"Keparat! Jurnalis tukang ikut campur ini tidak ada kapok-kapoknya mencampuri urusanku!" Pak Irman membanting remote televisi. Ia sudah mengusahakan segala cara untuk melenyapkan sang jurnalis. Dimulai dari memanipulasi Lisna, Murni, bahkan meminjam tangan anak buah Juan untuk membajak pesawat. Tapi jurnalis sialan ini masih tetap hidup sampai hari ini. Entah nyawanya ada sembilan atau memang keberuntungannya yang tak habis-habis. Ia kehilangan cara untuk membungkamnya.Di tengah kekesalan, tangis Aldy kembali menggema di seantero ruangan. Dikarenakan rumah kontrakan ini kecil, tangisan Aldy mendominasi satu rumah. Kepala Pak Irman makin pusing karenanya."Bibik bisa tidak mendiamkan Aldy?" Pak Irman meneriaki Bik Hasni. Ia panik karena sepertinya ia tidak akan bisa lolos lagi dari hukuman kali ini. Nasibnya kini bagai telur di ujung tanduk."Sabar, Pak. Namanya juga anak kecil. Mungkin Aldy resah karena orang tuanya terus bermasalah," sindir Bik Hasni kalem."Maksud Bibik apa? Bibik
"Ya tapi kenapa tiba-tiba, Om? Kita baru pacaran dalam hitungan bulan. Eh, si Om udah main lamar aja. Apa Om nggak mau kita saling mempelajari karakter masing-masing dulu?" Kiran meriang karena mendadak akan dilamar. Sungguh, setitik debu pun ia tidak menduga akan dilamar dengan cara sat set begini. "Apalagi yang harus kita pelajari, Ki? Karaktermu? Saya sudah mengenalmu sedari dalam kandungan Tante Cia. Selain kedua orang tuamu, mungkin saya adalah orang yang paling memperhatikan tumbuh kembangmu."Kiran menepuk kening. Demitrio benar. Ia memang sudah sebel pada Demitrio sedari kecil. Ia tumbuh besar dengan kehadiran keluarga Atmanegara. Kedua orang tua mereka bersahabat sejak remaja. Ia juga menyaksikan perubahan Demitrio dari seorang remaja tanggung hingga sedewasa sekarang. Mereka berdua terlalu mengenal satu sama lain."Atau jangan... jangan... kamu tidak bersedia saya lamar ya, Ki?""Bersedia dong, Om. Mau dilamar orang gagah perkasa sakti mandraguna begini kok ya nggak mau? Sa
Drrt... drrt... drrt..."Hadeh, ini siapa sih yang nelpon? Kagak tau apa gue baru mulai merem?" Kiran menggerutu. Rasanya baru saja ia memejamkan mata setelah mengerjakan jurnal-jurnalnya yang berjibun. Nasibnya sebagai seorang reporter newbie, ya kurang lebih seperti ini. Selalu menjadi anak bawang para seniornya. Dengan mata separuh tertutup Kiran meraba-raba nakas. Mencari ponsel yang selalu ia letakkan di sana."Lo kenapa sih bunyi terus handphone. Sabar dikit nape? Udah gue pegang juga." Kiran mengomeli ponsel dalam genggamannya. "Silau banget mata gue etdah." Dengan mata terpicing, Kiran memindai nama pemanggilnya. Saat melihat nama Pak Jaswin, Kiran sontak terduduk. Pak Jaswin adalah koordinator liputan stasiun televisi di mana dirinya bekerja. Itu artinya ada berita yang harus ia liput"Selamat malam, Pak. Ada yang bisa saya--""Kamu segera ke Apartemen Mutiara Hijau sekarang. Ada peristiwa kebakaran di sana. Sumber yang bisa dipercaya mengatakan bahwa asal api dari apartemen
Kiran melambatkan laju mobil belum benar-benar berhenti. Suasana hiruk pikuk sudah terdengar dari ujung jalan menuju apartemen. Kiran sadar bahwa dalam suasana kacau seperti ini kecil kemungkinan ia bisa masuk ke lokasi kebakaran. Saat ini saja Satpam sudah terlibat baku mulut dengan sejumlah orang yang memaksa masuk ke TKP. Mereka ingin melihat keadaan sanak saudara di dalam sana. Kiran memutuskan untuk meninggalkan mobil di ujung jalan. Memindai ke sudut lainnya, Kiran lega. Ada mobil SNG alias Satellite News Gathering stasiun televisi tempatnya bekerja. Itu artinya Andika dan kru telah selamat sampai di TKP. Beberapa stasiun televisi lain juga parkir di sana.Menyandang ransel yang berisi peralatan tempurnya, Kiran menyelinap dalam rombongan orang-orang yang memaksa masuk ke dalam perumahan. Kiran menunggu saat yang tepat untuk masuk ke TKP. Melihat keributan yang tidak kunjung berhenti, mustahil ia diberi izin masuk walaupun ia dari kalangan pers. Apalagi yang sedang bermasalah
Kiran memotret sekali lagi sebelum menyimpan ponselnya. Ia sudah mendapatkan photo-photo momen-momen puncak yang paling disukai oleh Pak Jaswin. Seperti potret saat petugas pemadam kebakaran berupaya memadamkan api, hingga evakuasi para korban ke mobil ambulance.Sekarang yang harus ia lakukan adalah mencari sumber informasi lain untuk melengkapi tulisannya besok pagi. Liputan pertamanya tadi belum mendapatkan konsep 5W+1H. Sementara besok tadi pagi dia sudah harus menyerahkan tulisannya pada editor untuk tayang di media online maupun cetak. "Dik, lo di sini dulu ya? Gue pengen ke rumah sakit ngeliat korban-korban yang dievakuasi. Terutama korban yang terjun bebas tadi. Gue penasaran pengen tahu identitasnya. Ngeliat posisi jatuhnya tadi, gue menduga koran adalah salah satu penghuni apartemen Pak Irman Sadikin," ungkap Kiran semangat."Ngapain, Ki? Tadi gue denger dari kru di mobil SNG kalo Pak Jaswin udah menurunkan tim Mbak Mega di sana. Udah, kita di sini aja sampai Pak Jaswin mem
Ketika pandangan Kiran membentur dua gadis muda yang salah seorangnya mengenakan seragam khas babysitter, Kiran pun bergegas menghampiri. Dugaannya babysitter itu adalah pengasuh anak Pak Irman Sadikin. Sedangkan seorang gadis muda lagi yang berpiyama batik adalah suster Bu Yanti. Sedangkan seorang wanita paruh baya yang berdiri di antara mereka pastilah sang ART. Wajah ketiganya coreng moreng penuh jelaga. Keyakinan Kiran bertambah, saat melihat sang babysitter menggendong anak kecil yang terus menangis dan meronta-ronta saat akan dibaringkan ke bed periksa. Wajah anak balita itu juga penuh jelaga dan sesekali terbatuk di antara tangisnya."Aldy tiduran dulu di sini ya? Biar Pak Dokter gampang memeriksanya." Babysitter bersanggul cepol yang sudah acak-acak itu berusaha menenangkan anak asuhannya. "Pasti aku akan diamuk Pak Irman, karena tidak bisa menjaga Ibu. Bagaimana ini, bagaimana?" Gadis muda berpiyama batik menangis ketakutan. Kedua tangannya tidak bisa berhenti bergetar. "K
Kiran mengayun-ayun Aldy di lengannya. Memeluk sembari bergoyang ke kanan dan ke kiri. Meniru ibu-ibu yang sedang menidurkan anaknya. "Ini gerakan gue udah bener atau kagak sih? Kok lama-lama gue kayak lagi nari poco-poco." Kiran bingung sendiri. Rasanya ia sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun Aldy masih belum juga tertidur. Balita ini terus menangis sesengukkan sambil memeluknya."Cup... cup... cup... Aldy jangan nangis lagi ya? Apa yang sakit? Bilang sama, Kakak." Kiran menyeka kening Aldy yang lembab oleh keringat. Sebenarnya bukan Aldy saja yang berkeringat. Tetapi dirinya juga. Menggendong anak berusia tiga tahun yang berbadan gembul membuat lengan dan pinggangnya pegal-pegal."Mama... mama... nangis." Dengan napas tersengal Aldy mulai berbicara."Kenapa Mama nangis, Aldy?" Kiran menginterogasi Aldy hati-hati. Setahunya anak usia tiga tahun itu sudah mulai bisa diajak bicara dua arah. Rizki, putri Andika juga berusia tiga tahu. Rizki sudah sangat lancar berbicara. Rizki bahk
"Cukup, Mbak Lisna. Sekarang giliran Mbak Rani yang berbicara," tegas Demitrio.Kiran mengamati alibi semua orang dalam diam. Merasakan tidak ada gerakan lagi di buaiannya, Kiran memeriksa keadaan Aldy. Balita malang ini sudah tertidur rupanya. Syukurlah. Dengan sebelah tangan, Kiran menarik kursi di pojok ruangan. Ia membalikkan sandaran kursi, sebelum duduk dengan hati-hati agar Aldy tidak terbangun. Sandaran kursi terpaksa ia balik, agar ranselnya tidak mengganjal punggungnya. Setelah menempatkan Aldy dengan nyaman di pangkuannya, barulah Kiran kembali mengamati interogasi Demitrio. Rasa penasarannya meluap-luap. Ia bertekad untuk menguak keanehan tewasnya Bu Yanti ini."Di mana Anda saat Bu Yanti jatuh?" Demitrio bertanya pada Rani. "Seperti yang dikatakan Lisna, saya--""Saya ingin mendengar jawaban dari mulut Anda. Bukan Lisna," tegas Demitrio."Baik." Rani menelan ludah. Penyesalan masih memayungi wajah sendunya."Saya merasa sesak napas. Aldy dan Bu Yanti juga terus batuk-b