All Chapters of My Lover is Cheating: Chapter 21 - Chapter 30
33 Chapters
Bab. 21. Semangkuk Mie
Sebenarnya aku kurang percaya, tapi nggak ada yang salah kalau Kang Cihu pernah jadi Kang Kuli di kota metropolitan sana. Apalagi kalau dilihat dari usahanya sekarang, aku yakin, dia itu berasal dari kelas tengah di antara orang-orang kelas menengah. Miskin kagak, kaya apalagi.Sama persis denganku, yang penghasilannya hanya bisa dipake buat makan sehari-hari. Nggak bisa dipake buat jalan, apalagi terbang, karena aku nggak punya sayap kayak rotinya kaum berdaster.Aku mengangguk, mencoba memahami dan mempercayai penjelasannya barusan. Membuat dia akhirnya mengubah posisi duduk, lalu menghadap meja sepertiku. Bukan menghadap Pak Penghulu, karena kita sama-sama ditinggal jodoh. Apalagi menghadap Allah, karena kita masih mau mencari jodoh.Aamiin, Ya Allah. Kabulin, please!“Terus, soal kamu sama si Bian brengsek itu gimana?” tanyanya. Terdengar kesal, sampai membuatku mengernyitkan heran.“Dih! Kok jadi kamu yang kesal sama si Bian,
Read more
Bab. 22. Serasa Dunia Milik Berdua
Sebenarnya aku kurang percaya, tapi nggak ada yang salah kalau Kang Cihu pernah jadi Kang Kuli di kota metropolitan sana. Apalagi kalau dilihat dari usahanya sekarang, aku yakin, dia itu berasal dari kelas tengah di antara orang-orang kelas menengah. Miskin kagak, kaya apalagi.Sama persis denganku, yang penghasilannya hanya bisa dipake buat makan sehari-hari. Nggak bisa dipake buat jalan, apalagi terbang, karena aku nggak punya sayap kayak rotinya kaum berdaster.Aku mengangguk, mencoba memahami dan mempercayai penjelasannya barusan. Membuat dia akhirnya mengubah posisi duduk, lalu menghadap meja sepertiku. Bukan menghadap Pak Penghulu, karena kita sama-sama ditinggal jodoh. Apalagi menghadap Allah, karena kita masih mau mencari jodoh.Aamiin, Ya Allah. Kabulin, please!“Terus, soal kamu sama si Bian brengsek itu gimana?” tanyanya. Terdengar kesal, sampai membuatku mengernyitkan heran.“Dih! Kok jadi kamu yang kesal sama si Bian,
Read more
Bab. 23. Yang Lain Ngontrak
Sebenarnya aku kurang percaya, tapi nggak ada yang salah kalau Kang Cihu pernah jadi Kang Kuli di kota metropolitan sana. Apalagi kalau dilihat dari usahanya sekarang, aku yakin, dia itu berasal dari kelas tengah di antara  orang-orang kelas menengah. Miskin kagak, kaya apalagi.Sama persis denganku, yang penghasilannya hanya bisa dipake buat makan sehari-hari. Nggak bisa dipake buat jalan, apalagi terbang, karena aku nggak punya sayap kayak rotinya kaum berdaster.Aku mengangguk, mencoba memahami dan mempercayai penjelasannya barusan. Membuat dia akhirnya mengubah posisi duduk, lalu menghadap meja sepertiku. Bukan menghadap Pak Penghulu, karena kita sama-sama ditinggal jodoh. Apalagi menghadap Allah, karena kita masih mau mencari jodoh.Aamiin, Ya Allah. Kabulin, please!“Terus, soal kamu sama si Bian brengsek itu gimana?” tanyanya. Terdengar kesal, sampai membuatku mengernyitkan heran.“Dih! Kok jadi kamu yang kesal sama si
Read more
Bab. 24. Tiba-Tiba Menghilang
Tak mendapati Kang Cihu di rumah, aku harap bisa bertemu dia di tempat kerja. Namun, begitu sampai, aku tak menjumpai gerobaknya sama sekali. Ke mana dia? Aku mengernyit heran, setelah mendapati tempat yang biasa dipakai oleh Kang Cihu kosong. Melihat ke sisi kiri dan kanan jalan, gerobaknya pun nggak ada di sekitar sini.Duh ... apa aku ada salah bicara, ya, tadi malam? Tapi, kayaknya nggak, deh. Orang dia yang menggodaku terus-terusan.Dengan perasaan bingung aku melangkah menuju teras mini market, lalu membuka kuncinya cepat-cepat. Tak lama, setelah aku masuk dan baru saja hendak ke gudang, teman-temanku datang. Kho dan Tania pun tampak heran begitu melihat halaman depan yang kosong.“Kang Cihu ke mana?” tanya Kho begitu masuk, seraya sibuk memperbaiki kerudungnya yang kusut karena terpaan angin. Pun dengan Tania yang menyusup-nyusupkan pakaiannya ke balik celana jeans.“Gak tau. Semalam, dia juga nggak ada cerita soal ini sama gue.&r
Read more
Bab. 25. Andai Aku Bersuami Dua
Sebenarnya memang nggak masuk akal kalau Kang Cihu pergi gara-gara sudah melecehkanku semalam. Selain karena ada di zona merah, aku nggak ngerasain sentuhan apa-apa. Nggak mungkin, dong, sekadar dicium atau ditoel-toel aja aku nggak sadar? Ya ... walaupun aku bingung juga, sih, kenapa bisa pindah ke kamar. Hehe.Melupakan Pak Dodot yang tadi bermain debus—makan pisang sama kulitnya—aku dan dua somplakers langsung keluar untuk melanjutkan obrolan perihal semalam di kedai cilok. Lalu mengingatkan Tania tentang aku yang lagi dapat jatah bulanan, begitu sampai di sana.“Iya, ya. Gue lupa kalau lu lagi dapat jatah bulanan.” Tania mengangguk-angguk seraya menyimpan tas selendangnya di meja. “Tapi tetep, ah. Itu nggak menutup kemungkinan kalau dia nggak ngelakuin yang enak-enak sama lu!”Temanku itu masih saja keras kepala dengan pemikirannya. Yakin, kalau Kang Cihu sudah melakukan sesuatu yang tak senonoh terhadapku. Untungnya, si K
Read more
Bab. 26. Tepat Sasaran
Masuk ke halaman rumah Pak Dodot, perasaanku masih biasa aja. Tidak ada yang aneh, karena sama-sama di kelilingi bunga dan rerumputan. Namun, begitu langkah kakiku masuk ke rumahnya, ini adalah kali pertama aku melihat ruang dengan perabotan luar biasa mewah.Bahkan, Bibi Cahaya yang paling kaya di antara keluargaku pun tak sampai memperindah rumahnya dengan hal semacam ini.Kursi yang tertata dengan apik di sudut ruangnya tampak mengkilap, bahkan seperti tak pernah tersentuh debu. Belum lagi lemari kaca yang dipenuhi banyak sekali barang-barang serupa gelas dan teko khusus untuk ditonton, bukan dipakai buat menyuguhi tamu seperti Ibu.Gorden yang dipakai untuk menutup semua jendelanya pun bukan dari kain tipis berwarna biru atau merah polos. Melainkan kain tebal berwarna kuning keemasan setinggi dua orang dewasa, dengan motif bunga-bunga berwarna senada yang lebih tua.Belum lagi lampu hias yang menggantung tepat di atas kepalaku. Seandainya jatuh menimp
Read more
Bab. 27. Yang Enak-Enak
Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali. Semua-semua-semua dapat di lakukan, dapat dilakukan kalau aku nggak plin-plan. Aku ingin terbang bebas, ke angkasa. Hei ... jodoh! Sini, dong.“Neng, nggak kenapa-kenapa, 'kan?” tanyanya, sontak membuatku berhenti menyanyikan lagu Doraemon dalam lamunan.Entah sejak kapan tepatnya, tapi memang, akhir-akhir ini aku merasa jadi wanita paling plin-plan sejagat per haluan. Apalagi kalau sudah melihat bujang cakepan dikit, ujung-ujungnya ya pasti kepincut.Kayak sekarang ini, nih.Padahal, baru setengah jam lalu aku mengagumi sosok yang diceritakan Bu Ana. Bahwa, anaknya yang sudah bekerja itu tak hanya pintar dan berbakti pada orang yang lebih tua, tetapi tampan dan juga mapan. Lalu sekarang, begitu aku melihat Kang Cihu yang seharian ini menghilang, rasanya jauh lebih deg-degan.Apalagi mengingat jarak yang hanya tersekat pakaian masing-masing. Tatap dan juga embus napa
Read more
Bab. 28. Hati Bicara Lain
Tak hanya tawa, Kang Cihu bahkan tergelak begitu mendengar jawabanku barusan. Lantas dia menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil menyapu rambut. Kepalanya itu menggeleng-geleng.“Mau anak berapa? Selosin? Yuk, bikin!” ajaknya kemudian.“Tuh, 'kan? Nggak mau, ah. Aku takut diapa-apain beneran sumpah!”Tawanya kembali pecah. Bahkan, dia sampai terpingkal dan memegangi perutnya. Sementara aku hanya melongo, tak tertarik untuk tertawa sama sekali karena memang takutku benar. Apalagi setelah beberapa kali nonton berita, anak gadis hilang digondol pacar.Ih! Amit-amit dua puluh turunan! Aku bergidik ngeri, masih sambil memperhatikannya uang belum berhenti tertawa.“Kamu kok bisa mikir yang aneh-aneh terus, sih sama aku?” tanyanya, disela-sela gelak tawa.Aku menyengir kikuk saat membalas seringainya yang lucu. “Emang Kang Cihu nggak mau nyulik aku gitu?”&
Read more
Bab. 29. Bogem Mentah
Suara bising dari alunan musik dangdut koplo, gendang bertalu, juga seruling melengking mendadak hening begitu aku membuka mata. Berganti gemuruh dalam dada, juga degup yang seketika mengunci kata. Aku bergeming melihat apa yang ada di depan mata.Sebuah lapang yang sepertinya biasa dipakai untuk bermain bola, disulap bak sebuah istana raja. Tak tampak persawahan yang mengelilinginya, selain tirai putih berselang merah muda menjuntai setinggi lebih dari orang dewasa, dengan bunga hiasan di setiap sudutnya.Di ujung sebelah kiri lapang terdapat sebuah panggung untuk orkes dangdut sewaan. Sementara di ujung tengah-tengah lapang terdapat meja yang menghidangkan banyak sekali makanan untuk tamu undangan. Dan begitu aku melihat ke sebelah kanan, di sanalah pengantin pria dan wanita sedang menyambut tamu-tamunya.Mataku berkedip pelan, takjub sekaligus kecewa begitu melihat sebuah pesta pernikahan, di mana pengantin prianya adalah Bian. Bahkan runtuh rasanya setiap pe
Read more
Bab. 30. Virus Cinta
Lelaki berpenampilan necis di hadapanku ini mengangguk dengan sudut bibir terangkat, seolah-olah menantang keberanianku. Lalu mengetuk-ngetukkan telunjuknya di meja, mencipta bunyi ‘tak-tok tak-tok’, menunggu jawabanku.“Aku mau, sih kalau soal ucapin janji. Tapi, untuk berkunjung ke rumahmu sekarang juga, rasa-rasanya kok aku takut, ya?”“Takut diapa-apain?” Dia tergelak puas. Astaga! Ingin kucomot saja mulut pedasnya itu, seandainya memang bisa dimakan. “Ya, sudah,” lanjutnya dengan begitu enteng.“Terus, ngasih tau alamatnya kapan? Biar aku main ke sana sama temen-temenku aja nanti.” Aku berusaha setenang mungkin, untuk bisa mendapatkan alamatnya.“Nanti malam kuchat,” jawabnya dengan santai, tanpa tahu kalau di sini aku tak lagi dapat menahan sabar.“Emang punya nomorku?”“Gampang! Sekarang, kita pesen makan dululah sebelum pulang. Lapar tau!”
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status