Setelah Jaya pergi, Risa melanjutkan perjalanannya di berbagai negara yang bertetanggaan dengan Kanada. Dia benar-benar akan menghabiskan seluruh uangnya dan membawa mereka ke surga dalam bentuk ingatan.
Setelah satu bulan lebih, gadis itu kembali ke Prancis dengan perasaan senang; lupa dengan penyakit yang menggerogoti tubuhnya dan lantas menemui Margareth. Risa ingin segera memeriksakan kondisinya, barangkali rasa gembira yang dia rasakan bisa mengalahkan penyakit ganas itu. Namun, mengingat akhir-akhir ini dia sering meriang, harapan itu pupus. Dia tahu sisa waktunya di dunia ini tinggal sedikit.
Padahal gadis itu tidak mau mati mendahului Margareth yang selama ini mengeluh ingin mati daripada menjalani kehidupan sulit. Namun, Risa juga tidak bisa melepaskan keinginan terbesarnya untuk pergi ke salah satu kota di Kanada dan menjalani operasi yang bakal menguras habis semua uangnya.
Margareth ingat betul bagaimana Risa menghubunginya enam minggu yang lalu dan berkata bahwa dia tidak akan menjalani operasi atau perawatan lainnya. Kesehatan dan hidup lama memang penting, tetapi kebahagiaan yang telah dirancangnya sejak jauh-jauh hari tidak boleh digagalkan.
“Benar! Hidup dan mati itu sudah menjadi takdir. Aku tidak akan marah pada Tuhan meski hanya hidup selama dua puluh empat tahun.”
Perempuan yang sebentar lagi menginjak usia dua puluh empat tahun itu yakin jika dirinya tidak akan menyesal. Dia akan menghabiskan tabungan hasil bekerja sebagai administrasi di sebuah perusahaan selama satu tahun dan empat tahun menjadi pegawai paruh waktu dari satu tempat ke tempat yang lain.
Minggu pertama pada bulan november, Risa memesan tiket penerbangan dari Prancis ke Kanada. Dia ingin ke tempat indah yang tidak akan pernah ada di negaranya, yaitu melihat lampu-lampu cahaya dari alam bernama aurora.
“Kau gila atau apa? Kondisimu bisa saja semakin parah, tapi kau malah memilih bepergian?!” teriak Margareth.
Perempuan itu baru saja datang dan berteriak seperti orang gila ketika Risa sedang berkemas. Margareth tahu jika temannya itu sangat ingin pergi melihat aurora yang cantik, tetapi apa gunanya jika setelah itu dia mati.
“Ris, dengar dan pikirkan lagi. Kau bisa pergi nanti saat semuanya membaik. Kanada tidak akan runtuh dan aurora juga tidak akan lenyap. Dia muncul setiap tahun saat musim dingin!” Margareth kesal sekali ketika Risa tak acuh padanya.
“Reth, kita tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya karena Tuhan pandai sekali memberi kejutan–”
“Memangnya kau punya Tuhan?” timpal Margareth cepat. “Kau pernah berdoa dan mengikuti acara mingguan? Jangankan itu, selama aku kenal denganmu, kau bahkan tidak pernah datang ke gereja, tapi sekarang kau ingat Tuhan?” Dia tertawa lepas. “Lucu sekali.”
“Ya, aku memang sempat hilang arah, tapi sekarang aku sadar kalau aku ini cuma manusia yang tidak abadi.” Risa menunjukkan ekspresi sok tenang dan itu membuat Margareth mendengkus keras.
“Semoga Tuhan menerima taubatmu.” Margareth melakukan gerakan berdoa dengan menyentuh kedua bahu dan kening, lalu menyatukan telapak tangan di depan dada. “Kau pikir Tuhan bakal mengampunimu?!”
Margareth menghela napas panjang. Meski perasaan kesalnya kepada Risa masih begitu memenuhi ruang di hatinya, seperti ketika wanita itu sengaja mematikan ponsel agar tidak ada yang bisa menghubunginya, atau juga ketika Risa memilih menginap di hotel saat Margareth mencarinya di rumah.
Wanita bermata biru itu benar-benar kesal mengingat perlakuan Risa yang seperti ingin mati sendiri di negara pecahan es di Amerika Utara tersebut dan mengirimkan video rekaman di Saskatoon di Kanada setelah terbang selama delapan jam dari Bandara Internasional Charles De Gaulle.
Margaret bersyukur bahwa gadis itu kembali dengan utuh, tidak dalam kondisi kritis yang tinggal menunggu hari kematian. Dia lantas memelototi Risa begitu perempuan itu masuk ke ruangan sambil tersenyum tanpa dosa. “Kau masih hidup? Kukira kau sudah mati terkubur salju di bawah aurora itu!”
“Mana mungkin,” balas Risa sambil duduk di depan Margareth. “Aku tidak akan mati sebelum dirimu.”
Setelah itu Margareth memeriksa kondisi Risa yang membuatnya terperangah melihat hasil pemeriksaan sang sahabat. Dia berulang kali menatap Risa dan lembar kertas yang kini dipegangnya. Ada perasaan takut dan bersalah, tetapi daripada itu, dokter muda tersebut merasa terkejut melihat hasil yang tidak bisa diduga-duga.
“Katakan. Kau bersenang-senang dengan siapa di Kanada?” tanya Margareth begitu meletakkan kertas hasil medical check up di atas meja.
“Kenapa?” Risa balik bertanya dengan kening berkerut. “Kenapa kau bertanya soal itu?”
Margareth menutup mulut, merasa ragu untuk mengatakan semua kabar buruk yang tercetak dalam kertas itu. Namun, dia tidak bisa diam begitu saja saat dirinya telah melakukan kesalahan besar. “Kau tahu, Peneliti itu manusia. Mereka bisa yakin dengan hasil penelitian mereka, tapi terkadang hasil bisa berubah tanpa bisa diduga,” ucapnya berbelit-belit.
“Apa yang sedang kau coba katakan?” Risa mendesak, tak sabar dengan omong kosong Margareth yang membuatnya bingung sekaligus penasaran.
“Hm … sama seperti Peneliti, Dokter juga terkadang salah mendiagnosis–”
“Bicara yang jelas!” sela Risa dengan mata melotot. Dia sudah merasakan ada sesuatu yang salah.
Margareth begitu saja beranjak dari kursinya, lalu berlutut di depan Risa dengan ekspresi menyesal. “Maafkan aku, Ris! Aku sudah salah mendiagnosismu! Maafkan aku!” Dia tampak malu.
Benjolan yang ada di payudara kanan Risa bukanlah sel kanker, tetapi benjolan kista yang tidak menunjukkan sifat berbahaya. Bisa dihilangkan dengan operasi kecil, atau dibiarkan dengan catatan harus menjaga pola hidup dan rutin memeriksakan keadaan.
Risa tercengang, tak bisa berkata apa-apa selain diam dan mengatur pikirannya yang campur aduk. Jika memang dia tidak salah dengar, maka ini benar-benar menjadi berita baik. “Jadi, maksudmu aku tidak akan mati, ‘kan?” tegasnya sekali lagi.
“Ya,” jawab Margareth pelan. Dia masih menyembunyikan sesuatu yang lebih mengejutkan daripada kesembuhan Risa yang mendadak. Namun, saat hendak mengatakannya, Risa tiba-tiba berdiri.
Gadis itu terlihat senang bukan main dan tiba-tiba dia berteriak sambil berlompat kegirangan. Dia bersalah telah membenci Tuhan selama beberapa waktu sampai-sampai menjalani semua yang dilarang.
“Ya Tuhan ampuni semua dosaku lima minggu ini!” teriak Risa dengan jantung berdebar-debar.
Gadis berambut coklat itu masih berlompatan, merayakan anugrah paling indah dalam hidupnya sampai-sampai membuat Margareth cemas. Dia berusaha menghentikan Risa yang terus melompat-lompat itu.
“Jangan melompat begitu, bisa bahaya,” gumam Margareth dengan dahi mengernyit, tetapi dia tidak berani mengatakan yang sesungguhnya. “Ris, jangan melompat lagi nanti kau bisa keguguran ….”
Risa berhenti begitu saja setelah mendengar ucapan Margareth yang terdengar pelan. Dengan wajah kebingungan, dia menatap sahabatnya itu. “Kau bilang apa barusan?”
Margareth mendongak, kembali mengeluarkan ekspresi bersalah. “Ris, kau hamil.”
“Apa?”
Risa terduduk lagi dengan pandangan kosong. Jantungnya seolah copot dan rasanya seperti kehilangan nyawa saat itu juga. Dia baru saja merasa senang karena lepas dari penyakit kanker, tetapi ternyata Tuhan memberinya sesuatu yang jauh lebih berat daripada kanker payudara.Aku hamil.Perempuan berambut gelap itu melangkah gontai, tak peduli dengan orang-orang yang terpaksa harus menyingkir agar tidak tertabrak olehnya. Risa tahu jika ada masanya dunia berputar, seperti orang-orang mendapat bagiannya sendiri untuk berada di atas maupun di bawah. Namun, roda kehidupannya berputar terlalu cepat.Baru beberapa waktu yang lalu dia didiagnosis menderita kanker payudara, tetapi hari ini sahabatnya bilang bahwa ada janin di dalam perutnya. Risa benar-benar tidak tahu apa yang sedang Tuhan rencanakan untuknya.Langkah Risa tiba-tiba berhenti. Bahunya masih terlihat lemas, sementara pandangan matanya jatuh pada garis putih di depan. Gadis itu kemudian menghela napas, mengangkat wajahnya yang masa
Perempuan berambut blonde itu membuka pesan dari pihak rumah sakit. Pesan itu adalah pemberitahuan yang bersifat umum dan siapa pun bisa melihatnya, termasuk para pengunjung rumah sakit karena pengumuman tersebut pasti muncul di papan buletin di lobi.“Sanatorium bakal diresmikan bulan depan,” ujar Margareth sambil membaca pengumuman yang baru saja masuk. Ibu jarinya menggeser layar ke atas untuk mengetahui informasi lebih lanjut dan begitu matanya melihat direktur utama yang menangani rumah penyembuhan di Indonesia, mereka terbelalak lebar.“Gila. Direkturnya masih sangat muda dan berkharisma,” lanjutnya. Dia kemudian menunjukkan foto pria berusia pertengahan tiga puluh itu kepada Risa. “Lihat. Direkturnya seganteng ini, aku pun rela kalau dimutasi ke cabang Indonesia!”Risa yang semula memandang ke arah lain kini beralih menatap layar ponsel Margareth. Namun, detik itu juga kedua matanya melotot lebar dan merebut ponsel tersebut dari genggaman sang sahabat. “Pria ini! Dia ayah dari
"Ya. Mungkin karena ini pekerjaannya, jadi dia terlihat berbeda dari sebelumnya."Risa menganggukkan kepala, meyakinkan jika tatapan yang dipancarkan pria itu melalui foto karena terpengaruhi oleh pekerjaan yang pastinya menuntut untuk terlihat meyakinkan dan dapat dipercaya. Meninggalkan bingkai foto besar tersebut, dia bergerak ke arah meja.Ada satu foto di dekat komputer, terlihat Danu sedang bersama seorang perempuan yang bersandar di pundaknya. Meski Risa sempat berpikiran buruk, dia kembali mengutamakan kepercayaannya kepada pria itu, yang dianggapnya sebagai Jaya."Adiknya cantik sekali. Aku jadi tidak percaya diri," gumamnya pelan.Saat tangannya berniat mengambil bingkai tersebut, tiba-tiba pintu terbuka dan itu membuat Risa berbalik. Begitu melihat seorang pria muncul, wanita itu tersenyum senang dengan jantung berdebar-debar. Dia seperti menemukan seseorang yang telah dirindukan dan dicari-cari selama ini.Melihat Risa tersenyum, Danu melangkahkan kakinya mendekat ke arah
Risa benar-benar meninggalkan ruangan itu dengan perasaan tercabik-cabik. Dia ingin menangis, tapi rasanya terlalu sia-sia menangisi perlakuan pria itu terhadapnya. Bahkan ketika dirinya masuk ke dalam lift pun, Danu tidak tampak mengejar. Baru setelah pintu lift tertutup, dia menangis tanpa bisa menahannya.Wanita itu sama sekali tidak menyangka jika sesuatu seperti ini akan menimpa dirinya. Bertemu dengan seorang pria yang baik di luar, lalu hamil tanpa bisa dicegah dan sekarang harus menanggungnya sendiri dengan penyesalan seumur hidup.Lift tiba di lantai satu, pintu terbuka dan mempertemukan Risa dengan wanita cantik berpakaian modis yang terlihat terburu-buru. Dia melangkah keluar dan berdiri di depan pintu.“Iya, Sayang. Aku baru saja masuk lift. Kau tunggu sebentar supaya kedatanganku tidak sia-sia.&rd
Sekitar pukul sembilan pagi keesokan harinya, Risa mendatangi sebuah rumah sakit setelah berpikir sepanjang malam di salah satu kamar hotel yang letaknya tidak jauh dari pusat kota. Di saat pikirannya melayang jauh membayangkan Jaya malam itu, dia juga memikirkan apa yang harus dia lakukan setelah ini. Namun, keputusan finalnya ini mungkin juga akan membuatnya menyesal. Hari ini wanita itu datang ke rumah sakit untuk melakukan aborsi. Dia bertekad untuk melenyapkan bayi yang ada dalam kandungannya dan membuka lembaran baru tanpa dibayang-bayangi rasa menyesal dan kebencian kepada Jaya. Danu yang waktu juga berkunjung ke sebuah rumah sakit untuk bertemu dengan kenalannya, tak sengaja melihat Risa yang baru saja pergi dari ruangan dokter kandungan. Pikirannya langsung mengira jika wanita itu tengah mengandung bayi Jaya.
Dari awal, Risa memang tidak berniat menggugurkan kandungannya, tetapi dia takut seumur hidupnya diliputi kebencian kepada bayi itu dan berakhir dengan menelantarkan atau bersikap tidak acuh pada darah dagingnya sendiri.Cinta dan benci selalu hadir bersamaan, keyakinan dan keraguan pun datang dalam hitungan detik. Hati manusia memang selemah itu, seperti perasaan Risa yang mendadak tenang mendengar pria itu akan menikahinya sebagai bentuk pertanggungjawaban. Akan tetapi, giliran Danu yang pusing tujuh keliling.Pria itu tidak tahu harus bagaimana menjelaskan semua ini kepada Laras padahal selama ini dirinya menjanjikan sebuah pernikahan dua atau tiga tahun lagi. Kedatangan Risa mungkin bukanlah sesuatu yang besar, tetapi apa yang dibawa wanita itu membuatnya tidak bisa tidak acuh.Danu terduduk sambil menunduk dan menggaruk pelipisnya sesekali, memikirkan apakah dirinya harus memberitahu Laras soal ini atau menyimpannya sebagai rahasia sampai di mana bayi itu lahir dan hak asuh jatuh
Di sebuah gereja letaknya dekat dengan Sanatorium Harapan Utama, Risa dan Danu melangsungkan pernikahan sederhana yang bahkan tidak dihadiri siapa pun kecuali Laras yang mengaku sebagai teman dekat pria itu, juga Margareth yang semalam terbang dari Perancis. Wanita berdarah campuran itu sesungguhnya merasa iba dengan nasib Risa yang menurutnya sedang dibodohi oleh Danu Atmawijaya, Direktur Utama di sanatorium tersebut. Sudah dihamili, sekarang dinikahi dengan diam-diam tanpa mengundang tamu, bahkan kenalan atau rekan kerja. Jangankan tamu, dekorasi pun tidak ada. Laras sesungguhnya tidak ingin melihat semua ini, tetapi dengan memegang janji yang Danu katakan, dia memaksa diri untuk menghadiri pernikahan kekasihnya sendiri dengan wanita lain. Kedua mempelai itu bertukar cincin, mengucapkan janji sehidup semati yang tidak akan bisa Danu tepati. Pria itu sudah bertekad untuk menjadi seorang pria yang menikahi istrinya tidak lebih dari satu tahun, hanya sampai anak Jaya lahir. “Maaf ak
“Kalau aku jawab iya, apa kau kecewa?”Risa terdiam beberapa saat mendengar tanggapan Danu barusan, tetapi kemudian perempuan itu menggeleng. “Tidak. Sejujurnya aku datang mencarimu juga karena bayi ini. Jadi, aku tidak merasa kecewa sedikit pun.”Pria itu mengangguk mengerti. Setidaknya jawaban Risa barusan tidak menambah beban hidupnya selain berpura-pura menjadi Jaya. Namun, ada satu hal lagi yang masih begitu mengganjal, yaitu tentang surat yang diberikannya kepada istri di atas kertas tersebut.Meski yakin sekali jika surat tersebut belum dibaca oleh Risa, Danu merasa was-was jika suatu waktu perempuan itu mengetahui segalanya dan memilih pergi membawa bayi itu, satu-satunya hal yang ditinggalkan Jaya di dunia ini.“Kalau begitu tidurlah, aku harus pergi ke suatu tempat dan mengurus beberapa hal,” kata Danu sambil berbalik badan. “Aku mungkin tidak bisa pulang selama beberapa hari karena ada banyak pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan.”Risa menatap punggung pria yang tampak