Share

Wanita Hina Bernama Nania
Wanita Hina Bernama Nania
Penulis: Fazruli Rifkyana Ulfah

Pria Dengan Banyak Uang

Plak!

"Kamu sudah gila, ya Nania? Yang kamu pukul dengan kursi itu boss preman wilayah sini. Bisa dibunuh kamu kalau nekad melawan dia."

"Tapi, Mas ... " Nania tak berani menatap mata suaminya dan hanya bisa berharap tak terluka malam ini.

"Apa? Tapi apa? Sudah tahu salah, kamu masih mau membela diri?" Dono, suami Nania yang tersulit emosi atas perbuatan istrinya hanya bisa memandang Nania dengan mata berapi-api. "Memang apa susahnya kamu melayani dia? Kamu itu sudah lama melacur. Jangan sok kecantikan, kamu Nania."

Nania lagi-lagi hanya bisa menunduk. Suaminya mungkin bicara tentang fakta. Dia mungkin sudah tak lagi menganggap Nania manusia sejak menjualnya ke seluruh hidung belang yang menjadi rekannya, tapi Nania bukan batu yang dingin dan tak terusik, dia berhak merasa takut pada seseorang yang menyewanya tak hanya karena bernafsu tapi juga berani menyakitinya seperti binatang jalang.

Plak!

Satu lagi tamparan.

"Apa kamu takut terluka? Apa kamu takut badanmu itu lebam? Sekarang lihat, kalau bukan preman itu, aku yang bakal buat kamu lebam!"

"Ampun, Mas! Ampun!" Nania menjerit. Dia sudah terlihat begitu rendah, bahkan di hadapan teman-teman tuna susilanya yang lain.

"Bisa mati, tuh Don! Gila lu ya mukulin binilu sendiri!"

"Eh! Diem! Mau gua banting juga, terserah gua!" Dono semakin tersulut dan Nania pasrah jika malam ini dia mati di tangan suaminya sendiri.

"Ampun, Mas! Ampun!"

Percuma. Bahkan walau bibir Nania sobek, Dono tetap tak lagi punya belas kasih.

Harusnya Nania tahu kalau Tuhan sayang pada mahluk-mahluknya. Di saat Nania tak lagi bisa melawan, tamparan terakhir Dono terhenti akibat satu tangan yang menahannya.

"Ape, lu? Mau ngajak berantem?" Dono yang emosinya sudah seperti setan menelusuri sosok rapih yang menghalanginya. Seorang pria muda berbau harum yang bagi Dono tidak pantas ada di tempat itu. "Ma, mau apa?"

Pria itu menengok ke arah pria lain di sisinya yang dengan cepat mengulurkan segepok rupiah yang membuat Dono lupa dengan kemarahannya.

"Saya sewa perempuan itu untuk satu malam. Jangan banyak tanya, dan cepat-cepat menjauh dari sini."

Dono bingung dan terlihat melirik ke arah Nania. "Maksudnya dia?" tanya Dono dengan telunjuk terarah. Lalu pria bertabiat buruk itu tersenyum. "Bawa aja, Pak. Saya juga udah gak suka ngelihat dia."

Asisten sang pria misterius berjalan mendekati Nania. Dia membantu Nania berdiri dan membawa wanita yang sudah pasrah itu ke dalam mobil.

Mobil itu sendiri berjalan dengan suara dari dunia luar yang tersaring sempurna. Mata Nania berusaha mencuri pandang pada sosok pria misterius yang lebih tertarik pada pemandangan di luar mobilnya dari pada diri Nania sendiri.

"Sakit?" Pria misterius itu akhirnya memandang Nania dan meneliti lebam-lebam yang mulai muncul di tubuh wanita itu.

"Sedikit," jawab Nania.

"Bud, mampir apotek dulu, ya. Beli obat anti memar."

"Eh, gak usah ... " Nania gugup dan tanpa sadar menyentuh tangan pria yang justru terlihat keberatan ketika lengan jasnya menempel di kulit Nania. "Maksud saya, saya gak apa-apa."

"Memar di badanmu mungkin tak akan menghilang dengan mudah. Kamu turuti saja mau saya, atau kamu saya tinggal di jalan."

Nania meneguk ludah. Dia menyesal dan mengutuk dirinya. Dia merasa sudah menyentuh benda terdingin yang seharusnya tak ia ganggu.

"Maaf." Hanya kata itu yang bisa Nania ucapkan.

Waktu berjalan dengan cepat. Setelah persinggahan di sebuah apotek, Nania di bawa ke sebuah hotel yang ada di dekat apotek itu. Supir yang dipanggil dengan nama Budi oleh si pria misterius membantu Nania mengoleskan salep ke beberapa memarnya. Dia memiliki mata yang sama dinginnya dengan bossnya dan semakin membuat Nania bingung dan khawatir.

"Sudah, Pak." Budi mundur dan menunggu perintah yang lain.

Sang boss kemudian mendekati Nania. Dia mengeluarkan uang yang sama banyaknya dengan yang diberikan pada Dono dan juga sebuah kartu dengan nama dan alamat yang didesain elegan.

"Besok, datang ke alamat di kartu itu. Cari nama saya dan temui saya di sana." Dia menunjuk setiap kata di kartu itu sebelum memerintahkan supirnya membawa Nania pergi.

Tak sampai setengah jam, Nania sudah kembali lagi ke jalanan tempat dia diambil.

"Loh, udahan?" Dono mendekati Nania yang keluar dari dalam mobil. "Ada masalah?"

Nania menggeleng dan hanya bisa menatap amplop di tangannya. Suaminya yang punya antena sinyal pelacak kekayaan segera merebut amplop itu dan menghitung isinya.

"Dia bilang, aku disuruh datang ke tempat ini." Nania menunjukkan kartu tanda pengenal dengan nama Brata Sudibyo di atasnya. Membuat Dono yakin jika pria yang menyewa jasa Nania bukanlah pria biasa.

"Bagus! Besok kita pergi ke tempat itu. Aku bisa cium bau uang yang mendekati kamu, Nania." Dono menciumi Nania da mengajaknya pulang. Tampaknya, malam itu Nania bisa istirahat lebih cepat, walau rasanya tak mungkin bisa istirahat sembari membayangkan pria loyal yang hanya menatapnya selama ada di kamar hotel.

***

"Apa boss kenal wanita itu?" Budi melirik bossnya yang menatap ke luar jendela tanpa ekspresi.

"Mungkin."

Budi khawatir akan apa yang bossnya lakukan malam itu. Dia tiba-tiba saja menggunakan seluruh cash yang akan dipakai untuk membayar gaji pegawai di rumahnya demi membayar seorang pelacur yang bahkan tak menarik minat Budi.

"Aku tahu kalau boss aneh, tapi kali ini, dia lebih aneh dari segala yang dia lakukan dulu," gumam hati Budi.

***

"Kamu yakin ini tempatnya?" Dono menghidupkan rokok yang membuat tubuhnya bau. Dia menghitung jumlah jendela gedung pencakar langit di depannya dan mulai membayangkan jumlah uang yang bisa ia dapat hari ini.

"Nona?" Budi si supir berkepribadian dingin berjalan mendekati Nania. Dia melirik sekilas ke arah Dono dan tampak risih dengan kemunculan pria itu. "Pak Brata sudah menunggu. Ayo segera masuk."

"Ya, udah. Ayo, Nia!"

"Tunggu!" Budi mencegah Dono yang dengan agrasif menyeret tangan Nania. "Cuma Nona ini yang boleh masuk."

"Loh, kenapa?"

"Itu perintah boss saya."

"Tapi, kan ... " Nada suara Dono menggantung di udara sampai dia sadar kalau kekuasaannya di tempat itu tak berguna. "Ya sudah, Nia. Pergilah!"

Nania menatap canggung dan takut-takut. Dadanya sesak karena rasa tak nyaman, namun Dono terus meyakinkan kalau dia harus segera menemui sosok si boss misterius.

Nania merasa langkahnya sangat berat. Dia merasakan jarak yang sangat jauh menuju lantai dimana si pria misterius bernama Brata berada tak terbantu oleh lift yang ia tumpangi. Selain itu, interior gedung yang bernuansa modern minimalis juga seperti alergi di tubuhnya. Nania merasa tak pantas dan ingin lari saja.

Tapi terlambat. Nania sudah berdiri di ruangan itu sekarang. Ruangan dengan seorang pria bermata dingin yang memberi kode pada asistennya kalau dia ingin hanya ada Nania dan dirinya di ruangan itu.

Nania diam dan merasa seperti diselubungi es. Lagi-lagi boss muda itu hanya menatapnya seperti menilai diri Nania. Dia merasa seperti dihakimi dan Nania tak suka.

"Namamu?"

"Na, Nania." Tenggorokan Nania kering hingga suaranya selip.

"Apa kau siap?"

Nania tak bisa menjawab karena bingung.

"Aku tanya sekali lagi, apa kau siap?"

Mulut Nania bergetar dan ia berkata, "Siap untuk apa, Pak?"

"Untuk membuka bajumu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status