Share

I Hate You

Setelah Gendis menghabiskan makanan yang dibawakan oleh pak Markus, dia mencoba untuk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, namun apa daya, luka-luka di punggungnya belum kering dan terasa perih setiap kali tergesek.

Hingga akhirnya Gendis memutuskan untuk bersandar dengan memiringkan tubuhnya. Dia berusaha untuk memejamkan matanya, kalau bisa tidur, itu lebih baik. Setidaknya, dia tidak merasa begitu sakit ketika tertidur.

Ketika kesadarannya mulai berkurang, antara tidur dan terjaga, Gendis merasakan sesuatu menyentuh pipinya dengan halus.

Ingin sekali dia membuka mata, namun matanya terasa begitu berat untuk di buka.

"Tidurlah, kamu pasti merasa lelah." Dia berkata, sambil membetulkan selimut yang di pakai Gendis 

Mendengar suara itu, Gendis begitu terhenyak.

Jantungnya berdetak lebih kencang dan tidak beraturan.

Lalu perlahan, dia membuka matanya dan melihat seorang laki-laki duduk di tepi ranjang.

Laki-laki bertubuh jangkung dengan tatapan mata tajam menghujam itu tersenyum pada Gendis.

"Tidurlah kembali." Perintahnya.

"Kenapa kamu ada di sini, bukankah kamu ...."

"Gendis teringat ucapan pak Markus yang mengatakan bahwa Steve akan pulang malam. Tapi kenapa dia sudah ada di sini? Apakah ini sudah malam?" Hati Gendis bertanya-tanya.

"Tentu saja aku di sini, ini adalah rumahku. Kamu ingat?" Steve menjawab pertanyaan Gendis. 

Namun, Gendis tidak puas dengan pertanyaan Steve, dan kembali bertanya, "Tapi pak Markus bilang kalau kamu ...."

"Ah ... Pak tua itu." Steve mendesis, lalu dia kembali berkata "Jadi Pak Markus mengatakan padamu kalau aku pulang malam, begitu, kan?"

Steve menatap mata Gendis, membuat Gendis harus menyembunyikan wajahnya di bantal.

"Kenapa kamu tidak mau memandangku?" tanya Steve yang melihat Gendis membuang muka dan memilih menenggelamkan wajahnya ke bantal.

"Kamu membuatku takut." Gendis menjawab, masih dengan menyembunyikan wajahnya.

Steve mengusap wajahnya, dia tampak kesal mendengar jawaban Gendis.

"Kamu takut padaku? Kenapa? Apakah wajahku seperti monster?" tanya Steve, yang masih tidak terima dengan jawaban Gendis.

Gendis perlahan melihat ke arah Steve yang duduk di tepi tempat tidur, dia berusaha untuk duduk sambil menutup tubuhnya dengan selimut, Gendis berkata, "Kamu bertanya padaku, apakah wajahmu seperti monster? Lihat, lihat apa yang kamu lakukan padaku, apakah ini perbuatan manusia?" 

Gendis berteriak, kemudian dia duduk membelakangi Steve dan membuka selimut yang membungkus tubuhnya.

"Kamu lihat ini ... apakah ada manusia yang tega melakukan perbuatan ini pada seorang perempuan?" Kembali, Gendis berteriak histeris, sambil memperlihatkan luka dan lebam bekas penganiayaan yang dilakukan Steve semalam.

Dimana, tergambar jelas pukulan dari ikat pinggang yang dia cambukkan di atas punggung Gendis semalam. Bahkan, tak cukup hanya dengan mencambuk, namun juga cakaran dan gigitan di pundak Gendis.

Steve mengulurkan tangannya untuk menyentuh punggung Gendis yang di penuhi luka. Tiba-tiba dia seperti anak kecil yang kehilangan mainan favoritnya, menangis tersedu.

"Tidak ... tidak mungkin aku melakukan ini, itu bukan aku. Kamu pasti berbohong, kan ....?" ucap Steve dengan suara memelas.

Hal itu membuat Gendis terkejut dan syok, karena apa yang ada di hadapannya saat ini, jauh sekali berbeda dengan apa yang dia lihat semalam. "Apakah dia benar-benar orang yang sama?" tanya Gendis dalam hati.

"Apa yang tidak mungkin, semua ini perbuatanmu. Dan kamu melakukan dengan kedua tanganmu sendiri." Gendis kembali mencecar Steve dan mengingatkan akan apa yang telah dia perbuat terhadap dirinya semalam.

"Tidak ... tidak mungkin, itu bukan aku."

Steve menutup telinganya dengan tangan, menolak mendengar kata-kata yang Gendis ucapkan.

"Bukan, bukan aku yang melakukannya."

Teriak Steve lalu dia meraih nampan dan mangkok kosong yang ada di meja kemudian melemparnya ke lantai.

Prang ... prang ....

Di susul benda lain yang ada di kamar, tak luput dari pelampiasan kemarahan Steve.

Klek ....

Suara pintu dibuka dari luar, kemudian dari balik pintu, pak Markus muncul dan dengan cepat mendekati Steve yang terduduk di lantai.

"Pak Markus ... katakan padanya, kalau aku tidak melakukan apapun dan tidak pernah menyakitinya."

Steve berkata setengah memohon pada pak Markus.

Melihat hal itu, Gendis semakin bingung. Steve persis anak kecil yang mencari perlindungan dan pembenaran setelah ketahuan melakukan sebuah kesalahan.

Gendis mengalihkan pandangannya ke arah pak Markus, dilihatnya, lelaki tua itu menggelengkan kepala, menyuruh untuk tidak bertanya atau melanjutkan kalimatnya.

"Tuan muda, tenanglah, ini hanya kesalahpahaman saja." Pak Markus berkata.

"Pak Markus, katakan padanya, kalau aku tidak melakukan apapun, kumohon ...."

Steve memandang wajah pak Markus, dengan tatapan memelas. Lelaki yang selama ini dia anggap seperti orang tuannya sendiri sejak kepergian kedua orang tuanya.

"Baiklah, tapi Tuan harus tenang dulu. Biar saya yang mengatakan pada gadis itu."

Kemudian, pak Markus membantu Steve untuk berdiri dan membawanya keluar dari kamar.

Sebelum pak Markus keluar, dia menoleh ke arah Gendis dan kembali menggelengkan kepalanya.

Gendis memandang heran dan penuh tanya atas kelakuan Steve tadi, kemudian berkata pada dirinya sendiri, "Dia tidak bersalah? Apakah dia lupa kalau semalam telah menghajar dan menganiaya aku? Apakah aku sedang bermimpi?"

Gendis menepuk-nepuk kedua pipinya, terasa sakit. Lalu dia mencoba bangkit dan berjalan ke arah jendela, dimana dia melihat pemandangan perkebunan teh tadi.

Namun, baru beberapa langkah, kembali Gendis merasakan tubuhnya sakit dan perih.

Auuuchhh....

Teriak Gendis saat tubuhnya menabrak sudut tempat tidur.

Gendis meraba pahanya yang terasa sakit, lalu menunduk untuk mengambil selimut yang terjatuh di lantai ketika dia membuka dan menunjukkan pada Steve luka-luka yang ada di punggungnya tadi.

Ketika dia berjongkok, matanya melihat sesuatu yang berada di bawah tempat tidur. Dengan susah payah, Gendis sedikit membungkukkan tubuhnya kembali untuk mengambil benda yang berada di sana.

Tangannya mencoba meraih sesuatu di sana, dan ketika benda itu telah berhasil Gendis keluarkan, dia mengernyitkan kening.

"Tali? Kenapa ada di bawah tempat tidur? Dan ini ... cambuk? Apakah benda-benda ini ...." Gendis bergumam, sementara pikirannya berkecamuk, saling mengaitkan antara barang-barang yang dia temukan serta perlakuan kasar Steve padanya.

"Jangan-jangan ini ...."  Gendis melemparkan benda yang dia pegang hingga membuat tubuhnya sedikit terjengkang, manakala dia sudah mendapatkan gambaran tentang benda-benda yang ada di bawah tempat tidur dengan sikap Steve.

Gendis menutup mulut dengan kedua tangannya, sulit bagi dirinya mempercayai semuanya. Namun apa yang telah menimpanya, semua begitu nyata, dan luka di tubuhnya adalah bukti.

Gendis mengembalikan benda-benda yang dia keluarkan tadi kembali ke bawah tempat tidur, dan akan berpura-pura tidak pernah melihatnya.

Sebuah cambuk berwarna hitam dengan ukiran di gagangnya, terlihat bagus dan mahal. Juga tali.

"Apakah Steve seorang Psycho? Sadomasokis? Mimpi buruk apa lagi yang harus aku alami, Tuhan ... belum cukupkah semua cobaan ini?" 

Gendis mulai meratap, menangisi nasib buruk yang telah menimpa dirinya dan juga kesialan yang akan dia hadapi selanjutnya.

Klek ....

Pintu kamar terbuka, pak Markus datang, sambil membawa sapu.

Dia tertegun melihat Gendis duduk di lantai sementara matanya menatap ke arah tempat tidur.

"Mari, Nona, saya bantu berdiri."

Buru-buru pak Markus membantu Gendis berdiri dan memapahnya kembali ke atas tempat tidur. Lelaki tua itu seolah tidak ingin Gendis melihat apa yang ada di bawah tempat tidur itu.

Namun tanpa sepengetahuan pak Markus, bahwa sebenarnya, Gendis telah melihat apa yang ada di bawah  tempat tidur itu.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status