2017
Aku meihat sekelilingku, daerah yang kutempati. Tidak banyak penghuni yang tinggal disini. Beberapa rumah yang kulihat dari sini jaraknya cukup jauh.
Aku kembali melihat sekelilingku. Hanya ada gumpalan salju. Merasakan ketenangan ini cukup membuatku nyaman. Namun aku ingin merasakan hal baru.
Kesepian yang aku rasakan sudah terlalu lama. Aku terkurung dirumah ini, sendiri. Dengan semua fasilitas yang mereka berikan aku tidak dapat mengusir kesepian ini.
Temanpun hanya melalui email karena jarak mereka yang terlalu jauh.
Aku menguatkan tekadaku, aku akan merubah keadaan ini.
Bukan karena aku tidak menyayangi mereka, mungkin ini bisa disebut sebagai pemberontakan atas sikap mereka kepadaku. Yang aku inginkan hanya sedikit rasa peduli mereka.
Kekanak-kanakan? Mungkin saja. Untuk gadis berumur 18 tahun hal yang wajar menginginkan perhatian lebih dari mereka.
Ya, yang aku sebut mereka adalah orang tuaku. Orang yang sangat sibuk dengan dunianya sendiri. Sejak menginjak umur 9 tahun, aku dan Kakakku selalu ditinggal. Entah itu pekerjaan ataupun keperluan lainnya. Dalam seminggu aku hanya bisa melihat mereka hanya sepersekian jam.
Lalu? Untuk apa aku ada disini? memikirkannya saja membuatku kesal.
Aku mencari cara bagaimana aku bisa pergi dari tempat ini. Tabunganku mungkin akan cukup hanya untuk satu kali perjalanan.
Keputusan sudah kubuat, aku akan menerima konsekuensi dari semua yang aku lakukan. Mereka tidak akan menyadari keberadaanku juga. Aku sangat yakin akan hal itu.
Mom, Dad. I’m Sorry. I will go. I hated what was happening. Please do not look for me, because I want to be independent and I can save myself well. Don’t worry for me. I don’t forget every moment with you.
I love you mom.
I love you dad.You’re child
Yuri
Pikiranku melayang entah kemana. Memikirkan hidup yang tidak berarti apa-apa. Di dunia ini aku seperti orang yang hanya tinggal sendirian. Tak ada warna yang hidup di dalam diriku. Hanya gelap, hitam dan penuh dengan sesak.
Aku tidak tahu kenapa aku harus pergi dari tempat yang begitu kusukai ini. Tempat yang menjadi favorite ku. Salju terus turun dari langit, dan suasana yang begitu dingin.
Kutulis surat itu dengan cepat, kubereskan semua pakaian dan memasukkan kedalam koper. Aku tak pernah berfikir akan pergi dari rumah ini. Tepatnya Greenland.
Tujuanku adalah Seward, bukan nama kota di daerah Amerika ataupun akuarium raksasa dengan banyak ikan. Seward nama Kakak-ku satu-satunya.
Sikapnya memang menyebalkan, tapi dibalik itu semua dia begitu menyayangiku dan dia juga mengerti bagaimana perasaanku.
Yang aku tahu dia sekarang tinggal di Nusantara, tepat di garis khatulistiwa di dalam planet ini.
Seward juga pergi dari rumah, persis sepertiku. Seward selalu berfikir bahwa Mom dan Dad tidak menyayanginya lagi karena sibuk oleh pekerjaan mereka sendiri. Tak pernah memperhatikan kami.
Seward adalah orang yang sangat jenius, entah bagaimana dia bisa menyelesaikan Study nya dengan cepat.
Jadi setelah seward lulus dari perguruan tinggi di fakultas manajemen bisnis, dia pergi dari rumah.
Seward juga pernah mengajakku pergi dari rumah, tapi saat itu aku masih berumur 15 tahun dan aku menolaknya.
Hampir saja aku menggagalkan semua rencananya, aku begitu menyesal karena tak mendengarkan ucapannya. Dan ikut pergi bersamanya.
Saat itu aku tidak mengerti dengan ucapan yang Seward ucapkan tentang orang tua kami, aku kira itu hanyalah perasaannya saja. Namun setelah Seward pergi dan beberapa bulan aku tinggal dirumah bersama mereka. Aku merasakan hal yang sama.
Dirumah meskipun mereka ada didekatku tapi yang kurasakan hanya keheningan. Tidak seperti layaknya keluarga yang lainnya.
Perjalananku dari Greendland ke Nusantara cukup lama, aku tak sabar ingin melihat Seward. Dua tahun terakhir ini dia tak pernah datang menemuiku ke Greendland. Rasanya aku sangat merindukannya.
Aku turun untuk yang pertama kalinya di bandara yang tidak kukenal, yang terlintas difikiranku hanya Seward. Setelah menukar sejumlah uang aku mencari bilik telepon agar bisa menghubunginya.
“Hallo,” Suaranya sudah begitu kukenal.
“Hallo Se ... mmm, Kak aku ada dibandara.”
“Bandara? Kou becanda?” Terdengar nada cemas dalam suaranya. Hanya dengan beberapa kata dia sudah tahu bahwa itu adalah suaraku.
“Yah, bandara yang begitu asing menurutku. Bandar Udara International Soekarno-Hatta. Dan aku tidak becanda. Aku datang menemuimu,” Aku membaca plang yang ada didepanku.
“Ok. Kalau begitu kau tunggu sebentar. Aku segera menjemputmu.”
Suaranya terdengar antusias. Dan itu memang benar, tapi bukan dia saja yang antusias. Aku lebih antusias lagi bisa bertemu dengannya setelah dua tahun lebih tidak bertemu.
***
Wajahnya selalu teringat setiap kali aku merindukannya. Apakah dia masih sama seperti dahulu? Atau dia sudah sedikit lebih tampan? Aku tersenyum geli memikirkannya. Yang pasti sikapnya akan selalu menyebalkan. Aku sangat yakin akan hal itu.
Pertanyaanku sebentar lagi akan terjawab. Dan ternyata dia masih sedikit mirip seperti di umur 18 tahunan, tingginya 180 cm. Hanya berbeda 15 cm denganku, rambutnya sedikit ikal, memakai jas dan sepatu yang sangat serasi dengan kulit kecoklat-coklatannya.
Seward langsung memelukku ketika melihatku ada di depannya. Dia menatapku dari rambut sampai kaki, seolah aku kehilangan satu anggota tubuhku.
Setelah memastikan keadaanku baik-baik saja. Dia menuntunku untuk duduk dikursi yang ada disana.
“Kenapa kamu pergi dari rumah?” Itulah ucapan pertama yang keluar dari mulutnya. Bukan menanyakan kabarku atau bagaimana perjalananku sampai di Nusantara.
“Aku tidak ingin hidup sendirian. Hanya kakak yang bisa mengerti bagaimana kesepiannya aku. I miss you so much.”
“I miss you too. Baiklah, sebaiknya kita pergi dari sini. Kau kelihatan lelah dan lihatlah penampilanmu ... mmm tak enak untuk dilihat,” Aku hanya tersenyum dan berjalan disampingnya.
Seward memang orang yang suka memperhatikan penampilan. Jadi kalau aku ingin tinggal bersamanya, aku harus bisa memerhatikan penampilanku sendiri. Hal yang menurutku tidak terlalu penting. Seorang perfeksionis.
Pemandangan alam di Nusantara sangatlah indah. Masih banyak pohon-pohon besar dan jalanan yang memotong hutan, jadi suasana sejuk begitu terasa disini.
“Apakah kau lelah?”
“Aku sangat lelah. Sembilan jam aku berada di pesawat, belum lagi perjalanan dari rumah ke bandara. Mungkin sekitar sebelas jam lebih.” Aku memberitahunya dengan detail.
Dia hanya tertawa mendengarnya. “Kalau begitu kau bisa tidur dulu. Nanti aku bangunkan setelah sampai rumah.”
“Kakak memang yang terbaik.” Aku memberikan satu jempol untuknya.
Aku mulai menyandarkan kepalaku di kursi mobil. Menatap jalanan yang begitu lengang oleh kendaraan. Dan beberapa rumah yang berada disana. Tidak lupa dengan orang-orang yang sekedar berjalan kaki di trotoar. Warna kulit yang eksotis menurutku.
Hal yang paling kusukai, ketika melangkahkan kaki di halaman rumah Seward. Indah, persis dengan apa yang kubayangkan selama ini. Rumahnya besar, dengan arsitektur yang luar biasa keren. Lantainya dari kramik dan dindingnya dari kayu. Seward langsung menunjukan kamar yang akan menjadi milikku. Ternyata di lantai 2. Ruangannya besar, tertata rapi. Seperti sudah direncanakannya saja, semua fasilitas yang aku perlukan ada. Bajupun sudah dibelikannya. Entah bagaimana dia bisa mempersiapkan hal seperti ini. “Istiratlah, besok aku akan mengantarmu ke sekolah barumu.” “Baiklah. Good night kak. Terimakasih banyak,” Ucapku tulus. dan dia hanya tersenyum sebagai jawabannya. *** Ketika membuka mata, matahari mulai menampakan sinarnya menerobos lubang-lubang kecil dari pohon agar bisa masuk melewati jendela kamar ini. Aku mulai mengingat bagaimana aku bisa sampai disini. Perlahan aku membuka jendela, udara segar masuk kedalam kamarku, angi
"Oh Darren kau tumben sekali bisa bicara dan mengobrol. Biasanya kau hanya diam dan menutup mulutmu," Angel mulai memperhatikan kami yang sejak tadi terus mengobrol. Dan Darren terlihat marah. Tapi dengan gayanya yang cool, dia tetap terlihat santai. Darren hanya tersenyum dan kembali diam. "Maaf. Aku lebih suka melihat kau terus bicara ... ayolah Darren, aku minta maaf. Aku tak akan mengulanginya lagi," Angel terlihat menyesal. Wajahnya terlihat lucu saat dia bingung. "Angel kau selalu membuat Darren kesal. Lihat saja sampai besokpun dia tak akan mau bicara lagi denganmu. hahaha," Salah seorang temannya, yang bernama Naira semakin membuat Angel resah. Mereka memang terlihat sangat dekat. Untunglah aku bisa bertemu dengan mereka. Sedangkan Kay dan Micky hanya tertawa melihat tingkah mereka. "Kita sampai. Yuri kau duduk dengan kami," Ternyata dari caranya bicara, dia terdengar tenang. Tidak marah sama sekali. Tapi ekspresi Angel membua
Aku sudah menunggu terlalu lama. Maksudnya menunggu angkutan umum, taxi, atau bis ke arah rumah Seward. Hanya ada beberapa mobil pribadi yang lewat. Kelihatannya tidak akan ada mobil lagi. Hari semakin gelap, kuputuskan untuk berjalan kaki pulang kerumah. Walaupun aku sedikit bimbang dengan keputusanku. Kota ini benar-benar masih sepi, hampir tak ada mobil yang lewat. Aku mulai ketakutan ketika jam menunjukan pukul 07.00 PM. Aku tidak tahu harus bagaimana. Handphone yang di berikan Seward tidak dapat di gunakan. Aku mencari telephone umum juga tidak ada. Apakah aku harus mengikuti jalan dengan cahaya lampu yang ada ini? Aku melihat sekelilingku, kiri dan kananku masih rimbun dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Hujan yang mulai deras semakin membuat perasaanku tak menentu. Kalau saja aku ikut dengan teman-temanku tadi pasti aku tidak akan tersesat di jalan yang tidak aku kenal ini. Bajuku sudah basah. Ketika aku tepat berada di bawa
Ketika aku menuju ke kamarku Torrance menarikku. Tatapannya sangat dalam, namun aku bisa melihat, bahwa dia tidak ingin yang sudah dia perlihatkan kepadaku diketahui oleh Seward. “Yuri, kau bisa menjaga rahasia kan?” “Rahasia apa?” “Kau tidak boleh menceritakan kejadian tadi kepada Seward, oke?” “Oke, lagipula aku masih tidak percaya kalau di dunia ini masih ada mahluk seperti itu, konyol.” Torrance tersenyum, tapi senyumnya membuatku teringat akan kejadian tadi. Ketika senyumnya melebar, dari sela-sela giginya muncul taring yang sangat runcing. Aku tidak mengerti kenapa dia memberitahuku tentang dirinya. Dan di sini aku masih terpaku melihatnya, tidak bisa bergerak. Torrance melangkah mendekatiku."Kau percaya sekarang? aku dracula.” Matanya menatap mataku agar aku percaya dengan apa yang aku lihat. “Yahh, tapi kamu tidak akan memakanku!?” Aku bertanya dengan suara gemetar. “Aku belum lapar. Jika bulan p
"Aku tidak menyukai kakek-kakek ... tapi kalau wajah di depanku aku sangatt menyukainya." Aku dan Torrance tertawa dengan pelan. Aku takut akan membangunkan Seward kalau aku tertawa terlalu keras. "Kakakmu sudah bangun, sebaiknya aku keluar. Bye." Dia berdiri melangkah keluar dari kamarku dan mematikan lampu kamarku. Aku mematikan televisi dan sekarang perutku sudah kenyang. Dari tempatku duduk aku bisa melihat arah luar jendela, kilatan petir terlihat jelas, dan hujan masih belum berhenti sejak semalan. Aku menelan ludahku, bagaimana bisa aku bertemu dengan mahluk fantasi di sini. Padahal aku hidup di zaman modern, seharusnya mahluk seperti itu sudah punah. Aku menepuk pipiku, untuk memastikan jika aku sedang bermimpi. Rasa sakit itu membuatku sadar kalau aku harus menerima kenyataan yang ada. Hidup berdampingan dengan mahluk fantasi yang bisa hidup abadi. Sedangkan mereka bisa melihat aku tumbuh dan menua hingga aku meningglkan dunia
Hari demi hari kulewati dengan baik. Dua minggu ini aku merasa tenang. Namun siang ini Mom datang. aku tahu mereka akan datang, kukira tidak secepat ini. Ada sedikit perasaan takut dan rasa bersalah ketika melihat wajanya. “Hallo Yuri! Bagaimana kabarmu selama disini?” Mom menatapku dengan tajam. “Kabarku sangat baik Mom, Kakak memperhatikanku dengan sangat baik,” Jawabku dengan sangat yakin. Seward hanya menundukan wajahnya. Sebenarnya aku tidak terlalu mengerti dengan situasi yang dihadapi oleh Seward. Alasan sebenarnya dia memilih untuk menjauh dari Greendland. Aku melihat raut wajah Seward ketakutan sekaligus cemas. Bukan rasa rindu dan bahagia bisa melihat orang tuanya datang. “Baguslah.” Dad mengucapkannya tanpa ekspresi. “Kami berharap kamu bisa ikut pulang bersama kami, sekarang!” Mom menatapku dengan tajam. Aku balas menatap Mom dengan sinis, apakah wajar seorang Ibu memperlakukan anaknya seperti itu? “
Hubunganku dan Hary semakin membaik, kami hanya berbeda jadwal pelajaran bahasa dan olahraga. Saat istirahat tiba kami selalu pergi ke Greentree bersama, namun hanya disaat gerimis atau matahari tertutup awan. Waktu sinar matahari tidak tertutup awan kami selalu pergi ke perpustakaan sekolah. Kadang Hary tak masuk sekolah jika cuaca sangat cerah. Hal yang menyedihkan untukku. Tapi menurut Darren dan teman-temannya itu adalah cuaca yang sangat indah. Darren kadang menyebalkan, dia lebih menyebalkan dari Seward. Yang selalu menjahiliku, mengikuti kemanapun aku pergi walau aku ingin sendiri, bahkan selalu mencari perhatianku. Sedangkan dengan Torrance aku seperti mempunyai kakak satu lagi. Sejak Hary ikut makan bersama kami dia terlihat marah tapi karena keseringan datang dan belajar bersamaku, kini sikapnya baik-baik saja. Torrance selalu mengantarku ke sekolah saat Seward sedang ada keperluan mendadak. Tapi saat matahari cerah dia tidak berani
“Torrance, kau dari mana?” Aku bertanya kepada dia dengan rasa takut. “Aku lapar ... ingin darahmu,” Ucapan Torrance membuatku terkejut. “Torr ... kumohon! sadarlah. Aku Yuri. kau hanya becanda kan .” Sepertinya Torrance kehilangan kesadarannya. Dia terus mendekatiku perlahan. Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Apakah dia akan menjadikanku makanannya? Pikiran itu terus memenuhi pikiranku yang kalut. Aku tidak bisa menghindarinya lagi, untuk laripun aku tidak sanggup. Ketika dia ada didepanku dia langsung menarik tanganku dengan kasar. Dengan jelas aku melihat taringnya keluar dan mendekatkannya ke tanganku. Aku mencoba menarik tanganku yang dipeganggnya dengan sangat kuat, sampai aku merasakan sakit. Torrance mulai menghisap darahku. Rasanya tidak enak, sangat sakit dan membuatku lemas ingin tertidur. Penglihatanku mulai memudar, yang aku harapkan aku masih bisa terbangun esok pagi. Kudengar ada teriakan