Share

Silakan Nikahi Saja Ibumu, Mas!
Silakan Nikahi Saja Ibumu, Mas!
Penulis: Althafunnisa

Terkekang

Suamiku milik ibunya.

"Yana! Yana!" Seorang perempuan paruh baya berteriak memanggil nama Yana. Perempuan tersebut adalah Bu Wongso, mertua Yana.

"Iya, Bu ..." Yana mendekati mertuanya.

"Kamu punya kuping, nggak sih! Kamu nggak dengar saya teriak-teriak?" Bu Wongso berkacak pinggang dengan tatapan sinis.

"Maaf, Bu … saya mengantar Mas Arif kedepan gang, Dila pengen lihat ayahnya berangkat kerja," ucap Yana sambil menundukkan kepala.

"Hallah, alasan saja kamu itu. Bilang saja, kamu gak mau saya suruh masak, kan?" Bu Wongso mengibaskan tangannya.

"Sekarang, kamu masak! Saya lapar. Jangan mentang-mentang kemaren ada Arif, kamu bisa jalan-jalan, ya …" lanjut Bu Wongso lagi.

"Baik, Bu …" Yana masuk kedalam rumah dan menurunkan Dila dari gendongannya.

Bocah berumur 2 tahun itu sempat merengek, meminta gendong pada ibunya. namun, Yana membujuknya dengan lembut, sehingga Dila akhirnya duduk didepan televisi menonton kartun kesukaannya.

Yana meracik bumbu dapur dan mulai memasak. Masakan Yana memang enak, karena dulu sebelum menikah dengan Arif, Yana pernah bekerja di sebuah restoran ternama di kota Jambi.

"Yana! Koq lama banget sih masaknya!" Bu Wongso kedapur melihat pekerjaan Yana.

"Ini sudah hampir siap, Bu ..." ujar Yana seraya memindahkan masakannya kedalam mangkok dan piring.

Bu Wongso duduk bersilang kaki di meja makan sambil terus mengomel dan memaki Yana.

"Masakannya sudah matang, Bu ..." Yana menyendokkan nasi kedalam piring dan menambahkan lauk pauknya. Lalu menyodorkannya kehadapan Bu Wongso.

"Ya sudah! sana, cuci peralatan masaknya. Saya gak mau ada perabotan yang kotor, sedikitpun," ujar Bu Wongso.

Yana membawa perabotan memasak ke wastapel, dan mencuci semuanya sampai bersih.

"Ma … au mamam …." Dila berjalan menemui Yana didapur.

"Sebentar ya, Sayang! Mama goreng ayamnya dulu." Yana membuka kulkas dan mengambil ayam yang telah dibumbui nya kemaren.

"Eh eh eh, siapa yang kasih kamu izin, ngambil ayam dalam kulkas. Hahh?" Bu Wongso melotot menatap tajam kepada Yana.

"Saya meminta Mas Arif untuk membeli ayam, Bu … kemaren mas Arif ungkep ayamnya pake bumbu, supaya kalau Dila mau makan, tinggal goreng saja." Yana membawa kotak berisi ayam ungkep tersebut untuk dimasak.

"Saya bilang, tidak boleh!" Bu Wongso mengambil kotak berisi ayam tersebut .

"Bu … Mas Arif membelinya untuk Dila, anak kami, cucu Ibu. Mengapa Ibu tidak boleh saya memasaknya?" Dada Yana naik turun menahan emosi.

"Kamu kan sudah dikasih uang sama Arif, sana, kamu beli aja lagi!" Bu Wongso memasukkan kembali kotak tersebut kedalam kulkas.

"Tapi, Bu … bukankah gaji Mas Arif lebih banyak diberikan kepada Ibu?" Yana menatap mertuanya sejenak, lalu kembali menundukkan kepala.

"Anak laki-laki itu hak ibunya, kamu itu cuma orang asing! Kalau kamu mau makan enak, kamu kerja, lah …." Ujar Bu Wongso, sorot matanya sangat tajam.

"Kalau saya kerja, siapa yang akan jaga Dila, Bu?" Yana merangkul putrinya yang mulai terisak.

"Ma … lapay …" Dila mulai merengek dan menangis kencang.

"Berisik! Bawa anakmu keluar, sana!" Bu Wongso menunjuk muka Yana dengan berang.

Yana menggendong Dila ke kamar, mengambil uang yang diberikan Arif, lalu melangkah ke luar rumah.

Yana membawa Dila menuju warung nasi di dekat rumah mertuanya.

"Mbak, nasi sama lauk ayam gorengnya satu, ya …" ucap Yana kepada pemilik warung.

Pemilik warung mengangguk, dan memberikan sepiring nasi dengan lauk ayam goreng kepada Yana. 

Yana menyuapi putrinya yang tampak kelaparan.

"Eh, ada Dila … enak ya, makan di warung. Pantes aja, kata Bu Wongso, uang yang dikasih Arif gak pernah cukup." Bu Nani, tetangga mertua Yana menghampiri.

"Jadi orang itu, mbok yo jangan boros. Suami kerja jauh, kamu malah boros. Pantesan aja mertuamu suka ngomel," ucap Bu Nani lagi, membuat dada Yana terasa panas.

Ingin sekali Yana menyangkal semua ucapan Bu Nani. Namun, diurungkannya. Karena Yana tidak ingin kejadian dulu terulang lagi.

Pernah, Yana membantah omongan tetangga, tentang tuduhan mertuanya. Namun yang terjadi, para tetangga melaporkan hal tersebut kepada Arif. Sehingga Yana habis-habisan dimarahi oleh Arif. Berbuntut pertengkaran dan Yana tentu saja disudutkan. Menurut Arif, Yana tidak perlu menanggapi omongan tetangga. Ataupun menanggapi omongan ibunya.

Yana menggendong Dila pulang, setelah Dila menghabiskan makannya. Sesampai dirumah, Yana melihat Bu Wongso menerima tamu. Mungkin temannya.

"Ini siapa jeng?" Tamu tersebut bertanya dengan memandang penampilan Yana dari kaki sampai kepala.

"Istrinya Arif, kamu liat sendiri, kan … penampilannya kucel begitu. Makanya saya gak pernah mengajak dia ikut acara keluarga!" Bu Wongso mencebikkan bibirnya.

Yana tidak ingin dihina oleh tamu mertuanya. Yana memutuskan masuk kamar, dan menidurkan Dila.

Yana membuka akun sosial medianya. Yana hanya punya akun sosial berwarna biru, itu pun Yana pakai dengan mode Ungu. Karena Yana harus berfikir seribu kali jika menggunakan uangnya untuk membeli Kuota.

Ponsel yana bergetar. Chat dari salah seorang teman Yana ketika sekolah Menengah Atas.

[Yan, kamu sekarang punya kesibukan apa?] Akun sella mengirimi Yana messenger.

[Gak ada, Sel … aku gak bisa ninggalin Dila buat kerja.] Jawab Yana

[Eh, kamu mau gak ikut aku bisnis?]

[ Bisnis apa, Sel?]

[Bisnis produk kesehatan dan kecantikan. Lagi booming lho. Kamu gak perlu nyiapin modal, cukup posting-posting aja.]

[Masa sih, Sel?]

[Iya lah … kamu hanya posting, trus kalau ada yang pesan, kamu list ke aku. Aku yang kirim. Nah … nanti, dari sana kamu dapat komisi. Gak banyak sih, tapi kalau kamu rajin posting dan banyak costumer, komisi kamu banyak juga, lho …]

[Caranya gimana, Sel?]

Chat mereka pun terus berlanjut di messenger, sampai yana sepakat untuk menjadi reseller produk tersebut.

Sella membelikan Yana kuota internet ukuran kecil, hanya untuk posting produk yang di jualnya di sosmed berwarna biru dan hijau.

[Kalau pake mode Ungu, kamu emang bisa posting gambar sih, Yan … tapi ntar kalau ada yang nanya, kamu pasti bingung itu gambar apa?] Ledek Sella.

Yana mulai mempromosikan Produk tersebut di akun sosial medianya.

*********

Yana tidak menyangka, produk yang ditawarkannya memang sedang membooming. Banyak sekali ibu-ibu bahkan remaja yang membeli produk tersebut melalui Yana.

Bahkan, teman-teman Yana di jambi pun banyak yang membeli produk tersebut.

Yana tidak pernah lagi mengeluh masalah keuangan. Yana menabung hasil komisi penjualannya tersebut. Yana takut, jika suatu saat terjadi padanya, Yana tidak bisa berbuat apa-apa jika tidak mempunyai tabungan.

************

"Dek, uang jatah kamu mas kurangi, ya!" Arif memberikan beberapa lembar uang berwarna merah kepada Yana.

Yana menerima uang tersebut, jumlahnya hanya sepuluh lembar.

"Mas, apa ini gak salah?" Yana menatap Arif dengan tatapan kecewa.

"Kenapa?" tanya Arif

"Ini gak cukup, Mas …." Yana meletakkan lembaran uang tersebut diatas tempat meja.

"Tapi, kamu sekarang punya penghasilan sendiri juga, kan?" ujar Arif.

Yana terperangah, tidak ada yang tau tentang komisi yang didapatnya. Lalu, bagaimana Arif bisa tau.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
kenyataan seperti dalam cerita ini masih sering terjadi dalam kehidupan nyata
goodnovel comment avatar
Diajheng Widia
uang suami adalah uang istri juga tapi uang istri adalah punya istri sendiri. .mentang2 istri punya oenghasilan trus seenaknya suami potong2 jatah istri......
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
ddfgnmkkkkmmm
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status