Share

Aku Kecewa

Pagi-pagi sekali, saat matahari belum keluar dari peraduan. Aku meninggalkan tempat ini dengan menaiki taksi online. 

Supir membantuku menaikkan beberapa barang yang aku bawa. Tidak banyak, hanya dua tas pakaian dan beberapa perlengkapan bayi, serta buku tabungan dan surat-surat penting yang aku punya. 

Aku pergi tanpa memberitahu siapapun. Apalagi aku adalah yatim piatu, jadi memang tidak ada alasan untuk berpamitan. Termasuk pada mertuaku, mereka seolah tidak menganggap aku sebagai menantunya semenjak Mas Farhan menikah dengan Ami. 

Ibu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Ami. Menjenguk Aliya pun tidak pernah. Ia hanya sesekali mengundangku datang setiap ada acara selamatan untuk Mas Farhan. Itupun aku hanya akan menjadi pajangan di sana. 

Taksi membawaku ke arah timur, untuk sesaat aku teringat pada Mas Farhan saat mobil yang aku tumpangi melewati pemakaman tempat peristirahatan Mas Farhan. 

Teringat saat-saat pertama aku mengenal Mas Farhan lebih dekat. Kami memang masih dibilang tetanggaan. Karena rumah kami masih satu rukun warga. 

Namun aku mulai dekat dengan Mas Farhan saat kami sama-sama duduk di bangku kuliah. Aku semester pertama, dan Mas Farhan sudah tiga tingkat di atasku. 

Pertemuan pertama kami bisa dibilang unik. Saat itu aku sedang duduk-duduk dan taman kampus. Mas Farhan adalah laki-laki konyol yang tiba-tiba menyatakan perasaannya saat itu. Saat itu, kami bahkan belum saling mengenal. 

Tentu saja aku tidak menerimanya.

"Hayati, aku mencintaimu. Maukah kamu menjadi pacarku?" tanyanya kala itu. 

"Hah?" Aku terkejut. 

"Belakangan ini aku sering mengamatimu, aku rasa aku sudah jatuh cinta," ucapnya lagi. 

Aku semakin tidak tahu harus berbuat apa, sedangkan orang-orang di taman mulai berbondong-bondong menyaksikan kami. 

Rasa malu menyelimutiku kala itu. Sedangkan Mas Farhan? Entahlah. Ia justru semakin melancarkan aksinya. 

"Maaf, aku tidak mengenalmu." Aku berkata pelan, namun tegas. Itu aku lakukan agar orang-orang yang sibuk meneriaki kami tidak mendengar ucapanku. 

Aku tidak mau, membuat laki-laki asing ini merasa malu. Aku tahu, dia adalah tetanggaku, tapi kami tidak saling mengenal. Itulah kenapa aku menyebutnya sebagai orang asing. 

"Kalau kamu menolak, setidaknya terima aku menjadi temanmu." Ia masih tidak menyerah. 

Aku mulai merasa semakin malu, karena orang yang menyaksikan kami semakin banyak. Salah satunya adalah sahabatku, Ami. Ami tidak tersenyum seperti yang lainnya, wajahnya datar. Mungkin saat itu dia sedang kesal. 

Memang benar, setelah kejadian di taman. Aku menanyainya, ia bilang dirinya sedang pusing memikirkan tugas yang terlalu banyak. 

Kembali pada Mas Farhan. Aku akhirnya menerimanya sebagai temanku. 

"Baiklah," kataku.

"Kalau kamu menerimaku menjadi temanmu, maka terimalah bunga ini," tuturnya lembut. 

Aku pun menerimanya. Sontak orang-orang yang menonton kami berteriak ricuh. Mungkin mereka pikir kami jadian waktu itu. 

Sejak kejadian di taman, aku dan Mas Farhan berteman. Awalnya tidak terlalu dekat, tapi semakin lama. Kami sudah seperti Rama dan Shinta yang tak bisa terpisahkan.

Dua bulan berteman, kemudian kita jadian. Benar, aku dan Mas Farhan berpacaran. 

Hubungan kami berjalan lancar, aku sangat nyaman bersamanya. Dia adalah pria romantis sekaligus humoris. 

Kami pernah bertengkar, sama seperti pasangan pada umumnya. Hal hal kecil bisa memicu pertengkaran. Tapi pertengkaran-pertengkaran itu tidak membuat kami berpisah. Malah semakin dekat. 

Dua tahun setelah aku lulus kuliah, aku bekerja di sebuah bank swasta. Waktu itu Mas Farhan mengajakku bertemu di sebuah taman di tempat kami. 

Di sanalah ia mengutarakan keseriusannya untuk menjadikanku sebagai istrinya. Dia melamarku. Wajahku tersipu-sipu saat dia mengucapkannya, dan aku mengatakan iya.

Satu bulan kemudian pernikahan kami dilangsungkan dengan cukup meriah. Seluruh teman diundang, pesta juga digelar. Aku dan Mas Farhan sudah seperti pasangan paling bahagia. 

Delapan bulan setelah akad dilaksanakan, aku sudah mulai muntah-muntah. Aku mengandung anak pertama kami. 

Mas Farhan sangat bahagia, begitu juga aku. Sikap dan perhatiannya bertambah selama kehamilanku, aku sering dibuat tersipu olehnya kala itu. 

"Sayang, makan yang banyak. Biar bayi kita lahir sehat. Karena bayinya perempuan, maka dia harus cantik seperti mamanya," kelakarnya sambil tersenyum. Ia menyuapiku. 

"Sayang ada-ada saja." Aku tersenyum. 

Kami pun tertawa bersama. 

Sungguh hari-hari yang sangat indah. Sebelum peristiwa menyakitkan itu terjadi, pernikahan Mas Farhan dengan Ami yang tiba-tiba dan terkesan sembunyi-sembunyi dariku, karena saat itu aku koma. Sungguh menyakiti hatiku.

Semua kenangan indahku bersama Mas Farhan seolah lenyap seketika. 

Aku kecewa.

***

Next?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status