Share

The Gray Silhouette of Love
The Gray Silhouette of Love
Author: Wika Cahaya

1. A LITTLE DAZE

“...cinta  bisa  menjadi   sesuatu  yang lembut  dan  menyentuh,  tapi  kadang juga  bisa  menyakitkan  dan  mencekik tanpa  rasa ampun...”

~  ARU  ~

Aku  menangkap  gelap  dari  sebuah pesan  yang  dikirim  untuk Ara.  Aroma pesan  itu  berbau busuk,  walaupun aku tak   menciumnya  secara nyata.  Hanya saja  peka  rasa  yang  menerbitkan intuisi  bernada  beda.  

Aku  curiga.  Kusapu  juga  ponselnya  yang  berada  di  meja  dalam genggaman ku.  Bunyi  seperti  tetes  air yang  jatuh  terdengar  saat  aku mengusap  layarnya.  Ku  ketikkan angka-angka  sandi  dan  memburu  satu pesan  yang  baru  masuk  itu.  Tidak sulit membukanya, karena sandianya sama persis dengan sandi ponsel milikku.

“Morning  beauty”  dari sekata itu saja aku bisa menangkap curiga, tapi aku tidak ingin terlalu berburuk sangka,

“Hari ini, apa rencanamu?”

Aku menengok nama pengirim pesan itu. Nama seorang lelaki yang terasa asing bagiku.

Iseng.  Aku  membalasnya  juga,

“Sunday for date”

“Date???” tanyanyanentah curiga atau penasaran,

“Are you at home, now? Jadi kita bisa nge-date, begitu?”  

Aku agak bingung dengan si pengirim pesan yang bernama Arnold ini. Plus itu juga membuatku bertanya-tanya dalam mencari korelasi dari semua ini. Aku merasa ada yang tidak benar dengan jawaban dan tanggapannya itu. Tapi pikiranku masih mencoba menepis prasangka buruk itu satu kali lagi. 'Kendalikan dirimu, Aru!' batinku berujar.

“NOPE” aku membalas pesan itu, 

“Lalu kamu mau jalan sama siapa? Tasya, ya? Atau teman?"

“My boyfriend of course!”

“Sorry?" lelali itu tampaknya bingung dengan jawabanku, 

"Apa maksud mu? Aku tidak mengerti!” tulisnya lagi dalam meminta kejelasan,

'Begitupun aku' batinku sekali lagi meneriakkan tanya yang sama, 'Siapa pria ini sebenarnya?'

"Aku akan jalan dengan pacarku. Masak gitu aja ngak ngerti juga sih?" balasku memprovokasi, "Boyfriend = Pacar!"

"PACAR??"

Semua  pertanyaan  curiga  bersarang di kepala kami, kini. Menyergap penuh ragu dengan hiasan kunang-kunang tanya.

"Iya pacar! My love. Kau bukan anak kecil lagikan? Masak seperti itu saja tidak paham  juga"

"Iya, paham. Itu aku kan?"

Arus  pikiranku  menjadi sempit. Detakku memacu letupan emosi, sebab lelaki ini menjawab satu hal yang tidak bisa kupahami juga kuterima. Membuat ku mengendus curiga dan kesal. Memang siapa dia sebenarnya bagi Ara?

"Impossible! Tentu saja buka ..."

“Aru, let’s go. I’m ready now!” 

Aku  yang tengah  mengetikkan  kalimat balasan  untuk  orang  bernama  Arnold  itu  terhenti  karena suara Ara seketika hadir di ruangan  ini. Dia mengejutkan ku, dan malah tersenyum senang melihatku gelagapan karena kaget.

“Kaget ya? Sorry... sorry ...."

Namun kekehan senang itu cepat berganti saat dia menyadari satu hal dari tatapannya padaku. Dia melihat ku tengah memegang ponsel miliknya. Kini ekspresi senang itupun memudar hanya dalam sekejap.

"Kau ngapain sih?” katanya santai seraya melongok ponselnya yang masih kubawa,

"Balas pesanmu" jawabkupun santai,

“Pesan??" Ara terlihat ragu, "OHH  SHOOK!"  keluhnya lirih, seperti terkejut pada pikirannya sendiri. Tapi aku bisa mendengarnya. 

Aku bahkan bisa menangkap jika tatapannya padaku saat ini tidak hanya tatapan curiga, melainkan juga ada perpaduan rasa takut dan cemas yang berlebihan seketika itu. Sepertinya.

"Coba lihat! Pesan dari siapa?" Ara seperti menyadari sesuatu. 

Dia mengambil alih ponselnya dari tanganku. Tapi refleksku justru memberikan perlawanan. Menolaknya. 

"Aru!" katanya menyuruhku melepas genggamanku dari ponselnya.

Ara menariknya lebih kuat, dan tanpa sengaja aku membuat pesan itu terkirim begitu saja, saat dia berhasil mendapatkan ponselnya kembali dari genggamanku. Ara  dengan segera mengecek  aktivitas pesan-pesan  yang telah membuatku diam hening dalam banyak tanya tentang hubungan mereka, sedari tadi. 

Wajah keruh Ara itu, kini berubah lagi jadi tak menentu  dengan banyak riasan cemas  dan  takut.  Aku  bisa  membaca geriknya hanya dengan mengamati perubahannya. Sepertinya dia  memang sangat kesal  padaku  dan  sebentar lagi akan melayangkan protes akan tindakan ku yang lancang. 

“Aru? What  the  heck  are  you  doing?” rautnya berubah sengit menantang ku. Seolah aku ini seperti musuhnya yang paling menyebalkan. 

"Katakan! Siapa dia, Ra?"

Namun Ara tidak mengindahkan tanyaku. Dia hanya melirikku malas dengan selintas. Memendam kesal. 

“OH  MY  GOD!” pekiknya merasa cemas dan merasa takut. Aku bahkan bisa melihat kesedihannya pun mulai hadir melengkapi rasa cemas dan takutnya itu.

'Jelas, ada yang dia sembunyikan dariku!' dugaku dalam hati. 

“Siapa dia, Ra?” aku bertanya masih dengan tenang, tapi sangat dingin menekan pada rasa ingin tahuku.  

“Kau  KETERLALUAN! Mengapa kau membalas chatku tanpa ijin?”

"Seriously?" Aku tidak mengerti dengannya.

Kenapa dia yang justru marah? Apa hanya  karena aku mengatakan pada orang asing itu, jika 'kita akan pergi berkencan?' atau  karena aku menjawab 'kita memang punya hubungan.'

Sungguh ini tidak masuk akal. Mengapa dia harus memarahiku? Biasanyapun aku membalas pesan yang dikirim untuknya dan dia biasa saja. Tapi kenapa sekarang jadi beda? Bukankah akulah yang harusnya patut marah padanya karena akulah kekasihnya? Karena pacarku digoda pria lain. Tapi dia seperti sedang menyembunyikan rahasia gelap dari diriku. Aku tak boleh tahu. 

Aku hanya meminta penjelasan darinya, agar semua ini menjadi jelas. Kebuntuan dalam pikiranku jadi kelas, bukannya elakan yang ingin ku dengar.

Jelas, ada yang tidak baik dengan semua pertanda ini. 

“Jawab saja kenapa? JANGAN  MENGELAK!”  

Aku  menginginkan  penjelasan  yang lebih  terang  dan  lebih  logis  daripada  hanya sebatas dugaan-dugaan  yang terbangun  sendiri  dari isi kepalaku. Tapi  Ara, dia hanya masih  saja menatapku  dengan  sengit  dan  kecewa. Bahkan tatapannya pun juga berhias aura sinis pun bengis mensikapiku.

“Explain me, Ra!  EXPLAIN!”  desakku  lebih keras dan dingin  padanya.  

Ara  jadi tidak  menentu mendengar suara kasarku menekannya.  Rautnya melembut tapi tatapannya kosong dan sedih.  Ara terduduk lemah di lantai, dan pandangannya masih mengabaikanku, berkeliaran entah kemana. Yang jelas pikirannya sedang tidak bersamaku disini. Mungkin bersama pria itu. 

“Aru  kenapa  sih  marah-marah?” kata Tasya  yang  mendengarku bersuara keras. Dia akhirnya  keluar  dari kamarnya untuk memastikan keadaan yang sebenarnya. Ada apa diantara kami berdua, kenapa jadi ribut-ribut begini.

“Oo eM Ji!” katanya saat melihat Ara terduduk lemah di lantai, sambil menangis tanpa suara dan tatapannya yang masih kosong entah keruang yang mana,  

“Ru,  kamu  apain  Ara  sampai  dia kayak gini?" ujarnya cemas saat melihat sahabatnya diam dalam tangis, seraya beralih pandang dari ku ke Ara lagi,  

"Ra, you alright?  Kenapa  sih  dengan  kalian  ini?  Katanya  perlu  quality  time  berdua  aja,  tapi  kenapa  malah  jadi  berantem  gini?”  dia  masih  mengejar  dengan  tanyanya  yang  belum  terjawab.  

“Who’s  that  guy?  Can you please, at least gimme some explaination!”  kataku mulai berkompromi.

Tasya  yang  tadinya  menatapku  curiga dan kini  beralih  menatap  temannya sangsi.

“Ra ...?”  panggil  Tasya  pada  Ara. Seolah mereka berdua sedang  bertukar kode rahasia  yang  tidak ku ketahui,

“Is it about ...?” tanya Tasya  penuh  keraguan itu dipotong cepat  dengan anggukan  Ara.

Seperti dia juga sengaja  tak  ingin temannya itu menyempurnakan kalimatnya. Mungkin agar semua ini tetaplah menjadi rahasia mereka.

“So,  it  is  about  WHAT?”  kataku menyambung  apa  yang  mereka rahasiakan  dariku.

Tapi  mereka  tetap saja  bungkam. Seperti tak ingin memberitahukan jawaban apapun pada ku.

“DANG!!!  REALLY?  NO ONE Will Tell ME ANYTHING???” aku semakin gemas dengan sikap mereka,

“AAGGH!!!”  keluhku, membuang nafas kesal.  

Mereka  berdua  saling  beradu  tatap tapi  masih  tetap  diam menyembunyikan semuanya dariku. Dan itu mulai membuat darahku terasa mendidih. Aku makin geram dengan mereka berdua.

"Ay ..." namun kalimatku terpotong oleh suara bising dari dering ponsel Ara.

Aku bisa melihat nama lelaki itu tertera dilayar dengan jelas, saat Ara menengoknya. Kemudian dengan keraguannya, Ara beralih menatapku. Seperti ..., dia jadi sangsi harus menerima atau mengabaikan panggilan itu.

Akupun balik menatapnya dengan tatapan laranganku padanya. 'Jangan diangkat! Abaikan saja!' 

“Akan ku jelaskan semuanya. Just give me some minutes,  okay!” katanya tak memahami tatapan perintahku.   

'Ugh eriously?!' gundah batinku memprotes.

Aku menghela nafas frustasiku cepat. Menerima perlakuannya terhadapku yang jadi berbeda karena pria lain.

Ara bahkan sengaja sedikit menjauhkan diri dariku dan Tasya untuk alasan kenyamanan, mungkin. Aku tidak paham. Yang ku paham dia malah mengabaikanku.

Dia bergeser tidak terlalu jauh, masih terjangkau oleh pandanganku dan Tasya. Ara terlihat mengatur nafas sesaat sebelum menjawab panggilan itu.  

“Hallooo” suara Ara masih jelas terdengar, walau dia sudah menjauh beberapa langkah.

...

“Ohh,  about  that...  sorry... sorry...  It’s just  a  joke−”  

Dia bahkan bisa tersenyum di telponnya dan mengabaikan ku dengan sedemikian rupa? Membuatku sakit.

'WAIT! WHAATT?'

Aku tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja ku dengar, karna nyatanya hal itu melukai perasaan ku juga. 

“So, I’m just a joke for her, huh?” keluhku  pada  Tasya  sarkatis.

Ara melirikku  dari  jaraknya. Tasya hanya mengangkat bahunya, memberi isyarat tak tahu.

Sepertinya Ara mendengar keluh ku dari jaraknya.  Lalu dia melangkah lagi beberapa langkah, menggeser langkah dan menjauh lagi dariku. Dan keadaan ini akhirnya membukakan mata buram ku sedari tadi yang masih belum juga ku mengerti, juga ku pahami dengan seketika.

'Ara telah melupakanku'

'Dia telah mencampakkan ku'

"Kau tahu sesuatu, bukan?" tanyaku menyelidik pada Tasya. Tapi dia masih saja hanya mengangkat bahunya tinggi.

"Jelas kau tahu sesuatu, iyakan?"

"Bukan kapasitasku memberikanmu penjelasan. Ini masalah kalian, aku tak ingin ikut campur kecuali jika kau membahayakan Ara. Aku akan ikut campur seketika"

Sekali lagi, aku mengamati Ara. Dia masih tersenyum senang  pada percakapannya ditelpon bersama pria tak ku kenal itu. Itu menyakiti hatiku. Bagaimana bisa dia tersenyum bahagia dalam obrolannya? Sementara itu dia menggantung tanyaku disini bertubi-tubi? Sungguh, ini menyakitkan. Membuatku muak dengan keadaan ini.

“Duuhh! This enough to explained me everything!” keluh ku pada Tasya, menyerah dengan keadaan ini. Karena ini terlalu menyakitkan.

Tapi Tasya hanya memandangku bimbang. Dia tak punya penjelasan untuk menanggapi keluhku. 

Dalam hati kecil ku, aku seperti tidak lagi mengenali Ara. Dia seperti bukan lagi Ara yang ku kenal selama ini. Yang mengutamakan ku atas manusia-manusia yang lainnya. Dan aku terluka memandanginya lupa akan tempatku sebagai kekasihnya disini.  

“The  heck  is  this! You  know  what? She  just  tore  my heart  into  pieces”  keluhku sekali lagi pada Tasya. 

Aku tidak bisa terus tinggal dan mendengarkan  Ara mengoceh dengan lelaki asing yang tidak ku ketahui itu. Terlebih  lagi karena  telingaku  sakit mendengarnya, mataku malas melihatnya tersenyum bahagia diatas luka ku. Dan sementara itu, dia masih menggantung ku seperti orang bodoh, hanya sebatas untuk menantikan penjelasan yang akan dia sampaikan, yang aku sendiri sudah bisa menebak kemana arahnya akan bermuara.  

Aku  kesal. Rasa panas tubuhku meninggi, dan mata yang tadinya tidak  kenapa-kenapa kini mulai terasa memerah, dan juga lembab, meremangkan  pandanganku. Tapi tidak cukup mampu membuatku berurai air mata. Aku mengikuti keinginanku untuk pergi.

“I'm done with this!”  kesalku,  "Aku  pergi, Sya" kata ku pada Tasya. Dia hanya terlihat bingung karena tak tahu harus berbuat apa-apa. Bahkan diapun tak bisa menghiburku, karena itupun tak terasa benar untuk dia lakukan.

Aku menuntun langkah menjauh.

Aku  hanya ingin menyudahi rasa sakit yang ku terima, baik itu dia sengaja atau tanpa rasa sengaja.

“Ra, BURUAN!” Tasya memanggil temannya cepat. Hanya itu yang bisa dia lakukan atas konsekuensi tak ingin terlibatnya dalam masalah pribadi kami berdua.

Panggilan  itu  cukup  keras terdengar. Aku tahu teriakan Tasya itu untuk mengingatkan sahabatnya akan eksistensiku di ruangan ini yang masih perlu mendapatkan kejelasannya. Atau mungkin panggilan itu sengaja dia tujukan agar Ara menyudahi pembicaraannya ditelepon dan mengejarku sebelum aku melangkah terlalu dekat dengan pintu dan  dia tak akan bisa mengejar ku lagi. Dan permasalahan ini menggantung lebih lama lagi.

Suara langkah bergerak cepat terdengar di belakangku, Ara menghentikanku seketika dalam satu panggilannga saja.

“Let’s talk. Ku jelaskan semuanya” ujarnya. 

Sekejap, aku jadi malas mendengar penjelasannya. Karena itu pasti tentang pria bernama Arnold itu.

'Dia menduakan ku' gumam sepintas pikiranku,  yang  membuat tubuhku melemah. Merana mendengar ku sendiri berpikiran begitu.  Ada  perasaan sakit pula yang menyelimuti diri ini. Dan rasanya aku tak perlu lagi mendengar penjelasan apapun lagi darinya. Namun sebagian diriku yang lain menawarkan kata damai untuk tetap mendengarkan penjelasannya. Apapun itu. Baik itu akan menyakiti perasaan ku nantinya ataupun tidak. Aku harus tetap mendengarkan penjelasannya, agar ini adil.

Aku  berhenti  tanpa  berbalik  badan, rasanya berat untuk menatap Ara saat ini. Tapi itu tidak ku lakukan karena aku masih menghargainya, karena aku masih mencintainya. Dengan lemah tanpa selera, aku berbalik juga. Memperlihatkannya pancaran sinar mataku yang sayu tak berselera tapi memaksakan diri.  Aku diam tak berkata, hanya menantinya membuka suara dan menunggunya memulai dengan kalimat penjelasannya. 

Namun lama aku menunggu, Ara tidak juga bisa membuka suaranya dan memberikan penjelasan padaku. Lidahnya terasa beku, keberaniannya terasa terkunci. Dia hanya masih diam resah memandangku dengan segala kecemasan dirinya.

"Jadi? Jelaskan apa yang perlu ku ketahui!" pancingku.

“Umhh ... I  don’t  know  where  to begin”  katanya  basa-basi,  atau  entah karena merasa ragu.  

Entahlah,  akupun  tidak  mengerti apa yang membuatnya sulit berkata.  

“Him!”  jawabku  dingin  dan  enggan, 

“Ummh...  diaaaa ...,”

“Dia?”  ulangku,  meminta  dia melanjutkan  ceritanya tanpa menjeda.

“Dia  Arnold”  Ara  sengaja  membuat  jeda,  

“Dia  cal ...  Dia  tuna ....  Dia tunanganku, Ru!”  Ara  terdengar  ragu  dan memperbaiki  kalimatnya hingga sempurna menjadi kalimat utuh yang bisa ku tangkap maknanya.

Tapi, sekalipun  kalimat  itu  sudah diperbaiki  dan menjadi kalimat sempurna yang bisa ku mengerti maksudnya, tetap saja  itu masih seperti sebuah kalimat rusak yang berhasil menyambarku. Cepat dan begitu dahsyat menghancurkan perasaan ku. Sempurna! Kalimat sempurna itupun sempurna mengefek perih dalam diriku. Menjadi satu makna yang tetap membingungkan bagi kepalaku memprosesnya.

'Apa yang baru saja ku dengar itu sebenarnya? Dia siapa?' aku mengulang tanya dalam pikiranku. Berat mencerna maksudnya, mungkin juga berat mengakui kebenaran dari perkataan Ara.  

“OoH  SH*T!!!  He...?  WHAAATT???” kepalaku mencoba memprosesnya sekali lagi.

"Dia  tunanganku"  ulang Ara dengan polosnya, hingga membuat Tasya pun hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya.

Tubuh lemas ku seketika berganti dengan  paradoks. Serasa kini memiliki kekuatan yang sangat besar untuk bisa dengan sekejap menelannya mentah-mentah.

'Mengapa juga Ara harus mengulangnya? Apa itu untuk mempertegas siapa aku kini baginya?' 

"Ughh ..." aku tersedak tidak percaya. Ara menggigit bibir bawahnya, merasa cemas.

Sekali  lagi,  mendengar  kalimat sederhana  itu  nyatanya  justru  seperti ditusuk  dengan  4  pedang  tak  kasat mata,  yang datangnya  dari  empat  penjuru arah berbeda dan datangnya dengan tiba-tiba disaat aku tidak dalam posisi siap menerima ataupun bisa menangkisnya. Yang ku mampu  hanya pasyrah menerimanya dan pasyrah membiarkan kalimat sederhana itu menyerang ku dengan spontan dan sadis.  

PERIH di dadaku terulang sekali lagi. 

Sakit,  pukulan itupun membuat pening kepala ini.

Pedih, hatiku menangis pedih.

Kini, aku  serasa  perlu  mencabut  4 pedang itu  walaupun  sakitnya  tak terkira nantinya, tapi setidaknya dengan begitu  aku akan bisa memberikan kekuatan ekstra untuk memberikan perlawanan balik. Agar aku juga bisa mempertahankan diriku dengan baik. Atau agar aku bisa memberikan perlawananku, agar dia dapat merasakan kesakitanku juga. Hanya saja, pikiran sehatku masih mencoba melerai untuk tidak membuat kegaduhan dan lebih memilih untuk menyangkal kalimatnya daripada menerimanya dengan pasyrah apalagi mempercayainya sekaligus.  

“Are  you  FREAKING  KIDDING  me?? Semua ini tidak benarkan? Or is it like  a PRANK?  You prank me,  right?” aku melakukan pertahanan diri dengan berpura-pura menganggap ini semua hanya delusi.  

Sayangnya, Ara justru menggeleng-geleng sedih. Menjawabku sekali lagi untuk kesekian kalinya.

“Listen  Ru!  Ini  juga  bukan  mauku. Akudand-a blablabla −”  

Mendengarnya menyangkal kalimatku saja sudah cukup membuatku kesal. Dan sekarang aku harus mendengarnya menjelaskan siapa pria itu sebenarnya? Aku merasa tak punya minat mengikuti kemauan Ara. Aku tak  lagi  punya selera untuk menyimak  pembelaannya yang manapun.  Karena apapun yang  akan  dia  katakan, itu akan semakin seperti tusukan pedang yang menyakiti perasaanku. Dan aku tidak siap menerima semua itu. Aku tidak siap menghadapi hari berdarahku. 

Aku merasa linglung dan malas, namun walau begitu  Ara  terus  saja mengoceh menjelaskan tak usai-usai.  Aku masih berusaha keras menolak semua yang ku dengar, aku tidak ingin memasukkan semua kata yang menyakitkan itu dalam memori kepalaku. Karena itu, bagiku semua ucapannya hanya bagai desing-desing suara nyamuk yang berkeliaran disekitar telingaku. Meski sangat mengganggu dan sangat mengusik tapi aku menahan diri untuk mengeluarkan pukulan mematikan ku.

Aku beralih memandang matanya. Tapi tetap masih abai akan banyak kata penjelasannya.

Aku  tahu  Ara  tidak  sedang  bercanda dengan  semua  ini.  Wajah  gusarnya, kecewanya,  marahnya dan sedihnya saat dia menemukanku membalas chat itu  juga bukan  suatu  candaan. Dan  saat matanya  menatapku  dengan  bengis, penuh ketidak  mengertian akan sikapku  yang dirasanya lancang. Aku tahu, aku seperti menjadi orang asing baginya. Dan itu melukai ku. Selama bersamanya,  baru  kali  ini dia  menatapku  dengan tatapan  benci sesengit itu.  Dan  aku  tidak  suka akan  hal baru itu.  Padahal  biasanya  dia  begitu lembut  menatapku, penuh  kasih,  jauh dari  benci. Tatapan itu sungguh melukaiku.

“... Maaf  Ru,  tapi  inilah  kebenarannya” katanya  mengakhir.  

“SIAO!!  Kau  baru  saja  membunuh ku dengan  kalimat-kalimat mu itu, Ra. Kau ....”  keluhku  pedih.

Aku  sudah  kacau  hanya  dengan mendengar  kalimat  jujurnya.  Luka  4 pedang  itu  sudah  tiada  artinya, karena sekarang  luka  itu  sudah melipat ganda dengan  cepat.  

Ara  mulai  menangis  sedih,  entah untuk  apa.  Aku  tidak  paham  dengan sikapnya ini.  Dia  yang  menduakanku dan dia juga  yang  memarahiku, lalu kini dia pula yang menangis pilu? Untuk apa coba? Mungkinkah dia bersikap begitu untuk mendapatkan simpatiku kembali? 

“I  though  we're  fine.  Bagaimana  bisa kau  melakukan  ini  padaku?  Dan Tasya juga  tahu  hal  ini?” 

Ara  mengangguk  menjawab ku. 

“What  the  FFU ... AHHGG”  aku  kehilangan  kata-kataku,  

“Why  you  treat  me  like  a  SHI ... AAHH ....!"  kataku  melepas  kesal, tapi  tetap menggantung  kalimat-kalimat serapahku dalam samar, “Sudah  berapa  lama?”  ujarku  cepat memburu.  

“Sekitar  2  mingguan” Ara  terlihat  bimbang  sebelum menjawab. 

'Jadi  itu  saat  kau  pulang  waktu  itu? Pantas  saja  kau  pulang  agak  lama dari  biasanya,  dan  kau  juga  tidak membalas  pesan-pesanku dengan benar dan tepat waktu.  Jadi  karena  ini  alasannya?' Batinku  meradang kecewa.  

'Itu  pulakah alasanmu  menatapku  berbeda tadi?'

'Itu  alasanmu  lebih  memilih menjawab  panggilannya  daripada menjelaskannya  padaku  lebih  dulu?'

'Itukah  alasannya? Karena kau dan dia punya ikatan yang lebih kuat dari ikatan ku, sekarang?'

Aku  merasa  sesak  nafas  seketika. Mendadak  tidak  enak  badan.  Seperti semua  tubuhku  merasakan  sakitnya kini,  hanya  karena  pedang kalimatnya bertambah  satu  lagi  menancap  di diriku.  

SAKIT.  PEDIH.  MELUKAIKU.

“Apa  salahku,  Ra?  Dimana  letak kesalahanku?  Sampai  hati  kau melakukan  ini  padaku ...?”  berontakku,

“Kau  membalikku  menjadi  orang  yang bersalah  disini?  Aku  tidak  mengerti denganmu.  Kita  menjalin  hubungan ini bahkan lebih  lama  daripada  kau mengenalnya ...  dan ... dan  sekarang  kau membalikku  begitu  saja?  Menjadikan  ku orang  kedua  diantara  hubungan kuatmu dengannya?  WHAT  THE  H*ll  is  this, huh?" protesku,  

"KAU KEKASIHKU RA? KAU KEKASIHKU! Tapi sekarang, kau menendangku begitu saja dari hubungan kita yang baik-baik saja? WHAT THE F**KING H*LL is This, huh?  I DON'T UNDERSTAND WHY YOU COULD BE SO MEAN TO ME?"   

Aku  merasa  pusing  dan  limbung.  Aku bahkan  tak  bisa  berpikir  dan bernafas dengan  jernih  dan  benar.

Satu-satunya  yang  ingin  ku  lakukan adalah  memukul  wajahnya,  atau mengumpatnya  dengan  semua  makian kasar. Tapi  sekali  lagi  aku menahan diri.  Bukan  saja  karena  semata-mata itu tidak sopan dan tidak dibenarkan, tapi  itu  juga karena  aku  masih memiliki  kemampuan yang diri  untuk menahannya.  

Bagaimanapun  juga  orang yang kini berdiri dihadapanku  ini  adalah  orang yang  ku  cintai  dengan  tulus,  aku tidak akan sampai  hati menyakitinya balik selama aku masih bisa berpikir benar dan rasional. Terlebih karena nuraniku masih bekerja dengan sangat baik dalam mengendalikan semua perasaan kacau ini. 

“Bukankah  lebih  mudah  untukmu  memutusku  lebih  dulu?  Daripada menduakan  kedua-duanya?”

Ara  hanya  menggeleng sedih. Masih dengan  rembas  air  matanya. 

"Sudah  ku  bilang  INI RUMIT!!"

"Kau  sendiri  yang  membuatnya begitu" ujarku sengit. Tak ingin lagi ada perdebatan.

Aku  sudah  tak  bisa  lagi  bertahan disini.  Aku  sudah  tidak  punya  tempat disini.  Aku  sudah  sangat  kacau. Hatiku sangat  sakit  dan  perasaanku hancur, kepercayaanku  padanya?  Apalagi  yang  itu,  sudah  tercecer  tak punya rupa karena sudah  menjadi  serpih-serpih  selembut butiran pasir yang mudah terbang terbawa angin.  

"I'm so done with this! Kau membuatku tidak bisa mengerti semua ini dengan benar pun juga dengan baik!"

Aku pergi memeluk semua rasa sakit dan kecewaku. Karena nyatanya,  cinta  yang  ku  pandang lembut  dan  dapat menyentuh  hati, ternyata  juga  punya  kekuatan  lain yang  kejam  dan  cukup menghancurkan. 

“Ru  plisss,  jangan  pergi!  Aku  akan menjelaskan  ulang  agar  kau  bisa lebih mengerti  dan  memahami  keadaanku ...”

'Whatt?? Bahkan  aku  harus  mengerti  bagaimana  keadaanmu  sekarang?  Dan  memahaminya juga?  Lantas,  siapa yang  akan  memahami  posisiku  dan mengerti  keadaanku?'

'Why you so freaking id*ot right now?' keluhku memendam kesal.

“Aku  tidak  siap  kau  menghancurkan seluruh  perasaanku  saat  ini juga”  

Maaf, aku  tidak  bisa  mendengar  semua ceritamu. Jangankan  mendengarnya secara  langsung  darimu,  mendapati pesan itu saja  hatiku  sudah terluka, apalagi  mendengar kau bercerita tentang orang  lain yang  berhasil membuangku seketika dari cerita kita. Aku tidak yakin sanggup melakukannya.  

Aku  tidak  tahu  lagi  harus  bereaksi apa  selain  menuntun langkah dan pergi  dari  tempat  ini  se-segera  mungkin untuk  menjauh darinya, sekaligus mengamankan diri dari amarah yang bisa meledak sewaktu-waktu. Karna  fakta  pahitnya  ialah Ara  sudah bertunangan  dengan ...  dengan ..., bukan  aku orangnya!  Sementara  itu  status kami masih kekasih.  

'Harus  bagaimana  aku  meluapkan semua  kekesalan  ini?' perih hatiku mengiba mempertanyakan seorang sendiri, 

'Harus  bagaimana  aku  mensikapi  semua keadaan yang tak adil ini?'

Dalam  sekejap  aku  tertendang  keluar dari  zona  kita. 

Dalam  sekejap,  Ara merubahku menjadi pendatang baru  yang perannya sebagai  pengganggu  dalam hubungannya dengan lelaki itu.

Dalam  sekejap,  dia  menjadikan ku  pihak  bersalah, disini.  Merubah ku,  yang  tadinya  segalanya baginya menjadi bukan siapa-siapa, melainkan seorang penggusik  dalam hubungan  kuat  mereka.

Mengapa begitu mudah baginya menjadikanku orang ketiga  diantara  hubungan  mereka berdua, bahkan  disaat hubungan kami masih terasa baik-baik saja? Dia membuatku menjadi manusia bersalah. Ini teramat melukaiku, pun juga harga diriku sebagai kekasihnya. 

“Ru,  please!”  Ara  sudah  mengejarku yang  selangkah  lagi  bisa  keluar  dari pengap  suasana  di  rumah  ini.  

Aku  jadi  terhenti  oleh tarikan tangannya  dan berbalik  sekali  lagi.

“I  need  fresh  air. Okay?   Kau  jelaskan lain  kali  saja, aku tak sanggup” 

Tapi  Ara  menggeleng-geleng  dengan sedih.  Menggenggam  tanganku lebih kuat,  masih  tidak ingin  merelakanku  pergi. Tapi  aku  tidak  bisa tinggal.  Aku  perlu tempat  untuk  diriku  sendiri.  Aku perlu  tempat  untuk  menenangkan hati, pikiran dan juga amarahku dari semua kekacauan ini.

Aku tidak bisa terus berada disini meskipun aku juga ingin tinggal, karena aku  yakin  jika  tetap  berada  disini akan  ada banyak  lagi  pertengkaran dan  rasa  sakit  yang  harus  kuhadapi, dan  aku  tidak  yakin  bisa. Setidaknya  aku  butuh menenagkan pikiranku  dan  juga  perlu  energi  segar yang  lebih  besar  untuk mempersiapkan  diri  menghadapi kenyataan rumit ini.

Ku  lepas  genggaman  tangannya  pelan. Meminta  agar  dia  mengerti jika  aku butuh  ruang  untuk  menyendiri dengan diriku  sendiri.  Tapi  Ara masih dengan tatapan  sendunya, meminta ku  agar tetap  tinggal.

“Jangan  menungguku.  Aku  tidak  akan  kembali”

Dia  semakin  tersedu,  sedih. Aku pergi dengan  pikiran  dan  hati yang  terluka,  walau  tidak  menangis sedih seperti Ara saat ini. 

Kurasa ... mungkin hanya  BE-LUM.

Belum waktunya diri ini menangis. 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
goodnovel comment avatar
Mr.AXZ
pake bahasia cina sekalian aja cuk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status