Semua Bab My Lover is Cheating: Bab 11 - Bab 20
33 Bab
Bab. 11. Lagi-Lagi Soal Iler
  “Sumpah, si Bos tuh bikin kaget aja tadi. Mana pake acara tuduh-menuduh lagi! Apaan coba?”Sekembalinya beristirahat, Tania merutuk sambil mengunyah makan siangnya. Lalu sesekali menenggak air mineral, karena mungkin nasinya itu susah untuk ditelan. Karena sebenarnya, pas tadi aku masak nasi untuk makan bersama, prosesnya memang terlalu buru-buru. Sampai lupa takaran, berapa banyak air yang harusnya aku masukan.“Dahlah biarin. Ngapain juga dipikirin? Dia kan emang gitu!” Aku pun sama-sama sedang mengunyah nasi. Pelan-pelan, karena nasinya memang terlalu keras. Sekeras hatiku yang masih aja mikirin Bian.“Nah, betul tuh kata si Tika. Lu kayak baru denger Pak Bos ngomel aja!” timpal Kho, yang justru baru selesai makan. Dia memang jagonya kalau soal kunyah-mengunyah. Mau lembek kek, keras kek, nggak pernah sekali pun memprotes siapa yang menanak nasi.“Iya, sih. Tapi tetep aja gue kaget,
Baca selengkapnya
Bab. 12. Ibu Setuju
Tahu rasanya ada iler malang-melintang di area bibir dan pipi pas bangun tidur? Terus, di depan kalian orang-orang melihat itu. Jangan harap harga diri kalian masih ada di atas bintang kalau sampai itu terjadi, karena nyali saja rasanya ciut untuk bisa bertatap muka dengan mereka lagi.Andai hanya di depan Kho dan Tania, aku tak kan merasa semalu ini. Bodo amat, karena mereka sudah tahu luar dan dalamnya perihal aku. Tapi, kalau sama Pak Dodot dan tiga pegawai prianya yang cakep-cakep ... ambyar, Gaes. Ambyar!Aku bergidik ngeri, membayangkan apa yang terjadi setengah jam lalu. Lantas kembali berusaha fokus menyetir motor, untuk sampai di rumah dengan selamat. Sepoi angin kemudian mengelebat, menampar-nampar wajah serta tubuhku sampai terasa lumayan dingin.Merasa dejavu, aku pun ingat akan peristiwa-peristiwa saat berangkat dan pulang kerja bersama Bian. Dingin yang menyergap tubuhku saat ini, hampir tak pernah aku rasakan karena dia selalu menyelimutiku dengan
Baca selengkapnya
Bab. 13. Pasal Jodoh
  Diselingkuhin, diputusin, sampai ditinggal kawin pas lagi sayang-sayangnya itu emang bikin frustrasi. Malas ngapa-ngapain, dan bikin aku hampir melakukan tindakan bunuh diri. Tapi, setelah dipikir-pikir, ngapain juga rela mati demi orang yang tak peduli?Nanti, yang ada, begitu aku goak-goak gegara ngerasa sakit pas dijemput sama malaikat pencabut nyawa, si Bian malah indehoi semelehoi sama istrinya di malam yang entah ke berapa.Enak di dia, nggak enak di aku, dong? No! Daripada begitu, mending berselancar di dunia literasi yang katanya penuh dengan halusinasi. Banyakin temen, atau pacar sekalian buat happy-happy.“Coba kita lihat sekarang, apa dia ada mengirim pesan?” tanyaku pada diri sendiri, seraya menghidupkan data ponsel.Seperti biasa, begitu data kunyalakan, suara ‘tang-ting-tung-teng-tong’ dengan diiringi getaran langsung meramaikan suasana sepi di dalam kamar. Notifikasi Facebook, notifikasi W
Baca selengkapnya
Bab. 14. Takut Kalah Saing
Esok pagi, setelah meminta izin untuk libur bekerja, aku bersiap-siap untuk meluncur ke lokasi di mana ada satu rumah yang kurasa memang cocok untuk ditempati. Selain tempatnya yang nggak jauh-jauh banget dari mini market, harga rumah tersebut terbilang murah. Bahkan, tak sampai mencapai harga jual rumah Ibu kemarin.Seandainya cocok, uang sisa yang dipegang Ibu bisa dibuat modal usaha dulu. Dagang apa gitu, biar Ibu langsung ada kegiatan sebagai warga baru di sana. Pada kenalan kan tuh nantinya? Terus, kalau sudah kenal ... biasanya suka main jodoh-jodohan. Nah, siapa tahu kalau jodohku itu masih nyempil di antara anak-anak mereka? Ho-ho-ho.“Neng ... dah siap belum?”Tiba-tiba, suara Ibu terdengar menggelegar dari luar kamar. Persis sepiker masjid. Aku rasa Ibu sudah tak sabar untuk segera pergi. Secara, Ibu memang hampir tak pernah jalan-jalan, karena selalu saja menolak saat kuajak pergi.Sibuklah, capeklah, panaslah. Dan banyak lagi alasa
Baca selengkapnya
Bab. 15. Beneran Kalah Saing
Seraya menunggu ibuku salat, aku sempatkan untuk membuka data terlebih dulu. Barangkali, ada Bara yang kelimpungan gegara Facebook-ku nggak aktif-aktif. Apalagi setelah aku nggak sempat balas pesannya yang tadi malam.Benar saja, begitu data tersambung, notifikasi pun ternyata penuh oleh jempol Bara yang mampir di setiap postinganku. Bahkan, foto dan status yang kutunjukkan untuk Bian dia beri love sebagai jejak.Astaga!Aku menggeleng, tak menyangka kalau dia tiba-tiba akan seantusias itu untuk mengetahui tentang diriku. Beralih pada Messenger, pesan Bara pun menjadi satu-satunya yang aku buka.“Kamu nggak suka puisinya? Kok nggak balas, sih? Malah off sepanjang malam, bahkan nggak aktif-aktif saat kucek di pagi hari.“Aku minta maaf kalau memang aku terlalu lancang. Tapi, jujur saja ... tiba-tiba aku merasa nyaman. Apalagi setelah melihat foto-fotomu hampir di sepanjang malam, aku suka.”Suka? Secepat itu? Hanya karena be
Baca selengkapnya
Bab. 16. Jadian
Setelah bicara banyak sama Kang Cihu, tiba-tiba Ibu langsung mengajak aku pulang. Sampai tak sempat pamit pada Kho dan Tania, apalagi Pak Dodot. Selain karena mereka sibuk, Ibu benar-benar menyuruhku untuk buru-buru.Entah kenapa, aku tak tahu sampai setibanya di rumah, Ibu langsung membuka kunci dan ladi terbirit-birit ke dalam.“Ibu kenapa, sih?!” teriakku sambil mengunci leher si Monic. Lalu melesat, menyusul Ibu ke dalam.“Ibu kebelet, Neng. Sumpah nggak nahan!” jawabnya, sambil membanting pintu kamar mandi.Astaga! Ternyata cuma karena kebelet? “Kenapa nggak buang air di sana aja? Kan, ada toilet.” Aku memelak pinggang di depan pintu kamar mandi dengan napas terengah. Sesek, kek waktu diputusin pacar.“Malulah. Untung tadi baru kerasa mules biasa. Duh ... leganya.” Ibu mendengkus, diiringi suara kentut.“Ih! Ibu jorok.”Aku bergidik seraya berbalik badan, lalu melesat me
Baca selengkapnya
Bab. 17. Tetanggaan?
Sesampainya di ruang tamu, aku menggeleng tanpa bisa berhenti senyum. Tingkah laku Bara tetiba berubah lucu, apalagi kalau sudah bicara panjang kali lebar di ruang chat. Rasanya malas untuk berhenti kalau saja tak lagi sibuk begini.“Kenapa kamu? Senyum-senyum sendiri, udah kek orang habis obat.” Ibu yang entah dari mana itu tiba-tiba muncul di hadapanku.“Mulai, deh. Jangan rusak mood-ku kenapa? Lagi senang ini,” kataku seraya mengikat dus dengan tali rapiah. Isinya masih perabot dapur, yang sudah dikemas sejak kemarin.“Ok, Bos!” jawab Ibu sambil tergelak. “BTW, bajumu sudah dikemas semua?”“Sudah, Bu.”“Mobil gimana? Datang jam berapa kira-kira?”“Mungkin jam lima.” Aku mengangguk-angguk, meyakinkannya. “Tapi, tiga mobil kiranya cukup nggak, ya?”“Nggaklah. Tapi nggak apa-apa. Sisanya bisa nyusul. Bukan orang lain ini yang beli rum
Baca selengkapnya
Bab. 18. Tak Keruan
  Sukses dibuat tak keruan karena genggam, tatap, juga senyum Kang Cihu, akhirnya aku bisa bernapas lega sekarang. Tepatnya setelah aku sampai dengan selamat di tempat tujuan, lalu turun dan menginjakkan kaki di sana sambil menghirup udara segar di batas hari.Waktu sudah menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit. Itu artinya, sebentar lagi akan terdengar seruan azan dari beberapa masjid terdekat. Namun, yang membuatku terkesima sekarang adalah senja. Di mana aku dapat melihat panorama jingga dengan begitu jelas, tanpa satu pun awan yang menghalangi keindahannya.“Sebut nama Allah saat mengagumi apa pun, Neng.”Aku langsung mengerjap, begitu mendengar suara berat Kang Cihu. Dia benar. Buru-buru aku pun menyebut nama Allah, Tuhan Pemilik Dari Segala Keindahan dan Kenikmatan Di Dunia Ini.“Pinter.”“Udah dari lahir, Kang. Terkodrat.”“Percaya,” timpalnya sembari ter
Baca selengkapnya
Bab. 19. Putus
  Sejak sore, awan di atas sana sudah menggulung-gulung, tampak tebal dan hitam. Namun, karena hawa yang tetap terasa panas di tengah-tengah kelebat angin, kupikir hujan tak kan turun secepat ini.Ternyata aku salah, karena kira-kira satu jam setelah azan isya berkumandang, hujan turun diiringi gelegar guntur dan kilauan kilat. Seolah saling menyahut, saling memamerkan kelebihan masing-masing dengan disertai kelebat angin. Menakutkan, sekaligus mengagumkan.Untungnya, barang-barangku sudah selesai dipindahkan ke dalam rumah. Ponsel yang tadi kubanting pun diselamatkan Kang Cihu, tanpa kutahu.Mobil-mobil yang disewa Pak Dodot pun sudah sedari tadi menghilang dari pandangan. Sopir-sopirnya itu SMP, setelah makan pulang. Pak Dodot apalagi. SMK, Setelah makan kabur.Malah, kata Bu Ana yang minta maaf karena tak bisa membantu beres-beres, Pak Dodot sudah pergi ke langit. Molor, gitu maksudnya. Sementara itu, yang lain justru terjebak
Baca selengkapnya
Bab. 20. Semangkuk Mie
“Haha! Serius amat, sih? Aku cuma bercanda kali,” selorohnya di tengah-tengah ketegangan yang aku rasa. “Mpe tegang gitu mukanya.”“Heleh! Kek bisa liat wajahku aja kamu. Gelap, loh ini.”Aku tertawa kikuk seraya menarik diri, berjalan mundur perlahan untuk menjauhinya. Dia memang benar, keteganganku barusan udah kek ibu-ibu yang lagi nunggu waktu lahiran. Bikin deg-degan, bikin keringetan, dan tentunya bikin kentut tertahan.“Kamu kali yang tegang? Ih, atut ...!” lanjutku sambil bergidik. Pura-pura ngeri, padahal lagi ngeluarin kentut perlahan-lahan biar nggak sampai bunyi.“Eh, maksudnya apa?” Dia tergelak sambil melangkah maju, sepertinya sengaja mengikutiku.“Hayo, loh. Otaknya jangan ngeres!”Tanganku refleks menangkup mulut. Selain karena takut tiba-tiba tercium aroma kurang sedap, aku pun ingat bahwa otakku yang justru sudah terkontaminasi pikiran-pikiran aneh. Ta
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status