Share

Wasiat

Tiba-tiba, Ayuk Fatma kembali berkontraksi ingin mengejan. Kesempatan baik. Dengan bantuan vakum dan dorongan ibu semoga janin bisa segera dilahirkan.

"Bismillah! Allahu akbar!" Dia berancang-ancang dan mengedan sejadi-jadinya. Wajah dan matanya memerah, tangannya merangkul kedua pahanya dibantu lenganku. Urat bertonjolan di sekitar dahinya.

Sementara Dokter Ramlan men-traksi vakum dalam genggamannya.

Kepala janin perlahan tampak dan terlihat seluruhnya. Dokter Ramlan lalu melepas mangkuk vakum yang menempel. Kepala janin kemudian melakukan putaran ke samping ke arah paha ibu, tapi tertahan lilitan tali pusat.

Dokter Ramlan menggunakan dua jari untuk melonggarkan lilitan. Baru setelah itu kepala ditangkap Dokter Ramlan untuk ditarik perlahan keluar.

Janin yang kemudian disebut bayi itu terkulai lemah di atas meja persalinan dengan tubuh membiru, terutama telapak tangan, kaki, dan bibir. Tak ada tangis keras seperti seharusnya. Dua klem dijepitkan di tali pusat dengan jarak cukup untuk melakukan pengguntingan dan disambut dokter anak.

"Ayo, Dek. Nangis, Nak!" serunya.

Dari ekor mata kutangkap kesibukan di meja tindakan. Tubuh kecil itu diberi rangsangan supaya menangis.

Lendir dihisap dari hidung dan mulut dengan penyedot khusus. Tiga puluh detik berlalu dan masih senyap.

Kembali terlihat aktifitas di meja yang telah dihangatkan itu. Sungkup lalu dipasang ke hidung dan mulut bayi, untuk memberikan tindakan VTP (ventulasi tekanan positif.)

Sekali lagi kurapalkan doa untuk keselamatannya. Sebuah keajaiban yang tertunda ketika akhirnya Ayuk Fatma bisa melahirkan, setelah penantian yang nyaris berujung keputusasaan.

Suasana kembali mencekam. Aku terdiam, kaki seperti terpantek ke dalam bumi.

"Rin, oksitosin!" Suara keras dokter Ramlan menyedotku kembali ke dunia nyata.

Kusuntikkan lagi oksitosin ke dalam selang infusnya untuk merangsang plasenta lahir.

Ayuk Fatma memandangku dengan tatapan cemas. Wajahnya seketika berubah tersenyum lebar tatkala sepuluh menit kemudian bayi perempuan di mana segala harap bertumpu, mengeluarkan suara tangisan untuk pertama kalinya. Plasenta juga terlahir lengkap. Sontak ruangan menghangat dengan gemuruh lantunan hamdalah.

"Metil ergo." Dokter Ramlan kembali memberi instruksi untuk menyuntikkan perangsang rahim agar berkontraksi, sehingga garba itu kembali mengecil seperti seharusnya.

Kuraba ujung atas rahimnya untuk memberi rangsangan dari luar dengan gerakan memutar di perutnya.

Betapapun aku berusaha, puncak rahim itu tetap teraba lembek. Benar saja, darah membasahi perlak di bawah pahanya bagai air bah yang digelontorkan dari atas bukit.

"Infus dua jalur! Miso! Kompresi!" teriak dokter Ramlan dan suara kepanikan menggaung di kepala. Lima belas menit berlalu dan belum menunjukkan hasil yang diharapkan.

Ayuk Fatma memandangiku dengan mata berkaca-kaca, genggeman tangannya mengerat, tak peduli sarung tanganku yang basah oleh darahnya. Aku menatapnya dengan perasaan getir tak terperi.

"Titip anak-anak dan suamiku ya, Rin. Gantikan posisiku demi mereka."

Apa?! Aku sedang tidak salah dengar, kan?

**

"Ayuk! Dak boleh ngomong gitu, ayo berusaha lagi kek tadi. Mana semangatnya?!" Aku berteriak panik. Pandangan mengabur seiring lolosnya air mata yang sedari tadi kutahan.

"Aku sudah lelah, Rin. Lelah nian. Aku sudah dak kuat." Genggamannya melemah, tekanan darahnya turun drastis pada 40 pada tekanan sistol dan distol yang tak teraba.

"Ayuk Fatma! Wooi!" Kutepuk pipinya dengan kecemasan yang meraja. Matanya terpejam, sementara seulas senyum tersungging di wajahnya.

"Makasih ya, Rin." Matanya terbuka sedetik saja kemudian tertutup lagi. Kudawamkan kalimat talqin di telinganya, ketika yang lain masih sibuk merangsangnya dengan berbagai tindakan agar dia bangun dan menghentikan perdarahan yang tak kunjung reda.

Beberapa waktu berlalu dan nihil!

Monitor sudah menunjukkan garis lurus beberapa menit yang lalu, sementara pupilnya tak bereaksi pada rangsang cahaya.

Inalillahi wa ina ilaihi rojiun.

Kugenggam tangannya dengan pandangan mengabur dan rasa terpukul paling sakit yang kupunya, tangisku pecah sudah. Tak akan lekang dari ingatan pesan terakhir dan senyumnya yang penuh harap.

Tak ada rasa bersalah paling besar melebihi ketika kehilangan sahabat, mentor, teman sekaligus kakak yang meninggal di tangan, padahal sebenarnya diri mampu mencegahnya dengan bersikap lebih tegas. Dia, aku, sama-sama tahu ilmunya, bahwa di usia empat puluh duanya adalah umur beresiko untuk melahirkan, di samping rahimnya sudah terlalu lelah berkontraksi nyaris dua kali dua puluh empat jam terakhir. Ia akhirnya menyerah dan memutuskan menyerah ketika perdarahan tak bisa dihentikan.

Demi rencana vaginoplasty, Ayuk Fatma berkeras melahirkan normal meski kami sudah demikian berusaha mengingatkan bahwa terlalu berbahaya jika diteruskan. Dia memang berencana operasi perbaikan sekalian melahirkan. Sekali sakit. Sekali merengkuh dayung, dua tindakan dilakukan. Salah memang, hanya karena sejawat, membuat kami tidak bersikap tegas.

Alangkah pedih tangisan Bang Sam--suami Ayuk Fatma--memeluk sang istri, yang berjuang untuk sebuah pembuktian meski dibayar dengan kematian.

Aku gemetar. Meski ini bukan episode kematian pertama yang kusaksikan, tapi kali ini aku sungguh terguncang. Ayuk Indah apalagi. Ia sebagai Kepala Ruangan yang notabene adalah teman kami sekelas, tak juga mampu menyembunyikan airmatanya. Ia sama syoknya denganku dan dokter Ramlan.

Kejadian kematin ibu atau bayi bukanlah perkara main-main. Akan ada tim audit maternal perinatal yang memeriksa kasus ini. Layaknya pesakitan, kami akan disidang, adakah prosedur tetap rumah sakit yang dilanggar. Dan, kami memang salah.

Ini adalah sesuatu yang sangat menakutkan dan memalukan bagi praktisi kesehatan seperti kami. Tersebab angka kematian ibu dan angka kematian bayi merupakan indikator tingkat kesehatan negara. Fatal akibatnya!

Suasana tiba-tiba geger ketika Dokter Ramlan mengabarkan kepada keluarga yang menunggu di selasar tentang apa yang terjadi. Raut-raut muka yang memerah tampak jelas memendam kecewa dan emosi.

“Kenapa bisa terjadi ni, Dokter. Kenapa dak dioperasi bae anak kami tu? Teman kalian dia juga tu, hah?!” Sang ayah tampak maraj demi mendengar kabar kematian putrinya.

Abang Sam keluar dari kamar bersalin dengan muka tertunduk. Badannya bersandar pada dinding dan merosot. Duduk mencangkung di sisi tembok.

“Kek mana Sam? Apa nian yang terjadi di dalam tu?” Belum sempat Dokter Ramlan menjawab, sang mertua beralih mencecar menantunya, meminta jawab.

“Fatma nian yang dak mau, Pak. Keras nian dia bilang dak mau operasi. Senang hati dia tanda tangan surat penolakan tindakan,” jawab Bang Sam dengan suara lemah nyaris tak bertenaga. Persis orang putus asa.

“Alaah iyoo aee!” Sang mertua berjalan ke sana ke mari tak tentu arah. Berputar-putar di tempat karena gusar sambil bergumam-gumam tak jelas.

“Fatma ada meninggalkan wasiat tadi, Pak.” Bang Sam kembali bersuara.

“Apa katanya?” Sang mertua berhenti melangkah dan menatap nanar menantunya itu.

Dadaku berdebar keras, jangan sampai laki-laki ini menyampaikan apa yang Ayuk Fatma katakan dalam kondisi hampir tidak sadar tadi. Ini bukan saat yang tepat. Lagipula nggak perlu disampaikan juga. Nggak penting.

Namun, harapanku menguap sia-sia ketika mendengar ia berkata, “Dia nitip aku sama anak-anak ke temannya itu.”

“Maksudnya?” Sang ibu mertua mengejar penjelasan.

**

Baca dan dukung terus ya, Temans.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status