Share

Chapter 2. Merasa Sia-Sia

''Pagi, Pak Gavin,'' sapa Andrina diiringi senyum manisnya.

Gavin tak menghiraukan sapaan gadis itu, dia memilih meneruskan langkahnya memasuki ruangan.

''Siapkan jadwalku untuk hari ini,'' perintah Gavin tanpa menoleh kearah sekretarisnya.

''Baik, Pak.''

Andrina telah resmi menjadi sekretaris Gavin. Meski, kemampuannya sempat diragukan. Tetapi pada akhirnya, Gavin bersedia menerima wanita itu, setelah memberi serangkaian tes dengan hasil yang cukup memuaskan.

''Apa jadwalku setelah pertemuan makan siang?'' tanya Gavin setelah si sekretaris selesai membacakan agendanya.

''Kosong, Pak. Ada beberapa berkas penting yang harus Anda tanda tangani,'' ucap Andrina.

''Itu bisa saya kerjakan di rumah. Nanti saya ada janji dengan Erick.''

Andrina memutar bola matanya malas, setiap kali mendengar nama itu.

''Perasaan, kemarin bapak baru bertemu dengannya. Kenapa hari ini bertemu lagi?" tanya Andrina dengan nada penuh ketidaksukaan.

''Bukan urusanmu!" sahut Gavin cepat, ''urusanmu hanya seputar pekerjaan, bukan masalah pribadi saya.''

''Tentu saja menjadi urusan saya. Nyonya Mutia melarang keras, Anda bertemu dengan pria gemulai itu," sarkas Andrina.

Ketika menyebut nama Mutia, seketika dia teringat akan beberapa perintah yang selalu digaungkan wanita itu.

'Dekati putraku, goda dia. Perlihatkan tubuh indahmu. Semakin dia melihat bagian sensitifmu semakin bagus.' Perkataan itu selalu terngiang di telinganya karena hampir setiap hari Mutia mengatakan hal yang sama.

Andrina menghela nafas. "Kau pasti bisa, Andrina!" batinnya untuk menyemangati diri sendiri.

Perlahan-lahan, dia melangkah mendekati Gavin yang mulai fokus pada pekerjaannya. Ketika melihat tak ada teguran dari pria itu, dia semakin memberanikan diri berada tepat di hadapannya.

"Berani kau menghinanya di depanku, kau akan tahu akibatnya," ucap Gavin tanpa mengalihkan pandangan dari kertas-kertas di depannya.

"Ouh, aku takut," jawab Andrina seolah dia tengah ketakutan.

''Sebenarnya, kau ini bekerja untukku atau untuk ibuku?'' tanya Gavin

''Dua-duanya,'' bisik Andrina.

Wanita itu, memberanikan diri duduk ke pangkuan atasannya. Gavin sempat terkejut dengan tindakan sekretarisnya. Namun, dia segera mengubah keterkejutannya menjadi raut datar minim ekspresi.

"Aku bersedia menyerahkan diriku, semua yang ada padaku akan menjadi milikmu, Pak Gavin. Aku rela menjadi pelampiasanmu. Asal, tubuhmu tidak kau bagi dengan orang lain, sekalipun dengan pacar kekarmu."

"Ini akan menjadi milikmu." Andrina membawa tangan Gavin ke arah tubuh bagian atasnya.

"Ini juga akan menjadi milikmu." Wanita itu berganti menuntun tangan Gavin menuju tubuh bagian bawahnya.

Gavin menarik paksa tangan yang berada dalam kuasa wanita itu. "Aku tidak tertarik dengan semua yang kau tawarkan."

"Benarkah, Pak Gavin?" tanya Andrina dengan membuka seluruh kancing kemeja, hingga terpampanglah seluruh tubuh bagian depannya.

"Apa kau masih tidak tertarik kepadaku, Tuan?"

Bukan tertarik, justru Gavin merasa muak dengan semua tingkah sekretarisnya. Dia mendorong tubuh mungil itu hingga terjembab ke lantai.

"Aww!" pekik Andrina ketika pant*tnya menyentuh benda keras.

"Kau benar-benar menjijikan, entah dari mana mommy memungut wanita sepertimu?"

Perkataan pria itu, bagaikan belati yang menghujam tepat di hati Andrina.

Gadis itu, mengepalkan tangannya kuat, rahangnya mengeras, matanya memerah. Setitik air mata berhasil lolos ke pipi mulusnya.

''Perbaiki penampilanmu, sebentar lagi ada pertemuan penting. Ganti pakaianmu dengan yang lebih sopan. Karena kita akan bertemu investor besar perusahaan ini," kata Gavin dengan nada dingin.

Andrina segera menghapus jejak air matanya. Dia tidak boleh lemah, dia harus kuat dan harus berhasil dalam misi ini.

Dia bergegas memperbaiki penampilannya, menutupi kemeja ketatnya dengan blazzer, mengganti rok span mininya dengan rok selutut tanpa menghapus riasan tebalnya. Beruntung, Andrina selalu sedia baju ganti. Sebelum pulang kerja, dia menyempatkan diri untuk mengganti pakaiannya, agar adik dan ayahnya tidak curiga dengan pekerjaan barunya.

Andrina merahasiakan misi ini dari mereka. Yang mereka tahu, ia bekerja sebagai karyawan di perusahaan besar.

_________

Tanpa terasa, dua bulan sudah, Andrina melakoni pekerjaan sebagai sekretaris Tuan Gavin. Meski selalu hinaan dan cacian yang diterima, tapi hal itu tak pernah menyurutkan semangatnya. Dia selalu optimis jika misi ini akan berhasil. Tak jarang pula, dia mendapat ancaman dari si pacar kekar, bahkan hampir setiap hari. Siapa lagi, jika bukan Erick.

''Bagaimana usahamu? Apa kau berhasil mendekati kekasihku?" Erick menampilkan senyum remeh pada wanita di depannya.

Pertanyaan itu mampu menggelitik hati seorang Andrina. Baru kali ini, dia mendengar seorang pria begitu posesif pada sesamanya.

Namun, wanita itu menulikan pendengaran. Dia memilih fokus pada layar lipat di depannya karena pekerjaannya sangatlah menumpuk hari ini.

''Kau ini tuli apa pura-pura tuli?" tanya Erick dengan kesal.

''Waktu saya lebih berharga daripada meladeni orang kurang kerjaan seperti Anda, Tuan Erick," jawab Andrina tanpa mengalihkan perhatian dari para jajaran angka.

''Kau berani padaku." Erick menunjuk wajah yang terbalut riasan tebal itu.

''Memangnya kau siapa? Kau hanya pacar terlarang bosku jadi tidak usah sok. Pasti kau akan memanfaatkan kekuasaannya hanya untuk mengancamku." Dengan berani, wanita itu menatap tajam pria di hadapannya.

Erick menyeringai mendengar hal itu. "Kau belum mengenalku, maka berhati-hatilah!"

Andrina terkekeh sinis. "Apa kau mengancamku, Tuan Erick?"

"Silahkan! Aku tidak takut. Sebaiknya, Anda segera pergi dari sini, Tuan. Kau cukup banyak membuang waktuku. Apa kau tidak punya pekerjaan lain, selain mengurus hidupku," sambung wanita itu.

Erick mengepalkan tangannya kuat, kemudian berlalu dengan membawa amarah dalam dadanya. Dia bertekad akan menjauhkan wanita itu dari kekasihnya.

"Lihat saja, nanti. Apa yang akan kulakukan padamu."

''Tunggu tanggal mainnya, Wanita Sialan." Erick menyeringai seram.

Dia segera menghubungi seseorang untuk menyiapkan rencana yang ingin dia lakukan untuk memberi pelajaran kepada wanita itu.

Andrina hanya menggelengkan kepala menatap kepergian Erick. Ancaman ini bukanlah yang pertama baginya. Berkali-kali, dia mendengar ancaman itu tapi Andrina tidak pernah takut karena ada Mutia di belakangnya. Wanita baya itu sudah berjanji akan melindungi dirinya dari pria yang bernama Erickson Liem.

Andrina tak pernah memedulikan semua itu. Dia hanya fokus dengan misinya, terutama uangnya. Karena Mutia sudah membayar mahal dirinya, untuk ini.

Akan tetapi semakin kesini, Andrina merasa usahanya sia-sia karena Gavin tak pernah sekalipun tergoda dengan tubuhnya.

Seperti pagi ini, Andrina baru selesai melakukan aksinya. Lagi dan lagi, hinaan pedas yang dia dapat. Wanita itu menyandarkan tubuh di kursi. Berulang kali, helaan nafas berat keluar dari mulutnya.

"Kapan semua ini akan berakhir?"

"Sepertinya, aku harus menemui Nyonya Mutia. Aku sudah tidak sanggup, aku ingin mundur."

"Ya, aku harus menemuinya," ujarnya mantap.

Wanita itu bergegas mengecek jadwal esok hari untuk memastikan jika tidak ada pertemuan penting.

''Jadwal besok aman. Aku bisa menemuinya."

Namun, sejurus kemudian wajahnya tampak murung. Ada setitik keraguan yang menelusup dalam hatinya.

''Apa Nyonya Mutia bersedia menerima pengunduran diriku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status