Jari jemari manis Rachel begitu lihai dalam menata rambutnya yang panjang. Ia bergegas mengemasi pakaiannya dan memasukkannya ke dalam koper.
"Pa, ma, maafin Rachel, ya. Rachel terpaksa harus pergi dari rumah ini. Maafkan Rachel yang tak mau menuruti keinginan papa dan mama," ucap Rachel mencium foto keluarganya itu.
Selembar kertas ia letakkan di meja sebagai pengganti ucapan perpisahan untuk kedua orangtuanya. Secara perlahan, Rachel menoleh ke sana kemari dan mulai melangkah mengendap-endap seperti maling di rumahnya sendiri. Kedua matanya berputar dan memastikan kalo situasinya sedang berpihak padanya.
"Syukurlah, mereka belum bangun. Aku harus cepat-cepat meninggalkan rumah ini," gegas Rachel keluar dari rumah.
Tepat jam 09.00 WIB, Semua orang bersiap untuk menjamu tamu dari pihak laki-laki yang akan melamar Rachel.
Semua keluarga Rachel begitu kompak dalam mengenakan pakaian yang sudah disediakan oleh keluarga konglomerat tersebut. Banyak bunga tertata indah di halaman rumah untuk menyambut keluarga laki-laki.
"Pa, gimana? Mama cantik?" tanya mama yang membuat papa tersenyum senang.
"Beautiful!" puji papa memegang kedua pundak istrinya tersebut.
"Thank you, Pa!" ucap mama memeluk papa dengan erat.
"Oiya, Ma. Coba Mama panggil Rachel, satu jam lagi mereka akan datang, lho!" Papa yang melepas pelukan hangat istrinya itu.
"Iya, Pa. Pasti anak kita masih berdandan. Papa tau kan, dia berdandan berapa lama?" ucap mama dengan bangganya.
"Maka dari itu, Mama harus bantu dia agar cepat selesai."
"Ok, Pa!" ucap mama pergi meninggalkan suaminya.
"Akhirnya hari ini aku bisa memenuhi pesan terakhir dari ibu," kata papa membenarkan jasnya sembari tersenyum ke arah kaca rias yang terletak di kamar.
Dengan jalannya yang sexy, mama Gina mengetuk-ngetuk pintu kamar putrinya.
"Sayang, sudah siap belum?" teriak mama Gina.
"Bentar lagi keluarga Angkasa datang, lho!" kata mama mengernyitkan dahinya ketika tak ada jawaban.
"Kok tak ada jawaban?" tanyanya seorang diri.
"Mama masuk, ya?"
Ceklek
Kedua mata mama berputar melihat kamar putrinya yang nampak sepi dan sunyi. Lampu kamar masih menyala, kamar tidur juga masih tertata rapi.
"Rachel, kamu masih mandi?" seru mama berjalan menuju kamar mandi.
"Tak ada? Kemana dia?" tanya mama bingung.
"Rachel..." teriak mama mencari keberadaan putrinya.
Sesaat, langkahnya terhenti ketika melihat selembar kertas yang tergeletak di meja rias.
"Apa ini?" Mama mulai membaca secarik kertas yang memang tertuju untuknya.
"Dear Papa dan Mama,
Pa, ma, maafin Rachel harus menulis surat ini untuk mama dan papa. Maaf beribu maaf, Rachel akan selalu mengucap kata-kata ini untuk mama dan papa. Rachel tidak bisa memenuhi keinginan papa dan mama. Rachel belum siap untuk menikah di usia muda. Maafkan Rachel jika tidak bisa menuruti keinginan Nenek.
Salam anakmu,
Rachel"
"Papa..." teriak mama yang mengguncang seisi rumah tersebut.
Sejenak, pak Dirga menoleh ke arah suara yang membuatnya terkejut.
"Ada apa mama ini?" tanya papa bergegas menuju ke kamar Rachel yang letaknya tak jauh dari kamarnya.
Semua keluarga berkumpul terdiam seraya tak percaya jika Rachel akan pergi di hari pertunangannya.
"Gimana nih, Pa?" tanya mama bingung.
"Apa maksud Rachel pergi begitu saja, Kak?" sahut tante Sera sembari menopangkan kedua tangan di dada.
"Iya, bagaimana jika keluarga Angkasa tau kalo Rachel kabur dari rumah?" sahut tante Nia yang melihat kakaknya terdiam seribu bahasa.
"Anak itu, bisa-bisanya dia pergi di hari pertunangannya ini. Apa yang ada di pikirannya? Apa dia tidak tau, betapa besarnya harapan kita, jika dia menikah dengan putra keluarga Angkasa itu," sahut om Lukman kesal.
"Diam kalian!" gertak pak Dirga yang membuat semua tak berkutik.
****
Dengan penampilan yang begitu perfect, Satria mulai melangkah menghampiri mamanya yang sudah bersiap untuk melamar gadis pilihan Omanya.
Dengan senyum tipis, ia mulai menuruni anak tangga yang menjulang tinggi di rumahnya.
"Wah, sayang. Kamu tampan sekali!" puji Mama Rita.
"Thanks, Ma," ucap Satria singkat.
"Sejak bekerja di Bogor, kamu terlihat begitu tampan," puji mama Rita mengusap bahu putranya yang begitu gagah.
Satria hanya tersenyum tipis menyikapi perkataan mamanya itu.
"Sayang, makasih, ya? Karena kamu sudah mau menerima perjodohan ini. Ngomong-ngomong , tak ada yang terluka 'kan? Dengan perjodohan ini?" tanya mama seraya memegang tangan putranya.
"Kapan kita berangkat?" tanya Satria mengalihkan pembicaraan sembari melihat arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Sekarang kita berangkat!" sahut papa berjalan menghampiri mereka dengan senyum yang menawan.
Sesaat, Satria melirik raut wajah kedua orangtuanya yang terlihat begitu bahagia. Seorang menantu memang keinginan mereka sejak dulu.
Tapi, karena sifat Satria yang angkuh, dingin, cuek dan hanya memikirkan perusahaannya membuat ia kesulitan untuk mencari pasangan hidup. Tepat usianya yang menginjak 29 tahun, akhirnya ia mau memenuhi keinginan dari keluarganya. Menikah dengan salah satu cucu sahabat dari omanya.
"Pa, apa Papa sudah mempersiapkan semuanya?" tanya mama berjalan seraya menggandeng tangan putranya.
"Mama tenang saja, papa sudah menyuruh orang untuk mengaturnya," jawab papa tersenyum senang dan mulai memasuki mobilnya.
"Syukurlah," lirih mama memandang putranya yang begitu acuh.
"Sayang, jika nanti kamu sudah menikah. Tolonglah, sifat acuh dan jutek kamu dihilangkan. Kasian istri kamu nanti," pinta mama dengan hati-hati.
"Kalo dia mau menerima perjodohan ini, seharusnya dia mau menerima Satria apa adanya, Ma!" kata Satria membuka kacamata hitamnya dan masuk ke mobil.
"Anak ini," keluh mama yang ikut masuk mobil.
Drt ... Drt ...
Satria mulai mengangkat telepon dari salah satu dari kliennya.
Mama Rita yang duduk disampingnya, hanya tersenyum senang melihat putranya yang terlihat begitu perfect.
"Siapa, Sat?" tanya mama penasaran.
"Pa, Ma, kayaknya Satria tidak bisa ikut ke sana? Ada sedikit masalah yang harus Satria bereskan," kata Satria mengejutkan kedua orangtuanya.
"Trus, bagaimana dengan pertunangan kamu, Sayang?" tanya mama cemas.
"Iya, Sat. Lagian di sana 'kan, ada Dinda yang menghandle semua," sahut papa menoleh ke belakang.
"Masalahnya clien yang satu ini tidak mau ada yang mewakilkan dalam meeting. Papa dan Mama tenang saja, pertunangan ini akan tetap berjalan. Pokoknya Satria serahkan semuanya pada Papa dan Mama."
Satria mencium punggung tangan mama dan papanya secara bergantian untuk berpamitan. Ia bergegas keluar dari mobil dan berlari menghampiri mobil jeep miliknya.
"Apa mereka tidak kecewa, jika Satria tidak ikut?" tanya mama seraya mengernyitkan dahinya.
"Semua akan baik-baik saja. Mama tak perlu khawatir, mereka akan menerimanya," ucap papa meraih tangan istrinya yang lembut.
"Semoga saja begitu. Mama takut jika mereka kecewa dan tak mau menikahkan putrinya," kata mama memanyunkan bibirnya.
"Mereka tak berhak memutuskan. Mama pindah di depan, ya? Papa tidak mau sendirian," pinta papa dengan senyum manisnya.
Di dalam bus arah Bogor, Rachel mulai terbangun dari tidurnya.
Kedua bola matanya yang indah, hidungnya yang mancung membuat kaum adam yang ada di dalam bus tersebut terpesona akan kecantikannya.
Sesaat, ia mengernyitkan dahinya ketika melihat ada beberapa orang yang tersenyum ke arahnya.
"Kenapa mereka tersenyum-senyum seperti itu?" gumam batinnya memilih untuk melihat pemandangan alam yang terlihat dari luar jendela yang ada di bus.
Tanpa sepengetahuan Rachel, ibu-ibu yang duduk di sebelahnya. Diam-diam mengambil dompet miliknya. Senyum tertoreh, ia tujukan pada ibu copet yang juga tersenyum kepadanya.
Sesampai di pertigaan, Rachel turun dari bus. Ia mencoba menghubungi sahabatnya untuk segera menjemputnya.
"Sambil menunggu Intan, lebih baik aku beli camilan buat dia. Aku yakin dia pasti menyukainya," gegasnya menuju minimarket yang tak jauh dari tempat itu. Dua keranjang barang belanjaan Rachel bersiap untuk mengantri di kasir.
Di perjalanan, Satria merasa tenggorokannya sangat kering. Ia menghentikan mobilnya dan bergegas membeli sebuah minuman di minimarket.
Sesaat langkahnya terhenti, ketika melihat ada gadis cantik yang membuat antrian panjang di kasir tersebut. Ya, gadis itu adalah Rachel. Rachel bingung mencari dompet yang tidak ia temukan di saku dan di tas kecilnya.
Satria mendesah dan berjalan ke arah kasir.
Kedua mata Rachel mengerling ketika ada orang yang mau membayar belanjaannya.
"Berapa semuanya? Biar saya yang bayar," tutur Satria yang mengagetkan Rachel.
"Semuanya satu juta lima ratus, Pak."
"Sekalian sama minuman ini," tukas Satria menunjukkan minuman yang ada di tangannya.
"Wait! Siapa kamu? Kenapa kamu membayar belanjaan saya?" tanya Rachel penasaran dan tak sengaja memegang tangan kiri Satria yang ada di sampingnya.
Sesaat, Satria melirik tubuh Rachel dari atas sampai bawah. Rachel seakan tak mampu menegak salivanya sendiri.
Dengan cepat, ia melepas tangannya dan mengucapkan kata maaf.
"Anak manja!Jika tak mempunyai uang, jangan jajan di sini!" Satria yang pergi meninggalkan Rachel begitu saja. Rachel hanya mendesah dan tak habis pikir, dengan perkataan Satria kepadanya.
"Sialan, bisa-bisanya dia mengatai diriku anak manja. Siapa dia?"gumam batin Rachel greget melihat Satria yang menghilang dari hadapannya.
"Anak manja! Jika tak mempunyai uang, jangan jajan di sini!" Satria yang pergi meninggalkan Rachel begitu saja. Rachel hanya mendesah dan tak habis pikir, dengan perkataan Satria kepadanya. "Sialan, bisa-bisanya dia mengatai diriku anak manja. Siapa dia?"gumam batin Rachel greget melihat Satria yang menghilang dari hadapannya. Intan Prameswari, sahabat Rachel yang berbadan besar. Ia telah tiba di tempat di mana mereka janjikan. Kedua matanya berputar mencari keberadaan sahabatnya itu. Tubuhnya yang besar, membuat dirinya tak berhenti mengipas-ngipaskan kertas ke arah wajahnya. "Aduh, kemana dia? Katanya sudah ada di sini, tapi kok nggak ada?" ujar Intan terkejut saat ada orang yang secara tiba-tiba menepuk pundaknya. "Eh, copot!" ucap Intan dengan latah. Rachelpun tertawa begitu renyahnya melihat kelucuan sahabatnya itu. Hampir setahun ia tak bertemu langsung dengan Intan. Komunikasi jarak jauh adalah alat yang mem
"What? Kecopetan? Yang bener? Kamu nggak becanda 'kan?" cecar Intan memastikan. "Maaf, Tan. Emang itu kenyataannya," jawab Rachel tertunduk seraya memayunkan bibirnya. "Oh My God!" teriak Intan yang membuat Rachel dengan cepat menutup kedua telinganya. Rasanya seperti petir yang menyambar di siang hari. Rachel hanya memayunkan bibirnya seraya meremas-remas bajunya. Ia hanya menatap Intan yang terlihat begitu kecewa padanya. Tatapan mata Intan yang tajam, membuatnya memilih untuk menundukkan kepala. Jantungnya berdetak kencang saat hentakan kaki sahabatnya mulai berjalan menghampirinya. "Kalo kamu tidak punya uang, bagaimana kamu hidup di sini?" kata Intan yang mengejutkan Rachel. "Udahlah, Tan. Jangan marah gitu! Serem tau!" pinta Rachel memegang tangan sahabatnya itu. "Aku pusing, Chel. Bagaimana caranya aku membayar kontrakan ini? Jika aku tak membayarnya sekarang, bisa-bisa kita akan terusir dari sini dan menjad
"Jangan bercanda deh, Tan? Bagaimana kamu menyuruhku untuk mengontrak sendiri di saat aku tak punya uang?" Rachel memanyunkan bibirnya. Ia tak bisa bayangkan jika ia hidup seorang diri tanpa uang sepersenpun. Gelak tawa Intanpun pecah melihat kelucuan sahabatnya itu. Rachel mengernyit memicing menatap Intan yang benar-benar menguji kesabarannya. Tepukan keraspun melayang di bahu Intan. Buk "Apaan sih? Sakit tau nggak?" keluh Intan memegang bahunya. "Kamu 'tuh yang apa-apaan! Bisa-bisanya kamu menggodaku seperti ini," kata Rachel kembali menatap wajahnya ke arah kaca kecil yang masih ada di tangan kirinya. Intan hanya tersenyum tipis melihat sahabatnya yang dari dulu tidak berubah. Selalu membawa kaca kesayangannya ke manapun pergi. "Rachel-Rachel, berapa tahun kaca ini bersama kamu?" tanya Intan meledek sembari menunjuk kaca jadul itu. "Apaan, sih!" ujar Rachel memasukkan kacanya kembali.
"Ya Tuhan, kenapa aku harus bertemu dengannya lagi?" gumam batin Rachel mendesah dan melangkah pergi meninggalkan kantor tersebut. Di ruang kerjanya, Satria menyandarkan kepala seraya menopangkan kedua kakinya tepat di atas meja. Perlahan, Ia mulai mengendorkan dasinya. Ia mendesah sebal jika teringat perkataan mamanya yang selalu membahas tentang calon tunangannya. "Siapa cewek itu? Berani-beraninya, dia malah kabur di hari yang sangat spesial," desah Satria memejamkan matanya sejenak. "Untung saja, para wartawan tidak tau masalah ini. Jika ada salah satu media mengetahuinya, mau taruh dimana mukaku ini," gerutu Satria beralih berdiri seraya mondar-mandir ke sana kemari dengan kedua tangan yang memegang pinggangnya. "Mama juga, kenapa nggak dibatalkan saja pertunangan ini? Kenapa malah di tunda segala? Secara tidak langsung, cewek itu menolakku secara mentah-mentah," ucap Satria geram. Tok tok tok Satria menoleh.
"Rachel? Benarkah itu dia?" tanya batin Darwin menyeringai melihat wanita yang wajahnya sama persis dengan mantan kekasihnya itu. Kedua matanya terbelalak kaget saat Rachel menoleh ke arahnya. "Rachel? Benarkah itu dia?" tanya batin Darwin menyeringai melihat wanita yang wajahnya sama persis dengan mantan kekasihnya. Sesaat, senyum Darwin memudar ketika wanita yang ia kira Rachel adalah orang lain. "Hah, bicara apa aku ini. Mana mungkin dia ada di sini? Apalagi sebentar lagi dia akan menikah dengan orang lain," gumam batin Darwin memakai kacamatanya kembali. "Papa Darwin liatin apa?" tanya anak kecil tersebut yang bernama Olivia, putri dari atasannya. "Ti-dak. Om Darwin hanya melihat kucing sedang menyeberang jalan," jawab Darwin berbohong. Sesaat, Darwin mengkode Olivia untuk diam. Dia tak mau, jika at
Sesaat, kedua matanya mengerling saat nama Darwin menelpon dirinya. "Darwin?" tanyanya terkejut.Sesaat, kedua matanya mengerling saat nama Darwin menelpon dirinya. "Darwin?" tanyanya terkejut. Seketika, ia mematikan ponselnya. Ia tak mau berbicara ataupun mendengar suara dari Darwin. Ia ingin melupakan semuanya. Perlahan, ia merebahkan tubuhnya kembali seraya mendekap guling membelakangi Intan. Ia mulai memejamkan matanya kembali. Intan melirik sahabatnya yang terlihat muram dan tak bersemangat. "Chel," lirih Intan mencoba menggagalkan tidur sahabatnya itu. "Hem," lirih Rachel dengan mata yang masih tertutup. "Bagaimana? Apa kamu di terima?" tanya Intan penasaran. Saking penasarannya, ia beralih untuk duduk dan membangunkan Rachel. "Apaan, sih?" rengek Rachel dengan malesnya. "Cerita dulu, bagaimana apa kamu ket
"Kenapa bengong?" tanya Satria seraya menopangkan kedua tangan di dada. "Serius?" tanya Dinda seakan tak percaya. "Kalian tau, saya tak suka mengulang perkataan saya lagi," ketus Satria. "Ya, Pak!" jawab mereka serempak. "Let' go!" kata Satria membalikkan badannya dan terkejut saat suara teriakan tertuju padanya. "Pak Satria," teriak mereka serempak. Brak! Semua mata tertuju pada CEO yang terjatuh dan tertindih oleh cleaning servis tepat di atasnya. Ya, siapa lagi kalo bukan Rachel. Rachel tak berhenti berkedip ketika semua orang menatap dirinya dengan wajah yang terlihat begitu syok. Tangannya gemetar, ia melepas lap dan alat pembersih kaca itu dari tangannya. Jantungnya berdetak begitu kencang saat ia berada tepat di atas tubuh seseorang. "Kenapa kalian diam saja! Singkirkan orang yang menindihku ini!" ketus Satria dengan posisi yang tengkurap dan tak tau kalo seoran
"Tapi, kenapa aku merasa mengenal postur tubuh cleaning servis itu.Trus, kenapa dia terdiam saat aku bertanya padanya? Apa aku mengenalnya?" katanya berpikir sejenak. Iapun melangkah pergi meninggalkan ruang kerjanya. Tanpa senyum, pandangan yang lurus membuat Satria tak merespon Dinda yang bertanya kepadanya. "Mau kemana? Tumben, dia pergi tak memberitahuku dulu? Apa mungkin, dia akan pulang? Tapi, jika dia pulang sekarang bukan Satria namanya. Dia 'kan, selalu pulang kerja di saat semua staf kantor pulang," gumam Dinda berpikir sejenak dan merapikan kembali laporan yang tertumpuk di meja kerjanya. Satria menuju ruang cctv yang letaknya dekat dengan receptionist. Ia berniat untuk melihat siapa cleaning servis yang menimpanya itu. Pikirannya selalu ada tanda tanya tentang cleaning servis itu. Ceklek! Suara pintu ruang cctv membuat dua karyawan yang bertugas di sana terkejut ketika atasannya berdiri dengan wajah yang