Terima kasih sudah mengikuti cerita ini. Maaf terlambat sekali dalam menyelesaikan karena benar2 tidak punya waktu menulis.
EKSTRA PARTPuntung rokok berserakan. Aroma kamar tentu saja tidak sedap. Ditambah lagi beberapa botol minuman yang masih ada isinya dan berhari-hari tidak dibuang.Micella menyesap rokok dalam keadaan terbatuk-batuk. Semenjak Sekar menjauh dari hidupnya hingga akhirnya menikah dengan Catur, hidupnya sudah tidak terarah lagi. Ia keluar dari kampus, kembali ke kotanya dan setiap hari hanya mabuk-mabukan saja.Orang tua Micella sudah kehabisan akal untuk bisa menyembuhkan putri kesayangan dari perbuatan menyimpang. Mereka hanya bisa pasrah dan merawat Micella dengan sebaik-baiknya.Suatu pagi, Micella yang merasa suntuk jalan-jalan keliling komplek. Duduk sendiri di sebuah kursi panjang di trotoar membuat ingatannya berlari pada masa dimana ia dan Andrew masih sekolah. Dengan tatapan kosong memandang rumah yang ada di depan sana. Tempat tinggal sang mantan kekasih, sosok yang sudah tidak akan pernah ia miliki.“Kamu sedang melihat apa di sana, Micel?” Sebuah suara membuat Micella kaget
Part 1Sebagai ibu rumah tangga yang bekerja, sepulang dari tempat kerja pasti disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan. Hal itu seringkali membuatku lupa pada satu benda yang bernama ponsel.Hari itu, aku baru mengingat benda tersebut saat sudah pukul tiga sore. Setelah menitipkan anak-anak di rumah Ibu, aku menuju sekolah tempat mengajar. Iya, aku seorang guru honor di sebuah sekolah dasar yang menempuh waktu sepuluh menit untuk sampai di sana dengan menaiki motor. Setiap guru sudah diberi kunci kantor, pun denganku.Memarkir kendaraan di depan gerbang, sengaja kulakukan.Pintu gerbang masih terbuka?Dengan langkah pelan, kaki melangkah menuju ruang kantor yang ada di paling ujung. Masih ada satu motor, berarti kantor masih ada orang. Namun, dari jarak beberapa meter aku melihat pintu dan tirai kantor yang tertutup.“Apa ada orang?” ucapku sambil membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. “Astaghfirullah ….” Spontan aku beristighfar saat melihat dua orang yang aku kenal sedang be
Part 2Dengan terburu-buru aku mandi dan berdandan ala kadarnya. Yang penting memakai suncare, lipstick dan minyak wangi saja. Menggendong Nazmi dan menaiki motor mengantarkan dia ke rumah Ibu. Tidak lupa, tas dan juga bekal buat Meida aku bawa serta.Saat sampai di sekolah Meida, suasana sudah ramai. Bola mata ini bergerak kesana dan kemari mencari sosok mungil yang tadi pagi tidak sempat aku kuncir rambutnya. “Kamu lihat Meida?” tanyaku saat melihat kawan satu kelasnya lewat.“Di kelas, Bu. Sedang menyapu,” jawabnya.Aku segera berjalan cepat menuju kelas yang terletak di ujung nomor dua.“Kakak ….”Meida yang sedang memegang sapu menoleh. “Ibu kenapa kesini?” tanyanya panik.“Mau antar bekal kamu,” kataku sambil mengulurkan tempat nasi.“Ibu, aku tidak usah diantar makanan.”“Kamu belum minta uang saku juga,”Meida tersenyum. Hati ini lega melihat senyum itu mengembang. Wajah Meida sedari tadi hanya murung, sedih, dan panik saja.“Ini.” Selembar uang sepuluh ribuan aku ulurkan pada
Part 3Meida Hasya Rumaisa. Nama anak sulungku. Seorang gadis kecil yang sangat lincah dan multi talenta. Ia menguasai banyak hal. Dari menyanyi, bercerita, membaca puisi dan juga berpidato. Meski baru menginjak kelas dua SD, ia mampu melakukan itu karena sudah terbiasa mengikutiku saat melatih siswa-siswa yang akan ikut lomba.Itu dulu, sebelum dia mendapat perundungan di sekolah. Semenjak ia bersikap murung, Meida seolah kehilangan kepercayaan dirinya.Namaku Diah Setiyani. Nama yang cukup familiar dan mudah dihafal. Aku adalah seorang guru honorer berusia tiga puluh satu tahun. Namun, semangatku untuk mengukir prestasi pada anak didik boleh dikatakan sudah tidak diragukan lagi. Semua orang tahu akan hal itu. Berbagai piala berjejer di etalase sekolah, itu semua adalah hasil dari semangatku dalam melatih anak didik.Orang mengatakan kalau aku ini cerdas. Akan tetapi, nasib baik belum juga menghampiri. Berkali-kali harus gagal mengikuti seleksi CPNS meski nilai sudah tinggi. Namun, p
Part 4Jam istirahat telah tiba. Saatnya guru-guru kembali ke kantor. Kali ini semua orang diam karena peristiwa pagi tadi membuat kesal. Pak Sela masih duduk di kursinya dengan menghadap laptop. Sesekali ia juga bermain ponsel. Sejak datang, murid di kelasnya sama sekali tidak diajar. Seperti itulah kebiasaan yang dilakukan setiap hari. Hanya sesekali saja kelasnya dimasuki untuk diberikan catatan. Selebihnya, jarang kami mendengar suara Pak Sela menjelaskan materi pelajaran pada siswa yang diampunya. Menjadi bendahara seolah membuatnya merasa sebagai pemilik takhta tertinggi di sekolah. Sibuk mengerjakan laporan keuangan selalu dijadikan alasan Pak Sela saat wali murid bertanya mengapa anak mereka tidak diajar.Rumor bahwa menjadi bendahara itu sangat berat, membuat banyak guru seolah takut jika diserahi tugas meng-handle hal itu. Oleh sebab itulah Pak Sela selalu merasa jika dia adalah orang yang paling berjasa di sekolah. Perannya tidak akan pernah ada yang bisa atau mau mengganti
Part 5Malam hari aku sudah berkonsultasi dengan Mas Rizal. Dia mendukung sepenuhnya apa yang akan kulakukan.“Maaf ya, Dek, Mas gak bisa bantu kamu. Mas sudah pakai finger buat absen. Berangkat harus pagi, pulang harus siang,” kata Mas Rizal. “Tapi kalau memang nantinya ada masalah serius, Mas akan izin di saat jam pelajaran.”Aku memaklumi kesibukan Mas Rizal. Sebagai kepala TU, dia punya tanggung jawab banyak di sekolah. Maka, untuk urusan yang sekiranya masih bisa diselesaikan sendiri, aku tidak akan meminta bantuan padanya.“Meida pasti dapat tekanan yang tidak biasa. Makanya dia sampai tidak berani bercerita sama kamu,” kata Mas Rizal lagi. “Dia biasanya terbuka sekali meski itu hal-hal yang sangat kecil,” katanya lagi.“Dia memang sangat lambat untuk hal-hal yang menyangkut keterampilan. Nulisnya memang pelan, tidak seperti anak-anak lain. Waktu kelas satu, Feni sudah cerita ini sama aku. Tapi, ada kejanggalan apa sebenarnya? Kenapa sampai nasinya tumpah di tas juga? Dia juga
Part 6“Pak saya izin mau pulang lebih awal karena ada acara,” ucapku meminta izin pada kepala sekolah.“Aduh, satu jam lagi ya, Bu Diah. Soalnya ini ada yang harus Bu Diah isi lebih dulu. Ini pendataan guru honorer. Kalau Bu Asih berangkat sih, Bu Asih yang mengisi. Tapi ‘kan, Bu Asih tidak berangkat. Jadi, Bu Diah yang mengisi,” kata kepala sekolah.Aku semakin tidak bisa konsentrasi.“Tidak bisakah saya kerjakan di rumah saja, Pak?” Aku memaksa.“Lha mau saya bawa ke kantor kok, Bu … hari ini terakhir mengumpulkan.”Dengan terpaksa, aku mengundur kepulangan untuk mencari tahu tentang apa yang terjadi dengan Meida. Jika hanya mengisi data dan melengkapi berkas milikku saja, hanya memakan waktu setengah jam. Akan tetapi, aku harus mengerjakan milik Mbak Asih juga, jadi jam dua belas baru selesai. Mas Rizal berkali-kali mengirim pesan bertanya apa aku sudah menemui Bu Ambar apa belum, tapi tidak kubalas.Tepat saat adzan Dzuhur berkumandang, aku berkemas. Meneguk air putih dari galon
Part 7 “Bu Diah ada perlu apa ya menemui saya di luar jam kerja seperti ini?” tanya Bu Ambar terlihat tidak suka. “Boleh saya duduk?” tanyaku. “Oh, iya, silahkan duduk,” kata Bu Ambar seperti terpaksa. Aku langsung duduk. Perempuan itu juga melakukan hal yang sama. Namun, ada yang menarik perhatianku. Satu telapak tangan Bu Ambar seperti tengah membenarkan gelang barunya. Setelah itu, Bu Ambar juga membuka tote bag dan mengeluarkan sebuah tas cantik berwarna mocca. Ah, sepertinya memang dia sengaja melakukan itu. Apakah ia sengaja pamer? “Baru beli ya, Bu?” tanyaku sengaja memancing. “Ah, iya,” jawabnya samnil menggerakkan bibirnya. Terlihat semakin sombong. “Buat inventaris, Bu. Makanya beli yang mahal sekalian,” katanya lagi. “Oh iya. Bener, Bu, selagi banyak uang memang harus banyak menabung. Kehidupan orang ‘kan seperti roda berputar,” kataku. “Ya tapi yang namanya pegawa negeri ya hidupnya standar gini-gini, ‘kan, Bu. Secara mau hujan mau panas mau musim apapun, kami teta