Suamiku milik ibunya.
"Yana! Yana!" Seorang perempuan paruh baya berteriak memanggil nama Yana. Perempuan tersebut adalah Bu Wongso, mertua Yana.
"Iya, Bu ..." Yana mendekati mertuanya.
"Kamu punya kuping, nggak sih! Kamu nggak dengar saya teriak-teriak?" Bu Wongso berkacak pinggang dengan tatapan sinis.
"Maaf, Bu … saya mengantar Mas Arif kedepan gang, Dila pengen lihat ayahnya berangkat kerja," ucap Yana sambil menundukkan kepala.
"Hallah, alasan saja kamu itu. Bilang saja, kamu gak mau saya suruh masak, kan?" Bu Wongso mengibaskan tangannya.
"Sekarang, kamu masak! Saya lapar. Jangan mentang-mentang kemaren ada Arif, kamu bisa jalan-jalan, ya …" lanjut Bu Wongso lagi.
"Baik, Bu …" Yana masuk kedalam rumah dan menurunkan Dila dari gendongannya.
Bocah berumur 2 tahun itu sempat merengek, meminta gendong pada ibunya. namun, Yana membujuknya dengan lembut, sehingga Dila akhirnya duduk didepan televisi menonton kartun kesukaannya.
Yana meracik bumbu dapur dan mulai memasak. Masakan Yana memang enak, karena dulu sebelum menikah dengan Arif, Yana pernah bekerja di sebuah restoran ternama di kota Jambi.
"Yana! Koq lama banget sih masaknya!" Bu Wongso kedapur melihat pekerjaan Yana.
"Ini sudah hampir siap, Bu ..." ujar Yana seraya memindahkan masakannya kedalam mangkok dan piring.
Bu Wongso duduk bersilang kaki di meja makan sambil terus mengomel dan memaki Yana.
"Masakannya sudah matang, Bu ..." Yana menyendokkan nasi kedalam piring dan menambahkan lauk pauknya. Lalu menyodorkannya kehadapan Bu Wongso.
"Ya sudah! sana, cuci peralatan masaknya. Saya gak mau ada perabotan yang kotor, sedikitpun," ujar Bu Wongso.
Yana membawa perabotan memasak ke wastapel, dan mencuci semuanya sampai bersih.
"Ma … au mamam …." Dila berjalan menemui Yana didapur.
"Sebentar ya, Sayang! Mama goreng ayamnya dulu." Yana membuka kulkas dan mengambil ayam yang telah dibumbui nya kemaren.
"Eh eh eh, siapa yang kasih kamu izin, ngambil ayam dalam kulkas. Hahh?" Bu Wongso melotot menatap tajam kepada Yana.
"Saya meminta Mas Arif untuk membeli ayam, Bu … kemaren mas Arif ungkep ayamnya pake bumbu, supaya kalau Dila mau makan, tinggal goreng saja." Yana membawa kotak berisi ayam ungkep tersebut untuk dimasak.
"Saya bilang, tidak boleh!" Bu Wongso mengambil kotak berisi ayam tersebut .
"Bu … Mas Arif membelinya untuk Dila, anak kami, cucu Ibu. Mengapa Ibu tidak boleh saya memasaknya?" Dada Yana naik turun menahan emosi.
"Kamu kan sudah dikasih uang sama Arif, sana, kamu beli aja lagi!" Bu Wongso memasukkan kembali kotak tersebut kedalam kulkas.
"Tapi, Bu … bukankah gaji Mas Arif lebih banyak diberikan kepada Ibu?" Yana menatap mertuanya sejenak, lalu kembali menundukkan kepala.
"Anak laki-laki itu hak ibunya, kamu itu cuma orang asing! Kalau kamu mau makan enak, kamu kerja, lah …." Ujar Bu Wongso, sorot matanya sangat tajam.
"Kalau saya kerja, siapa yang akan jaga Dila, Bu?" Yana merangkul putrinya yang mulai terisak.
"Ma … lapay …" Dila mulai merengek dan menangis kencang.
"Berisik! Bawa anakmu keluar, sana!" Bu Wongso menunjuk muka Yana dengan berang.
Yana menggendong Dila ke kamar, mengambil uang yang diberikan Arif, lalu melangkah ke luar rumah.
Yana membawa Dila menuju warung nasi di dekat rumah mertuanya.
"Mbak, nasi sama lauk ayam gorengnya satu, ya …" ucap Yana kepada pemilik warung.
Pemilik warung mengangguk, dan memberikan sepiring nasi dengan lauk ayam goreng kepada Yana.
Yana menyuapi putrinya yang tampak kelaparan.
"Eh, ada Dila … enak ya, makan di warung. Pantes aja, kata Bu Wongso, uang yang dikasih Arif gak pernah cukup." Bu Nani, tetangga mertua Yana menghampiri.
"Jadi orang itu, mbok yo jangan boros. Suami kerja jauh, kamu malah boros. Pantesan aja mertuamu suka ngomel," ucap Bu Nani lagi, membuat dada Yana terasa panas.
Ingin sekali Yana menyangkal semua ucapan Bu Nani. Namun, diurungkannya. Karena Yana tidak ingin kejadian dulu terulang lagi.
Pernah, Yana membantah omongan tetangga, tentang tuduhan mertuanya. Namun yang terjadi, para tetangga melaporkan hal tersebut kepada Arif. Sehingga Yana habis-habisan dimarahi oleh Arif. Berbuntut pertengkaran dan Yana tentu saja disudutkan. Menurut Arif, Yana tidak perlu menanggapi omongan tetangga. Ataupun menanggapi omongan ibunya.
Yana menggendong Dila pulang, setelah Dila menghabiskan makannya. Sesampai dirumah, Yana melihat Bu Wongso menerima tamu. Mungkin temannya.
"Ini siapa jeng?" Tamu tersebut bertanya dengan memandang penampilan Yana dari kaki sampai kepala.
"Istrinya Arif, kamu liat sendiri, kan … penampilannya kucel begitu. Makanya saya gak pernah mengajak dia ikut acara keluarga!" Bu Wongso mencebikkan bibirnya.
Yana tidak ingin dihina oleh tamu mertuanya. Yana memutuskan masuk kamar, dan menidurkan Dila.
Yana membuka akun sosial medianya. Yana hanya punya akun sosial berwarna biru, itu pun Yana pakai dengan mode Ungu. Karena Yana harus berfikir seribu kali jika menggunakan uangnya untuk membeli Kuota.
Ponsel yana bergetar. Chat dari salah seorang teman Yana ketika sekolah Menengah Atas.
[Yan, kamu sekarang punya kesibukan apa?] Akun sella mengirimi Yana messenger.
[Gak ada, Sel … aku gak bisa ninggalin Dila buat kerja.] Jawab Yana
[Eh, kamu mau gak ikut aku bisnis?]
[ Bisnis apa, Sel?]
[Bisnis produk kesehatan dan kecantikan. Lagi booming lho. Kamu gak perlu nyiapin modal, cukup posting-posting aja.]
[Masa sih, Sel?]
[Iya lah … kamu hanya posting, trus kalau ada yang pesan, kamu list ke aku. Aku yang kirim. Nah … nanti, dari sana kamu dapat komisi. Gak banyak sih, tapi kalau kamu rajin posting dan banyak costumer, komisi kamu banyak juga, lho …]
[Caranya gimana, Sel?]
Chat mereka pun terus berlanjut di messenger, sampai yana sepakat untuk menjadi reseller produk tersebut.
Sella membelikan Yana kuota internet ukuran kecil, hanya untuk posting produk yang di jualnya di sosmed berwarna biru dan hijau.
[Kalau pake mode Ungu, kamu emang bisa posting gambar sih, Yan … tapi ntar kalau ada yang nanya, kamu pasti bingung itu gambar apa?] Ledek Sella.
Yana mulai mempromosikan Produk tersebut di akun sosial medianya.
*********
Yana tidak menyangka, produk yang ditawarkannya memang sedang membooming. Banyak sekali ibu-ibu bahkan remaja yang membeli produk tersebut melalui Yana.
Bahkan, teman-teman Yana di jambi pun banyak yang membeli produk tersebut.
Yana tidak pernah lagi mengeluh masalah keuangan. Yana menabung hasil komisi penjualannya tersebut. Yana takut, jika suatu saat terjadi padanya, Yana tidak bisa berbuat apa-apa jika tidak mempunyai tabungan.
************
"Dek, uang jatah kamu mas kurangi, ya!" Arif memberikan beberapa lembar uang berwarna merah kepada Yana.
Yana menerima uang tersebut, jumlahnya hanya sepuluh lembar.
"Mas, apa ini gak salah?" Yana menatap Arif dengan tatapan kecewa.
"Kenapa?" tanya Arif
"Ini gak cukup, Mas …." Yana meletakkan lembaran uang tersebut diatas tempat meja.
"Tapi, kamu sekarang punya penghasilan sendiri juga, kan?" ujar Arif.
Yana terperangah, tidak ada yang tau tentang komisi yang didapatnya. Lalu, bagaimana Arif bisa tau.
"Ibu yang cerita sama Mas, Ibu bilang, banyak tetangga yang bilang ke ibu, kalau kamu jualan produk kecantikan, dan jualanmu laris manis." ujar Arif menyandarkan punggungnya di kursi."Tapi, Mas … itu uang untuk aku tabung," ucap Yana."Lagipula, uang yang Mas kasih tidak cukup, untuk keperluan kami …."Arif menggebrak meja, tatapannya tajam."Bagaimana mau cukup, kalau kamu sering makan diluar!" ujar Arif sembari menunjuk wajah Yana."Kamu tau, kan? Aku kerja jauh. Demi menafkahi kamu sama Dila. Tapi kamu malah enak-enakan makan diluar." Arif menggemelutuk giginya. Menatap tajam ke arah Yana, Arif merasa kesal karena Bu Nani bercerita kalau Yana suka membawa Dila makan di warung."Mas, aku membawa Dila makan kewarung waktu itu, karena Dila mau ayam goreng. Sementara aku belum belanja. Ibu tidak mengizinkan aku menggoreng ayam yang kamu beli." Yana bangkit dari duduknya dan membalas tatapan tajam Arif."Jangan menjelek-jelekkan ibuku, Ya!" Arif kembali menunjuk wajah Yana dengan telun
Semenjak tidak diizinkan kuliah dan mengajar oleh Bapaknya, Yana memilih bekerja sebagai pelayan restoran di sebuah rumah makan di kota Jambi. Yana hanya mampu bertahan selama 3 bulan. Karena terkadang, di restoran tersebut, Yana bukan hanya mengerjakan tugasnya, tapi juga pekerjaan lain kalau pengunjung sedang ramainya.Akhirnya, Yana memutuskan untuk balik kampung, tinggal bersama mbahnya di tanah Jawa. Karena tinggal di desa bersama Bapak dan ibunya, Yana juga tidak betah. Entah mengapa, bapaknya suka menjelek-jelekkan orang-orang yang Yana kagumi di desa. Menurut Bapaknya, orang-orang itu cuma sok, sok baik dan sok segalanya.Hari itu, Yana membulatkan tekadnya untuk kembali ke tanah kelahirannya. Tanah Jawa."Kamu baik-baik di sana. Bantu mbahmu menggarap sawah. Paling tidak, kamu bantu masak." Pesan kedua orang tua Yana ketika melepas kepergian Yana kembali ke tanah Jawa."Nggeh, Pak … Buk!" Yana menyalami kedua orang tuanya.Perjalanan menuju rumah Mbah Yana memakan waktu selam
"Bapak maunya kita langsung menikah, Mas … supaya keluargaku nggak bolak-balik lamaran dan nikahan," jawab Yana ragu-ragu."Ya, bagus dong! Berarti kita secepatnya bisa Halal!" Arif menggenggam tangan Yana dengan senyum terkembang."Tapi, aku belum mengenal orang tuamu, Mas. Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?" Yana kembali menundukkan kepalanya."Sayang, aku tidak perduli bagaimana tanggapan orang tuaku, yang penting, kita bisa menikah!" Arif mengangkat dagu Yana dan meyakinkannya.Hari yang ditunggu pun tiba, Arif membawa Ibunya ke rumah Si Mbah untuk melamar Yana.Ibunya Arif, Bu Wongso, turun dari mobil, dan memandang rumah Mbah Yana yang sederhana."Rif, kamu gak salah, bawa ibu kesini?" Bu Wongso menyikut lengan Arif."Nggak salah, Bu. Ini rumah Mbah Marijan, mbahnya Yana. Calon istriku," ucap Arif tersenyum kepada ibunya."Kamu itu, ya, ibu pikir kamu bakalan nikah sama anak ningrat atau anak pejabat, eh … taunya sama orang susah, rumahnya aja jelek begini," Bu Wongso cemb
"Terima kasih, Pak! " Jawab Arif tersenyum bangga.Di perjalanan pulang kerja, Arif membeli buah tangan untuk Istrinya.Arif bersiul bahagia dikarenakan, di kantor sedang ada kenaikan jabatan bagi karyawan yang disiplin, rajin, dan bisa menyelesaikan laporan dengan baik."Assalamualaikum." Arif mengucap salam."Wassalamu'alaikum, Mas … sudah pulang?" Yana menyambut Arif di depan pintu. Lalu mengambil tas kerja Arif dan mencium punggung tangan suaminya dengan takzim."Aku mau cerita sesuatu," ujar Arif menuntun Yana ke dalam kamar."Ada apa, Mas?" Yana tampak bingung dengan sikap Arif."Kamu tau, Sayang? Laporan yang kamu kerjakan, diterima bos. Dan katanya laporan mas sangat rapi. Besok adalah penetapan karyawan yang akan di naikkan jabatannya di kantor. Mas berharap, mas bisa naik jabatan." ujar Arif tersenyum dan memeluk istrinya."Benarkah, Mas? Aamiin … semoga mas naik jabatan," ujar Yana antusias "Mas belikan ini, buat kamu!" Arif memberikan sebuah paper bag kepada Yana."Apa in
"Bu, aku istrinya Mas Arif, lalu apa permasalahannya jika Arif berbuat baik padaku? Bukankah memang kewajiban suami berbuat baik pada Istrinya?" tanya Yana menatap mertuanya. "Tapi, aku ini ibunya! Aku yang melahirkan dia, membesarkan dia, dan menyekolahkan dia sampai sukses seperti itu. Kamu hanya orang asing, yang datang dengan seenaknya merebut Arif dariku!" ujar Bu Wongso. "Aku tidak pernah merebut Mas Arif dari Ibu! Kalau memang pemikiran ibu seperti itu, lalu mengapa ibu mengizinkan Mas Arif untuk menikahi ku?" Yana sudah tidak tahan, Yana mengurungkan niatnya untuk masuk kamar dan berdiri menatap mertuanya. "Itu karena Arif memohon padaku. Tapi yang harus kamu tau, aku tidak pernah merestui pernikahan kalian!" Bu Wongso berlalu begitu saja meninggalkan Yana. Yana masuk ke dalam kamar. Dila sepertinya mengantuk karena terlalu lama menangis. "Kamu yang sabar ya, Sayang … semoga nenekmu cepat mendapat hidayah," gumam Yana di dalam hati. Yana membelai wajah mungil Dila. Hanya
Fitnah lagi Yana kembali menekuni jualan Onlinenya, kali ini dengan cara yang berbeda. Yana meminta kurir untuk tidak lagi mengantar paket Yana Ke rumah mertuanya, karena Yana sendiri yang akan menjemput ke kantor Jasa pengiriman. [Mas, mulai sekarang, jangan antar paket kerumah lagi, ya. Saya akan menjemput paketnya ke kantor sendiri,] [Kenapa, Mbak? pelayanan kami kurang bagus, ya?] [Bagus kok, saya cuma pengen jemput ke kantor aja] [Oke deh, kalau ada paket Mbak Yana, akan saya chat,] Yana bernapas lega. Ibu mertuanya tidak akan bisa lagi mengusik bisnisnya. Disisi lain, Bu Wongso merasa heran karena tidak ada lagi tamu yang datang kerumah untuk mengambil paket. "Sukurin tuh Yana, bangkrut juga akhirnya." gumam Bu Wongso di dalam hati. Sore itu, Bu Wongso menghadiri acara arisan RT tempat tinggalnya. Bu Wongso melihat ibu-ibu tetangganya berwajah glowing. "Wah, ibu-ibu wajahnya udah pada glowing aja, perawatan mahal, ya?" tanya Bu Wongso kepada ibu-ibu yang hadir di sana.
Pulang kerumah Mbah Yana meminta tukang ojek untuk mengantarkannya ke terminal kota, Yana Naik Bis menuju Kota Pati. Sepanjang perjalanan, Yana larut dalam lamunan. Tidak menyangka sama sekali, Arif kembali berbuat kasar, setelah kemaren meminta maaf padanya. Yana sampai di halaman rumah yang sederhana dan asri, Yana tercenung sesaat. Sudah 2 tahun Yana tidak kemari, tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama. Yana melangkahkan mendekati rumah tersebut. "Assalamualaikum," ucap Yana memberi salam. "Walaaikumsalam," jawaban dari dalam rumah yang sudah bisa Yana tebak, siapa pemilik suara itu. Terdengar langkah tertatih dari dalam, membuka daun pintu, dan terkejut melihat kehadiran Yana. "Yana, Cucuku ...." Si Mbah menjatuhkan sayuran yang berada ditangannya. "Mbah ...." Yana memeluk Si Mbah dengan deraian air mata. "Ya Allah Gusti, bagaimana kabarmu, Nduk?" Si Mbah mencium pipi Yana berkali-kali. "Alhamdulillah, Baik, Mbah." Yana mengusap air matanya yang jatuh. Dila terbangun
DijemputPagi itu, Yana membantu Si Mbah menyusun keranjang sayuran. Sejujurnya, Yana merasa sedih, karena tidak bisa membalas Budi kebaikan Si Mbah selama Yana tinggal di sana sebelum menikah."Nduk, biar Mbah aja yang nyusun sayurannya. Kamu temani Dila main aja." Ujar Si Mbah mengelus punggung Yana."Nggak apa-apa, Mbah. Yana rindu dengan pekerjaan ini," ujar Yana sembari tangannya terus menyusun sayuran.Terdengar suara pintu di ketuk."Assalamualaikum,""Waalaikumsalam," jawab Yana dan Si Mbah berbarengan. Yana membuka pintu, dan sangat kaget, karena Arif telah berdiri di depan pintu dengan wajah lelah."Alhamdulillah, kamu ada di sini, Dek!" ujar Arif sembari memeluk Yana dengan erat. Yana hanya tercenung. Tidak merespon pelukan Arif."Papa ... Papa ... " Dila berjalan menyongsong Arif dengan sumringah."Anak papa, Sayang ... Papa kangen," ujar Arif memeluk dan mencium Dila bertubi-tubi."Dek, pulang yuk, maafkan Mas, Mas khilaf. Mas janji, nggak akan mengulanginya lagi," ujar A