Share

Makam Mas Farhand

"Bayu?"

Aku segera melepaskan tubuhku dari rengkuhannya. Tadi aku hampir terjatuh saat menabraknya, kemudian dia menangkapku.

"Maaf," ucapku menunduk. 

"Tidak apa-apa," jawabnya dingin, sedingin es di kutub utara. 

"Bayu, apa yang kamu lakukan di sini," tanyaku memenuhi rasa penasaran yang mendesak. 

"Kenapa?" Ia justru bertanya padaku. 

"Aku hanya bertanya, kenapa Kamu ada di sini? Bukankah di keluargamu, ada makam khusus?" 

"Ini tempat umum, aku tidak perlu ijinmu untuk datang ke sini."

Mulutku sempat menganga, kemudian cepat-cepat aku mengatupkannya. Rasa sedih yang aku rasakan mendadak hilang, berganti dengan rasa kesal yang mencokol di dalam dada. 

Aku meninggalkan Bayu, dia juga tidak peduli jika aku masih di sana atau tidak. 

'Apa yang dilakukan Bayu di sini?' batinku. Lagi-lagi kedatangannya di sini terasa mengganjal di hatiku. 

Karena rasa penasaran yang mendorong hatiku, aku kembali lagi ke makam. Dari jarak tiga puluh meter, aku bersembunyi di balik pohon Kamboja yang paling besar di sini. 

Dari tempat ini bisa aku amati ke mana kaki Bayu melangkah. Pria itu terus berjalan lurus, kemudian berhenti di sebuah makam. 

"Astaga," ucapku lirih. Saking terkejutnya, mataku membulat sempurna.

"Untuk apa Bayu mendatangi makam Mas Farhan?" tanyaku entah pada siapa. Mungkin pada angin yang tidak berhenti bertiup. 

Memutar otak keras, mencoba mengingat. Apakah dulu semasa hidup, Mas Farhan memiliki hubungan dengan Bayu.

Meski otakku sudah kuputar keras, sampai kupelintir. Tetap tidak aku temukan jawabannya. 

Aku menunggu sampai Bayu bangkit meninggalkan makam Mas Farhan. Cukup lama, kakiku bahkan sampai terasa nyeri. 

Dia berbalik, aku sedikit kesusahan menggerakkan kakiku karena kesemutan. Memejamkan mata sambil menunggu Bayu pergi meninggalkan makam. 

Hampir saja aku ketahuan, ketika tanpa sengaja kakiku menginjak ranting pohon kamboja hingga patah. Ia sempat menoleh, berhenti sesaat kemudian melanjutkan jalannya. 

Aku menghela napas lega, menyaksikan mobil Bayu melaju pergi meninggalkan area pemakaman. 

"Apa kira-kira yang dilakukan Bayu di makam Mas Farhan. Kulihat dia tadi sempat mengusap pusara Mas Farhan. Apakah mereka pernah ada hubungan sedekat itu?" Aku merasa heran dan kebingungan. 

Sepanjang jalan aku sibuk menerka-nerka. Tapi tetap tidak baku temukan benang merah yang menghubungkan keduanya. 

***

"Assalamualaikum." Aku ucapkan salam ketika masuk ke dalam rumah. 

"Waalaikumsalam, Mpok. Mpok kemana saja? Aliya tadi sempat nangis terus." Mak Sumi menyambutku dengan pertanyaan. 

"Aku ... emm, sidangnya cukup lama, Mak. Maaf ya, membuat Mak repot." Aku merasa tidak enak dengan Mak Sumi, sejak Mas Farhan menikah lagi dan aku tinggal sendiri di rumah pemberian Mas Farhan ini, aku banyak sekali merepotkannya. 

"Emak tidak repot, malah Mak seneng. Di sini Mak kan juga tinggal sendirian, semenjak almarhum suami meninggal. Mak jadi enggak kesepian." tuturnya sambil tertawa. Tapi tetap saja, aku sedikit merasa tak enak.

"Oh iya, Nduk. Eh, Mpok aja terus ya. Supaya kita seperti seumuran." Mak Sumi nyengir. 

"Iya, Mak. Senyaman Emak saja."

"Hehe, Mak cuma mau nanya. Kamu sudah makan siang belum? Ini sudah hampir sore, jangan telat makan. Apalagi tadi pagi kamu belum sempat sarapan. Kasihan badannya, kasihan Aliya juga." Mak Sumi sangat memperhatikanku, mungkin karena aku seumuran dengan anaknya yang sedang merantau di luar kota. 

"Belum, Mak," jawabku pelan. Aku memang belum sempat makan sejak pagi. 

"Apa kamu sudah masak hari ini?" tanyanya lagi. Aku hanya menggeleng. Yang terjadi hari ini, membuat banyak pekerjaanku yang tertunda.

"Ya sudah, tunggu saja di sini. Tadi Mak masak sayur lodeh banyak. Kamu makan masakan Mak saja, ya." Mak Sumi pergi tanpa menunggu jawabanku. 

Sesaat kemudian ia kembali dengan sepiring nasi, sayur lodeh, serta tempe goreng untukku. 

"Ini, makanlah." Mak Sumi meletakkan makanan yang ia bawa di mejaku. 

Aku mengangguk, dalam waktu singkat aku langsung menghabiskan makanan ini. Seketika perutku terasa kenyang, dan aku kembali bertenaga. 

***

[Datanglah ke rumah. Kita akan melaksanakan selamatan tujuh hari kematian Farhan.]

Pesan dari ibu mertuaku. Sebenarnya aku malas datang ke sana. 

Terutama jika harus mengurusi Ami yang selalu temperamental jika melihatku. Ketidakhadiranku akan jauh lebih baik, tapi jika aku tidak datang. Maka tuduhan itu akan semakin melekat pada diriku.

"Ya Allah, beri aku kesabaran," ucapku. Meletakkan ponsel di atas nakas, kemudian bersiap-siap pergi ke rumah Ami. 

Sebelum pergi, aku titipkan Aliya pada Mak Sumi. Mak Sumi terlihat senang, saat kuserahkan Aliya dalam gendongannya. 

Aku bergegas pergi ke rumah Ami, jika terlambat aku juga akan mendapat masalah. Aku tidak punya cukup tenaga untuk mengurus Ami hari ini. Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting dari sekedar meladeni wanita itu. 

Langkahku kian cepat agar segera sampai. Lamat-lamat aku berharap, tidak akan ada masalah antara aku dan Ami di sana. 

Sayangnya ....

***

Next?

Q

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status