Share

Dituduh Telah Membunuh

Saat ditanya, Heri hanya diam.

"Bagaimana jika kita melaporkan tindak pelecehan ini lebih dulu sebelum orang lain melaporkan putri kita? Dengan begitu putri kita tidak bersalah, ‘kan?" usul wanita paruh baya itu.

“Aku tidak mau terlibat dengan polisi. Kita ini orang miskin! Hukum di negara ini tidak pernah memihak kita!” sembur Heri setelah mendengar usulan dari Citra.

Citra tersentak. Air matanya sejak tadi sudah deras mengalir membasahi pipi, apalagi setelah Heri membentaknya dengan lantang. Hatinya semakin bertambah sakit saat Heri tidak menyetujui usulannya itu.

“Lalu bagaimana? Apa kita hanya akan berdiam diri sampai anak kita dilaporkan? Putri kita baru saja dilecehkan! Masa depannya telah hancur! Apa kau tidak memikirkan perasaannya?!” cecar Citra.

Citra sudah tidak mampu menahan dirinya ketika melihat sikap Heri yang begitu acuh. Suaminya itu sama sekali tidak mengambil tindakan setelah mengetahui anaknya dilecehkan. Bahkan, respons pertama Heri kepada Hazel sangatlah tidak pantas. Bagaimana bisa seorang ayah menyalahkan putrinya sendiri atas pelecehan yang diterimanya?

Ketika melihat emosi Citra meledak, Heri terkejut lalu ia langsung menampar pipi kiri istrinya itu.

“Beraninya kau! Kau pikir kejadian ini terjadi karena apa?! Karena putri bodohmu itu menolak untuk dinikahi pria kaya dan mapan seperti Rendra!” sungut Heri tak mau kalah dengan cecaran istrinya tadi.

Heri bangun dari tempat duduknya. Sebelum ia kembali ke kamarnya, ia mengatakan sesuatu pada istrinya itu.

“Terserah kalian mau melakukan apa! Aku tidak mau terlibat dalam masalah ini. Terserah kalian jika kalian memang ingin melaporkan kejadian ini ke polisi, tetapi keputusanku adalah kabur dari sini! Aku tidak sudi membela anak yang tak tahu diri itu!” tekan Heri.

Heri masih saja menyalahkan Hazel atas kejadian ini. Ia masih tidak mau menerima kematian Rendra yang dibunuh oleh putrinya. Pikirannya terfokus pada penolakan Hazel yang menyebabkan pelecehan ini.

Mendengar suaminya lepas tangan, tangisan Citra semakin kencang. Namun, ia tidak mau putrinya semakin sedih jadi ia membekap mulutnya sendiri dengan tangan.

Malam itu tidak ada keputusan yang diambil oleh ketiganya. Hazel juga masih menangis di kamar mandi sampai Citra harus membujuk putrinya itu untuk menyudahi aktivitasnya.

Ketika pagi menjelang, tubuh Hazel terasa sakit dan pegal-pegal. Semalam wanita itu sama sekali tidak bisa tidur. Ia selalu mencubit tangannya sendiri ketika hendak terlelap, karena setiap kali ia jatuh tertidur, ia memimpikan pelecehan yang dilakukan oleh Rendra.

“Nak, ibu sudah membuatkan bubur untukmu. Ayo dimakan dulu, sebelum dingin,” bujuk Citra saat melihat bubur buatannya tidak disentuh oleh Hazel.

“Aku langsung berangkat saja.”

Hazel berdiri dari kursinya. Ia meraih tas selempang yang ada di kursi sebelahnya lalu berjalan menghampiri ibunya itu.

Citra sudah membujuk Hazel agar putrinya itu tidak pergi ke kampus. Namun, Hazel bersikukuh untuk berangkat. Ketika berpamitan, Hazel bertanya kepada ibunya dengan suara lirih.

“Bu, apa ini salahku?” tanyanya.

Citra tahu bagaimana sakitnya menjadi Hazel. Ia hampir menangis, tetapi saat melihat putrinya hanya diam tanpa berekspresi, Citra memilih untuk mati-matian menahan air matanya itu.

“Tidak, Sayang. Jangan pernah berpikir seperti itu! Kau adalah korban dan dia pelakunya. Dia adalah orang yang pantas mendapatkan ini semua!” Citra meraih tangan putrinya itu, lalu memeluknya dengan erat.

“Aku ingin ke kantor polisi.”

Ketika mendengar keputusan putrinya itu, Citra hanya bisa mengangguk setuju. Seperti yang sudah diusulkannya semalam, ia memang ingin melaporkan tindakan Rendra atas pelecehan terhadap putrinya.

“Ibu temani, ya?” tawar Citra.

Hazel menggelengkan kepalanya. Ia menolak untuk ditemani oleh Citra. Wanita itu bilang jika Citra tidak seharusnya ikut karena ia merasa ibunya tidak harus menanggung masalah yang dideritanya itu. Lagipula ayahnya saja tidak peduli. Sejak tadi Hazel belum melihat ayahnya. Bahkan saat sarapan, Heri masih juga belum kelihatan batang hidungnya.

Seperti yang sudah dikatakan Heri semalam, rupanya pria itu berangkat pagi buta untuk mencari uang tambahan agar ia bisa pergi meninggalkan istri dan anaknya.

***

Hazel akhirnya berangkat. Ia bisa berangkat ke kampus dengan bersepeda, tetapi kali ini ia memutuskan untuk berjalan kaki. Tubuhnya terasa masih sakit, jadi ia tidak mau memaksakan diri untuk menggunakan sepedanya itu.

Butuh waktu sekitar 30 menit untuk tiba di kampus jika berjalan kaki. Itulah sebabnya Hazel harus berangkat pagi-pagi sekali agar ia tidak terlambat tiba di kampusnya. Lagipula ia masih harus mampir ke kantor polisi seperti yang sudah ia rencanakan sebelumnya.

Beberapa tetangga Hazel sampai sekarang masih saja terheran-heran kenapa ia bisa melanjutkan pendidikannya. Hazel memang berasal dari keluarga miskin, tetapi ia berhasil mendapatkan beasiswa penuh karena ia adalah siswi berprestasi di SMA-nya dulu. Jadi itulah sebabnya Hazel bisa menjadi salah satu mahasiswa di kampus ternama kota itu.

Setelah 25 menit perjalanan, akhirnya Hazel sampai di depan kantor polisi. Awalnya ia ragu untuk masuk, tetapi setelah memori menyakitkan itu kembali terlintas dibenaknya, ia melanjutkan langkah kakinya.

“Saya ingin membuat laporan,” ucap Hazel yang kini sedang berdiri berhadapan dengan salah satu polisi di kantor itu.

Polisi itu mengernyitkan alisnya. Ia memandangi Hazel dari atas sampai bawah. Penampilan Hazel seperti kebanyakan orang-orang yang selalu mampir ke kantornya untuk menanyai kelanjutan kasus soal pencurian hewan ternaknya.

“Ya, tapi jujur saja, Nona, ini masih terlalu pagi bagi kami untuk menerima atau memberikan tanggapan atas laporan kejahatan. Kembalilah sekitar 2 atau 3 jam lagi. Kami sudah siap untuk menerima laporan darimu,” tolak polisi itu sambil menatap kesal ke arah Hazel.

Hazel tersentak. Ia sangat kecewa dengan tanggapan polisi yang seharusnya melindungi dan memberikan keamanan untuknya. Karena penampilan Hazel yang sederhana, polisi itu mengira Hazel akan melaporkan hal sepele seperti pencurian ayam atau bebek yang akhir-akhir ini sering dilakukan oleh orang-orang di daerah sana. Polisi itu memang agak berat hati untuk membantu. Ia memang selalu menolak beberapa orang yang hendak melaporkan kasus karena tidak mau berpikir keras di jam-jam sepagi ini.

“Tunggulah di sana, Nona. Kami akan menerima laporanmu sekitar 30 menit lagi.”

Tiba-tiba seorang pria berseragam biru muda yang tadi berdiri di samping polisi itu berbicara sambil menunjuk ke arah sofa di sudut ruangan. Orang itu bukan petugas di kantor tersebut karena pakaiannya berbeda warna. Meskipun perintah tadi bukan berasal dari mulut polisi yang tadi Hazel ajak bicara, ia tetap menuruti perintahnya.

Hazel segera berdiri dari kursinya lalu berjalan ke sofa yang ditunjuk oleh pria tadi.

“Heh, sembarang kamu ya, Handika! Selama satu minggu penuh kami selalu menerima laporan tentang kasus pencurian ayam! Aku tidak mau mengurusnya. Kamu pikir tidak lelah, hah?” protes polisi yang tadi menolak Hazel.

Handika —nama pria yang menyuruh Hazel untuk menunggu itu— hanya memamerkan deret giginya yang rapi. Ia tersenyum lebar tanpa dosa karena secara tidak langsung ia baru saja mengatur pekerjaan temannya. Ia memiliki perbedaan tugas pokok dengan polisi berseragam cokelat itu, tetapi ia malah menyuruh temannya itu untuk menerima laporan Hazel sekitar 30 menit lagi.

“Masih mending hanya kasus pencurian ayam, bagaimana kalau pembunuhan? Memangnya kamu mau departemenmu didemo rakyat karena tak becus mengurusi keamanan wilayah?” balas Handika dengan santai.

“Aku sih cuma bertugas menunggu di penjara, ya. Kalau kamu ya siap-siap pusing saja sih,” ejek Handika kepada temannya itu karena ia tidak akan didemo kalau warga merasa dirugikan perihal keamanan kampungnya.

Handika adalah sipir penjara yang sengaja mampir ke kantor polisi untuk menemui temannya yang sedang bertugas itu.

“Kamu sama aja ya! Siap-siap menunggu seorang pembunuh di penjara.” Polisi itu balas meledek Handika.

Handika menanggapi ledekan itu dengan tawa renyahnya. Tanpa mereka sadari Hazel mendengar pembicaraan kedua pria itu. Jantungnya berdegup kencang saat obrolan tersebut mengarah ke kasus yang hendak ia laporankan.

Niat Hazel ke kantor polisi itu karena ingin melaporkan pelecehan yang dialaminya. Dan di dalam kasusnya itu ada kejadian pembunuhan yang tak sengaja ia lakukan.

Seketika niat Hazel menciut karena ia takut dan malu mengatakannya kepada polisi itu. Ia lalu berdiri dari sofanya. Wanita itu hendak berjalan ke arah pintu keluar untuk pergi, tetapi pintu kaca tersebut lebih dulu terbuka dengan kasar.

Brak!

Seorang wanita dewasa baru saja masuk ke kantor polisi itu. Ia sempat diam di depan pintu sambil memperhatikan sekitar. Wanita itu menatap tajam ke arah Hazel seolah ia sudah mengenal lama dan sekarang ia terlihat sangat membencinya.

“Wanita itu...." Wanita itu mengacungkan jari telunjuknya ke arah Hazel.

Hazel mematung di tempat saat wanita itu menunjuk ke arahnya sambil menatap tajam.

"Dia telah membunuh suamiku!” tuduh wanita itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status