wanita cantik berpakaian modis yang terlihat terburu-buru. Dia melangkah keluar dan berdiri di depan pintu.“Iya, Sayang. Aku baru saja masuk lift. Kau tunggu sebentar supaya kedatanganku tidak sia-sia.&rd
Sekitar pukul sembilan pagi keesokan harinya, Risa mendatangi sebuah rumah sakit setelah berpikir sepanjang malam di salah satu kamar hotel yang letaknya tidak jauh dari pusat kota. Di saat pikirannya melayang jauh membayangkan Jaya malam itu, dia juga memikirkan apa yang harus dia lakukan setelah ini. Namun, keputusan finalnya ini mungkin juga akan membuatnya menyesal. Hari ini wanita itu datang ke rumah sakit untuk melakukan aborsi. Dia bertekad untuk melenyapkan bayi yang ada dalam kandungannya dan membuka lembaran baru tanpa dibayang-bayangi rasa menyesal dan kebencian kepada Jaya. Danu yang waktu juga berkunjung ke sebuah rumah sakit untuk bertemu dengan kenalannya, tak sengaja melihat Risa yang baru saja pergi dari ruangan dokter kandungan. Pikirannya langsung mengira jika wanita itu tengah mengandung bayi Jaya.
Dari awal, Risa memang tidak berniat menggugurkan kandungannya, tetapi dia takut seumur hidupnya diliputi kebencian kepada bayi itu dan berakhir dengan menelantarkan atau bersikap tidak acuh pada darah dagingnya sendiri.Cinta dan benci selalu hadir bersamaan, keyakinan dan keraguan pun datang dalam hitungan detik. Hati manusia memang selemah itu, seperti perasaan Risa yang mendadak tenang mendengar pria itu akan menikahinya sebagai bentuk pertanggungjawaban. Akan tetapi, giliran Danu yang pusing tujuh keliling.Pria itu tidak tahu harus bagaimana menjelaskan semua ini kepada Laras padahal selama ini dirinya menjanjikan sebuah pernikahan dua atau tiga tahun lagi. Kedatangan Risa mungkin bukanlah sesuatu yang besar, tetapi apa yang dibawa wanita itu membuatnya tidak bisa tidak acuh.Danu terduduk sambil menunduk dan menggaruk pelipisnya sesekali, memikirkan apakah dirinya harus memberitahu Laras soal ini atau menyimpannya sebagai rahasia sampai di mana bayi itu lahir dan hak asuh jatuh
Di sebuah gereja letaknya dekat dengan Sanatorium Harapan Utama, Risa dan Danu melangsungkan pernikahan sederhana yang bahkan tidak dihadiri siapa pun kecuali Laras yang mengaku sebagai teman dekat pria itu, juga Margareth yang semalam terbang dari Perancis. Wanita berdarah campuran itu sesungguhnya merasa iba dengan nasib Risa yang menurutnya sedang dibodohi oleh Danu Atmawijaya, Direktur Utama di sanatorium tersebut. Sudah dihamili, sekarang dinikahi dengan diam-diam tanpa mengundang tamu, bahkan kenalan atau rekan kerja. Jangankan tamu, dekorasi pun tidak ada. Laras sesungguhnya tidak ingin melihat semua ini, tetapi dengan memegang janji yang Danu katakan, dia memaksa diri untuk menghadiri pernikahan kekasihnya sendiri dengan wanita lain. Kedua mempelai itu bertukar cincin, mengucapkan janji sehidup semati yang tidak akan bisa Danu tepati. Pria itu sudah bertekad untuk menjadi seorang pria yang menikahi istrinya tidak lebih dari satu tahun, hanya sampai anak Jaya lahir. “Maaf ak
“Kalau aku jawab iya, apa kau kecewa?”Risa terdiam beberapa saat mendengar tanggapan Danu barusan, tetapi kemudian perempuan itu menggeleng. “Tidak. Sejujurnya aku datang mencarimu juga karena bayi ini. Jadi, aku tidak merasa kecewa sedikit pun.”Pria itu mengangguk mengerti. Setidaknya jawaban Risa barusan tidak menambah beban hidupnya selain berpura-pura menjadi Jaya. Namun, ada satu hal lagi yang masih begitu mengganjal, yaitu tentang surat yang diberikannya kepada istri di atas kertas tersebut.Meski yakin sekali jika surat tersebut belum dibaca oleh Risa, Danu merasa was-was jika suatu waktu perempuan itu mengetahui segalanya dan memilih pergi membawa bayi itu, satu-satunya hal yang ditinggalkan Jaya di dunia ini.“Kalau begitu tidurlah, aku harus pergi ke suatu tempat dan mengurus beberapa hal,” kata Danu sambil berbalik badan. “Aku mungkin tidak bisa pulang selama beberapa hari karena ada banyak pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan.”Risa menatap punggung pria yang tampak
Risa meletakkan cangkir bermotif bunga di atas meja, menyajikan teh hangat yang cocok untuk diminum pagi-pagi seperti ini. Cuaca hangat, suasana tenang dalam rumah besar, juga seorang tamu asing yang membuat wanita itu merasa tak tahu perasaan apa yang sedang dirasakannya saat ini.Tamu yang datang pagi-pagi sekali itu jelas berasal dari luar negeri, tetapi fasih berbahasa indonesia. Jika pria bermata biru itu bisa masuk ke rumah tanpa memerlukan kunci, Risa yakin pria tersebut cukup dekat dengan suaminya.“Aku Jillian,” kata pria berdarah Eropa tersebut, lalu menyesap teh yang menurutnya terlalu hambar. “Jadi, kau ini istri Danu?”Risa mengangguk pelan, merasa agak canggung hanya berdua dengan salah satu kenalan suaminya yang bahkan tidak dikenalnya dengan baik. “Kami baru menikah kemarin. Cuma pesta kecil-kecilan,” jawabnya.Dia menikah kenapa tidak mengundangku, batin pria bernama Jillian tersebut. Apa yang lebih mengejutkan adalah mengapa Danu bukan menikah dengan Laras dan malah