Share

Skenario Pembunuhan

Setelah menuduh, wanita itu langsung berlari ke arah Hazel. Bersamaan dengan langkah kakinya itu, ia merogoh saku belakang celananya untuk mengambil sesuatu. Rupanya wanita itu menyimpan sebuah gunting kain lalu menodongkannya ke arah Hazel.

“Hei!” teriak Handika sambil berlari ke arah Hazel.

Di waktu yang bersamaan, satu-satunya polisi yang berjaga di sana langsung berlari ke arah wanita itu. Ia hendak mencegah wanita itu sebelum bertindak nekat, sementara itu Handika berusaha melindungi Hazel.

“Ough!” pekik Handika.

Handika memang berhasil mengamankan Hazel dengan cara menarik wanita itu ke belakang tubuhnya, tetapi ia terpaksa harus mengorbankan dirinya sendiri. Wanita yang tiba-tiba datang tadi terlanjur menghunuskan guntingnya hingga melukai lengan bawah Handika. Gunting itu cukup tajam, jadi ketika wanita itu menusukkannya dengan kuat, benda tajam itu sanggup merobek kulit lengan Handika.

“Bersembunyi di belakangku,” perintah Handika sembari berdiri di depan Hazel agar tubuh wanita itu sepenuhnya tertutup oleh dirinya.

Hazel menurut perintah Handika. Wanita itu bersembunyi di belakang tubuh Handika sambil menautkan jemarinya yang mulai berkeringat. Dengan perasaan takut, Hazel memandangi punggung tegap Handika di depannya. Hazel tidak bisa membohongi perasaannya sendiri jika saat ini ia sangat ketakutan. Ia takut ketika orang lain menuduhnya sebagai pembunuh sementara ia adalah korban pelecehan yang ingin membela diri.

"Aku bukan pembunuh," batin Hazel.

Berulang kali Hazel membatin dan berpikir jika tindakannya itu bukanlah hal yang salah. Seorang pelaku pelecehan pantas mendapatkannya. Lagipula Hazel sudah memberi pilihan kepada Rendra, tetapi pria itu tidak mau mendengarkannya.

“Nyonya, tenanglah dulu!” teriak polisi itu karena panik dengan penyerangan yang menimpa temannya.

“Bagaimana aku bisa tenang?! Wanita sialan itu telah berani menghabisi nyawa suamiku! Suamiku mati dengan kondisi yang mengenaskan!” jerit wanita itu dengan histeris.

Wanita itu menangis sejadi-jadinya sambil berusaha menerjang ke arah Hazel. Karena tidak mau hal buruk yang lain terjadi, polisi yang bertugas itu segera memborgol kedua tangannya. Ia mengunci pergerakan wanita itu agar tidak lagi menyerang Hazel ataupun melukai Handika yang berniat melindunginya.

“Kenapa aku yang ditangkap?! Seharusnya dia! Dia seorang pembunuh! Jangan tertipu dengan wajah polosnya itu. Dia itu wanita jalang sekaligus pembunuh!”

Meskipun kedua tangan wanita itu sudah diborgol, tetapi ia terus saja berusaha untuk memberontak.

Wanita itu adalah istri Rendra. Ia baru saja kembali dari kediamannya yang ada di pusat kota. Ketika ia pulang ke rumah Rendra yang ada area di pemukiman miskin itu, ia dibuat terkejut ketika mendapati kondisi suaminya sudah tak lagi bernyawa.

Casey —nama istri Rendra— hampir pingsan ketika menyaksikan kondisi terakhir suaminya itu. Ia menangis saat melihat perut Rendra robek dan mengeluarkan banyak darah. Meskipun cukup mengerikan, Casey tidak takut untuk mendekat ke arah suaminya. Ia bersimpuh di samping mayat suaminya yang terbaring kaku di lantai dengan pakaian berantakan.

Ketika Casey memikirkan siapa pelaku yang tega membunuh suaminya itu, ia langsung mendapatkan satu nama. Siapa kira-kira yang bisa dimintai pertanggungjawaban atas kejadian tragis ini? Siapa lagi kalau bukan Hazel.

Sebagai istri pertama, Casey cukup tahu dan hafal dengan sifat suaminya. Bukan rahasia lagi di kehidupan rumah tangganya jika Rendra memang tertarik dengan anak dari salah satu karyawannya, yaitu Hazel.

Rendra bahkan secara terang-terangan meminta izin kepada Casey agar ia diperbolehkan menikah lagi dengan Hazel.

Casey tidak terima dengan kejadian ini, jadi ia bermaksud mengacaukan Tempat Kejadian Perkara dan membuat skenario yang dapat menjadikan Hazel sebagai tersangka utama atas peristiwa berdarah itu.

Sebelum ke kantor polisi, Casey mencetak sebuah surat perjanjian yang seolah dibuat oleh Hazel. Isi surat perjanjian itu adalah Hazel meminta rumah utama Rendra yang ada di pusat kota dan beberapa kekayaan pria itu untuk dipindahtangankan menjadi hak milik Hazel. Casey berusaha membuat skenario seolah-olah Rendra diancam dan pembunuhan itu terjadi karena suaminya tidak mau menuruti permintaan Hazel.

"Tangkap dulu dia, polisi brengsek!” teriak Casey tak terima ketika dirinya malah dituntun untuk duduk di depan meja utama di kantor itu.

“Nyonya, anda harus tenang terlebih dahulu. Anda perlu memberikan kami penjelasan dan beberapa keterangan. Dengan begitu kami bisa menangkap pembunuh yang anda maksud!” Polisi itu berusaha menenangkan Casey.

Casey memang duduk di kursi yang menghadap polisi itu, tetapi ia menatap tajam ke arah Hazel yang masih bersembunyi di balik tubuh Handika.

"Handika, amankan dulu wanita itu dan kau juga harus mengobati lukamu. Ke ruang kesehatan saja!” perintah polisi itu.

Handika mengangguk sebelum ia melaksanakan perintah dari temannya itu. Niatnya hanya berkunjung, tetapi sialnya ia harus mendapatkan luka tusukan itu.

"Ayo, Nona. Maaf jika aku harus menahanmu, tetapi ini perintah," ucap Handika sambil mengarahkan Hazel untuk mengikutinya.

Awalnya Hazel tidak mau mengikuti Handika. Ia takut jika akhirnya disalahkan atas kasus ini. Namun, ia berpikir untuk kesekian kalinya dan meyakini jika dirinya tidak bersalah atas tindakannya itu. Akhirnya Hazel mengikuti langkah kaki Handika. Keduanya masuk makin dalam kantor itu untuk pergi ke ruang kesehatan.

Sesampainya di ruang kesehatan, Handika menyuruh Hazel untuk duduk di tempat tidur yang ada di sana. Ia segera mengambil kotak P3K dan duduk di kursi yang sengaja ia letakkan di dekat Hazel.

Cukup sulit mengobati diri sendiri dengan satu tangan, jadi Handika tidak sampai membalut lengannya dengan perban.

"Maafkan aku," sesal Hazel.

"Eh? Tidak usah minta maaf. Hal seperti ini biasa, kok. Apabila jika kau bekerja di penjara," balas Handika dengan santai.

Setelah obrolan itu, tidak ada lagi yang bersuara. Keheningan mulai mendominasi ruangan itu. Handika sibuk mengobati lukanya sedangkan Hazel hanya menundukkan kepala sambil memandangi kedua kakinya yang menggantung di atas lantai. Meskipun Handika sedang fokus dengan lukanya, tetapi pria itu sedang memikirkan sesuatu. Ia seperti tak asing dengan wanita yang baru saja menusuknya itu, tetapi ia tidak ingat siapa. Beberapa detik ia sempat bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia mencoba mengingat wanita itu.

"Sebenarnya... apa yang ingin kau laporkan?” tanya Handika penasaran.

Kedua bahu Hazel menegang hebat. Sebelum kejadian penyerangan ini, tidak ada keraguan di dalam hatinya untuk melaporkan kasus pelecehannya itu. Namun, sekarang ini ia malah takut. Tubuhnya gemetaran dan jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.

"Apa ada kaitannya dengan wanita tadi?” tanya Handika lagi.

"Aku tidak mengenal siapa dia dan apa salahku. Aku bukan seorang pembunuh," ucap Hazel.

Satu butir mirip kristal lolos dari mata Hazel. Ia mati-matian menahan isak tangisnya dengan menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.

"Aku telah dilecehkan...," lanjut Hazel.

Pergerakan tangan Handika terhenti. Pria itu menatap Hazel dengan iba. Ia tidak tahu harus menanggapi dengan apa, jadi ia memilih untuk diam.

Keheningan kembali meliputi keduanya. Hingga akhirnya suara berisik orang-orang sedang berbicara mulai terdengar. Di kantor itu tidak lagi sepi seperti sebelumnya, pasti karena teman Handika melaporkan kejadian itu ke kantor pusat yang ada di kota.

Karena letaknya di pemukiman kecil, kumuh, dan miskin, kantor polisi itu memang hanya ditempati oleh satu hingga dua orang polisi saja yang bertugas. Jadi, ketika ada masalah serius, polisi yang bertugas di sana berhak meminta bantuan dari kantor pusat yang lebih ramai.

Tiba-tiba seorang polisi datang dan langsung berdiri di ambang pintu sambil membawa surat perintah yang ditunjukkan ke arah Hazel dan Handika.

"Nona Hazel, anda kami tahan!” seru polisi itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status