Share

Hukum Tak Memihak Si Miskin

Ketika mendengar perintah penahanan itu, Hanzel langsung meloncat turun dari tempat tidurnya. Ia sangat terkejut. Bagaimana bisa seorang korban pelecehan yang hendak melaporkan kasusnya malah ditahan atas tuduhan pembunuhan? Ia korban, bukan pelaku!

“Aku tidak melakukan apapun! K-Kalian tidak berhak menahanku!” seru Hazel.

Melihat Hazel terlihat panik, Handika langsung berdiri dari kursinya. Pria itu menatap ke arah Hazel. Tidak ada yang bisa dilakukan olehnya ketika seorang polisi membawa surat penahanan yang sah.

“Kami sudah memeriksa TKP. Kami menemukan sebuah surat yang dapat dijadikan bukti bahwa anda terlihat dalam kasus pembunuhan korban R!” jelas polisi itu.

Dua orang polisi lainnya langsung berlari ke arah Hazel. Mereka melakukan hal yang sama seperti Casey tadi, yaitu memborgol kedua tangan Hazel dengan plastic handcuffs.

Dua orang itu langsung mendorong tubuh Hazel dan memaksanya untuk keluar dari ruangan itu. Mereka hendak membawa Hazel ke mobil polisi mereka untuk membawanya ke kantor pusat yang ada di pusat kota.

"Handika, sebaiknya anda kembali ke kantor! Sebelum kasus ini diselidiki lebih lanjut, jangan sebarkan rumor apapun di lapas," perintah polisi itu.

Handika mengangguk setuju. Seperti yang sudah diperintahkan olehnya, ia segera kembali ke tempatnya bertugas, yaitu di lapas atau tempat untuk membina narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

Handika menuju ke arah motor matic yang ia parkir di halaman depan. Ia pikir para polisi sudah membawa pergi Hazel, tetapi mobil polisi yang ditumpangi Hazel masih terparkir rapi di halaman. Dari tempat parkir motornya, Handika bisa melihat wajah Hazel dari kaca mobil.

Dari kejauhan Hazel tampak sedang menundukkan kepalanya. Tidak banyak yang Handika lihat karena beberapa helaian rambut Hazel menutupi wajah perempuan itu. Dengan berat hati Handika kembali ke lapas untuk bekerja. Sejujurnya Handika ingin mengikuti proses penyelidikan kasus yang menimpa Hazel. Sayangnya Handika bukan detektif, jadi ia tidak diperbolehkan untuk mengunjungi TKP kasus tersebut.

***

Sesampainya di kantor polisi di pusat kota, Hazel dituntun oleh dua orang polisi ke ruang interogasi. Tentunya kedua polisi tersebut membawa Hazel secara paksa dengan cara mendorong-dorong tubuh perempuan itu. Meskipun Hazel sudah tidak membantah lagi, tetapi mereka tetap memperlakukan Hazel dengan kasar.

"Duduk dengan tenang dan tunggu seorang detektif menginterogasimu!" seru salah satu polisi dengan suara lantangnya.

Hazel didorong ke tempat duduk yang di depannya ada sebuah meja dari besi. Wanita itu sempat hampir terjatuh ke belakang karena perlakuan kasar dari polisi yang menangkapnya.

Setelah Hazel duduk di salah satu kursi di ruangan itu, kedua polisi tadi segera meninggalkannya. Tugas mereka sudah selesai dan kini Hazel diminta untuk menunggu seorang detektif untuk menanyainya dengan beberapa pertanyaan soal kasus itu.

Kini hanya tinggal Hazel sendirian di ruangan sempit itu. Ia sempat mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ruangan itu cukup sempit dan hanya diisi dengan dua kursi yang saling berhadapan tetapi dibatasi oleh satu meja besi berbentuk persegi panjang. Di salah satu dinding ruangan itu terdapat sebuah cermin yang luas.

Hazel bukan orang bodoh. Ia cukup tahu jika cermin itu adalah cermin dua arah. Orang yang berada di seberang ruangan itu bisa melihat apa yang dilakukan Hazel. Mereka pasti memantau Hazel dari ruangan yang lainnya.

Setelah menunggu sekitar lima menit lamanya, akhirnya seorang detektif datang. Pria berkumis yang bertugas untuk menginterogasi Hazel itu langsung duduk di kursi yang berseberangan dengannya. Sebelum mengajukan pertanyaan, ia sempat mengeluarkan voice recorder dan menekan tombol rekam untuk bukti dokumentasi dengan terduga kasus pembunuhan itu.

"Seperti yang sudah anda ketahui, alasan anda berada di sini adalah dugaan kasus pembunuhan yang menimpa korban Rendra, pria berusia 32 tahun. Apa yang anda lakukan di kediaman korban kemarin malam, tepatnya tanggal 3 Maret 2023?” Pertanyaan pertama diajukan oleh detektif itu.

Hingga satu menit lamanya, tidak ada sahutan dari Hazel. Wanita itu hanya diam dengan kepala yang tertunduk. Ia rasa tidak ada yang perlu dijawab.

"Nona, jangan menghambat penyelidikan kami. Jika anda ingin mendapatkan keringanan hukuman, tolong bekerja sama dengan kami selama proses penyelidikan!” bentak detektif itu.

Hazel sempat terperanjat saat mendengar bentakan dari detektif yang sedang menginterogasinya itu. Karenanya, Hazel berani menegakkan kembali kepalanya untuk menatap lawan bicaranya itu.

"Aku hendak mencari ibuku. Aku bukan pembunuh, tetapi aku adalah korban, Pak!” seru Hazel.

Detektif itu diam. Ia memberi kesempatan bagi Hazel untuk berterus-terang sebab Hazel terlihat sedang menarik napasnya dalam-dalam sebelum ia kembali berbicara.

"Dia melecehkanku! Aku tidak membunuhnya, tetapi aku mencoba membela diriku sendiri, Pak! Kenapa aku harus ditangkap untuk itu? Aku korban!” teriak Hazel.

Hazel tidak mampu menahan air matanya lagi. Kini ia kembali menangis. Rasanya seperti jatuh lalu tertimpa tangga. Kesialannya menjadi berlipat ganda. Ia sudah kehilangan martabatnya, dan sekarang ia dituduh sebagai pembunuh.

"Anda bukan korban, tetapi adalah pelaku. Jujur saja, hubungan kalian adalah suka sama suka, lalu korban R tak sengaja melakukan kesalahan dan anda marah," tuduh detektif itu tak percaya dengan penjelasan Hazel.

Detektif itu berkata demikian sebab bukti di TKP mengarah pada Hazel sebagai pembunuhnya. Banyak sidik jari Hazel tertinggal di lampu tidur dan pecahan cermin yang menjadi senjata untuk menghabisi nyawa Rendra. Ditambah dengan ditemukannya surat perjanjian Hazel yang menuntut Rendra untuk memberikan semua kekayaannya ketika mereka menikah nanti. Itu menjadi barang bukti dari kasus tersebut.

"Aku tidak menulis apapun!” Tak terima dituduh, Hazel langsung mengelak ucapan detektif itu.

"Surat itu berlumuran darah dan terdapat sidik jari anda, Nona. Bukankah anda memaksa korban R untuk menandatangani surat perjanjian itu sebelum anda menghabisinya dengan membabi buta?” Lagi-lagi detektif itu menuduh Hazel.

Hazel menggelengkan kepalanya. Tubuhnya seketika lemas. Ia baru saja difitnah. Tidak ada surat perjanjian yang dibuat olehnya. Ia tidak butuh uang, yang ia butuhkan adalah keadilan!

"Dari laporan beberapa saksi, anda dan korban R memang sudah berhubungan sejak lama. Bahkan korban R sudah meminta izin untuk menikahi anda, tetapi anda memberikan syarat kepada korban R perihal harta," ujar detektif itu.

Hazel benar-benar lemas. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sebab ia hampir kehilangan kesadarannya ketika tuduhan demi tuduhan dilontarkan kepadanya.

Detektif itu mematikan voice recorder-nya. Ia lalu berdiri, tetapi masih diam di tempatnya. Ia menatap Hazel yang sedang tertunduk dan menangis itu.

"Anda berhak mendapatkan pengacara selama kasus ini diselidiki. Hukuman yang akan anda terima tergantung dengan pembelaan logis, bukan sekedar pengakuan dusta," ujar detektif itu sebelum meninggalkan Hazel sendirian.

Setelah pintu besi itu kembali tertutup, Hazel menangis sejadi-jadinya. Tidak pernah terbayangkan olehnya ia akan dituduh sebagai seorang pembunuh setelah melakukan pembelaan atas pelecehan yang menimpanya. Sekeras apapun tangisan Hazel, tidak akan ada yang mengasihi atau menolongnya.

***

Seperti yang sudah dikatakan detektif lima jam yang lalu, Hazel benar-benar mendapatkan seorang pengacara. Kini pengacara itu sedang duduk di hadapan Hazel yang masih menundukkan kepalanya.

"Nona Hazel, saya tidak bisa membantu jika anda terus-terusan diam seperti ini. Bagaimana saya bisa menolong anda jika anda tidak memberikan saya clue sedikitpun?” tanya pengacara itu.

Sudah lebih 30 menit Hazel hanya diam saja. Pengacara itu sudah berulang kali bertanya kepada Hazel, tetapi kliennya itu masih setia menutup mulutnya rapat-rapat.

"Nona, jika saya tidak diminta langsung untuk membantu anda, maka saya lebih memilih untuk diam di rumah menikmati waktu libur saya," kata pengacara itu.

Tanpa disadari, Hazel diam-diam tersenyum miring setelah mendengar perkataan pengacara di depannya. Belum memberikan pembelaan saja respons pengacara itu membuatnya kecewa.

Sehina itukah orang miskin di mata hukum di negaranya? Orang-orang itu bahkan tidak memberikan kesempatan bagi Hazel untuk menenangkan dirinya. Ia masih terlalu shock untuk menerima kenyataan itu.

"Nona, apa anda tahu hukuman apa yang mungkin akan anda terima jika kalah dalam pengadilan?” tanya pengacara itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status