Share

5

Aku mengirim pesan pada Aluna jika tak bisa bertemu hari ini, semalam perempuan itu memang mengirim pesan padaku, mengajak bertemu. Aku jelas saja mau, karena merasa penasaran dengan apa yang ingin dia sampaikan. Apa dia akan mengancamku, dan meminta agar aku menjauhi Mas Hanan?

Setelah mengirim pesan pada Aluna, Aku menunggu kedatangan Mas Hanan dengan gelisah. Bagaimana pun juga, ucapan Sella tentang hukum karma tadi terus menggerayangi pikiranku. Bagaimana jika itu benar?

Suara klakson mobil membuyarkan lamunanku. Aku segera berjalan setelah tau itu adalah Mas Hanan. Aku membuka pintu dan duduk disana dengan wajah kusut, ternyata Mas Hanan menyadarinya.

"Kenapa, Sayang? Mau ketemu mertua, kok, kusut gitu wajahnya?" tanya Mas Hanan menggoda. Aku meliriknya sekilas, ku buang napas kasar. Pikiran ku masih dipenuhi dengan kalimat Sella tadi.

"Mas, kamu nggak berniat untuk selingkuh dari aku juga, kan?" Ku lempar pertanyaan yang sejak tadi mengganjal di pikiranku.

Mas Hanan yang baru saja melajukan mobilnya seketika mengerem secara mendadak, dan hal itu membuatku terhuyung kedepan dan hampir saja terjatuh jika aku tak memakai seat belt.

Mas Hanan menoleh padaku, dia menatapku dalam diam. Kemudian menghela napas panjang, tak ku perhatikan bagaimana raut wajahnya, yang pasti aku ingin mendapat jawaban darinya.

"Kamu kenapa kepikiran kesana, Yank?" Bukannya langsung menjawab, dia malah kembali mengajukan pertanyaan padaku.

"Jawab aja apa susahnya, sih, Mas? Jangan bikin aku over thinking begini. Bisa saja, kan, hari ini aku kamu jadikan selingkuhan, terus kedepannya malah aku yang diselingkuhi?" cercaku.

Mas Hanan terlihat menarik napas dalam, dia menghembuskannya dengan kasar. Tangannya meraih jemariku, dan membawanya dalam genggamannya.

"Jangan berpikir begitu, Yank. Mana mungkin Mas selingkuhi kamu, sedangkan Mas saja sangat mencintaimu," kata Mas Hanan mengecup tanganku yang berada dalam genggamannya. Matanya menatapku dengan tulus, aku jadi merasa bersalah karena sudah suudzon pada lelaki itu.

Aku memalingkan wajah, gara-gara ucapan Sella tadi aku jadi berpikiran buruk pada Mas Hanan. Padahal aku tau, dia sangat tulus dalam mencintaiku.

"M-maaf, Mas. Aku ... cuma kepikiran aja dengan ucapan temanku tadi, katanya kalau sekarang saja Mas bisa selingkuh dari istri Mas, bukan tak mungkin kedepannya akan mengulangi lagi. Aku cuma takut, aku ... nggak mau kehilangan kamu, Mas." Aku membalas tatapan Mas Hanan. Dia tersenyum menanggapi ketakutanku, dia membelai wajahku dan mengecup pipiku sekilas, membuat darahku berdesir hebat.

"Mas menyelingkuhi Aluna itu jelas karena Mas tidak mencintainya. Sedangkan kamu? Mas sangat mencintai kamu, Yank. Buat apa Mas selingkuh lagi, kalau orang yang Mas cintai saja sudah didepan mata?" Wajahku menghangat mendengar ucapan Mas Hanan. Aku menundukkan wajah dan tersenyum malu.

"Tapi ... ada yang bilang selingkuh itu kebiasaan Mas. Aku cuma–"

"Siapa yang bilang? Memangnya Mas pernah ketahuan selingkuh sebelumnya? Enggak, kan? Seperti yang Mas bilang tadi, Mas denganmu itu karena cin-ta. Jadi, kamu jangan dengerin kata mereka, ya?" Mas Hanan menekankan setiap katanya.

Sekarang aku yakin, Mas Hanan tak akan seperti yang dikatakan Sella. Sella pasti hanya sedang iri padaku, karena mendapatkan laki-laki loyal seperti Mas Hanan.

Aku mengangguk dan tersenyum. Tentu saja aku percaya. Apa yang Mas Hanan katakan itu benar, dia selingkuh dari Aluna karena tak ada cinta, sedang dia denganku karena sebuah rasa bernama cinta. Jika sudah cinta, untuk apalagi dia berselingkuh, kan?

Mas Hanan kembali melanjutkan perjalanan. Selama di jalan, kami berbincang-bincang sambil sesekali melempar canda dan tertawa bersama. Ku lihat Mas Hanan begitu bahagia bersamaku, tatapannya padaku selalu penuh cinta. Itu yang membuatku selalu merasa jatuh hati padanya, dia juga selalu memperlakukanku bak ratu di istananya.

Setelah beberapa menit, kami sampai juga di sebuah rumah yang tampak begitu asri dan sejuk. Perkarangan yang luas itu ditanami dengan berbagai macam jenis tumbuhan, dan tampak terawat.

Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat, rasa gugup tiba-tiba saja datang menyerang. Ku tatap Mas Hanan yang sudah melepas seat belt dan bersiap untuk turun.

"Mas," cicitku. Suaraku nyaris hilang dari tenggorokan karena rasa gugup yang berlebihan. Mas Hanan menoleh padaku, dia menatap dengan kening berkerut. Mungkin heran, kenapa tiba-tiba raut wajahku berubah.

"Kenapa, Yank? Ayok, turun. Kita sudah sudah sampai. Ibu dan yang lain pasti sudah menunggu," ajaknya.

"Eum ... aku ... takut." Ku sampaikan ketakutanku padanya. Mas Hanan malah tersenyum, dia meraih jemariku dan membawanya dalam genggamannya.

"Nggak usah takut, Yank. Ada Mas, kok! Mas nggak akan ninggalin kamu sendiri. Kita hadapi sama-sama, ya?" katanya menenangkan ku.

Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskan secara perlahan. Ku ulangi hingga beberapa kali, demi mengurai rasa gugup yang terus menyergap. Ku coba meyakinkan diri, aku pasti di terima. Apalagi ada Mas Hanan yang akan selalu menemani ku nanti.

Kuanggukkan kepala. Mas Hanan menghembuskan napas lega dan tersenyum. Dia segera mengajakku turun, aku pun menurut. Setelah memastikan riasan ku masih menempel sempurna, aku keluar juga. Mas Hanan sudah menunggu diluar, dia mengulurkan tangannya untuk ku genggam, dengan senang hati aku pun menyambutnya.

"Inget, ya? Mas jangan tinggalin aku disana sendiri nanti," kataku mengingatkan Mas Hanan dengan suara manja. Lelaki itu terkekeh dan mengangguk, dia mencubit hidungku dengan gemas.

"Mas janji, Yank. Lagian Ibu dan saudara Mas juga nggak akan makan kamu, kok! Mereka juga makan nasi sama kayak kita," canda Mas Hanan untuk menutupi kegugupanku. Aku hanya tertawa pelan mendengarnya.

Kaki kami terus terayun, melewati jalan kecil yang kiri kanannya ditanami pohon bonsai hingga menyerupai pagar, kami menuju pintu utama. Rasa gugup ku semakin bertambah saat kaki kami hampir mencapai teras, tapi aku berusaha tetap tenang. Mas Hanan senakin mengeratkan genggamannya, seakan paham dengan kegelisahan ku.

Kami mencapai pintu, Mas Hanan mengetuknya. Beberapa detik kami menunggu hingga seseorang membukakan pintu. Aku semakin was-was, rasa cemas ku semakin menjadi.

"Eh, Mas Hanan sudah datang?" sapa seorang wanita paruh baya. Jika dilihat dari penampilannya, jelas wanita itu ART disana.

"Dimana Ibu dan yang lain?" tanya Mas Hanan pada wanita itu.

"Sudah menunggu didalam, Mas. Mari masuk." Wanita itu mempersilahkan kami. Sebelumnya dia sempat melirikku dari atas hingga bawah, dia juga menggelengkan kepala, seolah penampilanku begitu buruk.

Aku melempar tatapan tajam pada pembantu itu, berani sekali dia mencemooh penampilanku. Lihat saja nanti, kalau aku sudah menjadi istri Mas Hanan, akan ku hasut Ibu mertua agar memecatnya.

Baru saja kaki kami melangkah masuk, aku sudah dibuat kagum dengan pemandangan didalam. Dari luar terlihat sederhana, tapi begitu masuk ... wah! Menakjubkan. Rumah calon mertuaku begitu luas dan furniturenya juga terlihat mewah dan mahal semua. Aku jadi membayangkan, bagaimana jika rumah Ibu dan Bapak ku minta pada Mas Hanan dibuat seperti ini? Pasti para tetangga di kampung akan berdecak kagum melihatnya.

"Sudah datang ternyata. Ayok, Masuk!" Suara seseorang membuyarkan lamunanku tentang rumah ini. Aku menoleh, seorang wanita paruh baya dengan penampilan sederhana tapi terlihat berkelas sudah berdiri didepan kami. Tak lupa dengan senyum ramah yang ia tampakkan.

Sambutan calon mertuaku sangat baik. Ternyata Mas Hanan benar, aku pasti diterima dengan baik oleh keluarganya. Aku merasa lega, setidaknya hubungan kami tak akan ditentang seperti dalam bayanganku.

Baru saja aku merasa senang dengan sambutan hangat Ibu Mas Hanan, dari arah dalam muncul seorang bocah yang amat kukenal membuatku tercekat. Dia ... apa dia juga disini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status